DIABETES MELITUS
1.1 Pengertian
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis
atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang
mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes
melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan
absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap insulin
(Corwin, 2019).
Diabetes Melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah,
disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop
elektron (Mansjoer dkk, 2017)
1.2 Klasifikasi
4 kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2019)
1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus
tergantung insulin (DMTI)
Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I.
Sel-sel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin
dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk
mengontrol kadar gula darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi
sebelum usia 30 tahun.
2. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe
II.Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin
(resisten insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin.
Pengobatan pertama adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan kadar
glukosa darah menetap, suplemen dengan preparat hipoglikemik
(suntikan insulin dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat mengontrol
hiperglikemia). Terjadi paling sering pada mereka yang berusia lebih dari
30 tahun dan pada mereka yang obesitas.
3. DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik),
obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan
karakteristik gangguan endokrin.
4. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengidap diabetes.
1.3 Etiologi
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
a. Faktor genetic :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri
tetapi mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic
kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini
ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen HLA (Human
Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun
lainnya.
b. Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon
autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah
pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas,
sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau
toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat
menimbulkan destuksi sel β pancreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor
genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya
mempunyai pola familiar yang kuat.DMTTI ditandai dengan kelainan
dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin.Pada awalnya tampak
terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.Insulin mula-
mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,
kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa
menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan
dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada
membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek
reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal
dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan
sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak
lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price,
1995 cit Indriastuti 2008). Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes
Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen
bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang
dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe
II, diantaranya adalah:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
tahun)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik
(Indriastuti, 2018)
1.4 Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang
tidak terukur oleh hati.Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak
dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal
insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi
tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh
apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama
cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan
metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet
dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan
komponen terapi yang penting.
Diabetes tipe II.Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka
kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih
terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan
lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.Karena itu ketoasidosis
diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.Meskipun demikian, diabetes tipe II
yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan
sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas.Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung
lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II
dapat berjalan tanpa terdeteksi.Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut
sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau
pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat tinggi).
(Brunner & Suddarth, 2015)
1.5 PATHWAY
Etiologi
d. Obat
1. Mekanisme kerja sulfanilurea
Obat ini bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan insulin yang
tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin dam meningkatkan
sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini
biasanya diberikan pada penderita dengan berat badan normal dan
masih bisa dipakai pada pasien yang berat badannya sedikit lebih.
2. Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek
lain yang dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu :
a) Biguanida pada tingkat prereseptor → ekstra pankreatik
Menghambat absorpsi karbohidrat
Menghambat glukoneogenesis di hati
Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
b) Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor
insulin
c) Biguanida pada tingkat pascareseptor: mempunyai efek
intraselluler
3. Insulin
Indikasi penggunaan insulin
a) DM tipe I
b) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan
OAD
c) DM kehamilan
d) DM dan gangguan faal hati yang berat
e) DM dan gangguan infeksi akut (selulitis, gangren)
f) DM dan TBC paru akut
g) DM dan koma lain pada DM
h) DM operasi
i) DM patah tulang
j) DM dan underweight
k) DM dan penyakit Graves
(Corwin, 2019).
Asuhan Keperawatan Teoritis
2.1 Pengkajian
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah melakukan
pengkajian dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan dan kemampuan untuk
melakukan perawatan diri. Pengkajian secara rinci adalah sebagai berikut:
b. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari
200mg/dl). Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang
menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
b. Gula darah puasa normal atau diatas normal.
c. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
d. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
e. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat
menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan
propensitas pada terjadinya aterosklerosis.
2.2 Diagnosa Keperawatan
Sesuai dengan SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2018)
1) Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan diabetes
melitusdengan faktor resiko kurang terpapar informasi tentang
manajemen diabetes, ketidaktepatan pemantauan glukosa darah.
2) Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan diabetes
melitus ditandai dengan gangguan koordinasi, kadar glukosa dalam darah
/ urin rendah (hipoglikemia) dan kadar glukosa dalam darah / urine
tinggin (Hiperglikemi)
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi
ditandai dengan ada luka ulkus pedis
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan distres psikologis ditandai
dengan mengeluh tidak nyaman dan gelisah.
5) Ansietas berhubungan dengan penyakit akut ditandai dengan merasa
bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi,
tampak gelisah, tampak tegang dan sulit tidur
6) Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan penurunan
glokosa tubuh ditandai dengan coma hipoglikemi.
No Diagnosa SLKI SIKI
1. Resiko ketidakstabilan Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Hipoglikemi
kadar glukosa darah intervensi keperawatan Obervasi
dibuktikan dengan selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi tanda dan gejala hipoglikemia
diabetes melitus dengan maka kestabilan kadar 2. Identifikasi kemungkinan penyebab hipoglikemia
faktor resiko kurang glukosa darah Terapeutik
terpapar informasi meningkat dengan 1. Berikan kabohidrat sederhana, jika perlu
tentang manajemen Kriteria hasil : 2. Berikan glukagon, jika perlu
diabetes, 1. Kondisi membaik 3. Berikan kabohidrat kompleks dan protein sesuai diet
ketidaktepatan 2. Kadar glukosa darah 4. Pertahankan kepatenan jalan nafas
pemantauan glukosa membaik 5. Pertahankan akses IV jika perlu
darah. 3. Kadar glukosa 6. Hubungan layanan medis darurat jika perlu
dalam urine Edukasi
membaik 1. Anjurkan membawa kabohidrat sederhana setiap saat
4. Keluhan pusing 2. Anjurkan memakai identitas darurat yang tapat
menurun 3. Anjurkan monitor kadar glukosa darah
5. Keluhan lelah 4. Anjurkan berdiskusi dengan tim perawatan diabetes tatang
menurun penyesuaian program, pengobatan
5. Jelaskan interaksi anara diet, insulin/agen oral dan olah raga
6. Ajarkan pengelolaan hipoglikemia
7. Ajarkan peraw3atan mandiri untuk mencegah hipoglikemia
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian deksrose, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian glukagon jika perlu
2. Ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Hiperglikemi
glukosa darah intervensi keperawatan Observasi
dibuktikan dengan selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
diabetes melitus maka kestabilan kadar 2. Identifikasi situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat
dibuktikan dengan glukosa darah (penyakit kambuhan)
gangguan koordinasi, meningkat dengan 3. Monitor kadar glukosa darah
kadar glukosa dalam Kriteria hasil : 4. Monitor tanda gejala hiperglikemia
darah / urin rendah 1. Kondisi membaik 5. Monitor intake dan output cairan
(hipoglikemia) dan 2. Kadar glukosa darah 6. Monitor keton urin, kadar analisa gas darah, elektrolit, Tekanan darah
kadar glukosa dalam membaik ortostatik dan frekuensi nadi
darah / urine tinggin 3. Kadar glukosa Terapeutik
(Hiperglikemi) dalam urine 1. Berikan asupan cairan oral
membaik 2. Konsultasi dengan medis jika tanda gejala tetap ada atau memburuk
4. Keluhan pusing 3. Fasilitas ambulasi jika ada hipotensi ortostatis
menurun Edukasi
5. Keluhan lelah 1. Anjurkan hindari olahraga saat kadar glukosa darah lebih dari 250
menurun mg/dl
2. Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri
3. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olah raga
4. Anjurkan indikasi dan peningnya pengujian keton urin
5. Ajarkan pengelolaan diabetes
Kolaborasi
1. Kolaborasi Pemberian insulin
2. Kolaborasi pemberian cairan IV
3. Kolaborasi pemberian kalium
3. Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Nyeri
dibuktikan dengan intervensi keperawatan Observasi
distres psikologis selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
ditandai dengan maka status nyeri
mengeluh tidak kenyamanan meningkat 2. Identifikasi skala nyeri
nyaman dan gelisah. dengan 3. Identifikasi respon nyeri non ferbal
Kriteria hasil : 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan yang memperringan hyeri
1. Rileks meningkat 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
2. Keluhan tidak 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
nyaman menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap pengaruh hidup
3. Gelisah menurun 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
4. Keluhan sulit tidur 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
menurun Terapeutik
5. Merintih menurun 1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
6. Menangis menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
7. Lelah menurun 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan straegi
meredahkan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan straegi meredahkan nyeri
3. Anjuurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Pemberian analgetik, jika perlu
5. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan SIKI : Terapi Relaksasi
dengan penyakit akut intervensi keperawatan Observasi
dibuktikan dengan selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi penurunan tinggi energi, ketidakmampuan berkonsentrasi
merasa bingung, maka tingkat ansietas atau gejala lain yang menggunakan kemampuan kognitif
merasa khawatir menurun dengan 2. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
dengan akibat dari Kriteria hasil : 3. Identifikasi kesediaan, kemampuan dan penggunaan teknik sebelumnya
kondisi yang dihadapi, 1. Verbalisasi khawatir 4. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah dan suhu
tampak gelisah, tampak akibat kondisi yang sebelum dan sesudah latihan
tegang dan sulit tidur dihadapi menurun 5. Monitor respons terhadap terapi relaksasi
2. Perilaku gelisah Terapeutik
menurun 1. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan pencahayaan
3. Frekuensi dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
pernafasan menurun 2. Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan produser teknik
4. Tekanan darah relaksasi
menurun 3. Gunakan pakaian longgar
4. Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
5. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau
tindakan medis lain, jika sesuai
Edukasi
1. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan jenis relaksasi yang tersedia
2. Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
3. Anjurkan mengambil posisi nyaman
4. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
5. Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
6. Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC. 2015
Corwin, EJ. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC, 2019.
Indriastuti, Na. Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Efusi Pleura
dan Diabetes Mellitus Di Bougenvil 4 RSUP dr Sardjito
Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2018.