Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Proses menua merupakan proses yang terus menerus secara alami. Memasuki
usia tua berarti mengalami kemunduran misalnya terjadi kemunduran kemampuan
kognitif dan kemunduran fisik berupa kulit yang mengendur, rambut semakin
memutih, pendengaran serta penglihatan yang semakin memburuk, gerakan lambat
dan postur tubuh yang tidak proposional.1
Istilah Geriatri pertama kali dipakai oleh Ignatz Nascher pada tahun 1909.
Geriatri merupakan disiplin ilmu kedokteran yang menitikberatkan pada pencegahan,
diagnosis, pengobatan dan pelayanan kepada pasien usia lanjut.2 Menurut UN-
Population Division, Department of Economic and Social Affairs, jumlah populasi
usia lanjut ≥60 tahun di seluruh dunia diperkirakan hampir mencapai 600 juta orang
dan diproyeksikan menjadi 2 milyar pada tahun 2050, saat itu usia lanjut akan
melebihi jumlah populasi anak (0-14 tahun), pertama kali dalam sejarah manusia.3.
Menurut Wahyudi Nugroho dalam buku keperawatan gerontik dan geriatri,
menua (menjadi tua/aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap trauma (termasuk infeksi)
dan memperbaiki kerusakan yang diderita.1
Penyebab kematian utama pada usia lanjut di seluruh dunia adalah penyakit
vaskular, penyakit metabolik dan penyakit kronik yang menyertainya serta
komplikasinya. Berbagai upaya pencegahan penyakit-penyakit ini dilakukan melalui
pola hidup sehat yang mencakup aktivitas fisik, diet bergizi, dan tidak merokok atau
salah guna obat. Sayangnya, bersamaan dengan pesatnya peningkatan populasi usia
lanjut, juga terdapat bukti perubahan perilaku dan pola aktivitas fisik yang
meningkatkan terjadinya penyakit vaskular, penyakit metabolik dan penyakit kronik
pada usia lanjut.

1
Salah satu penyakit netabolik yang cukup sering bahkan ditemui 50% dari
penderita penyakit metabolik ini adalah usia lanjut yaitu diabetes mellitus tipe 2.
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kumpulan penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
ataupun keduanya. Diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua, yaitu defisiensi insulin
absolut yang disebut dengan DM tipe-1 akibat defek pada sel beta pankreas yang
dipicu oleh sitokin sebagai penghasil insulin atau juga terdapat defek pada reseptor
glukosa di jaringan perifer yang juga akan meningkatkan glukosa dan free faty acid
yang disebut dengan DM tipe-2.4,5
Pada saat ini, jumlah usia lanjut (lansia, berumur >65 tahun) di dunia
diperkirakan mencapai 450 juta orang (7% dari seluruh penduduk dunia), dan nilai ini
diperkirakan akan terus meningkat. Sekitar 50% lansia mengalami intoleransi glukosa
dengan kadar gula darah puasa normal. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa
prevalensi Diabetes Melitus maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat
seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun.6,7
Dari data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar
glukosa darah akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13
mg%/tahun pada 2 jam setelah makan. Seiring dengan pertambahan usia, lansia
mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi.
Selain itu, kaum lansia juga mengalami masalah khusus yang memerlukan perhatian
antara lain lebih rentan terhadap komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular
dari DM dan adanya sindrom geriatri.6,7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya.4

Hiperglikemik kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,


disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) telah merumuskan bahwa
DM secara umum merupakan kumpulan masalah anatomik dan kimiawi akibat
sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan
fungsi insulin.

2.2 Epidemiologi
DM tipe 2 terjadi paling sering pada orang dewasa berusia 40 tahun atau lebih, dan
prevalensi penyakit tersebut meningkat pada usia lanjut. DM tipe 2 merupakan
penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan
prevalensi DM dipengaruhi oleh faktor risiko yang dapat dimodifikasi khususnya
akibat kurangnya aktivitas fisik, berat badan berlebih dan obesitas.6,7

Berdasarkan centres for disease control DM terjadi pada 29 juta (9,3%) penduduk
Amerika Serikat pada tahun 2012 dan menimbulkan beban biaya $245 juta.
Prevalensi di seluruh dunia telah meningkat dari 4,7% pada 1980 menjadi 8,5% pada
2014. Dari penelitian terakhir didapatkan prevalensi diabetes meningkat pada Negara
dengan pendapatan menengah kebawah dibandingkan Negara dengan pendapatan
yang tinggi. Pada tahun 2040 diperkirakan jumlah penderita diabetes di dunia akan
meningkat menjadi 642 juta.8

WHO memperkirakan akan terjadi peningkatan penderita DM setiap tahun pada


periode 2000-2030. Diperkirakan pada tahun 2030, prevalensi penyakit ini akan

3
meningkat mencapai 4.4%. Indonesia menempati urutan keempat sebagai negara
dengan penderita DM terbanyak. Diperkirakan pada tahun 2030, jumlah penderita
DM di Indonesia akan mencapai 21.3 juta jiwa.7

Pada saat ini, jumlah usia lanjut (lansia, berumur >65 tahun) di dunia diperkirakan
mencapai 450 juta orang (7% dari seluruh penduduk dunia), dan nilai ini diperkirakan
akan terus meningkat. Sekitar 50% lansia mengalami intoleransi glukosa dengan
kadar gula darah puasa normal.6,7

2.3 Patofisiologi
Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya dibelakang lambung. Didalamnya
terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada peta, karena itu disebut
pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan hormon insulin yang
sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Tiap pankreas
mengandung kurang lebih 100.000 pulau langerhans dan tiap pulau berisi 100 sel
beta. Disamping sel beta, ada juga sel alfa yang memproduksi glukagon yang bekerja
sebaliknya dari insulin yaitu meningkatkan kadar glukosa darah. Juga ada sel delta
yang mengeluarkan somatostatin.4,9

Pada DM tipe-2, jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah
reseptor yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor yang kurang ini
menyebabkan glukosa yang masuk kedalam sel juga kurang atau sedikit, sehingga sel
akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah
meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe-1. Perbedaanya
adalah DM tipe-2 disamping kadar glukosa yang tinggi, juga kadar insulin tinggi atau
normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.Penyebab resistensi insulin pada DM
tipe-2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor seperti obesitas terutama
obesitas yang bersifat sentral, diet tinggi lemak, dan rendah karbohidrat, kurang gerak
badan serta faktor keturunan (herediter). Secara garis besar pathogenesis DM tipe 2
disebabkan oleh 8 hal (ominous octet):4,9

4
1. Kegagalan sel beta pankreas: pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakan, fungsi
sel beta sudah sangat berkurang.
2. Liver: pada DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga prosuksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
meningkat
3. Otot: pada DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioseluler akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa
4. Sel lemak: resistensi sel lemak terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar free fatty acid (FFA)
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis
dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA akan mengganggu
sekresi insulin disebut juga lipotoxocity.
5. Usus: glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibandingkan diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek
incretin ini diperankan oleh hormon GLP-1 dan GIP. Pada DM tipe 2 terjadi
defisiensi GLP-1 dan resistensi GIP
6. Sel alpha pancreas: sel ini berfungsi untuk sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya meningkat hal ini menyebabkan Hepatic glukosa
production dalam keadaan puasa meningkat signifikan dibanding normal.
7. Ginjal: pada DM tipe 2 terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2 yang
berperan dalam penyerapan kembali glukosa di ginjal

5
Gambar 2.1 Patogenesis Diabetes Melitus

8. Otak: pada individu yang obes baik yang DM maupun non DM didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi
insulin

Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus


Tipe 1 Destruksi sel beta pankreas, umumnya terjadi defisiensi
insulin absolut sehingga mutlak membutuhkan terapi insulin.
Biasanya disebabkan karena penyakit autoimun atau
idiopatik.
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai

6
defisiensi insulin relatif sampai dominan defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin
Tipe lain a. Defek genetik fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Karena obat/ zat kimia/ iatrogenik
f. Infeksi
g. Sebab imunologi yang jarang
h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
i. Diabetes mellitus gestasional

Gabungan antara defek sekresi insulin dan resistensi insulin menyebabkan terjadinya
hiperglikemia. Periode dimana tubuh masih dapat mempertahankan kadar glukosa
darah dalam batas normal (bukan DM, tidak termasuk dalam kriteria diagnosis DM
maupun prediabetes) disebut stadium normoglikemia, sedangkan periode dimana
telah terjadi peningkatan kadar glukosa darah disebut stadium hiperglikemia. Stadium
hiperglikemia dapat dibedakan menjadi pre-diabetes dan DM. Stadium prediabetes
meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).4
Saat DM terdiagnosis, diperkirakan pasien tersebut sudah mengalami kehilangan 50%
massa sel beta pankreas, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara sekresi insulin
dan resistensi insulin. DM, khususnya dalam hal ini hiperglikemia, merupakan bagian
sindrom metabolik/ sindrom resistensi insulin. Sindrom metabolik merupakan
sekumpulan kelainan metabolik yang mengarah kepada resiko penyakit
kardiovaskular dan DM.4

Secara klinis resistensi insulin dikenal dengan ditemukannya beberapa parameter


klinis yang dikenal dengan sindrom metabolik. Adanya sindrom metabolik
menunjukkan resiko DM dan penyakit kardiovaskular yang tinggi pada individu
tersebut.4

7
Sindrom metabolik menurut National Cholestrol Education Program Adult
Treatment Panel III (NCEP ATP III) ditegakkan dengan adanya minimal tiga dari
kriteria seperti ini, yaitu lingkar pinggang ≥ 90cm untuk laki-laki atau ≥ 80cm untuk
perempuan (ras Asia selain Jepang), trigliserida plasma ≥ 150 mg/dL atau sedang
mengkonsumsi obat penurun kolestrol (kriteria Asia Pasifik), HDL plasma < 40
mg/dL pada laki-laki atau < 50 mg/dL pada perempuan, tekanan darah ≥ 130/85
mmHg atau sedang mengkonsumsi obat antihipertensi, dan glukosa darah puasa ≥
100 mg/dL.10
American Heart Association (AHA) menambahkan adanya pengobatan untuk
hipertensi (walaupun tekanan darah sudah terkontrol) atau pengobatan terhadap
hiperglikemia (walaupun glukosa darah sudah terkontrol) ke dalam kriteria untuk
hipertensi dan hiperglikemia di atas.4

Pada penderita diabetes mellitus dengan usia lanjut terjadinya gangguan metabolisme
karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin, hilangnya pelepasan
insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insulin postprandial tidak terjadi pada
lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial dengan kadar gula
glukosa puasa normal.
Di antara ketiga gangguan tersebut, yang paling berperanan adalah resistensi insulin.
Hal ini ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam
setelah pembebanan glukosa 75 gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula.
Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor perubahan
komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak,
menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor insulin yang
siap berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat
akibat berkurangnya jumlah gigi sehingga, perubahan neurohormonal (terutama
insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan
dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa
akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin.6,11,12

8
2.4 Manifestasi Klinis
Untuk gejala pada DM dapat dibagi menjadi dua:13
2.4.1 Gejala khas
1. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan pada penderita DM disebabkan karena glukosa dalam
darah tidak bisa masuk ke dalam sel, sehingga sel kehabisan bahan bakar
untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidupnya sel mengambil
bahan bakar dari cadangan lain seperti sel lemak dan otot. Akibatnya
penderita kehilangan jaringan lemak, otot dan menjadi kurus.

2. Banyak kencing (Poliuria)


Kencing yang kencing diakibatkan karena keadaan hiperglikemia akan
merangsang ginjal melakukan dieresis osmotic sehingga urine yang
dikeluarkan akan semakin banyak.13
3. Banyak minum (polidipsi)
Keadaan ini diakibatkan karena bentuk kompensasi dari dieresis yang
dilakukan ginjal. Dieresis pada ginjal akan menyebabkan perangsangan
osmoreseptor hipotalamus dan memberikan rangsangan pada hipofisis
sehingga timbul rasa haus.13
4. Banyak makan (Polifagia)
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi glukosa
tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, oleh karena itu penderita selalu merasa
lapar.13
2.4.2 Gejala Tidak Khas
1. Gangguan saraf tepi/kesemutan
2. Gangguan penglihatan
3. Gatal/bisul
4. Gangguan ereksi
5. Keputihan

9
Pada pasien diabetes mellitus dengan usia lanjut gejala klasik DM seperti poliuria,
polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak selalu tampak pada lansia
penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang
batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila
glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu
seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita
DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat.14,15
DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali
berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku,
menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium,
demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang
menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak terlambat.Bahkan, DM pada
lansia seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain.14,15

Tabel 2.2 Menifestasi Klinis Pasien Lansia Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2
Sistem kardiovaskular Hipertensi arterial (50%)
Infark miokard (10%)
Kaki Penyakit serebrovaskular (5%)
Neuropati (30%)
Ulkus pada kaki (8%)
Amputasi kaki (5%)
Mata Katarak (50%)
Retinopati proliferatif (5%)
Kebutaan (3%)

Ginjal Infeksi ginjal dan saluran kemih (45%)


Proteinuria (10%)
Gagal ginjal (3%)

10
2.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan juga
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat menentukan alur diagnostik DM yang
dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan ada tidak nya gejala khas DM. Adapun kejaga
khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya. Sedangkan gejala tidak khas pada DM dapat berupa
lemah badan, kesemutan, gatal, luka sulit sembuh, mata kabur,dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.16
Pada anamnesis juga dapat ditanyakan mengenai pemeriksaan laboratorium
terdahulu, status gizi, pola diet, riwayat perubahan berat badan, tumbuh kembang,
infeksi sebelumnya terutama infeksi pada kulit, gigi, saluran kemih, dan kelamin,
infeksi pada kaki, gejala komplikasi pada ginjal, mata, saluran pencernaan, dan
riwayat pengobatan, adanya pengobatan lain yang dapat berpengaruh terhadap kadar
glukosa darah, maupun adanya faktor resiko DM (merokok, hipertensi, riwayat
penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga), pola hidup,
psikososial, budaya, status ekonomi, dan pendidikan. Pada pemeriksaan fisik dicari
tanda penyakit penyerta/komplikasi diantaranya hipertensi, kardiomegali, infeksi
paru, edema terutama pada ekstremitas, kulit kering, dan gangguan pulsasi pembuluh
darah.16
Untuk pemeriksaan fisik, dilakukan seperti pada gambar

11
Gambar 2.2Pemeriksaan Fisik Pada Diabetes Melitus

Untuk pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah.


Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh
WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.4,17
Tabel 2.3 Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11.1 mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu adalah hasil pemeriksaan sesaat pada satu waktu
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dL (7.0 mmol/L).
Puasa berarti tidak ada asupan kalori setidaknya 8 jam.
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11.1 mmol/L). TTGO (Tes
Toleransi Glukosa Oral) dilakukan sesuai standar WHO dengan 75g glukosa

12
anhidrat yang dilarutkan dalam air.

Perlu diperhatikan bahwa HbA1C ≥ 6.5% oleh ADA 2012 sudah dimasukkan
menjadi salah satu kriteria diagnosis DM jika dilakukan pada sarana laboratorium
yang telah tersertifikasi dengan National Glycohemoglobin Standardization Program
(NGSP). Apabila terdapat hiperglikemia yang tidak ekuivokal, pengukuran parameter
harus diulang.4
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung
padahasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).4
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0
mmol/L).

13
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 –125 mg/dL (5,6 –6,9 mmol/L)dan pemeriksaan TTGO
gula darah 2 jam < 140 mg/dL

Gambar 2.3 Diagnostik Diabetes Melitus

14
2.6 Skrining
Skrining dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM menunjukkan adanya
gejala DM. adapun faktor risiko DM terdiri dari:17
1. Hasil IMT diatas normal
2. Aktivitas tubuh kurang
3. Riwayat keluarga menederita DM pada turunan pertama
4. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African-american, Latino, Natif
American, Asian American, Pacific Islander)
5. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4.000 gram atau
riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
6. Hipertensi
7. Kolesterol tinggi
8. Wanita dengan PCOS
9. Riwayat TGT atau GDPT
10. Riwayat lain yang berhubungan dengan resistensi insulin seperti obesitas dan
akantosis nigrikans
11. Riwayat penyakit kardiovaskuler
Pada skrining dapat dilakukan pemeriksaan gula darah puasa, sewaktu atau TTGO.
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaannya negatif, pemeriksaan dapat
ulangan dilakukan tiap tahun. tapi bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor
risiko skrining dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung klinis
pasien.17

Skrining bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT,maupun GDPT,


Sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga
disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM.
Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT tetap TGT dan 1/3 lainnya tetap
normal. TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin, risiko terjadinya
aterosklerosis juga lebih tinggi.17

15
Skrining untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak dianjurkan
mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana
tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Skrining dianjurkan
dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.17

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Penatalaksanaan Umum
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes, yang meliputi:4
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum:4
a. Riwayat Penyakit
b. Pemeriksaan Fisik
c. Evaluasi Laboratorium
- HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien yang mencapai
sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun
pada pasien dengan perubahan terapi atau yang tidak mencapai sasaran terapi.
- Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
d. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru terdiagnosis
DMT2 melalui pemeriksaan :18
- Profil lipid dan kreatinin serum.
- Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.
- Elektrokardiogram.

16
- Foto sinar-X dada
- Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara komprehensif oleh dokter
spesialis
mata atau optometris.
- Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk mengenali faktor
risiko
prediksi ulkus dan amputasi: inspeksi, denyut pembuluh darah kaki, tes
monofilamen
10 , dan Ankle Brachial Index (ABI).
2.7.2 Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.4
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosadarah atau insulin.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat sebanyak 45-65%


total asupan energi (karbohidrat non-olahan berserat tinggi, dibagi dalam 3x
makan/hari), lemak sebanyak 20-25% kebutuhan kalori (batasi lemak jenuh dan
lemak trans, seperti daging berlemak dan whole milk, konsumsi kolestrol < 200
mg/hari), protein sebanyak 10-20% total asupan energi (seafood, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu,
tempe), natrium sebanyak < 3 gram atau 1 sdt garam dapur (pada hipertensi,
natrium dibatasi 2,4 gram), serat ± 25 g/hari (kacang-kacangan, buah, dan sayuran

17
serta karbohidrat tinggi serat), pemanis alternatif tetap perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.4

Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan kalori basal. Kebutuhan


kalori ini besarnya 25 kalori/kgBB ideal (perempuan) dan 30 kalori/kgBB ideal
(laki-laki), ditambah atau dikurangi tergantung dari beberapa faktor seperti jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan ideal
dilakukan dengan rumus Broca yang dimodifikasi, yaitu:4

Tabel 2.4 Rumus Broca

Berat badan ideal= 90% x (tinggi badan (cm) -100) x 1 kg


Bagi pria dengan tinggi badan < 160cm dan perempuan < 150cm, rumus
dimodifikasi menjadi (tinggi badan (cm) -100) x 1kg
BB normal: berat badan ideal ± 10%, kurus: <BBI -10%, gemuk >BBI + 10%

3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu, dengan
jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang
(50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-
usia pasien.4
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:4

18
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh
sel beta pankreas.
- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat
ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion
(TZD)4
- Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2.
- Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti termasuk di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent).

19
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan
cara menghambat transporter glukosa SGLT-2.

b. Obat Antihiperglikemia Suntik4


1) Insulin
Insulin diperlukan dalam keadaan:
- HbA1C > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- penurunan berat badan yang cepat
- hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- krisis hiperglikemi
- gagal dengan kombinasi OHO dosis maksimal
- stress berat (infeksi sistemik, infark miocard, operasi besar, stroke)
- Diabetes mellitus gestasional
- kontraindikasi dan atau alergi pada OHO
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis yaitu :
 Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short acting insulin)
 Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
 Insulin kerja panjang (long acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (ultra long acting insulin)

20
Gambar 2.4 Klasifikasi Insulin

2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pengelepasan insulin
yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan.

c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah
ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus
menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada
keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum

21
tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral
dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat antihiperglikemia oral
dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan. Kombinasi obat
antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja
menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari
menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis
awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa
darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin
basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan.4

22
Gam
bar 2.5 Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia

2.7 Evaluasi
Hasil pengobatan Dm tipe 2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah:4

a. Pemeriksaan kadar glukosa darah


Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah adalah pemeriksaan glukosa
darah puasa, glukosa 2 jam setelah makan, atau glukosa darah pada waktu
yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan
b. Pemeriksaan HbA1C
Merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan

23
terapi, HbA1c diperiksa tip 3 bulan atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang
sangat tinggi (>10%).
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Pemantauan glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan darah
kapiler. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan suntik insulin
beberapa kali perhari atau pada pengguna obat pemacu sekresi insulin.
d. Glycated Albumin (GA)
GA dapat digunakan untuk menilai indeks kontrol glikemik yang tidak
dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan masa hidup eritrosit
seperti HbA1C. GA merupakan indeks kontrol glikemik jangka pendek.

Pada lansia juga terdapat aspek khusus berkenaan dengan DM yang dikenal dengan
sindrom geriatri. Tata laksana DM harus memperhatikan semua aspek dalam sindrom
geriatri ini.
Depresi
Kejadian depresi pada lansia penderita DM adalah 2 kali lipat dibandingkan dengan
lansia pada umumnya, dan prevalensi pada wanita lebih banyak (28%:18%).
Sayangnya, depresi pada lansia ini seringkali tidak terdeteksi.19,20 Depresi tentu
meningkatkan biaya pelayanan kesehatan dan memberi pengaruh buruk pada
pengobatan DM karena tata laksana DM yang efektif memerlukan partisipasi pasien.
Sebuah studi memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
keparahan depresi dan keberhasilan pengobatan. Jadi, tata laksana DM kurang
berhasil pada pasien yang menderita depresi. Mekanisme hubungan antara DM dan
depresi belum jelas, tetapi hiperglikemia dapat menyebabkan depresi dan sebaliknya,
depresi dapat menyebabkan hiperglikemia. Metaanalisis dari 24 studi memperlihatkan
bahwa terdapat hubungan signifikan antara nilai HbA1C dan gejala depresi. Tata
laksana depresi dapat meningkatkan proporsi pasien dengan kontrol gula darah yang
baik.19 Karena depresi dapat mengganggu tata laksana DM, sebaiknya dilakukan
skrining berkala atas depresi pada lansia penderita DM. Saat ini tersedia berbagai
modalitas skrining antara lain Geriatric Depression Scale, Beck Depression

24
Inventory, atau Zung’s Mood Scale. Pada lansia penderita DM yang mengalami
depresi rekuren, perlu ditelaah kembali obat yang diterimanya, adakah obat yang
menyebabkan depresi di antara obat-obatan tersebut.15,19
Gangguan Fungsi Kognitif
Berbagai studi telah melaporkan hubungan antara DM dan gangguan fungsi kognitif
yang meningkatkan risiko terjadinya demensia. Hubungan gangguan fungsi kognitif
pada lansia penderita DM cukup kuat, dan wanita mengalami penurunan fungsi
kognitif yang lebih bermakna dibandingkan pria. Studi lain membuktikan bahwa
lansia dengan kontrol gula darah yang baik lebih lambat mengalami gangguan fungsi
kognitif. 15,19
Seperti hal depresi, gangguan fungsi kognitif dapat menganggu kemampuan pasien
berpartisipasi dalam tata laksana DM, baik dalam hal modifikasi gaya hidup maupun
dalam minum obat. Oleh sebab itu, penting dilakukan skrining atas gangguan fungsi
kognitif pada awal pengobatan dan setiap ada perubahan pada kemampuan lansia di
dalam mengurus diri sendiri.19
Keterbatasan Fisik dan Risiko Terjatuh
DM merupakan faktor risiko utama untuk gangguan fungsi tungkai bawah, gangguan
keseimbangan, dan kemampuan gerak. Dibandingkan dengan lansia laninnya, risiko
keterbatasan fisik 2-3 kali lipat pada lansia penderita DM, dan risiko ini lebih besar
pada wanita . Dampak semua ini adalah lebih banyak lansia wanita penderita DM
yang mengalami jatuh dan fraktur. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengkajian berkala
terhadap faktor risiko terjatuh pada lansia penderita DM agar dapat diupayakan
pencegahannya.19
Polifarmasi
Polifarmasi adalah penggunaan 5 atau lebih obat-obatan sekaligus. Pada penderita
DM, polifarmasi mungkin tak dapat dihindari karena selain diperlukan untuk
pengendalian gula
darah, obat juga diperlukan untuk mengatasi gangguan tekanan darah, dispipidemia,
dan komplikasi vaskular. Pada kenyataannya, selain meningkatkan risiko terjadinya

25
efek samping obat, pada lansia polifarmasi meningkatkan kerentanan terhadap
depresi, gangguan fungsi kognitif dan risiko terjatuh.19
Salah satu efek samping pada lansia penderita DM yang paling serius adalah
hipoglikemia. Predisposisi untuk keadaan ini antara lain berupa makan tidak teratur,
penurunan berat badan, aktivitas berlebih, gangguan hati, gangguan ginjal,
penggunaan alkohol, dan kebingungan akan regimen pengobatan. Risiko ini terutama
tinggi pada penggunaan sulfonilurea atau insulin sekretogogue, maka sulfonilurea
kerja panjang tidak boleh digunakan pada lansia dengan DM. Pilihan obat untuk
lansia penderita DM tergantung dari fungsi hati, fungsi ginjal, obat lain yang dipakai,
dan kemampuan untuk monitor diri sendiri. Untuk meminimalisasi risiko polifarmasi,
daftar obat-obatan perlu ditinjau secara berkala, yang tidak terlalu bermanfaat dapat
dihentikan pemberiannya.19
Inkontinensia Urin
Kejadian inkontinensia urin meningkat pada lansia penderita DM, dan wanita berisiko
2 kali lebih banyak daripada pria. Faktor yang berperanan dalam hal ini antara lain
poliuria, glikosuria, neurogenic bladder, infeksi saluran kemih, efek samping
pengobatan dan impaksi feces. Inkontinensia urin persisten perlu dievaluasi dan
diatasi karena dapat menurunkan kualitas hidup dan memicu terjadinya isolasi
sosial.19

2.8 Komplikasi
Komplikasi atau penyulit pada DM dapat dibagi menjadi 2 secara garis besar yaitu
akut dan kronis.
2.8.1 Komplikasi Akut
1. Krisis hiperglikemik
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai
dengan trias yaitu hiperglikemi berat (300-600 mg/dl), asidosis, dan ketosis.
Terjadi peningkatan osmolaritas (300-320 mOs/ml) dan peningkatan anion
gap. Akibat dieresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan
bahkan dapat menyebabkan syok.17

26
Status hiperglikemik hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana
terjadi hiperglikemia (600-1200 mg/dL), hiperosmolar (330-380 mOs/ml)
namun tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utamanya adalah dehidrasi
berat, hiperglikemik berat dan seringkali disertai gangguan neurologis. Jika
dilihat dari patofisiologisnya KAD dan SHH merupakan suatu spectrum
dekompensasi metabolic pada pasien diabetes.18
2. Krisis Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <70 mg/dl
dan bisa disertai atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti
adanya Whipple’s triad:17
- Terdapat gejala hipoglikemi
- Kadar glukosa darah rendah
- Gejala berkurang dengan pengobatan
Hipoglikemi pada DM paling sering disebabkan karena penggunaan obat
sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemi akibat sulfonylurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja
obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan selama
24-72 jam .17
2.8.2 Komplikasi Kronis
1. Makroangiopati4
- Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer. Gejala yang sering muncul
adalah claudicatio intermiten
- Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati4
- Retinopati diabetic
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko atau
memperlambat progresi retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya
retinopati

27
- Nefropati diabetic
Untuk penderita penyakit ginjal diabteik, menurunkan asupan protein sampai
dengan 0.8 gram/kgbb/hari tidak direkomendasikan karena tidak memperbaiki
risiko kardiovaskuler dan penurunan GFR.
- Neuropati
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting
yang beresiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko
amputasi.
Setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakan pada setiap pasien perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal yang simetris dengan
melakukan pemeriksaan neurologi sederhana. Pemeriksaan ini kemudian
diulang paling tidak setiap tahun.
Pada keadaan polineuropati distal perludiberikan edukasi dan dilakukan
perawatan kaki yang memadai untuk menurunkan resiko terjadinya ulkus dan
amputasi.

28
29

Anda mungkin juga menyukai