Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh
dunia. Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik saluran nafas yang
berhubungan dengan hiperesponsif dan penyempitan saluran nafas yang
menimbulkan gejala – gejala gangguan pernafasan secara episodic yang
membaik secara spontan atau setelah pemberian obat. Dengan mengobatinya
asma dapat dikontrol secara efektif hingga jarang terjadi eksaserbasi dan
penderita dapat menjalani kualitas hidup yang baik1.
Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit
dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal
tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari
pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA)2.
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti
dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai
negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat
inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi
diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi
perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak
permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun
dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang
dilakukan oleh National Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood
Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization
(WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan
untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan
angka kesakitan dan kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah
dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan
permasalahan negara masing-masing. Merujuk kepada pedoman tersebut,
disusun pedoman penanggulangan asma di Indonesia. Diharapkan dengan

1
mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan
benar, baik yang bekerja di layanan kesehatan dengan fasiliti minimal di
daerah perifer, maupun di rumah sakit dengan fasiliti lengkap di pusat-
pusat kota3.
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter
sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong
penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang
sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan.
Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti
bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan
pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah
terjadinya serangan asma.
Pneumonia adalah suatu peradangan parenkim yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain)4.
Berdasarkan asal penyakit, pneumonia dibagi menjadi dua jenis, yaitu
Pneumonia yang berkembang di luar rumah sakit disebut dengan Community
Acquired Pneumonia (CAP atau Pneumonia Komunitas), dan pneumonia yang
terjadi 72 jam atau lebih setelah perawatan di rumah sakit adalah nosokomial,
atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP atau Pneumonia Nosokomial).
Masih ada perdebatan mengenai pneumonia yang terjadi akibat perawatan di
rumah disebut pneumonia komunitas atau nosokomial. Tiap tahun 2 hingga 3
juta kasus pneumonia komunitas dari 10 juta penduduk, 500.000 orang di
rawat di rumah sakit, dan 45.000 orang meninggal di amerika serikat4.

B. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini antara lain :
1. Mengetahui penyakit Asma dan CAP
2. Merangkum pokok-pokok penting dan mendasar dari penyakit asma dan
CAP khususnya dalam hal penegakan diagnosis dan tatalaksana.
3. Sebagai syarat dalam menyelesaikan stase paru di RSU Dokter
Agoesdjam.

2
C. Manfaat
Manfaat dari penulisan referat ini antara lain :
1. Bagi penulis
Menerapkan ilmu pengetahuan dan materi yang telah dipelajari ke dalam
bentuk tulisan ilmiah yang sistematis.
2. Bagi pembaca
Meningkatkan pengetahuan pembaca mengenai penyakit asma dan CAP

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ASMA
A. DEFINISI
Asma adalah penyakit peradangan saluran nafas kronik yang ditandai oleh
peran dari banyak sel dan elemen seluler. Peradangan ini berhubungan dengan
hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan episode berulang kali berupa mengi,
pendek nafas, sesak dada dan batuk yang terutama terjadi pada malam hari atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 1.
Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah hasil panel National
Istitute of Health ( NIH ) – National Heart, Lung and Blood Institute ( NHLBI ).
Menurut NHLBI asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas di mana
banyak sel berperan terutama sel mast, eosinophil, limposit T, makrofag,
neutrophil dan sel epitel5. Asma adalah sindrom yang ditandai oleh obstruksi
aliran udara yang bervariasi baik secara spontan maupun dengan pengobatan
spesifik. Peradangan saluran napas kronis menyebabkan hiperresponsif napas ke
berbagai pemicu, yang menyebabkan aliran udara obstruksi dan gejala pernafasan
termasuk sesak dan mengi6.

B. EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan masalah kesehatan dunia. Diperkirakan sebanyak 300 juta
orang menderita asma, dengan prevalensi sebesar 1- 18 %, bervariasi pada
berbagai negara. Kejadian asma dipengaruhi factor genetik, lingkungan, umur dan
gender dan terdapat kecenderungan peningkatan insidensinya terutama didaerah
perkotaan dan industri akibat adanya polusi udara. Prevalensi di Indonesia adalah
sebesar 5 – 7 %. PBB memperkirakan disability – adjusted life years ( DALYs )
sebanyak 15 juta setiap tahun karena asma, yang merupakan 1% dari beban global
akibat penyakit. Mortalitas sebesar 250.000/tahun yang tidak proporsional dengan
prevalensi penyakit. Polusi menyebabkan peningkatan asma diseluruh dunia1.

4
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan
angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 20257.

C. ETIOLOGI
Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan utama
ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hipereaktivitas bronkus).
Hipereaktivitas bronkus itu belum diketahui dengan jelas penyebabnya. Diduga
karena adanya hambatan sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim
adenilsiklase dan meningginya tonus sistem parasimpatik. Keadaan demikian
menyebabkan mudah terjadinya kelebihan tonus parasimpatik bila ada
rangsangan, hingga terjadi spasme bronkus. Banyak faktor yang turut menentukan
derajat reaktivitas atau iritabilitas tersebut. Faktor genetik, biokimia, saraf
otonom, imunologis, infeksi, endokrin, psikologis, dan lingkungan lainnya, dapat
turut serta dalam proses terjadinya manifestasi asma. Karena itu asma disebut
penyakit yang multifaktorial.
Asma ekstrinsik atau alergik, ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa,
dan disebabkan oleh alergen yang diketahui. Bentuk ini biasanya dimulai pada
masa kanak-kanak dengan riwayat keluarga yang mempunyai penyakit atopik
seperti demam jerami, ekzema, dermatitis, dan asma sendiri. Asma alergik
disebabkan karena kepekaan individu terhadap alergen, biasanya protein, dalam
bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang, kain pembalut, atau yang
lebih jarang, terhadap makanan seperti susu atau coklat. Paparan terhadap alergen,
meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat mengakibatkan serangan
asma.
Pada asma intrinsik atau idiopatik, sering tidak ditemukan faktor-faktor
pencetus yang jelas. Faktor-faktor yang nonspesifik seperti flu biasa, latihan fisik,
atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma jenis ini lebih sering timbul
sesudah usia 40 tahun, dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung
atau pada percabangan trakeobronkial.

5
Bentuk asma yang paling banyak menyerang pasien adalah asma campuran,
yang mana terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik dan intrinsik.

D. FAKTOR RESIKO
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik
(atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan8 :
 Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma,
 Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

Gambar 1. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma

6
Faktor pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan
bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan
asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti
bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran
klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-
fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti
bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk
asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom
telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5,
CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang
terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13,
IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB,
TMOD dan sebagainya.8

Genetik mengontrol respons imun


Gen-gen yang berlokasi pada kompleks HLA (human leucocyte antigen)
mempunyai ciri dalam memberikan respons imun terhadap aeroalergen.
Kompleks gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I,
II dan III dan lainnya seperti gen TNF-α. Banyak studi populasi mengamati
hubungan antara respons IgE terhadap alergen spesifik dan gen HLA kelas II
dan reseptor sel T, didapatkan hubungan kuat antara HLA alel DRB1*15
dengan respons terhadap alergen Amb av.

Genetik mengontrol sitokin proinflamasi


Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam
berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom
11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN- , mast cell growth
factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi

7
berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-petanda
pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan
sebagai predisposisi terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q
berperan dalam progresiviti inflamasi baik pada asma maupun atopi, yaitu gen
yang mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13, dan GMCSF.
Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam
menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel
B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen
yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.

Faktor lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah
penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada
awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap
aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya
gejala.8

E. KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.8
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu
sendiri. Tabel 2 menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada
penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani
sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu

8
tingkat. Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang dan
gambaran klinis sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat asma
penderita tersebut adalah asma persisten berat. Demikian pula dengan asma
persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten berat dan asma
intemiten (lihat tabel 2). Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma
persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak
mempengaruhi penilaian berat asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap
asma persisten berat. Demikian pula penderita dengan gambaran klinis asma
intermiten yang mendapat pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka
derajat asma adalah intermiten.8

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis


(Sebelum Pengobatan)

9
Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam
Pengobatan

10
Tabel 3. Klasifikasi berat serangan asma

F. PATOGENESIS
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
non alergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.12 Inflamasi terdiri dari
dua jenis:8
1. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri
atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe
lambat.12
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed

11
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.12
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.12
2. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.8
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.8
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya
masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil
granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic
enzym dan metaloprotease sel epitel.8
c. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah
dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta

12
mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic
protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO)
daneosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran
napas.8
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-
linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast.
Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga
mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.8

Gambar 1. Inflamasi dan remodeling pada asma

e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada
orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh

13
percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara
lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses
inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran
tersebut melalui a.l sekresigrowth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin,
PDGF dan TGF-b.8
3. Airway Remodeling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel
yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan
jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian
jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum
diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat
heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi,
dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.8
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi
dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks
interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,
otot polos, kelenjar mukus.8
Perubahan struktur yang terjadi : Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan
napas, hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mucus, penebalan membran reticular
basal, pembuluh darah meningkat, matriks ekstraselular fungsinya meningkat,
perubahan struktur parenkim, peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan
fibrosis.

14
Gambar 2. Perubahan struktur pada airway remodeling dan
konsekuensi klinis

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena


sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus
(longstanding inflammation).8
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda
asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas
dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat
dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses
tersebut. Pemikiran baru mengenai patogenesis asma dikaitkan dengan terjadinya
Airway remodeling8
Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun perburukan
asma. Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan lingkungan yang
beraksi pada genotip asma baik sebagai induksi berkembangnya asma atau
memperburuk asma yang sudah terjadi. Di samping itu dipahami terjadinya
kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel bronkus pada asma seperti lebih rentan
untuk terjadinya apoptosis akibat oksidan, meningkatnya permeabiliti akibat
pajanan polutan, meningkatnya penglepasan sitokin dan mediator inflamasi dari
epitel akibat pajanan polutan, yang berdampak pada proses inflamasi
dan remodeling.8

15
Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel
menghasilkan penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi
dan profibrogenic growth factors terutama TGF-b dan familinya (fibroblast
growth factor, insulin growth factor, endothelin-1, platelet-derived growth factor,
dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai mediator
tersebut, TGF-b adalah paling paling penting karena mempromosi diferensiasi
fibroblas menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen
interstisial, sedangkan mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos
dan sel endotel. TGF-b dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada
sel epitel dan diteruskan ke submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-
sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan perkembangan embriogenik jalan napas
mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU) yang
tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan menimbulkan
remodeling jalan napas pada asma. Berdasrkan pemikirantersebut, inflamasi dan
remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan
kecenderungan injuri, kelemahan penyembuhan luka atau keduanya.8
Teori lingkungan, terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya
sitokin proinflamasi untuk menjelaskan remodeling tersebut dan percobaan
binatang yang menunjukkan peran EMTU mendatangkan pemikiran baru pada
patogenesis asma.
Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui mekanisme Th-2.
Akan tetapi berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin Il-13, Il-
4) yang dianggap berperan penting dalam remodeling adalah berinteraksi dengan
sel epitel mediatornya dalam menimbulkan remodeling. Sitokin proinflamasi
tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan remodeling tetapi .interaksinya
dengan sel epitel dan mediatornya adalah mekanisme yang dapat menjelaskan
terjadinya airway remodeling pada asma. Sehingga dirumuskan suatu postulat
bahwa kerusak sel epitel dan sitokin-sitokin TH-2 beraksi bersama-sama dalam
menimbulkan gangguan fungsi EMTU yang menghasilkan aktivasi miofibroblas
dan induksi respons inflamasi dan remodeling sebagai karakteristik asma kronik.8

16
Gambar 3. Interaksi Th-2 dan EMTU pada patogenesis asma

G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesa1 :
a. Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang
memburuk pada malam hari atau secara musiman.
b. Riwayat asma sebelumnya
c. Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada
keluarga
d. Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan
bulu binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu
rumah, obat – obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang
emosi yang kuat
e. Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma
Riwayat penyakit / gejala :
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

17
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

2. Pemeriksaan Fisik :
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani
dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan
adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat
terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat
penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran
napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai
kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan
yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas
Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan
ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat1.
 Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut
tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit),
takikardia, dan pulsus paradoksus9.
Pemeriksaan Thorak5
Pemeriksaan dapat mengungkapkan bahwa pasien yang mengalami
serangan asma dapat dijumpai:

18
 Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,
retraksi suprasternal)
 Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat
terjadi pulsus paradoksus
 Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
 Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing
Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat
asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:8
 obstruksi jalan napas
 reversibiliti kelainan faal paru
 variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).

Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

19
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1
< 80% nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/
oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
 Menilai derajat berat asma

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter)
yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin
tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun
instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik
oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-
hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma:
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi
kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit (lihat klasifikasi)

Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru
lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat
obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan
nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai
terbaik penderita yang bersangkutan.

20
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
 Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE
pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya
sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam
sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai
APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.

 Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).

Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis8


Uji Provokasi Bronkus. Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis
asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti.
Pengukuran Status Alergi. Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi
melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol
lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk
diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu.
Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya

21
dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada
keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/
kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE
total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.

Foto Toraks11
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran
radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.

H. TATALAKSANA
GINA mengajukan 4 komponen tata laksana yang dibutuhkan untuk mencapai
dan mempertahankan kontrol asma10 :
1. Mengembangkan Kerjasama Dokter dengan Pasien
Diupayakan tercapainya kerjasama yang baik antara dokter dan pasien, dan
melakukan edukasi pasien tentang asma dan tatakelola asma yang perlu mereka
kerjakan. Manajemen yang efektif diperoleh bila pasien dapat aktif merawat diri
sendiri yaitu bila ia telah mampu :
a. Menghindari faktor resiko
b. Menggunakan obatnya secara benar dan teratur sesuai yang telah ditentukan
c. Mengerti penggunaan obat pengontrol dan pelega
d. Mampu memonitor asma dan bila mungkin bisa menggunakan PEF meter
e. Mengenal tanda pemburukan asma dan cara mengatasinya
f. Konsultasi bila diperlukan

2. Mengenal dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko


Pasien harus mengetahui faktor pencetus asma mereka dan berusaha
menghindari berbagai faktor yang dapat mencetuskan asmanya seperti diuraikan
mengenai faktor pencetus asma. Pasien tetap melakukan olah raga sesuai

22
kamampuannya dan bila perlu sebelum olah raga terlebih dahulu menggunakan
obat asma.

3. Evaluasi, Terapi dan Monitor Asma


Algoritma 1 menunjukkan suatu cara tata laksana asma secara garis besar yang
dapat dipergunakan sebagai dasar diagnosis asma, evaluasi kontrol/beratnya asma,
tempat perawatan dan tingkat terapi yang diberikan pada pasien yang datang ke
klinik asma atau klinik emergensi. Tindak lanjut terapi pasien ditentukan
berdasarkan respon pasien hingga pasien dapat pulang untuk berobat.

Gambar 4. Algoritma tata laksana asma secara umum

23
4. Monitoring untuk mempertahankan kontrol asma
Pasien kontrol 1 – 3 bulan kemudian dan seterusnya 3 bulan sekali. Bila
adaeksaserbasi kontrol tiap 2 – 4 minggu, ditanyakan mengenai hasil kontrol asma
yang tercapai, kepatuhan pasien menggunakan inhaler dan PEF meter secara benar
atau adanya masalah lain pada pasien.10
Penyesuaian obat dilakukan untuk mendapatkan kontrol yaitu ditingkatkan
regimen obat bila tak terkontrol/atau terkontrol sebagian, sedangkan bila
terkontrol baik selama 3 bulan diturunkan dosis dan langkah terapi secara
perlahan, hingga batas dosis obat minimal yang dapat mengontrol.
Monitoring tetap diperlukan meskipun kontrol telah tercapai karena asma
adalah penyakit yang bervariasi hingga terapi perlu disesuaikan secara berkala
sebagai respon terhadap tanda – tanda kurangnya kontrol yang ditandai oleh
gejala yang memburuk atau timbulnya eksaserbasi.

Gambar 5. ACT

24
 Obat Asma
Obat asma dapat digolongkan menjadi pengedali ( controller ) dan pelega
( reliever ). Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk membuat
asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti inflamasi. Reliever
adalah obat yang digunakan bila perlu berdasar efek cepat untuk
menghilangkan bronkokontriksi dan menghilangkan gejalanya13.

Controller Reliever
Short acting b2 agonist (SABA) :
Kortikosteroid (inhalasi, sistemik)
inhalasi, oral
Leukotriene modifeier Kortikosteroid sistemik
Long acting b2 agonist (LABA) : Antikolinergik : Ipratropium br,
inhalasi, oral oxitropium
Chromolin: Sodium cromoglycate
Teofilin
dan Nedocromil
Teofilin lepas lambat
Anti IgE
Antikolinergik: Tiotropium

Tabel 4. Penggolongan obat asma

 Obat pengendali ( Controller )11


Pencegah adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk mengontrol
asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang
merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan
sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat
sebagai pengcegah, antara lain:

25
a) Kortikosteroid inhalasi

Tabel 5. Obat dan Dosis Kortikosteroid Inhalansi untuk dewasa

Tabel 6. Obat dan Dosis Kortikosteroid Inhalansi untuk anak

b) Kortikosteroid sistemik
c) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil

26
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan
apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
d) Methylxanthine
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan
sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama
efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.
e) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
f) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan
menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise.
Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan
obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah
diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis
reseptor leukotrien sisteinil).

27
Tabel 7. Obat asma controller1

 Penghilang gejala (Reliever)


Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk penghilang
gejala adalah 11.

28
a) Agonis beta2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja
(onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi
otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai
praterapi pada exercise-induced asthma
b) Kortikosteroid sistemik.
Steroid sistemik digunakan sebagai obat penghilang gejala bila penggunaan
bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain.
c) Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu
juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan.Termasuk
dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
d) Theophilin

29
Tabel 8. Obat Reliever1

Tahapan pengobatan asma :


Tahap 1. Gejala asma sangat jarang, faal paru normal, tidak ada riwayat
pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi, maka pasien diberikan obat
penghilang gejala. Adapun yang direkomendasikan adalah agonis beta-2 kerja
singkat (SABA) inhalasi. Alternatif lainnya adalah SABA oral, kombinasi oral
SABA dan teofilin/aminofilin atau antikolinergik kerja singkat inhalasi Tahap 2
sampai dengan 5, pengobatan pengontrol teratur jika perlu12.
Tahap 2. Ditemukan gejala asma dan eksaserbasi atau perburukan yang periodik,
dengan atau tanpa riwayat pengobatan kortikosteroid inhalasi sebelumnya, maka
diberikan pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan penghilang gejala
jika perlu. Alternatif pengontrol lainnya adalah anti-leukotrien bagi pasien yang
tidak tepat menggunakan kortikosteroid inhalasi dan pasien dengan rhinitis
alergika. Selain itu, dapat pula diberikan teofilin lepas lambat kepada pasien
dengan gangguan asma malam hari12.

30
Tahap 3. Tahap ini untuk pasien yang tidak kunjung membaik di tahap 2 selama
kurang-lebih 12 minggu dan diyakini tidak ada masalah lain seperti kepatuhan,
pencetus, dan lain-lain. Pasien diberikan pengontrol kombinasi inhalasi dosis
rendah dan agonis beta-2 kerja lama (LABA) yang disebut LABACS. Alternatif
lainnya sama dengan tahap 212.
Tahap 4. Tahapan setelah tahap 3 dimana harus dinilai apakah gejala pasien
sudah terkontrol sebagian atau belum terkontrol, kepatuhan pasien, komorbiditas,
dan pencetus. Pengobatan yang diberikan adalah LABACS dimana kortikosteroid
inhalasi diberikan dalam dosis sedang-tinggi12.
Tahap 5. Obat yang diberikan adalah LABACS dengan dosis kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi dan jika perlu dapat ditambahkan kortikosteroid oral dosis
terendah. Kortikosteroid oral bekerja sistemik sehingga diharapkan dapat
mempercepat penyembuhan, mencegah kekambuhan, memperpendek hari rawat,
dan mencegah kematian12.

Gambar 6. Asthma management approach based on control10

31
Penangan asma mandiri
Rencanakan pengobatan asma jangka panjang sesuai kondisi penderita,
realistik/memungkinkan bagi penderita dengan maksud mengontrol asma.
System penangan asma mandiri membantu penderita memahami kondisi
kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Mengajak penderita
memantau kondisinya sendiri, indentifikasi perburukan asma sehari-hari,
mengontrol gejala dan mengetahui kapan penderita membutuhkan bantuan
medis/dokter. Penderita dipekenalkan pada tiga daerah (zona) yaitu merah,
kuning dan hijau. Zona merah berarti berbahaya, kuning hari-hari dan hijau
adalah baik.8
Pelangi asma, monitoring keadaan asma secara mandiri
Hijau - Kondisi baik, asma terkontrol
- Tidak ada/minimal gejala
- APE 80-100% nilai prediksi/terbaik
Pengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan.
Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan
turukan terapi
Kuning - Berhati-hati, asma tidak terkontrol, dapat etrjadi serangan
akut/eksaserbasi
- Dengan gejala asma (asma malam, aktifitas terhambat, batuk, mengi,
dada terasa berat baik saat aktifitas maupun istirahat) dan/atau APE
60-80% prediksi/ nilai terbaik
Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasi
Merah - Berbahaya
- Gejala asma terus menerus dan membatasi aktivitas sehari-hari
- APE < 60% prediksi/nilai terbaik.
Penderita membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan
yang disepakati dokter-penderita secara tertulis. Bila tetap tidak ada
respon, segera hubungi dokter atau rumah sakit
Tabel 9. Pelangi Asma

32
Penatalaksanaan di rumah
Kemampuan menderita untuk medeteksi dini perburukan asmanya adalah
penting dalam keberhasilan penangannan serangan akut. Bila penderita dapat
mengobati dirinya sendiri saat serangan dirumah, maka ia tidak hanya
mencegah keterlambatan pengobatan tetapi juga meningkatkan kemampuan
untuk mengontrol asmanya sendiri. Idealnya penderita mencatat gejala,
kebutuhan bronkodilator dan faal paru (APE) setiap harinya dalam kartu
harian (pelangi asma), sehingga paham mengenai bagaimana dan kapan:8
- Mengenal perburukan asmanya
- Memodifikasi atau menambah pengobatan
- Menilai berat serangan
- Mendapatkan bantuan medis/dokter

Penilaian berat serangan


\
Klinis : gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE < 80 % prediksi/nilai terbaik

Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (setiap 20 menit, tiga kali dalam 1 jam),
atau bronkodilator oral

Respon baik Respon buruk


Gejala membaik Gejala menetap atau bertambah
Perbaikan dengan agonis beta-2 dan bertahap selama 4 jam. berat
APE > 80% prediksi/nilai terbaik APE < 60% prediksi/nilai
 Lanjutkan agonis beta-2 inhalasi setiap 3-4 jam untuk 24-48 terbaik
jam. Alternatif : bronkodilator oral setiap 6-8 jam  Tambahkan kortikosteroid
 Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis tinggi (bila sedang oral
menggunakan steroid inhalasi) selama 2 minggu, kemudian  Agonis beta-2 diulang
kembali ke dosis sebelumnya

Gambar 7. Algoritme penatalaksanaan asma di rumah


Segera ke dokter/IGD/RS

33
Penatalaksanaan di rumah sakit
Serangan akut berat adalah gawat darurat dan membutuhkan bantuan medis
segera, penangan harus cepat dan sebaiknya dilakukan diruamh sakit/gawat
darurat.13
Berat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan, untuk selanjtnya
diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan
pemeriksaan faal paru dan laboratorium menjadikan keterlambatan dalam
pengobatan/tindakan.
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah dilakukan,
respon pengobatan, waktu mulai terjadinya dan penyebab/ pencetus serangan saat
itu, dan ada tidaknya seriko tinggi untuk mendapatkan keadaan fatal/kematian.

Gambar 8. Algoritme penatalaksanaan asma di RS13

34
Kriteria pulang atau rawat inap
Pertimbangan untuk memulangkan atau perawatan rumah sakit (rawat inap)
pada penderita di gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respon pengobatan
baik klinis maupun faal paru. Berdasarkan penilaian fungsi, pertimbangan pulang
atau rawat inap adalah:8
- Penderita rawat inap bila VEP 1 atau APE sebelum pengobatan awal <25%
nilai terbaik/prediksi; atau VEP 1/APE <40% nilai terbaik/prediksi setelah
pengobatan awal diberikan
- Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan bila VEP 1/APE 40-60% nilai
terbaik/prediksi setelah pengobatan awal, dengan diyakini tindak lanjut dan
adekuat dan kepatuhan berobat.
- Penderita dnegan respon pengobatan awal memberikan VEP 1/APE >60% nilai
terbaik/prediksi, umumnya dapat dipulangkan

Kriteria perawatan intesif/ICU :


- Serangan berat dan tidak respon walau telah diberikan pengobatan adekuat
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Gagal nafas yang ditunjukkan dengan AGDA yaitu PaO2 <60 mmHg dan atau
PaCO2>45 mmHg, saturasi O2 ≤ 90% pada penderita anak. Gagal nafas dapat
terjadi dengan PaCO2 rendah atau meningkat.

Intubasi dan ventilasi mekanis


Intubasi dibutuhkan bila terjadinya perburukan klinis walau dengan
pengobatan optimal, penderita tampak kelelahan dan atau PaCO2 meningkat terus.
Tidak ada kriteria absolut untuk intubasi, tetapi dianjurkan sesuai dengan
pengalaman dan keterampilan dokter dalam penanganan masalah pernafasan.8

35
Tabel 10. Tatalaksana serangan akut

I. PENCEGAHAN
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan
bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang
sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan
tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma
pada penderita yang sudah menderita asma.8
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal
dan perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan

36
primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau
menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut
sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer
waktu ini adalah belum mungkin.
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah
yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru
mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada
penderita anak dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai
peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen
sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah
dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari
gejala daripada jika pajanan terus berlangsung.8
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh
berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.8

J. PROGNOSIS
Asma biasanya kronis , meskipun kadang-kadang masuk ke periode panjang
remisi . Prospek jangka panjang umumnya tergantung pada tingkat keparahan.
Dalam kasus-kasus ringan sampai sedang , asma dapat meningkatkan dari waktu
ke waktu , dan banyak orang dewasa bahkan bebas dari gejala. Bahkan dalam
beberapa kasus yang parah , orang dewasa mungkin mengalami perbaikan
tergantung pada derajat obstruksi di paru-paru dan ketepatan waktu dan efektivitas
pengobatan . Pada sekitar 10 % kasus persisten berat , perubahan dalam struktur
dinding saluran udara menyebabkan masalah progresif dan ireversibel dalam
fungsi paru-paru , bahkan pada pasien yang diobati secara agresif . Fungsi paru-
paru menurun lebih cepat daripada rata-rata pada orang dengan asma , terutama
pada mereka yang merokok dan pada mereka dengan produksi lendir yang

37
berlebihan ( indikator kontrol perlakuan buruk ) . Kematian dari asma adalah
peristiwa yang relatif jarang , dan kematian asma yang paling dapat dicegah . Hal
ini sangat jarang orang yang menerima perawatan yang tepat untuk mati asma .
Namun, bahkan jika tidak mengancam nyawa , asma dapat melemahkan dan
menakutkan . Asma yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengganggu sekolah
dan bekerja , serta kegiatan sehari-hari.14

2. PNEUMONIAE
A. DEFINISI
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Berdasarkan asal penyakit,
pneumonia dibagi menjadi dua jenis, yaitu Pneumonia yang berkembang di
luar rumah sakit disebut dengan Community Acquired Pneumonia (CAP atau
Pneumonia Komunitas), dan pneumonia yang terjadi 72 jam atau lebih setelah
perawatan di rumah sakit adalah nosokomial, atau Hospital Acquired
Pneumonia (HAP atau Pneumonia Nosokomial).15

B. EPIDEMIOLOGI
Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh
dunia dan merupakan penyebab kematian ke tujuh di Amerika Serikat.
Penyakit ini adalah penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit
menular di Amerika Serikat. Setiap tahun di Amerika Serikat, ada sekitar 1-
2.000.000 kasus Community Acquired Pneumonia mengarah ke sebanyak 1,1
juta pasien di rawat inap dan 45.000 mengalami kematian.16
Insidens CAP adalah yang tertinggi pada kelompok usia ekstrim, yaitu
sekitar 915.900 kasus pada pasien berusia > 65 tahun setiap tahun di Amerika
Serikat. Angka kematian kurang dari 1% untuk orang dengan CAP yang tidak
memerlukan rawat inap, namun rata-rata angka kematian dari 12% sampai 14%
di antara sakit pasien dengan CAP yang dirawat di rumah sakit. Di antara
pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), atau pasien bacteremic,
atau yang berasal dari panti jompo, rata-rata angka kematian meningkat

38
menjadi 30% sampai 40%. Oleh karena itu, sangat penting bahwa dokter
mengenali dan mengobati CAP tepat.16

C. PATOGENESIS
Pneumonia terjadi akibat dari proliferasi pathogen microbial pada tingkat
alveolus dan respon dari tingkat host terhadap pathogen ini. Mikroorganisme
dapat masuk ke saluran pernafasan bawah melalui beberapa jalan. Yang paling
sering ialah akibat aspirasi dari oropharynx. Sejumlah kecil aspirasi terjadi
paling sering ketika tidur (terutama pada orang tua) dan pada pasien dengan
penurunan tingkat kesadaran. Banyak pathogen yang terinhalasi sebagai
droplet yang terkontaminasi. Selain itu, pneumonia juga dapat terjadi melalui
penyebaran hematogen (seperti endocarditis tricuspid) atau dari penyebaran
dari infeksi pleural atau ruang mediastinum.
Factor mekanis sangat penting dalam menentukan system pertahanan tubuh
penderita. Rambut dan turbinasi dari lubang hidung menangkap partikel yang
lebih besar yang terinhalasi sebelum mereka mencapai saluran pernafasan
bawah, dan cabang dari trakeobronkial menangkap juga partikel dari saluran
pernafasan tersebut, dimana klirens mukosiliar dan factor local antibacterial
juga membersihkan atau membunuh pathogen potensial. Reflex dan
mekanisme batuk juga dapat melindungi dari aspirasi. Flora normal yang
menempel pada sel mukosa dari oropharynx juga dapat mencegah bakteri
pathogen dalam mengikat dan dapat menurunkan risiko pneumonia.
Ketika perlindungan tersebut dihadapi oleh mikroorganisme yang cukup
kecil untuk terinhalasi pada tingkat alveolus, makrofag alveolar setempat
secara efisien membersihkan dan membunuh pathogen. Makrofag dibantu oleh
protein local (seperti surfactant protein A dan D) yang mempunyai kemampuan
untuk opsonizing atau aktivitas antibacterial. Pathogen tersebut dieliminasi bisa
melalui system mukosiliar atau limfatik dan dapat menunjukan reaksi dari
inflamasinya. Hanya ketika kapasitas dari makrofag alveolar untuk membunuh
mikroorganisme melebihi kemampuan, pneumonia secara klinis baru
bermanifestasi. Pada situasi ini, makrofag alveolar memulai respons inflamasi

39
untuk meningkatkan system pertahanan dari saluran pernafasan bawah. Respon
inflamasi tersebut dapat memicu timbulnya manifestasi klinis dari pneumonia.
Pengeluaran dari mediator inflamasi seperti Interleukin (IL) dan tumor necrosis
factor dapat menyebabkan terjadinya demam. Kemokin seperti L-8 dan
granulocyte colony-stimulating factor dapat merangsang pengeluaran dari
netrofil dan cara kerja mereka di paru yang menghasilkan leukosit perifer dan
meningkatkan sekresi purulen. Mediator inflamasi yang dikeluarkan oleh
makrofag dan netrofil yang terbaru dapat membuat kebocoran kapiler alveolar
yang sama seperti pada Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS).meskipun pada pneumonia kebocoran yang terjadi bersifat
terlokalisasi. Bahkan eritrosit dapat menembus juga melalui membrane kapiler
alveolar dengan hemoptisis konsekuen. Kebocoran kapiler dapat menyebabkan
munculnya infiltrate pada gambaran radiologi dan ronkhi yang terdengar pada
auskultasi dan juga hypoxemia yang disebabkan karena alveolar yang terisi.
Bahkan ada beberapa pathogen yang dapat berperan langsung pada
vasokontriksi hypoxic yang secara normal terjadi pada alveoli yang terisi
cairan dan dapat menyebabkan hypoxemia.
Peningkatan pernafasan pada Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dapat menyebabkan alkalosis respiratori. Penurunan compliance karena
kebocoran kapiler, hypoxemia, peningkatan pernafasan, peningkatan sekresi
dan bronkospasm dapat memicu terjadinya dyspnea. Jika terjadi cukup parah,
perubahan struktur mekanis dari paru juga dapat terjadi seperti penurunan dari
volume paru dan komplians dan shunting aliran darah intrapulmoner dapat
menyebabkan kematian pada pasien.

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi dan penentuan tingkat keparahan pada CAP ditentukan terutama
ditentukan untuk mengetahui rekomendasi rawat inap dan untuk menentukan
prognosis dari CAP ini. Ada 2 macam grading yang digunakan pada CAP yaitu
CURB – 65 / CRB – 65 dan Pneumonia Severity Index (PSI).17,18

40
Tabel 11. CURB-65 dan CRB-65 Severity Scores untuk Community-
Acquired Pneumonia (CAP)17,18
Faktor Klinis Poin
Confusion (terlihat bingung) 1
Blood Urea nitrogen > 19 mg per dL (BUN) 1
Respiratory rate > 30 breaths per minute 1
(frekuensi napas)
Systolic Blood pressure < 90 mm Hg (tekanan 1
darah sistolik)
or
Diastolic Blood pressure < 60 mm Hg ( tekanan
darah diastolik)
Age > 65 years (usia) 1

Total poin:
Skor CURB-65 Tingkat kematian (%) Rekomendasi
0 0.6 Resiko rendah, dipertimbangkan untuk rawat di
1 2.7 rumah.
2 6.8 Rawat inap sementara atau rawat jalan dengan
pengawasan ketat.
3 14.0 Pneumonia berat; rawat inap dan pertimbangkan
4 or 5 27.8 untuk rawat di ICU
Tabel 12. CURB-65 = Confusion, Urea nitrogen, Respiratory rate, Blood pressure,
65 years of age and
older.

41
CRB-65 score Tingkat kematian (%) Rekomendasi
0 0.9 Resiko kematian sangat rendah; biasanya tidak
perlu dirawat di rumah sakit
1 5.2 Resiko kematian meningkat; perlu
2 12.0 dipertimbangkan untuk dirawat inap
3 or 4 31.2 Resiko kematian tinggi; perlu secepatnya dirawat
inap.
CRB-65 = Confusion, Respiratory rate, Blood pressure, 65 years of age and older.

Tabel 12. Pneumonia Severity Index (PSI)


Faktor Resiko Nilai
Usia
Pria usia (th)
Wanita usia (th) −10
Tinggal dalam panti jompo atau panti asuhan +10
Penyakit komorbid lain
Penyakit Keganasan +30
Penyakit Hepar +20
Penyakit Ginjal +10
Penyakit Cerebrovaskular +10
Gagal Jantung Kongestif +10
Pemeriksaan Fisik
Gangguan mental +20
Takipneu (>30 kali/menit) +20
Hipertensi Sistolik (<90 mm Hg) +20
Suhu tubuh (<35° atau >40° C) +15
Detak jantung >125 beats/min +10
Laboratorium dan Hasil Radiografi
pH darah (arterial) <7.35 +30
Hipoxemia (arterial Pao2<60 mm Hg atau saturasi O2 <90%) +10

42
Serum urea nitrogen (BUN) >30 mg/dL +20
Na <130 mEq/L +20
Gula darah >250 mg/dL +10
Anemia (hematokrit <30%) +10
Efusi pleura 10
Adapted from Kolleff MH, Micek ST: Methicillin-resistant Staphylococcus aureus—a new
community-acquired pathogen? Curr Opin Infect Dis 2006;19:161-168.

Table 13. Pneumonia Severity Index: Resiko kematian dalam 30 hari berdasarkan
PSI
Kelas Resiko Poin Tingkat kematian (%)
I 0 0.1
II <70 0.6
III 71-90 2.8
IV 91-130 8.2
V >130 29.2
Adapted from Kolleff MH, Micek ST: Methicillin-resistant Staphylococcus aureus—a
new community-acquired pathogen? Curr Opin Infect Dis 2006;19:161-168. © 2002 The
Cleveland Clinic Foundation.

Pasien dengan CAP grade I dan II menurut PSI dapat menjalani rawat
jalan saja apabila tidak ada instabilitas hemodinamik, tidak memerlukan oksigen
tambahan secara kronis, imunokompeten, dan dapat mengkonsumsi obat oral.
Pasien grade III harus dipertimbangkan untuk rawat inap sementara atau dapat
rawat jalan, diputuskan sesuai dengan kondisi klinisnya, sedangkan pasien grade
IV dan V direkomendasikan untuk rawat inap. Sedangkan berdasarkan CURB –
65, pasien dengan skor 0 – 1 dirawat jalan, skor 2 dirawat dalam bangsal biasa,
dan skor >= 3 dirawat inap dalam pelayanan ICU.
Namun ada beberapa kategori sehingga pasien dengan resiko kematian
rendah perlu di rawat jalan:
 Terdapat komplikasi dari pneumonia tersebut

43
 Terdapat eksaserbasi dari penyakit lain yang mendasarinya misalnya PPOK,
Dekompensasio Kordis, atau Diabetes Melitus.
 Tidak mampu untuk mengkonsumsi obat oral atau menjalani pengobatan
rawat jalan
 Faktor resiko multipel yang mendekati batas skor

E. DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
 Batuk-batuk bertambah
 Perubahan karakteristik dahak / purulen
 Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
 Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial
dan ronki
 Leukosit > 10.000 atau < 4500

F. Tatalaksana CAP
Pasien dengan CAP seringkali datang dengan gejala demam,batuk
berdahak, dan nyeri dada (pleuritic pain). Pasien disarankan untuk beristirahat
dan terutama berhenti merokok serta bila disertai demam maka pasien
dianjurkan untuk meminum banyak air. Bila pasien mengeluh nyeri dada, maka
penting untuk diberikan penghilang rasa sakit seperti parasetamol atau NSAID.
Status gizi juga penting untuk menunjang hasil dari terapi dan untuk
pencegahan penyakit agar tidak berkelanjutan. Pada pasien dengan CAP dapat
terjadi keadaan hipoksia karena aliran darah paru tidak disertai jaringan paru
yang ventilasinya baik. Gejala klinis yang timbul dapat berupa takipneu,
dispneu dan perubahan status mental. Semua pasien harus menerima terapi
oksigen yang sesuai dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi
oksigen terinspirasi dengan tujuan untuk mempertahankan PaO2 di >8 kPa dan

44
SpO2 94-98%. Temperatur, laju pernafasan, denyut nadi, tekanan darah, status
mental, saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi harus dipantau dan
dicatat setidaknya dua kali sehari dan dapat lebih sering pada mereka dengan
pneumonia berat atau membutuhkan terapi oksigen biasa. Pasien harus ditinjau
dalam 24 jam dari bila direncanakan untuk pulang, dan mereka tidak boleh
memiliki lebih dari satu dari karakteristik berikut ini : suhu >37.8 0C, denyut
jantung >100x/menit, laju pernapasan >24/min, tekanan darah sistolik <90
mmHg, saturasi oksigen <90%, serta ketidakmampuan untuk mempertahankan
asupan oral dan status mental yang abnormal.19,20
Tujuan utama terapi dengan antibiotik adalah untuk mengeradikasi
organisme patogen sehingga terjadi perbaikan klinis pasien. Penggunaan obat
anti mikroba harus disesuaikan dengan patogen penyebab dan kerentanannya
dengan antibiotik. Namun, sampai tersedia metode diagnostik yang lebih
akurat dan cepat, pengobatan awal yang diberikan berdasarkan empiris.
Pemilihan untuk terapi antimikrobial empiris didasarkan pada patogen yang
sering dan pola patogen daerah setempat. Walaupun patogen penyebab telah
teridentifikasi, banyak perdebatan mengenai antibiotik spesifik karena studi
terbaru menemukan adanya koinfeksi dengan patogen atipikal seperti
C.pneumoniae, Legionella sp. dan virus.
Terapi secara empiris ini terutama diarahkan pada S.pneumoniae yang tetap
menjadi penyebab utama CAP. Selain dari M pneumoniae, patogen atipikal,
Legionella sp dan bakteri b-laktamase yang jarang menginfeksi pada
penumonia komunitas. Untuk alasan ini, maka pemilihan antiobiotik
amoksisilin masih sering digunakan. Terapi alternatif lainnya bila pasien
mengalami hipersensitiftas terhadap penisilin yaitu dapat digunakan
Doksisiklin dan makrolide seperti clarithromycin dan erithromycin. Pasien
yang dirujuk ke rumah sakit dengan suspek CAP dimana penyakitnya ini
dianggap dapat mengancam jiwa, maka dokter umum harus memberikan
antibiotik untuk golongan pneumococcal pneumonia (penyebab tersering CAP
berat) dengan memberikan penisilin G 1,2 g secara IV atau dengan amoksisilin
1 g oral.19,20

45
Rekomendasi antibiotik umumnya bukan kelas obat tertentu, kecuali hasil
data jelas mendukung satu obat. Obat yang lebih poten diutamakan karena
keuntungannya dalam menurunkan angka resiko terjadi resistensi antibiotik.
Faktor-faktor lain untuk pertimbangan antimikroba spesifik termasuk
farmakokinetik/ farmakodinamik, kepatuhan, keamanan, dan biaya.
Terapi antimikrobial empiris
I. Pasien rawat jalan
a) Untuk pasien yang sebelumnya sehat dan tidak terdapat resiko resisten
dengan obat S.pneumonia dapat diberikan makrolide (azithromycin,
clarithromycin, erythromycin) atau Doxycycline
b) Pasien dengan komorbid penyakit jantung, paru-paru, hati, atau ginjal
kronis; diabetes melitus, kecanduan alkohol, keganasan, asplenia,
kondisi atau penggunaan obat immunosupresif, penggunaan
antimikroba dalam 3 bulan sebelumnya atau bila terdapat faktor resiko
terjadinya resistensi obat dapat diberikan obat golongan
fluoroquinolone (moxifloxacin, gemifloxacin, or levofloxacin (750
mg) atau dengan gabungan β-lactam dan macrolide (amoxicillin,
amoxicillin-clavulanate) dengan alternatif ceftriaxone, cefpodoxime,
and cefuroxime
II. Pasien rawat inap bangsal
a) fluoroquinolone
b) β-lactam (cefotaxime, ceftriaxone, dan ampicillin; ertapenem) dan
macrolide (doxycycline)
III. Pasien rawat inap ICU
a) β-lactam(cefotaxime, ceftriaxone, atau ampicillin-sulbactam)
ditambah azithromycin atau fluoroquinolon (untuk pasien yang alergi
penisilin, fluoroquinolon dan aztreonam dapat direkomendasikan)
b) Untuk infeksi oleh Pseudomonas, digunakan antipneumococcal,
antipseudomonal β-lactam (piperacillin-tazobactam,cefepime,
imipenem, atau meropenem) ditambah dengan ciprofloxacin or
levofloxacin (750mg)

46
Pemberian antibiotik juga dapat dilihat berdasarkan penilaian klinis
dengan skor CURB-65

Terapi patogen spesifik


Pilihan pengobatan dapat disederhanakan jika etiologi telah diidentifikasi.
Prosedur diagnostik untuk menentukan etiologi spesifik dalam 24-72 jam berguna
untuk terapi lanjutan. Terapi antibiotik harus diberikan sesegera mungkin bila ada
kecurigaan tentang pneumonia karena penundaan pemberian antibiotik dapat
memberi konsekuensi yang buruk. Untuk pasien dengan sakit parah dan keadaan
hemodinamik yang tidak stabil, pemberian antibiotik sangat dianjurkan.

47
Tabel 14. Rekomendasi antibiotik untuk patogen spesifik

48
Durasi penggunaan obat antibiotik pneumonia
Pasien dengan pneumoni komunitas harus diterapi selama minimal 5 hari
dan untuk penghentian terapi, pasien harus dalam keadaan tidak demam selama
48-72 jam dan tidak boleh memiliki lebih dari 1 tanda ketidakstabilan klinis.
Tanda-tanda ketidakstabilan secara klinis yaitu suhu tubuh melebihi 37,8OC,
frekuensi jantung lebih dari 100x/menit, frekuensi pernafasan lebih dari
24x/menit, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg, saturasi oksigen kurang
dari 90%, tidak mampu meminum obat oral dan perubahan status mental. Durasi
penggunaan antibiotik yang lebih lama mungkin diperlukan jika pada awal terapi
tidak dapat mengeliminasi patogen yang telah diidentifikasi atau telah ada
komplikasi dari infeksi ekstrapulmonal seperti endocarditis dan meningitis.

G. Pencegahan
 Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
 Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)
Sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya.
Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya
usia lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV,
dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping
vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi
yaitu hipersensitiviti tipe 3

49
BAB III
PENYAJIAN KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : Ny. Tri Winarsih
2. Usia : 37 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Alamat : Jl. Gajah Mada Gg. Hikmah
5. Tanggal Masuk RS : 29 November 2016
6. No. RM : 172575
7. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Agoesdjam dengan keluhan sesak napas sejak 1
hari SMRS, sesak dirasakan tiba-tiba, sesak berdurasi 10 menit, sesak
diperingan dengan istirahat dan posisi duduk dan diperberat dengan aktivitas
dan posisi berbaring. Saat sesak pasien mengatakan terdengar bunyi “ngik-
ngik”. Pasien mengatakan keluhan sesak mulai dirasakan pada usia 10 tahun
hingga saat ini, namun keluhan tersebut jarang muncul. Kadang-kadang
keluhan sesak muncul satu kali dalam sebulan, namun keluhan hilang apabila
pasien beristirahat. Sesak muncul pada saat terkena debu, namun kadang-
kadang muncul pada malam hari. Pasien tidak pernah meminum obat untuk
mengurangi keluhannya serta tidak pernah mengunjungi fasilitas kesehatan
karena keluhan sesak tersebut. Pasien mengaku keluhan sesak tersebut tidak
mengganggu aktivitas nya sehari-hari sebagai seorang Ibu Rumah Tangga.
Pasien juga mengeluh dada terasa berat pada waktu sesak. Pasien juga
mengeluh batuk kering sejak ±2 hari SMRS, batuk dirasakan memberat
setelah 2 hari kemudian. Frekuensi batuk bertambah, dan batuk menjadi

50
berdahak, warna dahak kekuningan. Demam (-) mual (-) muntah (-) BAB dan
BAK dbn.

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama (+) . Riwayat DM disangkal.
Riwayat Hipertensi (+). Alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah menderita Asma (+)

Riwayat social ekonomi


Pasien merupakan Ibu Rumah Tangga

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Sesak
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda Vital :
Tekanan darah : 180/120mmHg
Nadi : 110x/menit regular, isi cukup
Pernapasan : 28x/menit regular
Suhu : 36,80C per aksila

1. Status Generalis :
a. Kepala : Normosefal
b. Mata : OD/OS konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil
bulat, isokor, RCL +/+, RCTL +/+
c. Telinga : Sekret (-/-), bekuan darah di meatus auricularis (-/-)
d. Hidung : Sekret (-/-) deviasi septum (-/-), edema concha (-/-)
e. Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah bening (-/-),
pembesaran kelenjar tiroid (-)
f. Torax :

51
Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : S I-II regular G(-), M(-)
Paru : Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, dada
tertinggal (-), retraksi (-), otot bantu napas
(-), pernapasan thoracoabdominal
Palpasi :Nyeri tekan (-)Vokal fremitus sinistra =
dekstra
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesicular (+/+), ronki (-/-), wheezing (+/+)
g. Abdomen : Inspeksi : simetris, hiperemis (-), tumor (-)
Auskultasi : bising usus (+) 10x/menit
Perkusi : timpani, batas hepar dan lien normal,
pembesaran (-)
Palpasi : soepel (+), NT (-)
Interpretasi : dalam batas normal,
h. Ekstremitas : Hangat, CRT < 2, Edema (-)
i. Kulit : Sianosis (-), warna kuning langsat

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hematologi Rutin
Hematologi 29-11-2016 Hematologi 3 -12-2016
Leukosit : 6.600 mg/dl Leukosit : 14.930 mg/dl
Eritrosit : 3,75 mg/dl Eritrosit : 3,97 mg/dl
Hemoglobin : 11,0 mg/dl Hemoglobin : 11,3 mg/dl
Trombosit : 279.000 mg/dl Trombosit : 296.000 mg/dl
Hematokrit : 29,9% Hematokrit : 30,4%

52
Hematologi 5-12-2016
Leukosit : 11.400 mg/dl
Eritrosit : 3,63 mg/dl
Hemoglobin : 9,8 mg/dl
Trombosit : 331.000 mg/dl
Hematokrit : 28,9%

X-ray thorax

Rontgen thorax Ny. T 37 tahun di ambil pada tanggal 1/12/2016, posisi PA,
tingkat kekerasan kurang keras, tampak foto simetris, tidak ditemukan deviasi
trakea. Soft tissue dan tulang intak. Pada hemithorax dextra tampak

53
perselubungan inhomogen dari SIC 2 kebawah, diafragma licin, sudut
costophrenicus lancip, sudut cardiophrenicus tumpul. Pada hemithorax sinistra
tampak perselubungan inhomogen pada SIC 1 ke bawah. Sudut
costophrenicus dan cardiophrenicus sulit dinilai. Air Bronchogram sign (+)
CTR > 50%

E. Diagnosis : Asma akut ringan pada asma intermitten + CAP

F. Diagnosis Banding
Asma akut sedang pada asma intermitten + CAP dd TB paru BTA (?) lesi luas
kasus baru

G. Tatalaksana
 IVFD RL + Aminofilin 2 amp → 12 tpm
 Inj. Ceftriaxon 1gr/24 jam
 Inj. Metil prednisolon 0,5 cc/8jam
 Nebulizer combivent + flexotide/ 6jam (1:1)
 Jika sesak kuat nebulizer combivent 1 resp
 OBH syr 3 x 10 ml

H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam

54
Follow up
1 Desember 2016
S Sesak (+), sesak bertambah berat ketika batuk, batuk disertai dahak
kekuningan, dahak sulit dikeluarkan (+), nyeri dada (-), mual &
muntah (-), pusing (-), demam (-) keringat malam (-)
O TTV:
TD: 120/80 mmHg, napas: 22 x/mnt, nadi: 88 x/mnt, suhu: 36,4oC
Paru:
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-),
penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus sinistra = dekstra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikular (+/+), Rh (+/+), Wh
(+/+)
A Asma akut ringan pada asma intermitten + CAP
Dd TB paru BTA (?) lesi luas kasus baru
P  Cek sputum BTA 3x (SPS)
 O2 3-4 lpm nasal kanul
 IVFD RL + Aminofilin 2 amp → 12 tpm
 Inj. Ceftriaxon 1gr/24 jam (H-I)
 Inj. Metil prednisolon 0,5 cc/8jam
 Nebulizer combivent + flexotide/ 6jam (1:1)
 Jika sesak kuat nebulizer combivent 1 resp
 OBH syr 3 x 10 ml

55
2 Desember 2016
S Sesak (+), sesak bertambah berat ketika batuk, batuk disertai dahak
kekuningan, dahak sulit dikeluarkan (+), nyeri dada (-), mual &
muntah (-), pusing (-), demam (-) keringat malam (-)
O TTV:
TD: 120/80 mmHg, napas: 22 x/mnt, nadi: 80 x/mnt, suhu: 36,4oC
Paru:
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-),
penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus sinistra = dekstra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikular (+/+), Rh (+/+), Wh
(+/+)
A Asma akut ringan pada asma intermitten + CAP
Dd TB paru BTA (?) lesi luas kasus baru
P  Cek sputum BTA 3x (SPS)
 O2 3-4 lpm nasal kanul
 IVFD RL + Aminofilin 2 amp → 12 tpm
 Inj. Ceftriaxon 1gr/24 jam (H-II)
 Inj. Metil prednisolon 0,5 cc/8jam
 Nebulizer combivent + flexotide/ 6jam (1:1)
 Jika sesak kuat nebulizer combivent 1 resp
 OBH syr 3 x 10 ml

56
3 Desember 2016
S Sesak berkurang, batuk (+) berdahak berwarna kekuningan, dahak
sulit dikeluarkan (+), nyeri dada (-), mual & muntah (-), pusing (-),
demam (-) keringat malam (-)
O TTV:
TD: 110/70 mmHg, napas: 20 x/mnt, nadi: 80 x/mnt, suhu: 36,3oC
Paru:
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-),
penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus sinistra = dekstra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikular (↓/+), Rh (-/-), Wh (+/+)
A Asma akut ringan pada asma intermitten + CAP
Dd TB paru BTA (?) lesi luas kasus baru
P  Cek sputum BTA 3x (SPS)
 O2 3-4 lpm nasal kanul
 IVFD RL + Aminofilin 2 amp → 12 tpm
 Inj. Ceftriaxon 1gr/24 jam (H-III)
 Inj. Metil prednisolon 0,5 cc/8jam
 Nebulizer combivent + flexotide/ 6jam (1:1)
 Jika sesak kuat nebulizer combivent 1 resp
 OBH syr 3 x 10 ml

57
4 Desember 2016
S Sesak (-) , batuk (+) berkurang, nyeri dada (-), mual & muntah (-),
pusing (-), demam (-) keringat malam (-)
O TTV:
TD: 120/80 mmHg, napas: 20 x/mnt, nadi: 80 x/mnt, suhu: 36,5oC
Paru:
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-),
penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus sinistra = dekstra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikular (↓/+), Rh (-/-), Wh (+/+)
A Asma akut ringan pada asma intermitten + CAP
Dd TB paru BTA (?) lesi luas kasus baru
P  Cek sputum BTA 3x (SPS)
 IVFD RL + Aminofilin 2 amp → 12 tpm
 Inj. Ceftriaxon 1gr/24 jam(H-IV)
 Inj. Metil prednisolon 0,5 cc/8jam
 Nebulizer combivent + flexotide/ 6jam (1:1)
 Jika sesak kuat nebulizer combivent 1 resp
 OBH syr 3 x 10 ml

58
5 Desember 2016
S Sesak (-) Batuk berkurang, nyeri dada (-), mual & muntah (-), pusing
(-), demam (-) keringat malam (-)
O TTV:
TD: 120/80 mmHg, napas: 20 x/mnt, nadi: 84 x/mnt, suhu: 36,3oC
Paru:
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-),
penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus sinistra = dekstra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikular (↓/+), Rh (-/-), Wh (-/+)
A Asma akut ringan pada asma intermitten + CAP
Dd TB paru BTA (?) lesi luas kasus baru
P  Cek sputum BTA 3x (SPS)
 IVFD RL + Aminofilin 2 amp → 12 tpm
 Inj. Ceftriaxon 1gr/24 jam (H-V)
 Inj. Metil prednisolon 0,5 cc/8jam
 Nebulizer combivent + flexotide/ 6jam (1:1)
 Jika sesak kuat nebulizer combivent 1 resp
 OBH syr 3 x 10 ml

59
6 Desember 2016
S Sesak (-) Batuk (-), nyeri dada (-), mual & muntah (-), pusing (-),
demam (-) keringat malam (-)
O TTV:
TD: 110/80 mmHg, napas: 20 x/mnt, nadi: 82 x/mnt, suhu: 36,2oC
Paru:
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-),
penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus sinistra = dekstra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikular (↓/+), Rh (-/-), Wh (+/+)
A Asma akut ringan pada asma intermitten + CAP
Dd TB paru BTA (?) lesi luas kasus baru
P  IVFD RL
 Inj. Metil prednisolon 0,5 cc/8jam
 Nebulizer combivent + pulmicort/ 6jam (1:1)
 Jika sesak kuat nebulizer combivent 1 resp
 OBH syr 3 x 10 ml

60
7 Desember 2016
S Sesak (-) Batuk (-), nyeri dada (-), mual & muntah (-), pusing (-),
demam (-) keringat malam (-)
O TTV:
TD: 120/80 mmHg, napas: 20 x/mnt, nadi: 80 x/mnt, suhu: 36,3oC
Paru:
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-),
penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus sinistra = dekstra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (+/+)
A Asma akut ringan pada asma intermitten + CAP
Dd TB paru BTA (?) lesi luas kasus baru
P BLPL
 OBH syr 3 x 10ml
 Ambroxol 3 x 10ml
 Salbutamol 3 x 0,08mg
Metilprednisolon 3 x 4mg

61
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan Asma akut ringan pada asma
intermitten + CAP. Ada pun dasar dari diagnosis ini adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Dari anamnesis ditemukan gejala respiratorik berupa sesak yang timbul
secara tiba-tiba, sesak berdurasi 10 menit , sesak diperingan dengan istirahat dan
posisi duduk. Sesak biasanya muncul setelah terkena debu, dan pada malam hari.
Sesak hilang sendirinya setelah beberapa saat. Saat sesak pasien mengatakan
mendengar bunyi “ngik-ngik”. Pasien memiliki riwayat keluhan yang sama mulai
usia 10 tahun. Ayah pasien memiliki riwayat penyakit dengan keluhan yang sama,
dan suaminya sering mengeluh bersin-bersin terutama pada suhu dingin. Dari
gejala klinis dan faktor resiko ini mengarahkan pada suatu penyakit Asma.
Pasien juga mengeluhkan batuk kering sejak ±2 hari SMRS, batuk semakin
memberat 2 hari kemudian, frekuensi batuk bertambah dan batuk menjadi
berdahak. Dahak berwarna kekuningan dan sulit dikeluarkan. Dari gejala klinis ini
mengarahkan pada suatu penyakit Pneumoniae.

2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan Fisik ditemukan bahwa pasien dalam keadaan sakit
sedang dan sesak. Hasil pemeriksaan tanda vital meliputi TD 180/120mmHg, nadi
100x/menit regular isi cukup, pernapasan 26x/menit dan suhu 36,80C per aksila.
Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan bahwa terjadi peningkatan tekanan darah,
dan takipnue. Pada auskultasi didapatkan wheezing ekspirasi pada seluruh lapang
paru. Wheezing pada asma terjadi karena penyempitan jalan napas akibat
kontraksi otot bronkus dan sekresi mukus yang berlebihan.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium darah rutin dan
rontgen thorax. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (14.930

62
mg/dl). Leukositosis merupakan penanda dari terjadinya infeksi. Pada
pemeriksaan foto thorax tampak perselubungan inhomogen dari SIC 2 kebawah
pada hemitorax dextra, perselubungan inhomogen pada SIC 1 ke bawah pada
hemitorax sinistra dan didapatkan konsolidasi dengan Air Bronchogram sign (+).
Hasil rontgen thorax tersebut sesuai dengan gambaran radiologi yang ditemukan
pada Pneumonia.
Pasien didiagnosis dengan Asma akut ringan karena sesuai dengan klasifikasi
asma akut ringan berdasarkan berat serangan asma, yaitu sesak saat berjalan,
posisi pasien dapat tidur terlentang, pasien dapat berbicara satu kalimat penuh,
tidak terdapat pengguanaan otot bantu napas dan retraksi suprasternal. Sesak yang
dialami pasien timbul satu kali dalam sebulan (<1 kali/minggu), gejala malam ≤2
kali dalam sebulan, pasien tidak pernah mengalami gejala diluar serangan, serta
serangan sesak singkat. Hal tersebut sesuai dengan kriteria Asma intermitten.
Pasien tidak pernah meminum obat untuk mengurangi keluhannya serta tidak
pernah mengunjungi fasilitas kesehatan karena keluhan sesak tersebut, sehingga
penggolongan asma terkontrol belum dapat ditegakkan.

63
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien non medikamentosa dan
medikamentosa. Untuk non medikamentosa diberikan infus RL 14 tpm sebagai
terapi cairan dan jalur intravena untuk memasukkan obat-obatan, oksigen 3-4 liter
per menit untuk memberikan suplai oksigen tambahan bagi tubuh sehingga dapat
mengurangi sesak napas.
Terapi medikamentosa yang diberikan kepada pasien adalah:
1. Aminofillin
Aminofilin/ Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat
digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian
jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru
2. Metilprednisolone
Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian
oral lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak
dapat diberikan oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka
dianjurkan pemberian intravena.Glukokortikosteroid sistemik membutuhkan
paling tidak 4 jam untuk tercapai perbaikan klinis. Analisis meta menunjukkan

64
glukokortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg
hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan.
3. Ipatropium bromide (Combivent)
Ipatropium bromide merupakan salah satu antikolinergik. Pemberiannya
secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari
saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis
beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai
efek maksimum. Metaanalisis menunjukkan ipratropium bromide mempunyai
efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan
asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit
secara bermakna oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi
awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan
agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal.
4. Fluticason (Flexotide)
Fluticason termasuk dalam kortikosteroid. Kortikosteroid inhalasi adalah
medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal
paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup.
CAP sendiri adalah suatu infeksi yang menyerang alveoli, jalan nafas distal dan
jaringan intersisial dari paru-paru yang terjadi di luar lingkup rumah sakit. Pasien
merasakan keluhan batuk sebelum ia mengunjungi RS sehingga dapat
dikategorikan segai CAP. Tujuan utama terapi dengan antibiotik adalah untuk
mengeradikasi organisme patogen sehingga terjadi perbaikan klinis pasien.
Penggunaan obat anti mikroba harus disesuaikan dengan patogen penyebab dan
kerentanannya dengan antibiotik. Namun, sampai tersedia metode diagnostik yang
lebih akurat dan cepat, pengobatan awal yang diberikan berdasarkan empiris.

65
Pemilihan untuk terapi antimikrobial empiris didasarkan pada patogen yang sering
dan pola patogen daerah setempat.
Pada pasien diberikan antibiotik ceftriaxone injeksi 1 gr/24 jam. Ceftriaxone
merupakan antibiotik yang paling umum digunakan karena potensi antibakteri
yang tinggi, spektrum yang luas dan potensi yang rendah untuk toksisitas. Alasan
lain yang paling mungkin untuk digunakan secara luas karena ceftriaxone
merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang merupakan antibiotik
spektrum luas yang dapat mengatasi baik pada bakteri gram positif maupun gram
negatif. Hal ini didukung dengan penelitian Yudha (2013) yang mendapatkan
bahwa antibiotik yang paling banyak digunakan untuk pasien terapi pneumonia di
RSUD Dr. Moewardi tahun 2013 adalah ceftriaxone.
Keefektifan antibiotik dapat dilihat dari parameter klinis dan laboratorium.
Dari hasil follow up pada pasien didapatkan bahwa terjadi penurunan frekuensi
batuk setelah mendapatkan terapi antibiotik. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Wulandari (2014) dimana setelah pemberian ceftriaxone
didapatkan penurunan frekuensi batuk pada pasien pneumonia dari 24,07%
menjadi 3,70%. Batuk sendiri merupakan gejala yang paling umum pada
gangguan saluran pernapasan. Batuk merupakan proses ekspiratif yang eksplotif
yang memberikan mekanisme proteksi normal untu, membersihkan saluran
pernapasan dan adanya sekresi atau benda asing yang mengganggu pada saluran
pernapasan.
Parameter lain yang dapat digunakan yaitu hasil uji laboratorium. Hasil uji
laboratorium merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk
mengetahui efektivitas terapi dari obat terutama antibiotik yang ditandai dengan
turunnya kadar leukosit dalam darah. Pada pasien didapatkan penurunan jumlah
leukosit dari 14.930 mg/dl menjadi 11.400 mg/dl setelah mendapatkan terapi
ceftriaxone. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Wulandari (2014) dimana
didapatkan hasil terjadi penurunan leukosit pada pasien pneumonia RSUD Dr.
Moewardi sebanyak 77,78% turun ke nilai normal, dan 22,22% turun namun
belum normal. Leukosit merupakan komponen tubuh tubuh yang aktif melawan
terhadap penginfeksi sehingga hal ini menjadi penting dalam hal penegakkan

66
diagnosis terhadap adanya kasus infeksi sehingga menjadi indikasi pemberian
obat antibiotik. Antibiotik berperan mematikan atau menghambat pertumbuhan
bakteri penyebab infeksi. Setelah bakteri berhasil dimatikan atau pun dihambat
maka jumlah bakteri akan berkurang dengan demikian kadar leukosit yang tinggi
sesudah terjadinya infeksi akan kembali normal.
Ambroxol adalah derivat dari benzylamide dan merupakan metabolit dari
bromhexine. Zat aktif ambroxol bertindak langsung sebagai bronko-sekretolitik
atau agen mukolitik dengan ekspektoran yang kuat. Oleh karena itu ambroxol
dikenal sebagai obat mukolitik. Ambroxol umumnya digunakan sebagai
pengobatan infeksi saluran pernapasan akut atau kronis yang berhubungan dengan
peningkatan produksi lendir. Mekanisme kerja obat ambroxol adalah dengan
menstimulasi sel serous dari tonsil pada mukous membran saluran bronchus,
sehingga meningkatkan sekresi mukous didalamnya dan merubah kekentalan
komponen serous dan mukous dari sputum menjadi lebih encer dengan
menurunkan viskositasnya. Hal ini menginduksi aktivasi sistem surfaktan dengan
bertindak langsung pada pneumocyte tipe II dari alveolus dan sel clara di bagian
saluran udara kecil serta menstimulasi motilitas siliari. Dari hasil aksi tersebut
meningkatkan aliran mukous dan transport oleh mucous siliari clearance.
Peningkatan sekresi cairan dan mukous siliari clearance inilah yang menyebabkan
pengeluaran dahak dan memudahkannya keluar bersamaan batuk. Efek ini telah
dibuktikan dalam kultur sel dan in vivo pada berbagai spesies.

67
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi
kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang
berlebihan terhadap berbagai rangsangan. Penatalaksanaan asma yang benar
adalah tidak hanya mengatasi serangan akut, akan tetapi penanganan jangka
panjang yang bertujuan mencegah terjadinya serangan dan mengoptimalkan
penderita sehingga dapat hidup produktif dan berkualitas, dengan mengatasi
episode perburukan. Kerjasama dokter dan penderita dibutuhkan dalam
penatalaksanaan jangka panjang, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan
penderita dalam menerima dan melakukannya.
CAP adalah suatu infeksi yang menyerang alveoli, jalan nafas distal dan
jaringan intersisial dari paru-paru yang terjadi di luar lingkup rumah sakit.
Karakteristik secara klinis dari penyakit ini ialah demam, menggigil, batuk, nyeri
dada pleuritik, produksi sputum dan ditemukannya minimal 1 opasitas dari foto
rontgen thorax. Tujuan utama terapi adalah untuk mengeradikasi organisme
patogan sehingga terjadi perbaikan klinis pasien. Penggunaan obat anti mikroba
harus disesuaikan dengan patogen penyebab dan kerentananya dengan antibiotik.
Faktor-faktor lain untuk pertimbangan antimikroba spesifik termasuk
farmakokinetik/ farmakodinamik, kepatuhan, keamanan, dan biaya.

68
DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan Zulkarnain, dkk. 2012. Kompendium TATALAKSANA PENYAKIT


RESPIRASI & KRITIS PARU. Jakarta : Perhimpunan Respirologi Indonesia.
2. Rengganis, I. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58.
2008.
3. Perhimpunan Paru Indonesia. 2003. ASMA PEDOMAN & PENATALAKSANA
DI INDONESIA. www.klikpdpi.com
4. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume two,
United States, 119:2097-2114, 2008.
5. Wibisono M. Jusuf dkk. 2010. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT PARU 2010.
Surabaya. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.
6. Longo, Dan L MD. 2013. HORRISON’S MANUAL OF MEDICINE
INTERNATIONAL EDITION. America : McGraw-hill Companies.
7. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma.
Eur Respir Rev 2007; 16: 104, 67–72
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006, Asma: Pedonman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
9. Goldman Lee, Schafer Andrew, et al. Goldman´s Cecil Medicine. Asthma,
America. 2012.
10. Pocket Guide for Asthma management and Prevention. Gina ( Global
Initiative for Asthma ). Updated 2015
11. Sundaru Heru, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009.
12. Dewan Asma Indonesia. Pedoman tatalaksana asma. Jakarta: CV, Mahkota
Dirfan; 2011, hal. 36-48
13. Departemen Kementrian Kesehatan, 2014, Asma Sedunia, Infodatin (online).
http://www.depkes.go.id> infodatin-asma

69
14. Goldman Lee, Schafer Andrew, et al. Goldman´s Cecil Medicine. Asthma,
America. 2012.
15. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume two,
United States, 119:2097-2114, 2008.
16. Shah, Purvin B, et al. The newer guidelines for the management of community
– acquired pneumonia. J Am Osteopath Assoc December 1, 2004 vol. 104 no.
12 521-526
17. Aujesky D, Auble TE, Yealy DM, Stone RA, Obrosky DS, Meehan TP, Graff
LG, Fine MJ. Prospective comparison of three validated prediction rules for
prognosis in community-acquired pneumonia. Am J Med. 2005
Apr;118(4):384-92.
18. Lim WS, van der Eerden MM, Laing R, Boersma WG, Karalus N, Town GI,
Lewis SA, Macfarlane JT. Defining community acquired pneumonia severity
on presentation to hospital: an international derivation and validation study.
Thorax. 2003 May;58(5):377-82.
19. The IDSA/ATS consensus guideline on the management of CAP in adults.
2007.
20. Wedzicha J.A, Johnston S.L, Brown J.S, et al. Guidelines for the management
of community acquired pneumonia in adults: update 2009. BMJ 2009:64

70

Anda mungkin juga menyukai