Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI

“ASMA”

KELAS : A1

DISUSUN OLEH :

Amalia Fatharani 1704015297

Sarah Hafifah 1704015087

taufik maulana 1704015068

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Salah satu penyakit yang sering dijumpai pada anak-anak yaitu penyakit asma. Kejadian
asma meningkat di hampir seluruh dunia, baik Negara maju maupun Negara berkembang
termasuk Indonesia. Peningkatan ini diduga berhubungan dengan meningkatnya industri
sehingga tingkat polusi cukup tinggi. Walaupun berdasarkan pengalaman klinis dan berbagai
penelitian asma merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak, tetapi gambaran
klinis asma pada anak sangat bervariasi, bahkan berat-ringannya serangan dan sering-
jarangnya serangan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Akibatnya kelainan ini kadang kala
tidak terdiagnosis atau salah diagnosis sehingga menyebabkan pengobatan tidak adekuat.

Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai pintu
pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus selalu
meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi
atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan
sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan
pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan
asma.

Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4–5%
populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi
pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul
sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia
kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama
pada usia 30 tahun.

Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab
kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar
5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk,
dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000
penduduk.

Beberapa anak menderita asma sampai mereka usia dewasa; namun dapat disembuhkan.
Kebanyakan anak-anak pernah menderita asma. Para Dokter tidak yakin akan hal ini,
meskipun hal itu adalah teori. Lebih dari 6 % anak-anak terdiagnosa menderita asma, 75 %
meningkat pada akhir-akhir ini. Meningkat tajam sampai 40 % di antara populasi anak di
kota.

Karena banyaknya kasus asma yang menyerang anak terutama di Negara kita Indonesia
maka kami dari kelompok mencoba membahas mengenai asma yang terjadi pada anak ini,
sehingga orang tua dapat mengetahui bagaimana pencegahan dan penatalaksanaan bagi anak
yang terserang asma.

2. Tujuan

a. Melakukan Pemantauan Terapi Obat pada pasien ASMA

b. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi, manifestasi


klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)

c. Menjelaskan algoritma terapi penyakit asma

d. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien ASMA

e. Mampu memberikan rekomendasi dari DRP yang ditemukan dan monitoring yang harus
dilakukan untuk pasien ASMA
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Asma

Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi
kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan
limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi dapat menyebabkan mengi berulang, sesak
nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.

Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala mengi serta batuk
dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung
pada malam hari atau dini hari (nokturnal), musiman. Adanya faktor pencetus diantaranya
aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta
adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau keluarga, sedangkan sebab-sebab
lain sudah disingkirkan.

Dari semua pendapat tersebut dapat diketahui bahwa asma adalah suatu penyakit
gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya
periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang menyebabkan penyempitan jalan nafas.

Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan batasan yang praktis dalam
bentuk batasan operasional yaitu mengi berulang terkadang disertai batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari atau dini
hari (nokturnal), musiman, faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik, dan bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma
atau atopi lain pada pasien atau keluarganya.

Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus
inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat
asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada
malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas
yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan

B. Patogenesis Asma

Pengertian sebelumnya asma diartikan sebagai suatu penyakit gangguan jalan nafas
obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme,
peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas. Mekanisme utama timbulnya gejala diakibatkan hipereaktivitas
bronkus, sehingga pengobatan utama adalah mengatasi bronkospasme. Konsep terkini
yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding
saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas
saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil,
sel mast, makrofag, dan sel limfosit. T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses
inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E
melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya
dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction).

Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin, leukotrien


C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut
menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan
permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang
timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali (serangan
asma hilang) dengan pengobatan.

Setelah 6-8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma lambat (late
asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang diproduksi oleh sel
mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel-sel radang seperti
eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th), limfosit
subtipe CD4 + telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis
limfosit T mensekresi IL–3 dan granulocyte–macrophage colony – stimulating factor
(GM–CSF), Th-l terutama memproduksi IL– 2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th-2
terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL–4, IL–5, IL–9, IL–13, dan
IL–16.

Sitokin yang dihasilkan oleh Th-2 bertanggungjawab terjadinya reaksi


hipersensitivitas tipe lambat. Masing-masing sel radang berkemampuan mengeluarkan
mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil Peroxidase (EPX),
Eosinophil Cathion Protein (ECP) dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-mediator
tersebut merupakan mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil
mensekresi histamin, LTC4, PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme.

Sel makrofag mensekresi IL-8, platelet activating factor (PAF), regulated upon
activation novel T cell expression and presumably secreted (RANTES). Semua mediator
diatas merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses peradangan
mempertahankan proses inflamasi.

Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga


bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis,
gejala asma menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan
jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan
kurang adekuat.

Gambar 1. Patogenesis Penyakit Asma ( Dikutip dari GINA 2002 )

C. Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan
faktor lingkungan.
Faktor pejamu tersebut adalah:
- predisposisi genetik asma
- alergi
- hipereaktifitas bronkus
- jenis kelamin
- ras/etnik
Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :
a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma
b. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala
asma menetap.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma adalah :
- alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen
binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga
- sensitisasi (bahan) lingkungan kerja
- asap rokok
- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
- infeksi pernapasan (virus)
- diet
- status sosioekonomi
- besarnya keluarga
- obesitas
Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau
menyebabkan gejala asma menetap adalah :
- alergen di dalam maupun di luar ruangan
- polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
- infeksi pernapasan
- olah raga dan hiperventilasi
- perubahan cuaca
- makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)

- obat-obatan, seperti asetil salisilat


- ekspresi emosi yang berlebihan
- asaprokok
- iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang

D. Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa
pengobatan.
Gejala awal berupa :
- batuk terutama pada malam atau dini hari
- sesak napas
- napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
- rasa berat di dada
- dahak sulit keluar.
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang
termasuk gejala yang berat adalah:
- Serangan batuk yang hebat
- Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
- Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar
mulut)
- Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
- Kesadaran menurun

E. Diagnosis
Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan fisiknya
dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan
dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien
sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang
dapat diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter. Spirometri.

Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada
kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa.
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio
VEP1/KVP < 75%. Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu
adanya perbaikan VEP1 > 15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinik pada pasien asthma adalah batuk, dyspne, dari wheezing. Dan pada
sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas
serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas
cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot
bantu pernafasan bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :

1. Tingkat I
Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test
provokasi bronkial di laboratorium.

2. Tingkat II
Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru
menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Banyak dijumpai
pada klien setelah sembuh serangan.
3. Tingkat III
Tanpa keluhan.Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas.Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan
mudah diserang kembali.
4. Tingkat IV
Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.

5. Tingkat V
Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma
akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim
dipakai. Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas
yang reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti :
Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran, penderita
tampak letih, takikardi.
G. Patofisiologi

Spasme otot bronkus Inflamasi dinding bronchus Edema Sumbatan mukus

Tidak efektif Obstruksi saluran nafas Alveoli tertutup


bersihan jalan nafas
(bronkhospasme)

Kurang Hipoksemia
Gangguan
pengetahuan Penyempitan jalan nafas pola nafas
Asidosis
Intoleransi aktivitas metabolik
Peningkatan kerja pernafasan

Peningkatan kebutuhan Penurunan masukan oral


oksigen

Hiperventilasi Perubahan nutrisi


kurang dari kebutuhan

Retensi CO2

Asidosis respiratorik

H. Klasifikasi

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola


keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin
berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.

Derajat asma Gejala Fungsi Paru


I. Intermiten Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE < 20%
Malam hari < 2 kali per bulan VEP1 > 80% nilai prediksi
Serangan singkat APE > 80% nilai terbaik
Tidak ada gejala antar
serangan
Intensitas serangan bervariasi
II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu, Variabilitas APE 20 - 30%
tetapi < 1 kali per hari VEP1 > 80% nilai prediksi
Malam hari > 2 kali per bulan APE > 80% nilai terbaik
Serangan dapat
mempengaruhi aktifitas
III. Persisten Sedang Siang hari ada gejala Variabilitas APE > 30%
Malam hari > 1 kali per minggu VEP1 60-80% nilai prediksi
Serangan mempengaruhi APE 60-80% nilai terbaik
aktifitas
Serangan > 2 kali per minggu
Serangan berlangsung
berhari-hari
Sehari-hari menggunakan
inhalasi β2-agonis short acting
IV. Persisten Berat Siang hari terus menerus ada Variabilitas APE > 30%
gejala VEP1 < 60% nilai prediksi
Setiap malam hari sering APE < 60% nilai terbaik
timbul gejala
Aktifitas fisik terbatas
Sering timbul serangan

Tabel 1 Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit

APE = arus puncak ekspirasi


FEV1 = volume ekspirasi paksa dalam 1 detik

I. Tujuan pengobatan asma :

1.Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma


2.Mencegah eksaserbasi akut
3.Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4.Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5.Menghindari efek samping obat
6.Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7.Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol


bila :

1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam


2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Bab III

Penjelasan Kasus

1. Kasus
Seorang anak mempunyai demam yang berat, dan sekarang memiliki masalah
pernafasan berupa sesak walaupun sudah diberikan albuterol.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien anak SA berusia 8 tahun yang sejak dua hari yang lalu mengalami demam,
malise, dan batuk non produktif.ibu anak tersebut memberikan paracetamol dan
ibuprofen untuk mengkontrol demam yang dialaminya. Dari informasi yang diberikan
ibu anak tersebut “ anak-anak disekolahnya juga banyak yang mengalami gejala yang
sama “ SA mulai mengalami kesulitan bernafas berupa sesak dipagi hari saat dibawa
kerumah sakit, ibunya kemudian memberikan Albuterol 2,5mg via nebulizer 2 kali
dalam 1 jam . SA mengalami sesak yang berbunyi ( mengi ), namun SA merasakan
kesulitan bernafas. SA sebelumnya memiliki riwayat penyakit asma dan terkontrol
dengan baik gejalanya menggunakan albuterol. Bedasarkan laporan sebelumnya
gejala yang dialami SA hanya terjadi pada siang hari saat SA aktif disekolah atau
dirumah dan jarang terjadi pada malam hari. Albuterol yang digunakan sebelumnya
PRN pada saat gejala terjadi setelah SA bermain.
Dari hasil assessment yang dilakukan di UGD diketahui SA mengalami sesak
nafas dimana ia hanya dapat berbicara 4 sampai 5 kata dalam kalimat. SA dilaporkan
mengalami takipnea dengan RR 54x/menit. Tanda vital lainnya menunjukkan HR
160x/menit, tekanan darah 115/59, suhu 38.8oC, berat badan 22,7kg. Pada
pemeriksaan awal saturasi oksigen pasien 88% sehingga langsung diberikan oksigen
3L/menit. Hasil x-Ray menunjukan adanya konsolidasi pada lobus kanan bawah.
Setelah mendapatkan 3x Albuterol/Ipratropium nebulasi, suara nafasnya berbunyi dan
oksigenasinya tidak membaik; sehingga SA mulai diberikan
albuterol via nebulasi kontinu 10 mg/jam, dan oksigen dititrasi 3L/menit. SA juga
diberikan metilprednisolon 25mg IV dan magnesium sulfat 600mg IV. SA kemudian
dipindahkan ke PICU untuk penanganan dan monitoring lebih lanjut. Riwayat
penyakit sebelumnya Asma; terakhir dirawat rumah sakit 4 tahun yang lalu, dan
menjalani 2 kali pengobatan dengan kortikosteroid sebelumnya Riwayat Keluarga
Ayahnya mempunyai asma Riwayat sosial Tinggal bersama orang tua, dengan dua
saudara. Di rumah mempunyai kucing. Ayah perokok. Pengobatan yang terakhir
diberikan Albuterol 2.5 mgnebul setiap 4-6jamPRN saat serangan
Fluticasonepropionate 44 mcg MDI 2 puff BID Paracetamol 160 mg/5 mL-10 mL
setiap 4 jam PRN demam Ibuprofen 100 mg/5 mL-10 mL setiap 6 jam PRN demam
Pemeriksaan fisik: Kesulitan bernafas Tanda Vital: TD 125/69, T37,9oC, RR 40,
saturasi O2 94% pada 3L/menit melalui nasal cannula Laboratorium Na 141 mEq/L K
3.1 mEq/L Cl 104 mEq/L CO2 29 mEq/L BUN 16 mg/dL Scr 0,52 mg/dL Glu 154
mg/dL WBC 34,2x 103 /mm3 RBC 5,07x106 /mm3 HCT 41%.

Analisis SOAP
1. Subjek
mengalami demam, malaise, dan batuk non-produktif. Ibu anak tsb memberikan
paracetamol dan ibuprofen untuk mengontrol demam yang dialaminya. Dari informasi
yang diberikan anak tsb, “anak2 lain disekolahnya juga banyak yang mengalami
gejala yang sama”. SA mulai mengalami kesulitan bernafas berupa sesak dipagi hari
saat dibawa ke rumah sakit, ibunya kemudian memberikan Albuterol 2,5 mg via
Nebulizer 2 kali dalam 1 jam. SA mengalami sesak yang berbunyi (mengi), namun
SA merasakan kesulitan bernafas. SA sebelumnya memiliki riwayat asma dan
terkontrol dengan baik gejalanya menggunakan albuterol. Berdasarkan laporan
sebelumnya, gejala yang dialami SA hanya terjadi pada siang hari saat SA aktif
bermain disekolah atau dirumah dan jarang terjadi pada malam hari. Albuterol yang
digunakan sebelumnya PRN pada saat gejala terjadi setelah SA bermain.

2. Objektif

Tanda vital
 RR 54 X/menit
 HR 160x/menit
 TD 115/59
 Suhu 38,8oc
Laboratorium
• Na 141 mE/L Glu 154 mg/dL
• K 3,1 mE/L WBC 34,2 x 10³/mm³
• Cl 104 mE/L RBC 5,07 x 106/mm³
• CO2 29 mE/L HCT 41%
• BUN 16 mg/dL Scr 0,52 mg/dL
 Pemeriksaan X ray = RLL ( right lower lobe)
 Assessment = asma exacerbasi dengan pheuomonia

Hasil data pemeriksaan laboratorium

Data pasien Hasil pemeriksaan Data normal

Na 141mEq/L 135-144mEq/L
K 3,1mEq/L 3,6-5,2mEq/L
Cl 104mEq/L 97-106mEq/L
CO2 29mEq/L 22-32mEq/L
BUN 16mg/dL 7-20mg/dL
Scr 0,52mg/dL 0,6-1,3mg/dL
Glu 154mg/dL 70-100mg/dL
WBC 34,2x103/mm3 3200-10000/mm3
RBC 5,07x103/mm3 3,8-5,0x106 sel/mm3
HCT 41% 35%-45%

Hasil data pemeriksaan tanda vital

Data pasien Hasil pemeriksaan Data normal


Tekanan darah 115/59 105/70mmHg
Suhu 38,8 C 37 C
Respirasi rate 54x /menit 20-24x/menit
Heart rate 160x /menit 60-100x/menit

Bedasarkan hasil pemeriksaan labolatorium uji nilai K,Glukosa,WBC ( white blood


cell ),dan RBC ( Red blood cell ) mendapatkan hasil positif dimana :

1. Nilai K merupakan kation utama yang terdapat pada cairan intraseluler ( bersama
bikarbonat ) berfungsi sebagai buffer utama. Faktor penggangu bisa dari penggunaan
obat atau pemberian penisilin kalium, pemberian glukosa atau asupan glukosa jumlah
besar pada pasien dapat menyebabkan penurunan sebesar 0,4mEq/L kadar darah
kalium.
2. Uji Glukosa merupakan prosedur skrining yang menunjukan ketidakmampuan sel
pankreas memproduksi insulin, ketidakmampuan usus halus mengabsorbsi glukosa,
ketidakmampuan sel mempergunakan glukosa secara efisien. Kadar gula yang terlalu
tinggi dapat mempengaruhi pankreas maka pankreas akan bekerja lebih keras dan
mengakibatkan peradangan dalam tubuh termasuk pada saluran nafas.
3. WBC ( White blood cell ) yang menunjukan adanya infeksi akibat sel darah putih
yang tinggi yang mengakibatkan di salah satu sel salah satunya eosinofil yang tinggi
menandakan tubuh sedang bereaksi terhadap infeksi parasit, pemicu alergi atau asma.
4. RBC ( Red Blood cell ) , dimana RBC ini untuk mengangkut oksigen dari paru-paru
ke jaringan tubuh dan mengangkut CO2 dari jaringan tubuh ke paru-paru oleh HB,
ketika kekurangan sel darah merah gejala dapat meliputi detak jantung yang cepat,
sesak napas dan kelelahan.

Dari hasil labolatorium belum bisa menentukan dengan jelas apakah pasien terkena
penyakit asma kronik yang membutikan dari hasil uji Glukosa yang menunjukan hasil positif
tetapi dari kasus diatas kekurangan data yang valid apakah hasil uji glukosa puasa / uji
glukosa sewaktu sehingga tidak dapat menentukan apakah hasil uji yang didapat mengalami
diabetes atau tidak sedangkan didata WBC ( white blood cell ) menunjukan sel darah putih
yang tinggi atau leukositosis, dimana ketika sell darah putih sedang tinggi terdapatnya adanya
infeksi sehingga menimbulkan gejala:

 Demam
 Tubuh merasa mudah lelah dan lemas
 Pusing atau sakit kepala
 Sulit bernapas, berkonsentrasi atau peradangan terganggu
 Berat badan turun tanpa sebab

Dari hasil tanda vital menunjukan adanya tanda-tanda gejala yang berkaitan dengan
penyakit yang dialaminya bermula dari respirasi rate yang menunjukan 54x/menit sehingga
diketahui adanya permasalahan yang terjadi di pernfasan yang merupakan proses petukaran
udara yang dibutuhkan yang mempengaruhi detak jantung serta suhu tubuh.

3. ASSESMENT
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium & tanda vital dapat diketahui penyakit yang
dialami pasien berupa asma akut dimana hasil tanda vital RR yang tinggi sehingga
menimbulkan sesak nafas yang mempengaruhi juga detak jantung serta WBC yang tinggi
yang menimbulkan adanya infeksi yang mengarah pada pneumonia tetapi pasien tidak
mengalami batuk berdahak kental yang bewarna kuning/ coklat tetapi mengalami hal yang
mendekati dengan gejala penyakit asma.
Albuterol 2.5 mg nebul setiap 4-6 jam PRN saat serangan
Fluticasone propionate 44 mcg MDI 2 puff BID
Paracetamol 160mg/5ml - 10 ml setiap 4 jam PRN demam
Ibuprofen 10mg/5ml - 10ml setiap 6 jam PRN demam
DRP
-Penggunaan ibu profen untuk demam kurang tepat karena adanya kontraindikasi dengan
asma
-penggunaan albuterol tidak tepat doses(underdose)

4. PLANNING
-Sebaiknya hanya digunakan paracetamol saja sebagai pereda gejala demam. Sehingga tidak
perlu menggunakan ibuprofen.
-Albuterol direkomendasikan untuk menaikan dosis menjadi 0,15 – 0,3 mg/Kg. (diketahui
berat badan 22,7 kg.
Perhitungan : 0,15 x 22,7 = 3,405 mg ; 0,3 x 22,7 = 6,81 mg
Jadi, rentang dosis yang disarankan adalah 3,4 mg – 6,81 mg
(DiPiro, 2015 : 828)
OBAT
Obat golongan β-agonis merupakan bronkodilator yang paling efektif digunakan dalam terapi
asma. Bronkodilator β2-agonis digunakan pada semua step dalam guideline terapi asma
karena dapat digunakan sebagai terapi kontrol maupun terapi serangan asma akut.
Contoh obat bronkodilator pada asma yaitu golongan β2-agonis adalah salbutamol, terbutalin
feneterol yang mempunyai OOA (Onset of Action) cepat dan DOA (Duration of Action)
pendek atau biasa disebut sebagai Short Acting β2-agonis (SABA).
Salbutamol atau albuterol dikenal sebagai adrenergik bronkodilator. Obat ini digunakan
dengan cara dihirup melalui mulut untuk membuka saluran bronkial atau saluran udara di
paru-paru. Kegunaannya adalah meredakan batuk, mengi, sesak napas, dan kesulitan
bernapas.
Efek Samping : sakit kepala, sakit punggung, mual, muntah, diare, sakit perut, pusing,
gugup, nyeri dada, dada berdebar, insomnia, reaksi alergi, konjungtivitis, hipokalemia,
peningkatan keringat, gemetar, kram otot, flu. 
Paracetamol adalah obat pereda nyeri dan peredam demam. Paracetamol digunakan untuk
mengobati banyak kondisi seperti sakit kepala, nyeri otot, radang sendi, sakit punggung, sakit
gigi, pilek, dan demam
Efek Samping:
-Perut terasa mual, sakit perut bagian atas, gatal-gatal, kehilangan nafsu makan. Urine
berwarna gelap.
-Kulit dan mata menjadi terlihat kuning. Atau bisa juga berupa kelelahan, berkeringat lebih
banyak, kulit terlihat memar atau pendarahan yang tidak wajar.
-Paracetamol bisa menyebabkan kerusakan hati terutama jika penggunaanya melebihi dosis
yang dianjurkan. Potensi efek samping ini meningkat pada orang-orang yang mengonsumsi
alkohol.

Paracetamol 160 mg/5 ml – 10 ml setiap 4 jam PRN demam.

KESIMPULAN
Asma merupakan penyakit peradangan saluran nafas kronik akibat terjadinya
peningkatan kepekaan saluran nafas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka,
hal ini akan menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi mengi, berdahak, sesak nafas,
dan rasa tidak enak di dada. Dalam kasus ini pasien teridentifikasi asma akut. Pasien
mengalami kesulitan bernafas berupa sesak di pagi hari saat dibawa ke rumah sakit, ibunya
kemudian memberikan Albuterol 2,5 mg via Nebulizer 2 kali dalam 1 jam. Pasien mengami
sesak yang berbunyi (mengi), namun SA merasakan kesulitan bernafas. Karena penggunaan
albuterol tidak tepat doses, maka dosis dinaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Betz Cecily, Linda A Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta.
Capernito, Lynda J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. EGC:
Jakarta.
Global Intiative for Asthma. 2015. Pocket Guide for Asthma Management and
Prevention. Global Initiative for Asthma
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.
Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29.EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai