Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar Diabetes Melitus


1.1.1 Definisi
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kinerja
insulin atau kedua-duanya. (ADA, 2016).
Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit
atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin
dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans
kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh
terhadap insulin. (Depkes, 2017). Berdasarkan Perkeni tahun 2017 Diabetes
Mellitus adalah penyakit gangguan metabolisme yang bersifat kronis dengan
karakteristik 11 hiperglikemia. Berbagai komplikasi dapat timbul akibat kadar
gula darah yang tidak terkontrol, misalnya neuropati, hipertensi, jantung koroner,
retinopati, nefropati, dan gangren.
1.1.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus
Dokumen konsesus tahun 2017 oleh American Diabetes Association’s
Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus,
menjabarkan 4 kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2017).
1.   Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus
tergantung insulin (DMTI) lima persen sampai sepuluh persen penderita
diabetik adalah tipe I.
Sel-sel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan
oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula
darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.
1 Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI) Sembilan puluh persen sampai 95%
penderita diabetik adalah tipe II.
Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten
insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. Pengobatan pertama
adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan kadar glukosa darah menetap,
suplemen dengan preparat hipoglikemik (suntikan insulin dibutuhkan, jika
preparat oral tidak dapat mengontrol hiperglikemia). Terjadi paling sering pada
mereka yang berusia lebih dari 30 tahun dan pada mereka yang obesitas.
3.    DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat,
infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan karakteristik
gangguan endokrin.
4.   Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap
diabetes.
1.1.2 Etiologi
1.1.2.1 Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
a. Faktor genetik :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe
I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan
gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai
contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.
1.1.2.2 Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola
familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin
maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel
sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler
yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien
dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal
ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif
insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara
komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal
dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai
untuk mempertahankan euglikemia. Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes
Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes
Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk
Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi
terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya
adalah:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik

1.1.3 Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur
oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
posprandial (sesudah makan).Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi
maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan
selera makan  (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya
mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi
tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan
keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan
tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas
berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran,
koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan
mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang
penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta
tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan
sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat
insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan
produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom
hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-
tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi.
Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat
mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama
sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra
glukosanya sangat tinggi).
Pathway:

1.1.4 Manifestasi Klinis


1.1.4.1 Diabetes Tipe I
a. hiperglikemia berpuasa
b. glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
c. keletihan dan kelemahan
d. ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau
buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
2.1.4.2 Diabetes Tipe II
a. lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
b. gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan
kabur
c. komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer).

1.1.5 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM , antara lain:
1.1.5.1 Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati
dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan
oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat,
konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia
dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak disadari sampai kondisinya
mengancam jiwa.
1.1.5.2 Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi
yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan
diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita
diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
1.1.5.3 Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar
hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang
menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan
hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di
atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala
mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi
cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma
atau hampir koma).
1.1.5.4 Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau
nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam
berbagai cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan
pengosongan  lambung yang menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah
makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
1.1.5.5 Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali
lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini
lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular,
penyakit arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya
retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf
pusat.
1.1.5.6 Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena
kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini
membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis.

1.1.6. Pemeriksaan Penunjang


1.1.6.1 Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma.
Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat
mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa
darah menggunakan glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi
yang diberikan lebih objektif kuantitatif. (FKUI, 2015)
1.1.6.2 Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah
secara tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang
bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan
informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan
normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2015)
1.1.8.3 Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa
oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar
glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan
setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari tiga kriteria berikut ini
terpenuhi:
1. Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
2. Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
3. Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau
lebih
2.1.6.3 Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya,
biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik. Pemeriksaan
ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada lansia dengan
toleransi glukosa normal.
1.1.6.4 Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu
sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang
menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang
dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana
pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan anemia hemolitik.
1.1.6.5 Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin
menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin
dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan
nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI,2015)
1.1.6.6 Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara
proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir.
Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10
minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan
AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam
setahun. (FKUI, 2015).

1.1.6.7 Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)


PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali
glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian
diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS
memberikan feedbackcepat kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari.
(FKUI,2015)
1.1.6.8 Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan
dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali
glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara
subkutan, konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda
oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi
kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi.

1.1.7 Penatalaksanaan Medis


Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
1.1.7.1 Obat Hipoglikemik Oral
1) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu memperbaiki
sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak
bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat ini
antara lain:
1. Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin)
2. Menurunkan ambang sekresi insulin
3. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea,
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid
(derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
1.1.7.2 Penambah sensitivitas terhadap insulin
1) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Etformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin pada tingkat
selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga
menurunkan glukosa darah dan menghambat absorbsi glukosa dari usus pada
keadaan sesudah makan. (FKUI, 2015)
2) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis
meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa
disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI, 2015)
1.1.7.3 Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase
alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
1.1.7.4 Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap
sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat
diturunkan.
1.1.7.5 Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila
kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan
terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang
masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
untuk di gunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di
dalam sel otot dan hati.
1.1.8 Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control metabolic
yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
1. Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat
hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
2. Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
3. Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat
badan yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan
kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari
penyakit metabolic
4. Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
5. Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek,
komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati
autonomic dan penyakit jantung
6. Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Kebutuhan zat gizi penderita DM:
1) Protein
2) Total lemak
3) Lemak jenuh dan kolesterol
4) Karbohidrat dan pemanis: sukrosa dan pemanis
5) Serat
6) Natrium
7) Alkohol
8) Mikronutrien: vitamin dan mineral
1.2 Manajemen Keperawatan Diabetes Melitus
1.2.1 Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Meliputi nama, jenis kelamin, umurr, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Pasien diabetes mellitus dating kerumah sakit dengan keluhan utama yang
berbeda-beda. Pada umumnya seseorang dating kerumah sakit dengan
gejala khas berupa polifagia, polyuria, polidipsia, lemas, dan berat badan
turun.
c. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Menjelaskan riwayat penyakit yang dialami sekarang.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat hypertensi dan dan diabetes mellitus perlu dikaji dan dan
riwayat pernah masuk RS dan penyakit yang pernah diderita pasien.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Terdapat riwayat pada keluarga dengan penyakit veskuler : HT,
penyakit metabolic : DM atau penyakit lain yang pernah diderita oleh
keluarga pasien.
d. Pola Aktivitas
a. Pola Nutrisi
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi Insulin
maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga
menimbulkan keluhan seringkencing, banyak makan, banyak minum,
berat badan menurundan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolism yang dapat
mempengaruhi status kesehatan penderita.
b. Pola Eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresisi osmotic yang
menyebabkan pasien sering kensing (poliuri) dan pengeluaran glukosa
pada urine (glukosaria). Pada eliminasi alvi relative tidak ada
gangguan
c. Pola Istirahat dan Tidur
Adanya poliuri dan situasi ruamah sakit yang ramai akan
mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur
dan waktu tidur penderita .
d. Pola Aktivitas
Adanya kelemahan otot-otot pada ekstermitas menyebabkan penderita
tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal,
penderita mudah mengalami kelelahan.
e. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanaya
perawatan, banyaknya baiya perawatan dan pengobatan menyebabkan
pasien mengalami kecemasab dan ganggguan peran pada keluarga (self
esteem).
f. Pola sensori dan kongnitif
Pasien dengan diabetes mellitus cenderung mengalami neuropati / mati
rasa pada kaki sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.
g. Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada system pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan
kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakuasi
serta orgasme.
h. Pola mekanisme stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan
tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negative berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-
lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.

1.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan menurunnya
aliran darah akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
2. Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan
perifer).
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan secara
aktif, kegagalan mekanisme pengaturan.
4. Resiko nutrisi kurang dari krbutuhan tubuh berhungan dengan intake nutrisi
tidak adekuat.
1.2.3 Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN (KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN HASIL)
1 Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji penyebab penurunan aliran 1. Untuk mendeteksi dini dan
jaringan perifer keperawatan selama 1x7 jam, darah ke jaringan. memprioritaskan intervensi
berhubungan denhgan maka diharapkan terjadi 2. Observasi TTV. 2. Untuk mengetahui keadaan umum
menurunnya aliran darah peningkatan aliran darah ke 3. Monitor temperature dan pasien.
akibat adanya obstruksi jaringan dengan kriteria hasil: pengaturan suhu lingkungan. 3. Panas merupakan reflek dari
pemnbuluh darah. 4. Kaji peningkatan istirahat dan hipotalamus peningkatan
1) Pasien tidak koma tingkah laku pada pagi hari. kebutuhan oksigen akan
2) Pasien tidak gelisah 5. Observasi tingkat kesadaran GCS. menunjang TIK.
3) Nilai GCS : 4,5,6 6. Kolaborai dengan dokter untuk 4. Tingkat non verbal ini dapat
pemberian terapi. memberikan reflek nyeri.
5. Berguna untuk menentukan lokasi
perkembangan penyakit.
6. Pemberian terapi diuretik untuk
mengikat cairan yang
mengakibatkan peningkatan aliran
darah.

2 Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat hyeri 1. Mengetahui daerah nyeri,
dengan agen injuri keperawatan selama 1x7 jam, 2. Ajarkan tekhnik relaksasi dan kualitas, kapan nyeri dirasakan,
biologis (penurunan maka diharapkan nyeri distraksi kepada pasien, faktor pencetus, berat ringannya
fungsi jaringan perifer). berkurang dengan Kriteria 3. Berikan analgetik sesuai program. nyeri yang dirasakan.
Hasil : 4. Observasi TTV 2. Untuk mengajarkan pasien
apabila nyeri timbul.
1. Tidak oedema 3. Untuk mengurangi rasa nyeri.
2. Skala nyeri 0 4. Untuk mengetahui keadaan
3. Pasien dapat beraktivitas umum pasien
dengan normal.
4. Tidak menunjukan
tannda-tanda fisik dan
perilaku dalam nyeri.

Defisit volume cairan 1. Monitor status dehidrasi


3
berhubungan dengan kelembaban membrane mukosa, 1. Mengetahui status dehidrasi
Setelah dilakukan tindakan
kehilangan volume cairan keperawatan selama 1x7 jam, nadi adekuat, tekanan darah selanjutnya.
secara aktif, kegagalan maka diharapkan tidak terjadi ortotatik), jika diperlukan. 2. Untuk mengetahui keadaan
mekanisme pengaturan. kehilangan volume cairan 2. Monitor vital sign. umum pasien.
secara aktif dengan Kriteria 3. Monitor masukan makanan/ cairan 3. Mengetahui jumlah makanan
Hasil : dan hitung intake kalori harian. yang masuk.
4. Monitor status nutrisi. 4. Untuk mengetahui adanya
1. Mempertahankan urine 5. Kolaborasi dengan dokter jka peerubahan dari intake nutrisi.
output sesuai dengan tanda cairan berlebihan muncul 5. Pemberian terapi diuretik
usia dan BB, BJ urin memburuk. untuk meningkatkan
normal, HT normal. pemasukan cairan bila keadaan
2. Tekanan darah, nadi, memburuk.
suhu tubuh dalam batas
normal.
3. Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi, elastisits
turgor kulit baik,
membrane mukosa
lembab, tidak ada rasa
haus yang berlebihan

4 Resiko nutrisi kurang dari Setelah dilakukan tindakan 1. Timbang BB setiap hari sesuai 1. Mengetahui pemasukan makan
kebutuhan tubuh keperawatan selama 1x7 jam, indikasi. yang sehat
berhubungan dengan maka diharapkan tiak terjadi 2. Tentukan program diet dan pola 2. Mengidentiifikasi
intake nutrisi tidak resiko nutrisi pada nutrisi makanan pasin dibandingkan penyimpangan dari kebutuhan.
adekuat. dengan makanan yang dapat 3. Secara potensila dapat
dengan kriteria hasil : dihabiskan pasien. mengancam kehidupan yang
3. Observasi tanda-tanda perubahan harus ditangani secara tepat.
1. Pasien mampu tingkat kesadaran pada pasien. 4. Sangat bermanfaat untuk
mengungkapkan 4. Kolaborasi dalam pemberian mengendalikan kadar gula
pemahaman tentang insulin pemeriksaan gula darah darah.
penyalahgunaan zat, dan diet.
penurunan jumlah
intake (diet pada status
nutrisi).
2. Mendemonstrasikan
perilaku, perubahan
gaya hidup untuk
meningkatkan dan
mempertahankan berat
badan yag tepat.
ADA, 2017. Buku Ajar Kepeeawatan Medikal Medah, Edisi 8 Volume 3, Penerbit EGC
2017
Brunner & Suddarth. 2017. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta:
EGC
Carpenito, L.J. 2017. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi
6. Jakarta: EGC

Corwin, EJ. 2017. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC

FKUI, 2017. 2018. Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Efusi Pleura dan
Diabetes Mellitus Di Bougenvil 4 RSUP dr Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada

WHO (2017), Diabetes Mellitus, Edisi 2, EGC. Jakarta


Palangka Raya, 19 Mei 2022

Preseptor Klinik Ners Muda

Milasari, Ns., M,Kep. Theresia Nurhayati, S.Kep.

Anda mungkin juga menyukai