Anda di halaman 1dari 5

1.1.

Latar Belakang
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik. Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah
seperti translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi 1.
Hampir 10 juta cidera kepala terjadi tiap tahunnya di Amerika Serikat dimana
sekitar 20% menimbulkan kerusakan pada otak. >70% cidera kepala menjadi
penyebab utama kematian pada laki-laki usia <35tahun, biasanya diakibatkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor1.
Akut subdural dan epidural haematoma tetap menjadi penyebab terbanyak dari
mortalitas dan disabilitas yang terjadi pada trauma cidera kepala. Peningkatan
penanganan, neuromonitoring dan perawatan intensif dalam tiga dekade terakhir
menghasilkan hasil yang lebih baik. Diperkirakan intracranial haematoma terjadi 25-
45% pada cidera kepala berat, 3-12% pada cidera kepala sedang, dan sekitar 1 dalam
500 pasien pada cidera kepala ringan. Sebagai hasilnya, akut epidural haematoma
(EDH) dan subdural haematoma (SDH) adalah salah satu yang paling sering dijumpai
dalam pelayanan bedah saraf 2.
            Pada pasien cedera kepala harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah,
keadaan umum dan kesadaran. Tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik
umum serta pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara serentak. Tingkat
keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit
2
.
Reference:
1. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2006. Diunduh pada 30
Agustus 2016 dari: http://www.biausa.org/pages/type_of_brain_injury
2. Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE, McBride DQ. Neurosurgical Critical Care. In : Current Critical
Care Diagnosis & Treatment Second Edition. Bongard FS, Sue DY. editors. The McGraw-Hill
Companies. New York : 2003. p. 730-34.
Penatalaksnaaan
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standar yang
telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang meliputi, anamnesa
sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi Airway,
Breathing, Circulation 1.
1. Menilai airway : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan; lepaskan gigi palsu,
pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang collar cervikal,
pasang guedel/mayo bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas
atau GCS <8, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai breathing : tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika tidak, beri O2
melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera dada berat
seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi untuk menjaga
saturasi. O2 minimum 95%.
3. Menilai circulation : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera
intraabdomen/dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah pasang EKG. Pasang jalur intravena yang besar. Berikan infus larutan isotonis.
Meskipun banyak artikel mendiskusikan tentang managemen non-operatif pada EDH,
namun tidak ada kesepakatan untuk menentukan faktor yang menandakan pasien dapat
dirawat secara konservatif. Penanganan secara konservatif dapat dicoba hanya bila keadaan
umum pasien bagus (GCS>8, tanpa defisit neurologis fokal), hematoma kecil (ketebalan
EDH <15mm, SDH <10mm, volume <30cc, dan midline shift <5mm) dengan pengawasan
ketat pada kesadaran dan follow-up CT Scan serial. Penanganan konservatif dapat berupa 1:
a. Elevasi kepala 30 derajat
b. Terapi hiperventilasi (pada trauma kepala berat) : untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Analgetik : sebagai pereda nyeri.
d. Gliserol (manitol 20% glukosa 40%) : larutan hipertonis sebagai anti edema.
e. Metronidazole : untuk pengobatan infeksi anaerob, atau antibiotik yang mengandung
penicillin sebagai barier darah otak.
f. Cairan infuse dextrose 5%, aminousin, aminofel, diberikan 18 jam pertama sejak
terjadinya kecelakaan, selama 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
g. Obat neorotropik, seperti : Citicholine, dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal
5 hari.
h. Tindakan pembedahan
Indikasi untuk pembedahan (Craniotomy atau Craniectomy) menurut American Brain
Trauma Foundation adalah 2:
-Epidural Hematoma : Volume >30cc atau
Jika GCS <9, ketebalan >15mm, atau >5mm midline shift.
Subdural Hematoma : Ketebalan >10mm atau >5mm midline shift
Perubahan pada GCS >2 poin atau anisokor atau ICP >20
Intraparenkim hemorrhage: -Deteriorasi klinis,
-Hipertensi intrakranial refraktori
-Efek massa
-Pada pasien dengan GCS 6-8, jika volume >20cc dan 5mm
shift atau kompresi sisternal

Reference
1. Vender JR, Flannery AM. Head Injury. In : Critical Care Medicine Principles of Diagnosis and
Management in the Adult Second Edition. Parrillo JE, Dellinger RP. editors. Mosby, Inc. St.
Louis. 2002. p. 1330-35.
2. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2006. Diunduh pada 30
Agustus 2016 dari: http://www.biausa.org/pages/type_of_brain_injury

G. Prognosis
Untuk menentukan hasil akhir dari pasien cidera kepala dapat menggunakan Glasgow
Outcome Scale (GOS), yaitu: 1. Kematian; 2. Keadaan vegetatif persisten; 3. Disabilitas
berat; 4. Disabilitas sedang; 5. Penyembuhan baik. GCS awal adalah prediktor penting dalam
hasil akhir pada pasien cidera kepala. Pada pasien dengan hasil akhir yang buruk, 86%
memiliki GCS awal <8. Untuk pasien dengan hasil akhir yang baik (GOS 4 dan 5), 70%
dengan GCS awal >8 dan 30% dengan GCS awal <8 1.
Gambar 3.6 GOS berdasarkan GCS awal pada cidera kepala

Umur juga berkaitan dengan hasil akhir pada cidera kepala, sekitar 89% pasien
berumur <20 tahun memiliki hasil akhir yang bagus (GOS 4 dan 5), dan hanya 11%
meninggal. Sedangkan pada kelompok pasien >60 tahun, 48% memiliki hasil akhir yang
buruk (GOS 1 dan 2) dan hanya sekitar 29% memiliki hasil yang baik (GOS 4 dan 5) 1.

Gambar 3.7 GOS berdasarkan umur pada cidera kepala

Reference:
1. Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE, McBride DQ. Neurosurgical Critical Care. In : Current
Critical Care Diagnosis & Treatment Second Edition. Bongard FS, Sue DY. editors. The
McGraw-Hill Companies. New York : 2003. p. 730-34.
Kesimpulan

Cedera Kepala adalah trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit kepala,
tulang tengkorak maupun otak. Adapun cedera kepala berdasarkan tingkat keparahannya yaitu
Cedera Kepala Ringan, Cedera Kepala Sedang, dan Cedera Kepala Berat. Gejala klinis dari trauma
kapitis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan
tingkat gangguan kesadaran penderita.

Patofisiologi cedera kepala dapat menyebabkan beberapa masalah, misalnya gangguan


keseimbangan dan elektrolit, risiko gangguan pemenuhan nutrisi, gangguan mobilitas fisik, dan
gangguan kesadaran. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah
CT-Scan, Lumbal Pungsi, EEG, Roentgen foto kepala, MRI.

Penatalaksanaan klien cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan
menurut prioritas, yang ideal penatalaksanaan tersebut dilakukan oleh tim yang terdiri dari perawat
yang terlatih dan dokter spesialis saraf dan bedah saraf, radiologi, anastesi, dan rehabilitasi medik.
Ada beberapa komplikasi yang terjadi akibat dari cedera kepala, seperti Anosmia, Gangguan
penglihatan, Oftalmoplegi, dan Gangguan pendengaran

Anda mungkin juga menyukai