Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan suatu kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai
dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat
di dada terutama pada malam dan/atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel
baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul),
artinya dapat tenang tanpa gejala, tidak mengganggu aktifitas, tetapi dapat terjadi
eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan
kematian.1
Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
menderita asma. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah sebesar 180.000
orang setiap tahunnya. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah
mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun
belakangan ini. WHO juga mengestimasikan bahwa terdapat 15 juta jiwa
mengalami keterbatasan fisik dan mental (disabilitas) akibat asma untuk setiap
tahunnya. Laporan setiap tahunnya terkait kematian akibat asma telah mencapai
angka 250.000 jiwa. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik,
diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa
yang akan datang serta proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien
dapat terganggu.2
Angka prevalensi asma meningkat seiring dengan pertambahan penduduk urban.
Dengan peningkatan penduduk urban dari 45% menjadi 59% pada tahun 2025,
dapat diperkirakan akan terjadi peningkatan penderita asma sebanyak 100 juta
jiwa pada tahun tersebut. Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab

morbiditas dan mortalitas pada penduduk di berbagai provinsi. Data Riset


Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi asma di Indonesia
cukup tinggi yaitu sebesar 4,5 %.3
Diagnosis dini serta implementasi terapi yang tepat dan akurat sangat diperlukan
dalam mengurangi angka morbiditas dan mortalitas asma yang merupakan

1
permasalahan kesehatan di masyarakat. Asma memberikan beban yang signifikan
dalam konteks biaya perawatan kesehatan, menurunnya produktivitas serta
rendahnya partisipasi penderita asma dalam kehidupan keluarga maupun sosial
ekonominya.1,2

Protokol imunologis dan farmakoterapi asma yang tepat dan terbaru telah
diberikan pada mayoritas penerita asma, namun dalam implementasinya terdapat
beberapa faktor yang mempersulit penanganan asma. Faktor – faktor yang dapat
mempersulit penanganan asma dapat berupa faktor psikologis seperti fobia
terhadap golongan steroid, cara penggunaan obat yang tidak tepat, ketagihan
rokok, penggunaan obat terlarang, ataupun ketidakpedulian pasien terhadap
penyakitnya, sementara itu terdapat pula faktor sosioekonomis berupa
kemiskinan, akses menuju pusat pelayanan kesehatan, serta kemungkinan paparan
alergen yang tinggi terkait lingkungan di rumah ataupun tempat kerja. 4,5 Evaluasi
yang lebih komprehensif perlu dilakukan menyangkut aspek bio – psiko – sosio
di dalam menangani kasus – kasus asma di masyarakat.1,2,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma adalah penyakit saluran pernapasan yang kronik yang memiliki
karakteristik berupa obstruksi napas yang reversible baik secara spontan maupun
dengan pengobatan akibat inflamasi saluran napas dan hipersensitivitas/
peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan heterogen. Hal

2
ini ditandai dengan riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, dada
seperti terikat, dan batuk yang bervariasi secara durasi maupun intensitas,
bersamaan dengan ekspirasi yang terbatas.1,2

2.2 Faktor Risiko


Interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan merupakan
faktor resiko berkembangnya asma. Faktor pejamu termasuk predisposisi genetika
yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi),
hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi
individu dengan kecenderungan/predisposisi asma untuk berkembang menjadi
asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan/atau menyebabkan gejala - gejala
asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
sosioekonomi dan besarnya keluarga. Faktor lingkungan memainkan peran
penting terhadap kejadian asma. Paparan terhadap infeksi menjadi pencetus
kepada asma terutamanya infeksi virus seperti rhinovirus. Alergen dan sensitisasi
yang ada pada lingkungan dipertimbangkan menjadi dasar utama yang
mengarahkan kepada terjadinya asma. Faktor genetik yang turut berperan dalam
terjadinya asma kerena pembentukkan immunoglobin E, akibat pelepasan zat aktif
seperti histamin maka terjadi kontraksi otot polos pada bronkus serta edema pada
saluran pernapasan.Sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4, D4
dan E4. Leukotriene ini justru apabila berikatan dengan reseptornya yang spesifik
akan mengkaibatkan peningkatan permebialitas vaskular dan hiperplasia kelenjar
serta hipersekresi mukus. Faktor lain seperti imunitas dasar turut berperan,
mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma terjadi akibat ekspresi
sel Th2 yang berlebihan. Faktor host yang lain seperti obesitas dikatakan turut
berkontribusi terhadap terjadinya asma. Hal ini justru telah dibuktikan dari banyak
penelitian yang mendapatkan bahawa seseorang yang obesitas mempunyai
pelbagai mediator tertentu di dalam sel lemak misalnya leptin yang
mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan kecenderungan
timbulnya asma.3-6
Tabel 2.1 Faktor Risiko Perkembangan dan Ekspresi Asma3

3
Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/ etnik
 
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan
      Mite domestik
      Alergen binatang
      Alergen kecoa
      Jamur (fungi, molds, yeasts)
Alergen di luar ruangan
      Tepung sari bunga
      Jamur (fungi, molds, yeasts)
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
      Perokok aktif
      Perokok pasif
Polusi udara
      Polusi udara di luar ruangan
      Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi pernapasan
      Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Diet dan obat
 
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

2.3 Patofisiologi

4
Asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran pernapasan yang dapat
melibatkan peranan sel – sel inflamasi dan mediator lainnya yang akan
menghasilkan karakteristik perubahan patofisiologi tertentu. Sampai saat ini
mekanisme pastinya masih belum diketahui, namun berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran napas
yang berlebihan.2,7,8,9

2.3.1 Inflamasi Saluran Napas pada Asma


Spektrum klinis dari asma sangatlah bervariasi dan pola seluler yang berbeda juga
telah dipelajari, namun dari semuanya itu keberadaan adanya inflamasi saluran
napas memang merupakan karakteristik yang selalu ada pada penderita asma.
Inflamasi saluran napas pada asma tergolong persisten atau menetap walaupun
gejala yang muncul bisa episodik dan berhubungan dengan derajat keparahan
asma serta intensitas dari inflamasi tidak bisa dinyatakan secara jelas. Inflamasi
akan berefek pada seluruh saluran napas termasuk saluran napas atas dan hidung,
walaupun efek fisiologisnya yang terlihat paling sering pada bronkus ukuran
sedang. Pola inflamasi pada saluran napas akan tampak sama pada kasus asma
baik yang alergi maupun tidak alergi serta asma akibat aspirin pada semua
kelompok umur.2
Walaupun terdapat tipe alergi dan non-alergi, pada pasien akan tetap dijumpai
adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling tidak
dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Jalur non alergik selain
merangsang sel inflamasi juga merangsang system saraf autonom dengan hasil
akhir juga berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas.9
Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh antigen
presenting cells (APC) untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan
dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yang akan
memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel – sel plasma
membentuk IgE, serta sel – sel radang lain seperti makrofag, sel epitel, eosinofil,
neutrofil, trombosit, serta limfosit untuk mengeluarkan mediator – mediator
inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, platelet activating factor,
bradikinin, tromboksan dan lain – lain yang akan mempengaruhi organ sasaran,

5
sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vascular, edema
saluran napas, infiltrasi sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel, sehingga
menimbulkan hipereaktivitas saluran napas.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma
lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma
lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik.
Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel-
sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan
lumen bronkus.2
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma.
IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada
rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat
(immediate asthma reaction) dimana terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan
mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2
(PGD2), tromboksan A2, triptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan
spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas
kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul
adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali (serangan
asma hilang) dengan pengobatan.9,10
Setelah 6-8 jam maka terjadi proses selanjutnya yang disebut reaksi asma lambat
(late asthma reaction). Sitokin IL-3, IL-4, dan GM-CSF yang diproduksi oleh sel
mast dan sel limfosit T yang teraktivasi akan mengaktifkan sel-sel radang seperti
eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T helper (Th),
limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun
kedua jenis limfosit T mensekresi IL–3 dan granulocyte–macrophage colony–
stimulating factor (GM–CSF), Thl terutama memproduksi IL–2, IFN-γ dan TNF-
β sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu
IL–4, IL–5, IL–9, IL–13, dan IL–16.9,10

6
Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Masing-masing sel radang berkemampuan
mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, eosinophil
peroxidase (EPX), eosinophil cathion protein (ECP) dan major basic protein
(MBP). Mediator-mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2.
Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme.13
Sel makrofag mensekresi IL-8, platelet activating factor (PAF), regulated upon
activation novel T cell expression and presumably secreted (RANTES). Semua
mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses
peradangan mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi tersebut akan
membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi,
kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan
permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. 9,10

Tabel 2.2. Sel Inflamasi pada Saluran Napas dengan Asma2

Jenis Sel Inflamasi Pengaruh


Sel Mast Sel mast mukosa yang teraktivasi akan mengeluarkan
mediator bronkokonstriktor seperti histamin, leukotriene,
dan prostaglandin D2). Sel ini diaktivasi oleh alergen
melalui reseptor IgE yang memiliki afinitas yang tinggi
dan melalui stimulus osmotik (exercise induce
bronchoconstriction). Meningkatnya jumlah sel mast pada
otot polos pernapasan berhubungan erat dengan
hipersensitivitas saluran napas.
Eosinofil Eosinofil mampu dalam mengeluarkan beberapa protein
yang dapat merusak sel epitel saluran napas. Eosinofil juga
memiliki peran dalam mengeluarkan faktor pertumbuhan
dan remodelling saluran napas.
Limfosit T Limfosit T mengeluarkan beberapa sitokin seperti IL-4,
IL-5, IL-9, dan IL-13 yang meningkatkan inflamasi
eosinofil dan produksi IgE. Meningkatnya aktivitas sel

7
Th2 dapat disebabkan karena pengurangan aktivitas
regulasi sel T yang secara alamiah berfungsi dalam
menghambat Th2. Terdapat pula peningkatan sel NKT
yang mengeluarkan sitokin Th1 dan Th2 dalam jumlah
yang besar.
Sel dendritik Sel dendritik bermigrasi menuju limfonodi dan
berinteraksi dengan sel T regulator dan melakukan
stimulasi terhadap sel Th2.
Makrofag Makrofag dapat diaktivasi oleh alergen melalu reseptor
IgE yang memiliki afinitas yang rendah. Makrofag dapat
mengeluarkan mediator inflamasi yang dapat
meningkatkan progresivitas inflamasi pada asma.
Neutrofil Neutrofil meningkat pada saluran napas dan sputum pasien
dengan asma yang berat. Namun, patofisiologi
meningkatnya neutrofil masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan terapi glukokortikoid.

2.3.2 Perubahan Struktural pada Saluran Napas


Selain adanya respon inflamasi, terdapat juga karakteristik perubahan seluler yang
terjadi dan biasanya dijelaskan sebagai remodeling saluran napas. Beberapa
perubahan tersebut akan berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan
mengakibatkan penyempitan lumen saluran napas yang irreversible. Perubahan ini
merupakan suatu respon perbaikan terhadap inflamasi kronis.9,10

Penyempitan lumen saluran napas merupakan jalur akhir yang utama dan
menyebabkan timbulnya gejala serta perubahan fisiologis pada asma. Beberapa
faktor berperan pada perkembangan terjadinya penyempitan saluran napas.9 Hiper-
responsif saluran napas merupakan abnormalitas karakteristik fungsional pada
asma yang akan menimbulkan penyempitan saluran napas akibat respon terhadap
stimulus yang tidak berbahaya pada orang normal. Penyempitan saluran napas ini
akan menyebabkan terbatasnya laju udara dan gejala yang intermiten.
Hiperresponsif saluran napas berhubungan dengan inflamasi dan perbaikan jalur
napas yang reversible secara pasial dengan pemberian terapi. Adapun mekanisme
terjadinya hiper-responsif saluran napas dapat dijelaskan sebagai berikut:

8
1. Kontraksi berlebihan dari otot polos saluran napas yang menimbulkan
peningkatan volume dan atau kontraktilitas dari sel otot polos saluran napas.
2. Kontraksi saluran napas yang tidak berpasangan sebagai hasil dari perubahan
inflamasi pada dinding saluran napas dan dapat menyebabkan penyempitan
yang berlebihan dari saluran napas dan hilangnya maximum plateau dari
kontraksi sebagaimana ditemukan pada saluran napas yang normal saat
substansi bronkokonstriktor terhirup.
3. Penebalan dinding saluran napas oleh adanya edema dan perubahan struktur
melipatgandakan penyempitan lumen saluran napas akibat kontraksi otot polos
saluran napas dengan alasan geometris.
4. Saraf sensoris akan tersentisisasi oleh inflamasi dan menyebabkan
bronkokonstriksi sebagai respon dari stimulus sensoris.2,9

2.3.3 Eksaserbasi Akut


Perburukan sementara dari asma atau saat serangan akut dapat terjadi akibat
adanya paparan dari faktor risiko munculnya gejala asma atau pemicu seperti
olahraga, polutan udara dan pada kondisi cuaca tertentu yang ekstrim seperti
adanya badai. Perburukan yang semakin lama biasanya akibat adanya infeksi virus
pada saluran napas atas (biasanya rhinovirus dan respiratory syncytial virus) atau
paparan alergen yang meningkatkan inflamasi pada saluran napas bawah
(inflamasi akut atau kronis) yang bisa bertahan selama beberapa hari atau
minggu.2,9,10

2.3.4 Asma Nokturnal


Mekanisme yang berperan pada perburukan asma pada malam hari tidak murni
bisa dijelaskan pasti namun diperkirakan akibat adanya ritme sirkandian dari
hormon yang bersirkulasi seperti epinephrine, kortisol dan melatonin serta
mekanisme neural seperti pola cholinergic. Peningkatan inflamasi saluran napas
pada malam hari memang banyak dilaporkan dan hal ini sebagai reflek penurunan
mekanisme anti-inflamasi endogen.10

2.3.5 Inflamasi Saluran Napas yang Irreversible

9
Beberapa pasien dengan asma derajat berat akan berkembang ke keterbatasan
saluran napas yang progresif dan tidak sepenuhnya reversible dengan terapi yang
tersedia saat ini. Hal ini mungkin terjadi sebagai reflek terhadap perubahan
struktur saluran napas pada asma kronis.9,10

2.4 Diagnosis
Diagnosis dari asma dapat dipikirkan pada pasien melalui temuan klinis dari
anamnesis maupun pemeriksaan fisik yang khas pada asma seperti mengi, sesak
napas (dispnea), dada terasa seperti terikat, dan terbatasnya alian udara ekspirasi.
Selanjutnya, jika mengarah ke asma maka dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
menunjang diagnosis (Gambar 2.1). Pemeriksaan penunjang umumnya harus
dilakukan ketika timbul gejala dan tanda asma pertama kali pada pasien sebab
asma dapat membaik secara spontan atau membaik dengan terapi, sehingga cukup
sulit untuk mendiagnosis asma ketika gejala asma pada pasien telah menghilang.
Berikut ini adalah temuan klinis yang bisa ditemukan pada pasien dengan asma2:
2.4.1 Anamnesis dan Gejala Klinis Pasien 1,2
1. Lebih dari satu keluhan berikut:
a. Mengi
b. Sesak napas
c. Batuk
d. Dada terasa seperti terikat
2. Gejala memburuk saat malam atau pagi hari
3. Durasi dan intensitas gejala bervariasi.
4. Gejala yang dipicu oleh:
a. Infeksi virus
b. Olahraga
c. Paparan alergen
d. Perubahan cuaca
e. Tertawa
f. Bahan iritan seperti asap knalpot, asap rokok, maupun bebauan
kuat.
Gejala-gejala berikut mengurangi kemungkinan bahwa gangguan pernapasan
disebabkan oleh asma:

10
1. Batuk yang terisolasi tanpa adanya gejala pernapasan yang lainnya
2. Produksi dahak yang kronis
3. Sesak napas yang berhubungan dengan pusing atau kesemutan perifer
(paresthesia)
4. Nyeri dada
5. Olahraga yang menginduksi sesak napas dengan inspirasi yang bersifat
noisy.
Dimulainya gangguan pernapasan pada anak, riwayat rhinitis alergi, riwayat
eczema, atau riwayat keluarga dengan asma atau alergi dapat meningkatkan
kemungkinan bahwa gejala pernapasan yang diderita oleh pasien disebabkan oleh
asma. Namun, riwayat tersebut tidak bersifat spesifik untuk asma dan tidak
terlihat pada seluruh fenotipe asma. Pasien dengan rhinitis alergi atau atopik
dermatitis harus dianalisis secara menyeluruh mengenai gejala pernapasan yang
dialaminya.

Pasien dengan gejala respirasi


(Gejala tipikal asma ?)

Analisis riwayat dan pemeriksaan fisik


(Anamnesis dan pemeriksaan fisik
mendukung diagnosis asma ?)
Menggali lebih lanjut anamnesis,
Secara klinis bersifat pemeriksaan fisik, dan penunjang
mendesak untuk diagnosis alternatif.

Spirometri/PEF (Diagnosis alternatif berhasil


ditegakkan ?)
(Mendukung diagnosis asma?)

Lakukan tes atau penunjang


yang lain.
Mendukung diagnosis asma ?

Penatalaksanaan empirik dengan


ICS dan SABA prn.
Lihat respon. Pertimbangkan percobaan terapi untuk
diagnosis yang paling memungkinkan atau
Tes diagnostik dalam 1-3 bulan
rujuk untuk investigasi lebih lanjut

Penatalaksanaan asma Penatalaksanaan diagnosis


lain

ICS : Inhaled corticosteroid; PEF: peak expiratory flow

11
Gambar 2.1 Flowchart diagnostik untuk praktek klinis 2

2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Karena gejala asma pada pasien dapat sangat bervariasi, bahkan dapat bersifat
normal. Temuan yang paling sering pada pasien asma adalah adanya mengi
(wheezing) saat auskultasi yang akan mengkonfirmasi adanya obstruksi jalan
napas. Namun pada beberapa pasien dengan asma, wheezing bisa saja tidak ada
atau hanya terdengar jika pasien diinstruksikan untuk melakukan ekspirasi paksa.
Biasanya pada eksaserbasi asma berat, wheezing tidak terdengar karena penurunan
laju udara pada saluran napas dan ventilasinya (silent chest). Tetapi, disisi lain
terdapat tanda eksaserbasi berat lainnya berupa sianosis, penurunan kesadaran,
kesulitan berbicara, takikardia, dada hiperinflasi, napas menggunakan otot
aksesoris dan resesi interkostal.2

Suara mengi (wheezing) juga dapat didengarkan pada disfungsi saluran napas
atas, COPD, infeksi pernapasan, trakeomalasia, atau benda asing yang terinhalasi.
Suara cracles (krepitasi) dan mengi pada saat inspirasi bukan merupakan gejala
dan tanda dari asma. Pemeriksaan pada hidung juga harus dilakukan mengingat
asma sering berhubungan dengan rhinitis alergi.2

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Pengukuran Fungsi Paru
Diagnosis asma biasanya berdasarkan karakteristik gejala, dengan
pengukuran fungsi paru dan demonstrasi reversibilitas dari abnormalitas
fungsi paru mampu menunjang diagnosis. Pengukuran fungsi paru akan
menampilkan derajat dari obstruksi jalan napas, reversibilitasnya dan
variabilitas dan menyediakan data untuk konfirmasi diagnosis asma.
Beberapa metode dapat dilakukan untuk obstruksi jalan napas namun hanya
dua metode yang saat ini diterima secara menyeluruh pada pasien selama 5
tahun yang lalu. Spirometri biasanya digunakan untuk menilai forced
expiratory volume dalam 1 detik (FEV1/VEP) dan forced vital capacity
(FVC) dan peak expiratory flow (PEF).2,9

12
Istilah reversibility dan variability berkaitan dengan perubahan gejala oleh
perubahan penyempitan jalur napas yang terjadi secara spontan ataupun
dalam respon terhadap terapi. Reversibilitas secara umum dijelaskan sebagai
perbaikan cepat pada FEV1 atau PEF yang diukur dalam beberapa menit
setelah inhalasi bronkodilator aksi cepat, sebagai contoh pemberian 200 –
400 ug salbutamol atau perbaikan dalam kurun waktu hari hingga minggu
setelah pemberian terapi kontrol berupa inhalasi glukokortikosteroid.
Sedangkan istilah variability berarti perbaikan pada gejala atau fungsi paru
yang terjadi sepanjang waktu. Variability dapat terjadi sepanjang satu hari
penuh (diurnal variability) atau bisa juga dari hari ke hari, bulan ke bulan
ataupun per musim. Mengetahui riwayat variability merupakan komponen
esensial dalam diagnosis asma.2,10

b. Spirometri
Spirometri merupakan metode yang direkomendasikan untuk mengukur
gangguan jalur napas dan reversibilitasnya untuk menegakkan diagnosis
asma. Pengukuran FEV1 dan FVC dilakukan saat pasien berekspirasi
maksimal atau ekspirasi paksa menggunakan spirometri. Derajat
reversibilitas FEV1 yang mengindikasikan diagnosis asma adalah sebesar
12% dan perbaikan 200ml dari nilai FEV1 sebelum pemberian
bronkodilator. Namun, tidak semua pasien menunjukkan reversibilitas pada
setiap pemeriksaan, sehingga pemeriksaan berulang disarankan untuk
dilakukan.11,12 Selain itu, respon yang kurang dari 12% atau (> 200mL) tidak
berarti bukan asma. Hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah
normal atau mendekati normal. Demikian pula respon terhadap
bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh
karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang
diharapkan.9
Spirometri termasuk alat yang mampu mencerminkan kondisi saluran napas
dengan baik namun dalam penggunaannya sangat bergantung pada usaha

13
dan teknik pasien. Oleh karena itu diperlukan instruksi yang tepat dan
menyeluruh bagaimana untuk melakukan manuver ekspirasi paksa pada
pasien dan mencatat 3 nilai tertinggi yang mampu dilakukan oleh pasien.
Rentang nilai FEV1 juga bisa sangat berbeda sesuai dengan umur pasien.
Berkaitan dengan banyak penyakit paru lain yang menyebabkan penurunan
FEV1, penilaian yang lebih tepat kondisi saluran napas adalah dengan
melihat rasio antara FEV1 terhadap FVC. Rasio FEV1 terhadap FVC
normalnya lebih besar daripada 0,75 – 0,80 dan mungkin akan lebih besar
dari 0,90 pada anak – anak. Nilai yang didapatkan lebih kecil dibandingkan
nilai diatas maka akan menandakan adanya penyempitan saluran napas.2,11
Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga
penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Kegunaan
spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada
penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Banyak
pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan
obstruksi. Hal ini mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma
dan bahkan bila berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi
penyakit paru obstruktif kronik. 9

c. Peak expiratory flow


Pengukuran PEF dilakukan dengan menggunakan alat bernama peak flow
meter yang menjadi alat penting didalam diagnosis dan monitoring asma.
PEF meter termasuk alat yang tidak mahal, mudah dibawa, dan ideal untuk
digunakan oleh pasien di rumah untuk penilaian objektif penyempitan jalur
napas. PEF mampu untuk menilai derajat penyempitan lumen saluran napas
terutama apabila terjadi perburukan. Namun karena nilai PEF yang
didapatkan akan bervariasi dan nilai prediksi orang normal sangatlah lebar
maka penilaian PEF juga sebaiknya dibandingkan dengan nilai PEF terbaik
pasien masing-masing. Pada kondisi ini nilai yang dianggap paling baik
adalah saat pasien berada dalam fase asimptomatis atau pada kondisi dengan
terapi penuh dan nantinya akan mampu memberikan data tentang efek
perbaikan kondisi saluran napas oleh pemberian terapi saat terjadinya
eksaserbasi atau setelah maintenance-nya.2,11,12

14
Instruksi yang lengkap diperlukan dalam pemanfaatan peak flow meter
karena sama halnya dengan spirometri penggunaan alat ini termasuk
tergantung usaha pasien. Biasanya PEF diukur saat paling awal di pagi hari
sebelum menjalani terapi yang menandakan nilai paling mendekati dari nilai
terkecil PEF dan dilakukan kembali saat malam hari yang menandakan nilai
paling mendekati nilai terbesar PEF. Metode untuk mendeskripsikan
variabilitas PEF diurnal adalah amplitudo (perbedaan antara nilai
maksimum dan nilai minimum) sebagai persentase dari rata-rata nilai PEF
harian, dan rata-rata selama 1-2 minggu. Metode lainnya untuk deskripsi
PEF adalah nilai minimum pre-bronkodilator di pagi hari selama 1 minggu
sebagai persentase dari nilai terbaik saat ini.2,11,12
d. Penilaian status alergi
Terdapat hubungan yang kuat antara asma dan rhinitis alergi yang
menyebabkan penilaian statusnya meningkatkan probabilitas diagnosis asma
pada pasien dengan adanya gejala saluran pernapasan. Selain itu keberadaan
alergi pada pasien asma (identifikasi dengan melakukan test kulit (skin prick
test) atau pengukuran nilai IgE spesifik pada serum) dapat membantu
menilai faktor resiko yang menimbulkan gejala asma pada pasien. Provokasi
dengan sengaja saluran napas dengan alergen yang dicurigai atau agen
sensitisasi dapat membantu dalam konteks alergi yang muncul saat bekerja,
namun tindakan ini tidak rutin direkomendasikan untuk dilakukan karena
jarang bermanfaat dalam menunjukkan diagnosis pastinya serta memerlukan
penilaian oleh ahli dan dapat menimbulkan bronkospasme yang mengancam
nyawa.2,9

Test kulit dengan alergen merupakan alat diagnostik primer dalam


menentukan status alergi. Metode ini termasuk mudah dan cepat untuk
dilaksanakan, memiliki biaya yang murah, dan memiliki sensivitas yang
tinggi. Namun, apabila prosedur yang dilakukan tidak benar-benar akurat
maka hasil tes kulit dapat positif palsu atau negatif palsu. Pengukuran IgE
spesifik pada serum belum tentu mengungguli hasil dari tes kulit dan
metode ini tergolong lebih mahal namun sangat kompatibel dengan pasien
yang tidak bersifat kooperatif, pasien yang memiliki riwayat anafilaksis, dan

15
penyakit kulit lainnya. Keterbatasan utama dari metode untuk penilaian
status alergi adalah hasil yang positif tidak selalu berarti penyakit ini berasal
dari alergi atau alergi yang ditemukan bukan pasti sebagai penyebab asma
karena pada beberapa individu memiliki IgE spesifik tanpa adanya gejala
alergi ataupun asma. Paparan yang relevan dan hubungannya dengan gejala
pada pasien sebaiknya dikonfirmasi melalui anamnesis riwayat alergi
pasien.2
e. Ekshalasi oksida nitrat
Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO) dapat dilakukan di
beberapa instalasi kesehatan. FENO meningkat pada asma eosinofilik dan
pada pasien yang tidak menderita asma seperti bronkitis eosinofilik, atopi,
atau rinitis alergi. Namun, FENO telah terbukti sangat berguna dalam
menegakkan diagnosis asma. FENO mengalami penurunan pada perokok.
FENO juga dapat meningkat dan menurun selama infeksi virus pada sistem
respirasi. Pada pasien yang tidak merokok dengan gejala sistem respirasi
yang tidak spesifik dan jumlah FENO > 50 parts/billion (ppb) maka pasien
memiliki respon yang baik terhadap kortikosteroid inhalasi dalam jangka
waktu yang pendek. Namun, tidak terdapat penelitian jangka panjang yang
menganalisis hubungan antara kortikosteroid inhalasi dengan FENO dalam
jangka waktu yang panjang.2
f. Tes provokasi bronkial
Terbatasnya aliran udara dapat tidak ditemukan pada saat penilaian awal
pada beberapa pasien. Adanya keterbatasan aliran udara yang merupakan
bagian penting dalam menegakkan diagnosis asma. Salah satu cara untuk
mengetahui adanya keterbatasan aliran udara adalah melalui tes provokasi
bronkial.2 Terdapat beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus
seperti uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara
dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata.
Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan
kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6
menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap
bermakna bila menunjukkan penurunan APE (arus puncak ekspirasi) paling

16
sedikit 10%.9 Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tetapi memiliki
spesifisitas yang terbatas, seperti hipersensitivitas saluran napas untuk
inhalasi metakolin berhubungan dengan pasien rinitis alergi, cystic fibrosis,
dysplasia bronkopulmonalis, dan COPD. Hal ini berarti hasil tes negatif
pada pasien yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhalasi dapat
membantu untuk menyingkirkan diagnosis asma, tetapi tes positif tidak
selalu berarti bahwa pasien memiliki asma.2
g. Analisis eosinofil pada sputum dan darah
Sputum eosinofil merupakan karakteristik utama untuk asma, sedangkan
neutrofil sangat dominan pada bronkhitis kronik. Jumlah eosinofil total
dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat membantu
dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga dapat
dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis
kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma.9

h. Foto rontgen dada dan analisis gas darah


Pemeriksaan foto rontgen dada dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses
patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.
Sementara, pemeriksaan analisis gas darah hanya dilakukan pada asma yang
berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2
< 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru
mendekati normal hingga normo-kapnia. Selanjutnya, pada asma yang
sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia, dan
asidosis respiratorik.

2.5 Differential Diagnosis


Diagnosis banding asma bervariasi sesuai usia. Beberapa diagnosis banding ini
dapat juga ditemukan bersamaan dengan asma

Tabel 2.3 Diagnosis banding asma pada orang dewasa, remaja, dan anak-anak 6-11 tahun
Usia Kondisi Gejala

17
6-11 Sindrom batuk saluran pernapasan atas kronik Bersin, gatal, hidung
tahun tersumbat
Benda asing masuk ke sistem pernapasan Onset tiba-tiba dan mengi
unilateral
Bronkiektasis Infeksi yang berulang dan
batuk produktif
Diskinesia siliar primer Infeksi yang berulang,
batuk produktif, sinusitis
Congenital heart disease Murmur jantung
Displaasia Bronkopulmoner Kelahiran prematur dan
gejala timbul sejak kecil
Cystic fibrosis Batuk yang berlebihan,
produksi mukus, dan gejala
gastrointestinal
12-39 Sindrom batuk saluran pernapasan atas kronik Bersin, gatal, hidung
tahun tersumbat
Disfungsi vocal cord Sesak napas dan mengi
pada saat inspirasi (stridor)
Hiperventilasi dan disfungsi napas Pusing, parestesia, napas
panjang
Bronkiektasis Infeksi yang berulang dan
batuk produktif
Cystic fibrosis Batuk yang berlebihan,
produksi mukus, dan gejala
gastrointestinal
Congenital heart disease Murmur jantung
Defisiensi Alpha1-anti-tripsisn Napas pendek, riwayat
keluarga empisema
Benda asing masuk ke sistem pernapasan Onset tiba-tiba
Usia 40 Disfungsi vocal cord Sesak napas dan mengi
tahun pada saat inspirasi (stridor)
keatas Hiperventilasi dan disfungsi napas Pusing, parestesia, napas
panjang
PPOK Batuk, sputum, sesak napas
saat beraktivitas, dan

18
riwayat paparan rokok
Bronkiektasis Infeksi yang berulang dan
batuk produktif
Gagal jantung Sesak napas saat
beraktivitas dan gejala di
malam hari
Batuk yang berhubungan dengan pengobatan Terapi dengan ACE
inhibitor
Penyakit paru parenkimal Sesak napas saat
beraktivitas, batuk non
produktif, dan clubbing
finger
Emboli pulmonal Sesak napas yang tiba-tiba
dan nyeri dada
Obstruksi saluran napas sentral Sesak napas, tidak
merespon terhadap
bronkodilator

2.6 Klasifikasi
Asma dapat diklasifikan berdasarkan pola keterbatasan aliran udara dan berat
penyakit. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting untunk
mendapatkan terapi pengobatan dan perencanaan penatalakasaan jangka panjang
yang tepat. Demikian merupakan klasifikasi asma berdasarkan derajat asma :

Tabel 2.4 Klasifikasi Asma Sesuai Derajat


Derajat Gejala Gejala Fungsi Faal Paru Terapi
Asma Malam Rawat
Jalan
Intermitent Gejala < 1x/minggu ≤ 2x/ VEP/APE > 80 % Agonis β 2
Gejala selain bulan prediksi kerja cepat
eksaserbasi tidak ada Variabilitas VEP /
Eksaserbasi ringan APE < 20 %
dan singkat
Persistent Gejala >1x/minggu >2x/ VEP/APE ≥ 80 % Agonis β 2
Ringan tetapi <1x/hari bulan prediksi kerja cepat
Eksaserbasi dapat Variabilitas VEP / KSI dosis

19
mengganggu aktivitas APE 20 – 30 % rendah
Persistent Gejala setiap hari >1x/ VEP/APE 60-80 % Agonis β 2
Sedang Eksaserbasi minggu prediksi kerja cepat
mengganggu aktivitas Variabilitas VEP / KSI dosis
Butuh reliever setiap APE > 30 % rendah
hari ABKP
Persistent Gejala terus-menerus Sering VEP/APE ≤ 60 % Agonis β 2
Berat Eksaserbasi sering prediksi kerja cepat
dan mengganggu Variabilitas VEP / KSI dosis
aktivitas APE > 30 % tinggi
Aktivitas fisik ABKP
terbatas dan/atau
KSO

Tabel 2.5. Tingkatan Kontrol Asma pada Dewasa, Remaja, dan Anak-Anak
A. Asthma Symptom Control
Level kontrol dari gejala asma

Dalam waktu 4 minggu, apakan Terkontrol Terkontrol Tidak terkontrol


pasien memiliki : baik sebagian

 Apakah asma terjadi lebih Yes no


dari 2 kali/minggu?

 Apakah asma Yes no Tidak satupun 1-2 keluhan 3-4 keluhan


membangunkan pasien setiap
malam?
 Apakan reliever Yes no
dibutuhkan dalam 2 kali/minggu ?

 Apakah aktivitas menjadi Yes no


terbatas saat serangan asma ?

B. Faktor Risiko pada perburukan kekambuhan asma


Menentukan faktor risiko pada diagnosis dan periode asma, khusunya untuk pasien yang mengalami eksaserbasi.
Penilaian FEV1 pada awal terapi, 3 -6 bulan pada terapi controller untuk memastikan keadaan fungsi paru pasien
dalam kondisi baik, dan secara periodik menilai risiko asma .

20
Faktor risiko independen berpotensi dimodifikasi untuk flare-up (eksaserbasi)
- Gejala asma yang tidak terkontrol
Memiliki 1 atau lebih dari
- Penggunaan SABA yang tinggi (dengan peningkatan mortaliti jika
faktor resiko yang
lebih dari 1x200- dosis carister/bulan)
meningkatkan resiko
- Inadekuat ICS : tidak menentukan ICS : ketidakpatuhan; tidak
eksaserbasi jika jika gekjala
tepatnya tehnik inhaler
terkontrol baik
- Rendahnya FEV1, khususnya jika diperkirakan <60%
- Masalah psikologi dan sosial ekonomi
- Paparan : rokok, paparan alergi jika sensitive
- Komorbiditas : obesitas; rhino sinusitis; alergi makanan.
- Sputum atau darah eusinofil
- Kehamilan
Faktor risiko independen mayor lain untuk flare-up (eksaserbasi)
- Pernah di intubasi atau dirawat pada ICU untuk asma
- ≥ 1 eksaserbasi berat dalam 12 bulan terakhir
Faktor risiko untuk mengembangkan keterbatasan aliran udara tetap
- Kurangnya terapi ICS
- Paparan: rokok tembakau; zat kimia noxius; paparan lingkungan
- Rendahnya FEV1 awal; hipersekresi mucus kronis; eosinofil darah
Faktor resiko pada efek samping pengobatan
- Sistemik : frekuensi OCS : jangka panjang, dosis tinggi dan ICS poten dan juga penggunaan P450 inhibitor

Tujuan dari penanganan asma adalah untuk mencapai dan menjaga kontrol
manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama. Saat asma telah
terkontrol, pasien dapat dicegah untuk mengalami serangan eksaserbasi akut dari
asma, mencegah adanya gejala yang mengganggu baik saat siang hari ataupun
malam hari, dan tetap menjaga fisik pasien aktif.2,13
Penilaian kontrol asma sebaiknya menyangkut kontrol dari manifestasi klinis
(gejala, terbangun di malam hari, penggunaan reliever, keterbatasan aktivitas,
fungsi paru) dan kontrol perkiraan resiko yang mungkin terjadi di masa
mendatang pada pasien seperti adanya eksaserbasi, penurunan secara cepat fungsi
paru dan efek samping pengobatan.
2.6.1 Derajat Keparahan Asma
Derajat keparahan asma ditentukan secara retrospektif dari tingkat terapi yang
dibutuhkan untuk mengontrol gejala dan eksaserbasi. Hal ini dapat ditentukan
ketika pasien sudah mendapatkan terapi menggunakan controller selama beberapa
bulan dan setelah penurunan (step down) terapi telah dilakukan untuk mencari

21
tingkat pengobatan minimum yang efektif. Derajat keparahan asma dapat berubah
dalam beberapa bulan maupun tahun.1,2
Derajat keparahan asma dapat ditentukan setelah pasien sedang dalam terapi
controller rutin selama beberapa bulan1,2
 Asma ringan adalah asma yang dapat terkontrol dengan baik dengan terapi
langkah 1 atau 2, yaitu menggunakan pengobatan reliever jika dibutuhkan,
atau terapi dengan controller intensitas rendah seperti ICS dosis rendah.
 Asma sedang adalah asma yang dapat terkontrol dengan baik dengan terapi
langkah 3, yaitu menggunakan ICS dosis rendah/LABA
 Asma berat adalah asma yang membutuhkan terapi langkah 4 atau 5, yaitu
ICS dosis tinggi/LABA, untuk mencegah asmanya “tidak terkontrol”, atau
asma yang masih tetap “tidak terkontrol” meskipun telah mendapat terapi
ini.

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan jangka panjang penatalaksanaan asma adalah pengendalian gejala dan
pengurangan risiko. Tujuannya adalah mengurangi beban pasien dan risiko
kekambuhan, kerusakan jalan napas, dan efek samping medikasi. Dalam
penanganan asma untuk mengontrol gejala dan mengurangi risiko terdapat 4
komponen yang harus bisa dilakukan kepada semua pasien dengan.1,2
Komponen 1. Penanganan asma berbasis kontrol
Komponen 2. Penanganan faktor risiko yang dapat modifikasi
Komponen 3. Strategi dan intervensi non farmakologis
Komponen 4. Menangani eksaserbasi asma

2.7.1 Penanganan asma berbasis kontrol


Penanganan asma berupa penyesuaian berkelanjutan dari siklus assess, adjust
treatment, dan review response.

22
Diagnosis
Mengontrol gejala dan faktor
risiko (termasuk fungsi paru)
Teknik inhaler dan kepatuhan
Keinginan pasien

Gejala
Eksaserbasi
Efek samping
Tingkat kepuasan pasien
Fungsi paru
Pengobatan asma
Strategi non farmakologis
Menangani faktor risiko

Gambar 2.2 Siklus penanganan asma berbasis kontrol

a. Pengobatan Awal Menggunakan Controller


Untuk hasil terbaik, pengobatan rutin harian menggunakan controller harus segera
dimulai sedini mungkin setelah diagnosis asma ditegakkan, karena:
 Penanganan dini dengan Inhaled Corticosteroid (ICS) dosis rendah dapat
memberikan fungsi paru yang lebih baik dibandingkan bila gejala sudah
berlangsung lebih dari 2-4 tahun.
 Pasien yang tidak mendapatkan ICS apabila mengalami eksaserbasi berat
maka fungsi paru jangka panjangnya akan lebih rendah dibanding pasien
yang mendapatkan ICS
 Pada asma okupasional, penghindaran dini dari pencetus dan penanganan dini
meningkatkan kemungkinan penyembuhan.

ICS dosis rendah reguler direkomendasikan pada pasien dengan:


 Gejala asma lebih dari dua kali dalam sebulan
 Terbangun karena asma lebih dari sekali dalam sebulan
 Semua gejala asma dengan faktor risiko eksaserbasi (membutuhkan Oral
Corticosteroid/OCS dalam 12 bulan terakhir, FEV1 rendah, pernah dirawat di
ICU karena asma)
Disarankan untuk memulai terapi di step yang lebih tinggi (ICS dosis
sedang/tinggi, atau ICS/LABA) jika pasien hampir setiap hari terganggu oleh

23
gejala asmanya, atau terbangun dari tidur karena asma lebih dari sekali dalam
seminggu, terutama jika terdapat faktor risiko eksaserbasi1,2
Berikut ini beberapa hal yang harus dilakukan sebelum memulai terapi
menggunakan controller1,2:
 Rekam bukti diagnosis asma jika memungkinkan
 Catat pengontrolan gejala dan faktor risiko
 Tentukan fungsi paru jika memungkinkan
 Latih pasien untuk menggunakan inhaler dengan baik, cek teknik mereka
 Jadwalkan kunjungan untuk kontrol
Setelah memulai terapi menggunakan controller1,2:
 Review respon terapi setelah 2-3 bulan
 Pikirkan untuk step down ketika gejala asma terkontrol selama 3 bulan

Setiap pasien akan ditetapkan untuk mendapatkan salah satu dari 5 langkah terapi.
Lima langkah terapi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3 yang merupakan
terapi untuk dewasa dan anak-anak diatas umur 5 tahun.1,2
Pada setiap langkah terapi, pemberian reliever sebaiknya diberikan untuk
mengobati gejala dengan cepat. Namun, perlu diperhatikan seberapa banyak
reliever yang digunakan pasien, regular atau terdapat peningkatan penggunaan
yang mengindikasikan asma tidak terkontrol dengan baik.1,2
Pada langkah kedua sampai langkah kelima pasien juga memerlukan satu atau
lebih medikasi controller regular yang akan mencegah timbulnya gejala dan
serangan akut dimulai kembali. Glukokortikosteroid inhalasi merupakan medikasi
controller yang paling efektif ada saat ini.1,2
Pasien yang tidak mampu mencapai kondisi yang terkontrol dan sudah
menggunakan terapi protokol keempat dapat digolongkan sebagai kasus difficult-
to-treat asma. Pada pasien ini, kesepakatan diperlukan untuk fokus dalam
mencapai tingkatan kontrol terbaik yang mampu dirasakan dengan gangguan yang
minimal terhadap aktivitas dan gejala harian yang sedikit mungkin serta
minimalisir efek samping potensial dari terapi. Lakukan rujukan kepada
spesialisasi asma dapat juga sangat membantu.

24
Medikasi inhalasi merupakan pilihan utama karena dengan cara ini obat langsung
diantarkan menuju saluran napas tempat obat ini diperlukan yang akan
menghasilkan efek terapi yang potensial dengan efek samping sistemik yang
minimal. Medikasi inhalasi untuk asma tersedia dalam bentuk pressurized
metered-dose inhalers (pMDIs), breath-actuated MDIs, dry powder inhalers
(DPIs), dan nebulizers. Alat spacer memudahkan pasien menggunakan inhaler
dan mengurangi absorpsi sitemik serta efek samping glukokortikosteroid.1,14

Gambar 2.3 Langkah-langkah terapi asma


Langkah 1. SABA ketika dibutuhkan, tanpa controller.
Diindikasikan hanya jika gejala jarang terjadi, tidak ada terbangun karena asma,
tidak ada eksaserbasi dalam setahun terakhir, dan FEV1 normal.
Langkah 2. ICS dosis rendah harian dengan SABA ketika dibutuhkan.
Untuk asma alergi musiman, mulai lebih dini dan akhiri 4 minggu setelah paparan
pencetus.
Langkah 3. ICS dosis rendah/LABA dengan SABA ketika dibutuhkan atau
ICS/Formoterol
Pada pasien dengan eksaserbasi lebih dari satu dalam satu tahun terakhir.
ICS/Formoterol lebih efektif dibanding ICS dosis rendah/LABA.
Pilihan lainnya: ICS dosis sedang

25
Langkah 4. ICS dosis rendah/Formoterol sebagai controller dan reliever, atau
ICS dosis sedang/LABA dengan SABA ketika dibutuhkan
Pilihan lainnya: tambahkan tiotropium (pada pasien berusia diatas 12 tahun
dengan riwayat eksaserbasi), ICS dosis tinggi/LABA (efek samping lebih besar,
keuntungan ekstra sedikit), tambahan controller (LTRA atau theophylline lepas
lambat).
Langkah 5. Rujuk untuk investigasi ahli dan tambahan terapi
Terapi tambahan termasuk tiotropium, omalizumab (anti-IgE untuk asma alergi
berat), dan mepolizumab (anti-IL5 untuk asma eosinofilik berat).

b. Meninjau respon dan penyesuaian terapi


Setelah terapi dimulai, pasien diharapkan kontrol dalam 1-3 bulan dan 3-12 bulan
setelahnya, kecuali pada pasien hamil, kontrol disarankan setiap 4-6 minggu.
Setelah eksaserbasi perlu dijadwalkan kontrol dalam 1 minggu. Frekuensi
peninjauan terapi dilakukan berdasarkan level kontrol awal, respon mereka
terhadap terapi sebelumnya, dan kemampuan dan keinginan mereka untuk
melakukan penanganan mandiri dengan action plan1,2.

Gambar 2.4 Penanganan mandiri dengan action plan

- Peningkatan (step up) terapi asma1,2

 Sustained step-up (untuk 2-3 bulan): jika gejala dan/atau eksaserbasi


bertahan meskipun telah mendapatkan terapi controller selama 2-3 bulan.
Sebelum melakukan step-up, tentukan apakah terdapat:

26
o Teknik penggunaan inhaler yang kurang tepat
o Kepatuhan yang kurang
o Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, seperti rokok
o Apakah gejala disebabkan kondisi komorbid, seperti rinitis alergi
 Short-term step-up (untuk 1-2 minggu) oleh dokter atau pasien sendiri
sesuai action plan,misalnya pada infeksi virus atau paparan alergen
 Day-to-day adjustment oleh pasien sendiri pada pasien yang diresepkan
beclometasone/formoterol atau budesonide/formoterol

- Penurunan (step down) terapi asma1,2

Pikirkan step-down terapi ketika terdapat kontrol asma yang baik yang
dipertahankan selama 3 bulan, untuk mencari terapi paling rendah yang dapat
mengontrol gejala dan eksaserbasi dan meminimalisir efek samping1,2.

 Pilih waktu terbaik untuk step-down (tidak ada infeksi pernapasan, tidak
sedang berpergian, tidak mengandung)
 Catat status dasar (kontrol gejala dan fungsi paru), sediakan action plan
asma tertulis, pantau secara hati-hati, dan rencanakan kunjungan
berikutnya
 Turunkan dosis ICS sebanyak 25-50% dosis sebelumnya dengan jarak 2-3
bulan.
 Jangan menghentikan ICS secara penuh, kecuali dibutuhkan untuk
konfirmasi diagnosis asma

- Skill penggunaan inhaler dan kepatuhan

 Sediakan pelatihan penggunaan inhaler yang efektif dengan menggunakan


demonstrasi langsung dan mengecek teknik pasien.
 Cek dan tingkatkan kepatuhan penggunaan obat asma dengan menggunakan
pengingat, mengurangi kompleksitas regimen, dan kunjungan rumah yang
komprehensif

2.7.2 Penanganan faktor risiko yang dapat modifikasi

27
Risiko eksaserbasi dapat dikurangi dengan mengoptimalisasi pengobatan asma
dan dengan mengidentifikasi dan menangani faktor risiko yang dapat
dimodifikasi. Beberapa teknik modifikasi risiko adalah1,2:

 Mengarahkan penanganan mandiri: monitoring gejala mandiri, action plan


asma tertulis, dan kunjungan rutin
 Penggunaan regimen yang meminimalisasi eksaserbasi: resepkan controller
sesuai kondisi pasien.
 Hindari paparan asap rokok
 Konfirmasi alergi makanan: hindari makanan penyebab alergi
 Pada pasien dengan asma berat: rujuk ke spesialis asma jika ada untuk
pertimbangan penambahan terapi

2.7.3 Strategi dan intervensi non farmakologis

Selain pengobatan, terapi dan strategi lainnya dapat dipertimbangkan untuk


membantu mengontrol gejala dan menurunkan risiko. Beberapa contohnya adalah
sebagai berikut1,2:

 Sarankan untuk berhenti merokok, baik pasien maupun orang tua yang
memiliki anak dengan asma, sediakan konseling dan sarana pembantu
 Aktivitas fisik: sarankan orang dengan asma untuk melakukan olahraga
teratur untuk mendapatkan manfaat kesehatan secara general. Sediakan
saran penanganan bronkokonstriksi terkait olahraga.
 Asma okupasional: tanyakan setiap pasien asma onset dewasa tentang
riwayat pekerjaannya. Identifikasi dan hilangkan pencetus sedini mungkin,
rujuk pasien ke spesialis.
 NSAID termasuk aspirin: selalu tanyakan apakah pasien memiliki asma
sebelum meresepkan.

Meskipun alergen mungkin berkontribusi pada gejala asma, penghindaran alergen


tidak direkomendasikan sebagai strategi umum asma dikarenakan biasanya sangat
kompleks dan mahal. Beberapa pemicu asma (seperti olahraga dan tertawa) tidak
perlu dihindari, dan beberapa yang sulit dihindari (seperti infeksi virus dan stress)
harus ditangani ketika mereka muncul

28
2.7.4 Penanganan Eksaserbasi

Eksaserbasi dari asma (serangan asma) merupakan suatu episode peningkatan


secara progresif keluhan sesak napas, batuk, suara napas mengi atau berat pada
dada ataupun kombinasi dari keluhan tersebut. Pada penanganan eksaserbasi tidak
diperbolehkan untuk menaksir terlalu rendah tingkat keparahan serangan, karena
asma dengan derajat berat dapat mengancam nyawa dan pengobatannya perlu
pemantauan ketat. Pasien dengan resiko tinggi sampai kematian memerlukan
perhatian ketat serta secepatnya ditangani sesuai prosedur kegawatdaruratan.
Pasien dengan resiko tinggi tersebut dijelaskan sebagai berikut1,2:

 Pasien dengan riwayat asma hampir fatal yang memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanik
 Pasien yang pernah masuk rumah sakit atau dating ke unit gawat darurat
karena asma selama 1 tahun terakhir
 Pasien yang saat ini menggunakan atau baru saja berhenti menggunakan
glukokortikosteroid oral
 Pasien yang tidak menggunakan glukokortikosteroid inhalasi
 Pasien yang selalu bergantung pada 2-agonist kerja cepat terutama pada
pasien yang menggunakan lebih dari satu canister salbutamol per bulan
 Pasien dengan riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial termasuk
penggunaan obat – obat sedatif.
 Pasien dengan riwayat ketidakpatuhan terhadap rencana pengobatan asma.
Pasien yang memerlukan penanganan medis segera antara lain:
 Serangan berat:
o Pasien merasakan sesak saat istirahat, duduk membungkuk,
berbicara hanya mampu per kata, gelisah, mengantuk,
kebingungan, bradikardia, atau respiratory rate lebih dari 30 kali
per menit
o Wheezing terdengar keras atau tidak terdengar
o Denyut nadi lebih dari 120 kali per menit
o PES kurang dari 60% dari nilai prediksi atau nilai terbaik personal
walaupun sudah mendapatkan terapi bronkodilator initial

29
o Pasien sudah kelelahan
 Respon terhadap terapi bronkodilator initial tidak tampak dan gejala
bertahan setidaknya selama 3 jam
 Tidak terdapat perbaikan selama 2 – 6 jam setelah pemberian
glukokortikosteroid oral.
 Terdapat perburukan lebih lanjut

Pasien dengan serangan ringan tergolong sebagai pasien dengan adanya reduksi
peak flow kurang dari 20%, terbangun di malam hari dan peningkatan penggunaan
2-agonist kerja cepat, dapat dirawat di rumah jika pasien sudah dipersiapkan dan
memiliki rencana tatalaksana asma pribadi termasuk memiliki langkah – langkah
aksi penanganan. Sedangkan pasien dengan serangan sedang mungkin
memerlukan penanganan di klinik ataupun rumah sakit.2,14,15

Serangan asma memerlukan penanganan segera sebagai berikut:

 Inhalasi 2-agonist kerja cepat yang adekuat (dimulai dari 4-10 puff setiap
20 menit untuk 1 jam pertama, eksaserbasi ringan memerlukan 2 – 4 puff
setiap 3 – 4 jam, dan eksaserbasi sedang memerlukan 6 – 10 puff setiap 1 –
2 jam)
 Glukokortikosteroid oral (1 mg prednisolon/kg/hari, maksimal 50 mg)
diberikan diawal terapi untuk membantu mengembalikan reaksi inflamasi
dan mempercepat pemulihan
 Oksigen diberikan apabila pasien mengalami hipoksemia (saturasi O2 <
95%)
 Kombinasi terapi 2-agonist/ anticholinergic berhubungan dengan
penurunan resiko masuk rumah sakit dan peningkatan PEF dan FEV1
 Methylxantines tidak direkomendasikan jika digunakan sebagai tambahan
kombinasi terhadap 2-agonist dosis tinggi. Namun theophylline dapat
digunakan jika 2-agonist kerja cepat inhalasi tidak tersedia. Jika pasien
sudah biasa mengkonsumsi theophylline setiap harinya maka konsentrasi
serum harus diukur sebelum memberikan theophylline kerja cepat.
 Pasien dengan eksaserbasi asma berat yang tidak berespon dengan
bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan Magnesium

30
Sulphate IV 2 gram yang telah terbukti mampu mengurangi keperluan
masuk rumah sakit.1,15

Terapi yang tidak direkomendasikan untuk mengobati serangan asma sebagai


berikut2,15:
 Obat – obat sedatif
 Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk)
 Terapi fisik dada/fisioterapi (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien)
 Hidrasi dengan volume cairan yang banyak untuk dewasa dan anak-anak
yang lebih tua (dapat diberikan pada balita atau bayi)
 Antibiotik (tidak mengobati serangan namun menjadi indikasi bagi pasien
yang juga memiliki pneumonia atau infeksi bakteri seperti sinusitis)
 Epinephrine/adrenaline (dapat menjadi indikasi untuk penanganan
anaphylaxis akut dan angioedema namun tidak diindikasikan untuk
serangan asma)

31
PRIMARY CARE Pasien sekarang dengan derajat eksaserbasi akut atau sub akut
PENILAIAN
PApakah ini asma?
AFaktor resiko asma - kemungingkinan meninggal ?
Derajat eksaserbasi ?
S
I
E
N

RINGAN ATAU SEDANG BERAT MENGANCAM


Berbicara frase, memilih duduk daripada Berbicara kata, duduk membungkuk NYAWA
berbaring, tidak agitasi, laju pernafasan kedepan, ada agitasi, laju pernafasan
meningkat, tidak ada otot aksesorius , denyut >30/menit, ada otot aksesorius , denyut Mengantuk,
nadi 100-120x/menit, saturasi O2 (dalam nadi >120x/menit, saturasi O2 (dalam bingung, silent
udara) 90 – 95%, PEF>50% Predicted atau udara) <90, PEF≤50% Predicted atau
terbaik terbaik chest

START TREATMENT TRANSFER TO ACUTE CARE


SABA 4-10 puff pMDI + spacer, diulang setiap FACILITY
20menit selama 1jam Sambil menunggu : berikan inhaler
Prednisolone : dewasa 1mg/kg, max. 50mg, anak- SABA dan ipratropium bromide, O2,
MEMBURUK kortikosteroid sistemik
anak 1-2mg/kg, max. 40mg
Kontrol O2 (Jika ada): saturasi target 93-95%
(anak – anak 94-98%)

TREATMENT LANJUT dengan SABA jika diperlukan


MEMBURUK
NILAI RESPON 1 JAM (atau segera)

NILAI UNTUK PEMULANGAN RENCANA PEMULANGAN


Gejala membaik, tidak butuh SABA Reliever : Lanjutkan bila dibutuhkan
PEF membaik, dan >60-80% dari prediksi Controller : mulai atau step up, cek tehnik inhaler, ketaatan
Oksigen Saturasi >94% udara ruangan Prednisolon : lanjutkan, selama 5 – 7 hari (3-5 hari untuk anak- anak)
Resources at home adekuat Follow up: 2-7 hari

FOLLOW UP
Reliever : menurunkan dosis bila dibutuhkan
Controller : lanjutkan dengan dosis yang lebih tinggi untuk terapi jangka pendek (1-2 minggu) atau jangka panjang (3
bulan), tergantung pada latar belakang eksaserbasi
Faktor resiko : koreksi dan pastikan modifikasi faktor resiko yang mungkin memiliki kontribusi ke eksaserbasi, termasuk
tehnik inhaler dan ketaatan
Rencana tindakan : apakah pasien mengerti ? apakah penggunaannya sudah sesuai ?, apakah itu membutuhkan
modifikasi?

Gambar 2.5 Penanganan eksaserbasi asma di klinik2

32
2.7.5 Monitor respon terapi
Monitoring akan selalu penting dilakukan walaupun status pasien sudah terkontrol
karena asma merupakan penyakit yang sangat bervariasi. Pengobatan perlu
dilakukan penyesuaian secara periodik terhadap respon jika ada kehilangan status
kontrol akibat perburukan gejala atau munculnya serangan akut/eksaserbasi
kembali. Evaluasi gejala sebanyak mungkin termasuk juga evaluasi peak flow. Di
rumah sakit juga perlu dinilai saturasi oksigen, penilaian analisa gas darah pada
pasien yang diperkirakan mengalami hipoventilasi, kelelahan, distress berat atau
peak flow prediksi 30 – 50%. Setelah eksaserbasi kembali pulih, faktor yang
menjadi presipitasi eksaserbasi sebaiknya diidentifikasi dan strategi untuk
implementasi menghindari alergen di waktu mendatang serta untuk melakukan
review ulang rencana medikasi pasien. 1,2,15

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


No. Rekam Medis : 16054739
Nama Pasien : NLPRD
Status Perkawinan : Belum Menikah
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 14 Tahun
Alamat : Jalan Pulau Bungin I No. 6, Denpasar
Agama : Hindu
Suku Bangsa : Bali
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pelajar

33
Tanggal MRS : 17 Desember 2016

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama: Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dalam keadaan sadar ke RSUP Sanglah tanggal 17 Desember 2016
pada pukul 22.00 dengan keluhan sesak napas. Sesak napas dirasakan sejak satu
hari sebelum masuk Rumah Sakit. Sesak napas dirasakan terus menerus dengan
sensasi berat pada dada yang menyebabkan pasien sulit untuk melakukan aktifitas
sehari-hari. Sesak dirasakan semakin memburuk 2 jam sebelum pasien masuk
rumah sakit dan dikatakan tidak membaik dengan perubahan posisi. Sesak yang
dirasakan menyebabkan pasien sulit berbicara dan hanya dapat mengucapkan
kalimat sepenggal-sepenggal saja, hal tersebut juga membuat pasien merasa
gelisah.

Awalnya, 5 hari yang lalu pasien mulai merasakan sesak dan merasa berat pada
daerah dada dan disertai keringat dingin. Pasien mengatakan saat itu rasa sesak
diawali saat pasien sedang duduk dengan keluarganya usai melakukan latihan lari
namun sesak yang dirasakan berkurang setelah pasien meminum air hangat,
menurut pasien sesak yang dirasakan terjadi karena pasien terlalu lelah karena
selama 1 minggu belakangan pasien sedang berlatih untuk lomba lari di
sekolahnya. Pasien mengatakan latihan lari dilakukan setiap hari disekolahnya
sehingga pasien kelelahan. Pasien juga mengatakan sering merasa sesak apabila
terkena debu saat berlatih lari di lapangan dan juga saat malam hari.

Selain sesak pasien juga mengeluh batuk. Pasien mengeluh batuk sejak 3 hari
yang lalu. Batuk yang dialami pasien disertai dengan dahak berwarna putih. Batuk
dikatakan muncul hilang timbul sepanjang hari, tidak memberat pada malam
ataupun pagi hari. Riwayat batuk berdarah, penurunan berat badan dan keringat
malam hari disangkal oleh pasien.

Pasien tidak mengeluhkan demam. Adanya keluhan lain seperti mual dan muntah
disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri dada dan bengkak pada tungkai disangkal

34
oleh pasien. Keluhan bedebar disangkal. Buang air kecil dan buang air besar
dikatakan normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan memiliki riwayat asma sejak kecil, yaitu saat berusia 4 tahun.
Menurut pasien jika pasien beraktifitas fisik yang berlebihan yang menyebabkan
pasien kelelahan, ataupun saat pasien terkena debu, asap dan hawa dingin maka
pasien akan merasakan rasa tidak nyaman pada dada dan terkadang sampai
menimbulkan sesak. Sesak yang dialami pasien terjadi kurang lebih 2 sampai 3
kali dalam sebulan. Namun, pasien biasanya hanya mengkonsumsi air hangat
untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada dada dan sesak yang dialaminya.
Apabila pasien merasakan sesak yang dialaminya semakin memberat barulah
pasien berobat ke dokter umum di dekat rumahnya.

Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes


mellitus. Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun
obat – obatan.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan dikeluarganya tidak ada yang pernah mengalami hal yang
sama seperti yang dialami pasien saat ini. Riwayat penyakit hipertensi, diabetes
mellitus dan penyakit jantung juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal di rumah kost bersama kedua orang tua dan adiknya. Pasien
merupakan seorang pelajar kelas 3 SMP. Keseharian pasien biasanya pergi ke
sekolah dan membantu orang tua di rumah. Namun, 1 minggu belakangan pasien
sedang berlatih untuk kompetisi lari di sekolahnya. Latihan dilakukan setiap hari
dan dalam 1 kali latihan pasien bisa menempuh jarak sekitar 5 km. Pasien
menyangkal mengkonsumsi minuman beralkohol ataupun merokok.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

35
Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS : E4V5M6 )
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 112 x/menit reguler
RR : 28 x/menit, ekspirasi memanjang
Suhu badan : 36,5oC
SaO2 : 95%
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 62 kg
BMI : 22,7 kg/m2

Status General
Mata : Anemis -/-, Ikterus -/-, Reflek Pupil +/+ Isokor,
Edema Palpebra -/-
THT :
Telinga : sekret (-)
Hidung : sekret (-)
Tenggorok : tonsil T1 | T1, faring hiperemi (-)

Leher : JVP PR+0 cmH2O , Pembesaran Kelenjar Limfe (-)


Thorak :
Cor :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V MCL S
Perkusi : Batas kiri : ICS V MCL S
Batas kanan : ICS IV PSL D
Batas atas : ICS II
Auskultasi : S1S2, tunggal, regular, murmur tidak ada

Pulmo :
Inspeksi : gerak pernapasan simetris statis dan dinamis,
retraksi (-) suprasternal
Palpasi : Vocal Fermitus N/N, nyeri tekan (-)

36
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Bronkhial Rhonki Wheezing

+ + - - + +
+ + - - + +
+ + - - + +
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Palpasi : Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)

Ekstremitas : Hangat + + Edema - - CRT < 2 detik


+ + - -

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Darah Lengkap (18/12/2016)
Parameter Hasil Keterangan Satuan Nilai Rujukan
WBC 10.73 103µL 4.10 - 11.00
ne % 70.87 % 47.00 - 80.00
ly % 18.92 % 13.00 - 40.00
mo % 4.85 % 2.00 - 11.00
eo % 6.1 Tinggi % 0.00 - 5.00
ba % 0.26 % 0.00 - 2.00
ne # 6.88 103µL 2.50 - 7.50
ly # 1.40 103µL 1.00 - 4.00
mo # 0.76 103µL 0.10 – 1.20
eo # 0.64 Tinggi 103µL 0.00 - 0.50
ba # 0.04 103µL 0.00 – 0.10
RBC 5.28 106µL 4.50 – 5.90
HGB 13.53 g/dL 12.0 – 16.0

37
HCT 43.89 % 36.00 - 46.00
MCV 83.09 fL 80.00 – 100.00
MCH 26.62 Pg 26.00 – 34.00
MCHC 31.84 g/dL 31.00 – 36.00
RDW 12.38 % 11.60 – 14.80
PLT 342.10 103µL 150.00 - 440.00

2. Analisa Gas Darah (18/12/2016)


Parameter Hasil Keterangan Satuan Nilai Rujukan
pH 7.35 - 7.35 – 7.45
pCO2 32.8 Rendah mmHg 35.00 – 45.00
pO2 102.60 Tinggi mmHg 80.00 – 100.00
BEecf 0.2 mmol/L -2 – 2
HCO3- 25.50 mmol/L 22.00 – 26.00
SO2c 97.5 % 95 – 100
TCO2 26.90 mmol/L 24.00 – 30.00
Natrium 137 mmol/L 136 – 145
Kalium 3.80 mmol/L 3.50 – 5.10
Klorida 98 mmol/L 96 – 108

3. Kimia Klinik (18/12/2016)


Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
SGOT 13.9 U/L 11.00 – 27.00
SGPT 11.30 U/L 11.00 – 34.00
BUN 8.4 mg/dL 8.00 – 23.00
Kreatinin 0.62 mg/dL 0.50 – 0.90
Natrium 138 mmol/L 136 – 145
Kalium 3.60 mmol/L 3.50 -5.10
Klorida 98.5 mmol/L 94 – 110
Glukosa Darah (sewaktu) 93 mg/dL 70 – 140

4. Pemeriksaan X-Ray Thorax (18/12/2016)

38
Keterangan :
- Cor : besar dan bentuk kesan normal
- Pulmo : tak tampak infiltrat pada kedua paru
- Bronkovaskuler meningkat pada kedua paru
- Sinus pleura : kanan dan kiri tajam
- Diafragma : kanan dan kiri normal
- Tulang-tulang dan jaringan lunak tidak tampak kelainan
Kesimpulan : kesan cor dan pulmo normal
3.5 DIAGNOSIS KERJA

39
Serangan Asma Derajat Sedang

3.6 PENATALAKSANAAN
 Rencana terapi :
 MRS
 IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
 O2 8 liter/menit
 Nebulizer Combivent 1 ampul setiap 8 jam
 Methylprednisolon 62,5mg tiap 12 jam I.V
 N-acetylcysteine 200mg tiap 8 jam per oral
 Rencana diagnosis
 Pemeriksaan sputum (eosinofil dan IgE)
 Spirometri (jika pasien sudah stabil)
 Monitoring
 Vital sign
 Keluhan
 Saturasi O2

BAB IV

40
KUNJUNGAN LAPANGAN

4.1 ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN


Kunjungan dilakukan pada hari Senin, 26 Desember 2016. Kami mendapat
sambutan yang baik dari pasien dan keluarganya. Adapun tujuan diadakannya
kunjungan lapangan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien,
serta mengidentifikasi masalah yang terdapat pada pasien. Selain itu,
kunjungan lapangan ini juga memberikan edukasi tentang penyakit yang
dialami pasien serta memberikan dorongan semangat kepada pasien dalam
mengatasi penyakitnya. Pasien dalam kasus ini telah mengalami serangan
asma dan memang memiliki riwayat asma sejak berumur 4 tahun.

4.2 IDENTIFIKASI MASALAH


Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam
hal menghadapi penyakitnya :
1. Penyakit pasien merupakan penyakit kronis yang dapat kambuh pada saat-
saat tertentu sepanjang hidupnya. Ketika pasien mengalami serangan
asma, pasien tidak dapat melanjutkan aktivitasnya sehari-hari.
2. Secara umum pasien sudah mengerti tentang penyakit dan juga memahami
karakter penyakitnya. Namun, untuk penanganan lebih lanjut pasien masih
belum memiliki obat dan alat-alat yang cukup untuk mengatasi gejala yang
diderita, terutama bila terjadi serangan yang lebih berat.
3. Aktivitas pasien saat ini di sekolahnya membuat pasien rentan mengalami
kelelahan dan terkena debu di lapangan yang merupakan salah satu faktor
pencetus pasien mengalami sesak.
4. Kamar tidur pasien terlihat cukup bersih, namun masih banyak terdapat
debu. Ventilasi dan pencahayaan sudah cukup memadai. Di kamar tidur
pasien terdapat tumpukan pakaian di keranjang dekat tempat tidurnya dan
pasien juga menggunakan kipas angin di kamar tidurnya yang setiap
harinya jarang dibersihkan dari debu yang menempel, dimana hal ini
rentan memicu kekambuhan pasien.

41
5. Pasien mengatakan tidak memiliki faktor psikologikal atau pemicu stress
terhadap asma yang dideritanya. Seluruh keluarga pasien dikatakan selalu
memberikan dukungan dan orang tua pasien selalu menemani pasien
ketika dirawat di rumah sakit, sehingga pemenuhan kebutuhan emosi dan
kasih sayang pasien sudah cukup terpenuhi.
6. Status gizi pasien termasuk dalam status gizi baik dan harus
dipertahankan. Pasien juga termasuk rajin berolahraga, dimana itu
merupakan hal yang baik untuk menjaga kondisi tubuh. Namun, pasien
masih harus menyesuaikan kemampuan tubuhnya agar tidak berolahraga
terlalu berlebihan.

4.3 ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN


a. Kebutuhan fisik-biomedis
1. Kecukupan Gizi
Menurut pengakuan pasien, biasanya pasien makan 3 kali dalam
sehari, sehingga nutrisi harian pasien dapat tercukupi dengan baik.
Makanan disiapkan oleh ibu pasien dengan menu nasi dan lauk pauk
seperti tempe, tahu, sayuran, dan terkadang mengonsumsi daging sapi,
ikan, atau ayam. Pasien juga mengatakan suka mengemil dan makan
snack.
2. Kegiatan fisik
Pasien merupakan seorang pelajar kelas 3 SMP. Selama seminggu ini
pasien sedang berlatih lari untuk mengikuti kompetisi di sekolahnya.
Dimana, latihan lari dilakukan setiap hari dengan pasien biasanya
menempuh jarak 5 km. Ketika dirumah kegiatan pasien sehari-harinya
adalah membantu orang tuanya membersihkan rumah, belajar dan
menjaga adiknya.
3. Akses ke tempat pelayanan kesehatan
Jarak dari rumah pasien ke RSUP Sanglah ± 4 km. Pasien dapat
dengan mudah mengunjungi RSUP Sanglah untuk kontrol dan
mengobati penyakitnya. Akses dari rumah pasien menuju Puskesmas
maupun Rumah Sakit Swasta, yaitu RS Surya Husdha, RS Prima

42
Medika dan RS Kasih Ibu juga relatif dekat yaitu ± 3-4 km, sehingga
bila terjadi serangan mendadak, pasien dapat segera mengunjungi
tempat pelayanan kesehatan terdekat terlebih dahulu.
4. Lingkungan
Pasien tinggal di sebuah rumah kost yang beralamat di Jalan Pulau
Bungin 1 No. 7 dengan luas bangunan 75 m2. Pasien tinggal dengan
orang tua serta kedua adiknya dengan total penghuni sebanyak 5
orang. Terdapat halaman di depan kamar kost yang berfungsi sebagai
tempat memarkir motor sekaligus tempat menjemur pakaian, 2 buah
kamar tidur, 1 buah dapur, dan 1 buah kamar mandi. Akses ke rumah
pasien cukup mudah dengan pemukiman sekitar yang padat. Secara
keseluruhan lingkungan di rumah kost terlihat cukup bersih. Pasien
tinggal di kamar bersama dengan kedua adiknya. Kamar kost pasien
memiliki ventilasi dan sirkulasi udara yang cukup memadai, namun
kaca, tirai jendela, lemari dan kipas angin tampak berdebu. Sumber
masuknya cahaya matahari pagi dan sore ke dalam rumah terlihat
cukup memadai. Rumah kost pasien ini beratapkan genteng dengan
tembok batako semen yang diplester dan dicat. Plafon terbuat dari
triplek kayu dan lantai dilapisi keramik.
Di rumah pasien juga terdapat satu buah dapur dan satu buah kamar
mandi yang letaknya berdekatan. Dinding dan lantai kamar mandi
terbuat dari batako yang diplester dan dicat. Kamar mandi tersebut
terdiri dari satu jamban jongkok yang tampak kurang bersih, 1 buah
bak yang rutin dikuras, dan saluran pembuangan limbah yang lancar.
Pasien menggunakan sumber air sumur bor untuk mandi, mencuci
baju, air minum dan keperluan memasak. Lingkungan rumah pasien
berada di jalur utama kendaraan dan pemukiman padat penduduk.
Warga di sekitar rumah cukup ramah dan hubungan pasien dengan
tetangga dikatakan baik.

43
b. Kebutuhan bio-psikosoial
1. Lingkungan biologis
Dalam lingkungan biologis atau keluarga pasien tidak terdapat
keluhan sesak napas seperti yang dialami pasien. Saat proses
kunjungan, pasien mengatakan kondisi kesehatan dirinya dan
keluarganya dalam keadaan baik. Dikatakan jika terdapat anggota
keluarga yang sakit, maka akan segera dibawa ke RSUP Sanglah.
2. Faktor psikososial
Dalam keadaan sakit ini pasien sangat membutuhkan pengertian dan
dukungan dari keluarga, agar senantiasa mengawasi pola kegiatan,
pola makan, serta ikut mengawasi segala faktor pemicu yang
berhubungan dengan penyakit alergi maupun asma pasien. Penting
juga dari pihak keluarga ikut membantu permasalahan yang dihadapi
pasien sehari-hari, sehingga turut meringankan beban pasien.
Keluarga juga dibutuhkan sebagai teman untuk mencurahkan segala
beban pikiran yang dirasakan pasien.

44
BAB V
SARAN

5.1 Usulan Penyelesaian Masalah


Berdasarkan masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami mengusulkan
penyelesaian masalah yakni:
1. Edukasi pasien tentang penyakitnya
Pasien dijelaskan kembali mengenai penyakit asma bronkial dan
bagaimana faktor risiko, perkiraan perjalanan penyakitnya, kemungkinan
agen pencetus, pencegahannya dan pengobatan lebih lanjut. Pasien juga
dijelaskan mengenai jenis-jenis pengobatan asma sehingga pasien
mengerti dan dapat turut ambil bagian dalam menentukan pengobatan
asmanya. Pasien juga disarankan untuk rutin kontrol di Rumah Sakit atau
di dokter spesialis dan rutin meminum obat yang diresepkan oleh dokter
hingga asma yang diderita terkontrol sepenuhnya dengan pengobatan
seminimal mungkin.
2. Memberikan KIE agar kegiatan pasien diluar rumah mampu diatur dengan
baik dan pasien dapat menghindari faktor-faktor pencetus kambuhnya
penyakit yang diderita pasien seperti tidak beraktivitas terlalu berat,
memakai masker jika bepergian dan membersihkan rumah yang rentan
terpapar debu maupun asap. Pasien juga diberikan edukasi agar selalu
menyediakan dan membawa obat-obatan yang diperlukan untuk mengatasi
jika terjadi serangan. Pasien disarankan untuk tetap berolahraga ringan dan
tidak berlebihan secara rutin untuk meningkatkan stamina dan kualitas
hidupnya. Olahraga ini disarankan untuk dilaksanakan di waktu yang tepat
dan cuaca yang tidak dingin dan tidak memaksakan tubuhnya hingga
kelelahan.
3. Memberikan edukasi mengenai menjaga lingkungan rumah, terutama
mengenai debu, polutan dan alergen yang mungkin timbul. Pasien
disarankan rutin membersihkan kamarnya dengan menggunakan lab basah
dan tidak menggunakan kemoceng atau sapu agar debunya tidak menyebar
dan menjadi pencetus serangan pasien. Pasien juga disarankan untuk rutin

45
mengganti sprei dan tirai jendela, meletakkan pakaian di lemari pakaian
serta mengatur sirkulasi udara dan cahaya matahari yang cukup didalam
kamar. Pasien diberikan edukasi mengenai pemilihan makanan, sebaiknya
mengkonsumsi makanan yang dibuat di rumah, menghindari makanan
dengan bahan pengawet, serta menghindari makanan yang menimbulkan
alergi pada pasien.
4. Memberikan edukasi terhadap manajemen stres dan emosional, yaitu tidak
memikirkan masalah-masalahnya terlalu berat. Memberikan edukasi jika
stres juga dapat menjadi pemicu munculnya serangan asma

5.2 Saran
1. Pasien sebaiknya membersihkan rumah setiap hari, saat membersihkan
barang dirumah ataupun ditempat kerja disarankan menggunakan masker
dan lap basah berisikan air agar debu tidak berterbangan. Pasien sebaiknya
menjemur kasur secara berkala, mengganti sprei dan tirai jendela serta
mencucinya secara rutin. Pasien sebaiknya membuka jendela dan pintu
saat siang hari sehingga sirkulasi kamar dan rumah menjadi baik. Pasien
juga sebaiknya membersihkan kipas anginnya lebih sering dengan
menggunakan lap basah.
2. Keluarga sebaiknya mendukung pengobatan pasien secara psikis, fisik, dan
material sehingga meringankan beban pikiran pasien. Terutama
mengingatkan untuk menghindari faktor-faktor pencetus penyakitnya.
3. Pasien sebaiknya mulai mengatur seberapa sering harus berolahraga agar
tidak sampai kelelahan, serta ikut menjaga dirinya agar terhindar dari
paparan faktor pencetus penyakitnya, terutama yang sudah diketahui
pasien dan pernah menimbulkan kekambuhan serangan terhadap diri
pasien.
4. Pasien disarankan untuk sering bercerita mengenai setiap permasalahan
yang dimiliki oleh pasien kepada keluarga. Pasien juga disarankan
memiliki teman dekat selain keluarga yang dapat mendengarkan keluh
kesah pasien, sehingga pasien tidak terlalu stres dengan masalanya.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Fitzgerald JM, Reddel H, Boulet LP. Global Strategy for Asthma


Management and Prevention (2016 update). Global Initiative For Asthma
(GINA) [serial online] 2016 [cited 2016 August 18]. Available form : URL :
www.ginasthma.org.
2. Fitzgerald JM, Reddel H, Boulet LP, Hurd S, Bateman ED, Cruz AA. Global
Strategy For Asthma Management and Prevention: Updated 2011. Global
Initiative For Asthma (GINA) [serial online] 2011 [cited 2016 August 16]
Available form : URL : www.ginasthma.org.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Asma, Pedoman Praktis
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI 2011. Jakarta.
4. Barnes P, Virchow JC, Snchis J. Asthma management: important issues.
European Respiratory Review 2006; 14: 147-151.
5. Ratnawati. Editorial Asma di Indonesia. J Respir Indo. 201;. 31(4): 172-175.
6. Akinbami LJ, Moorman JE, Liu X. Asthma Prevalence, Health Care Use, and
Mortality: United States, 2005–2009. National Health Statistics Reports
2011; 32.:1-15.
7. Atmoko W. Faisal HK, Bobian ET, Adisworo MW, Yunus F. Prevalensi
Asma Tidak Terkontrol dan Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan
Tingkat Kontrol Asma di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan,
Jakarta. J Respir Indo. 2011;31: 53-60.
8. Sihombing M, Alwi Q, Nainggolan O. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Penyakit Asma pada Usia > 10 Tahun di Indonesia (Analisis Data
Riskesdas 2007). J Respir Indo. 2010; 30 (2): 85-91.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Asma Bronkiale.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.
10. Widodo R, Djajalaksana S. Patofisiologi dan marker Airway Remodeling
pada Asma Bronkial. J Respir Indo. 2012; 32 (2): 110-119.
11. Zaini J. Asthma Control Test: Cara Simpel dan Efektif untuk Menilai Derajat
dan Respon Terapi Asma. J Respir Indo. 2011; 31 (2): 51-52.
12. Ilyas M, Yunus F, Wiyono WH. Correlation Between Asthma Control Test
(ACT) and Spirometry as Tool of Assessing of Controlled Asthma. J Respir
Indo. 2010; 30 (4): 190-196.
13. Holton C, Crockett A, Nelson M, Ryan P, Wood-Baker R, Stocks N, Briggs
N, Beilby J. Does spirometry training in general practice improve quality and
outcomes of asthma care?. Int. J Quality in Health Care; 23(5): 545 – 553.
14. Rozaliyani A. Susanto AD, Swidarmoko B. Yunus F. Mekanisme Resistensi
Kortikosteroid pada Asma. J Respir Indo. 2011; 31 (4): 210-223
15. Tabri NA, Supriyadi M, Yunus F, Wiyono WH. The Efficacy of Combination
of Inhalation Salmeterol and Fluticasone Compare with Budesonide
Inhalation to Control Test as Evaluation Tool. J Respir Indo. 2012; 30
(3):152-158.

47
LAMPIRAN

Lampiran 1

Kamar
Mandi Dapur

Kamar Tidur Kamar Tidur

Teras

Gambar 1. Denah rumah kost pasien

48
Lampiran 2

Gambar 1. Kondisi dan suasana di depan rumah kost pasien

Gambar 2. Teras rumah kost pasien

49
Lampiran 3

Gambar 1. Kondisi kamar tidur pasien

Gambar 2. Kondisi kamar tidur pasien

50
Lampiran 4

Gambar 1. Kondisi dapur pasien

Gambar 2. Kondisi dapur pasien

51
Lampiran 5

Gambar 1. Kondisi kamar mandi pasien

Gambar 2. Kondisi kamar mandi pasien

52
Lampiran 6

Gambar 1. Foto bersama dengan pasien

Gambar 2. Foto bersama dengan pasien

53

Anda mungkin juga menyukai