Anda di halaman 1dari 11

ASMA

1.) Definisi
GINA mengeluarkan batasan asma yang lengkap, yang menggambarkan
konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma sebagai berikut. Asma
ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini
menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk,
khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan
dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.
2.) Epidemiologi
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada
anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun
Negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola
hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor
maupun outdoor.1,2 Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di
Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,3 dan
sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.
3.) Etiologi
Asma merupakan sindroma klinik yang dihasilkan oleh kombinasi faktor
genetik dan lingkungan dalam patogenesisnya. Sebagai complex genetics disorder,
asma memiliki korelasi positif dengan riwayat alergi (atopi) di dalam keluarga.
Lebih dari 100 gen terlibat di dalam patogenesis asma, salah satunya ADAM 33.
Gen ini hanya terdapat di fibroblas saluran pernapasan dan hal ini yang menjadi
dasar kuat keterlibatannya dalam patogenesis asma. Sampai saat ini pathogenesis
dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas
yang berlebihan. Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas.
Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi, rubor
(kemerahan karena vasodilatasi), tumor ( eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa
sakitb karena rangsangan sensoris, dan function aesa (fungsi yang terganggu).
Berdasarkan konsep Epithelial-Mesenchymal Trophic Unit (EMTU), terdapat
dua elemen penting di dalam patogenesis asma, proses inflamasi dan proses
remodelling saluran pernapasan yang berjalan paralel. Sebagai penyakit alergik,
alergen pemicu hiperreaktif dari saluran napas penderita dikategorikan menjadi
faktor instrinstik (tanpa melibatkan alergen seperti: suhu dan aktivitas) dan
ekstristik (melibatkan alergen).
Sebagai salah satu faktor ekstrikstik, Environtment Tobacco Smoke (ETS) akan
menyebabkan inflamasi kronik berulang saluran pernapasan sehingga saluran
pernapasan menjadi lebih kecil karena proses remodelling. Hubungan yang lain
terletak pada perbedaan level kotinin (nikotin aktif) di dalam darah anak. Level
kotinin anak penderita asma yang memiliki anggota keluarga yang merokok di
dalam rumah lima kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki
anggota keluarga yang merokok di dalam rumah. Di saat level kotinin mencapai
level 10—12 ug/mL akan menimbulkan komplikasi pada kesehatan anak.
4.) Faktor Resiko
a) Riwayat keluaraga
b) Jenis kelamin dan ras
c) Faktor lingkungan
d) Polusi udara
e) Faktor perinatal seperti prematuritas dan berat badan lahir rendah
1.) Manifestasi Klinis
a) Batuk episodic
b) Mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
(nokturnal/morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik,bersifat reversible,
serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya.
c) Dispneu (sesak)
d) Hiperreaktifitas bronkus
2.) Diagnosis
Berdasarkan definisi di atas, maka oleh para perumus Konsensus Internasional
Penanggulangan Asma Anak disusun suatu alur diagnosis asma pada anak (Bagan
1). Publikasi Konsensus Internasional pertama, kedua, hingga pernyataan ketiga
untuk diagnosis asma anak tetap menggunakan alur yang sama. Mengi berulang
dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menuju diagnosis.
Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang
hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa
tanda-tanda mengi, sesak, dan lain-lain sedang tidak timbul. Kelompok anak yang
patut diduga asma adalah anak-anak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi yang
timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal/morning dip),
musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien
atau keluarganya. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru
sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau
yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin,
metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan salin
hipertonis, sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung
diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:
a) Variabilitas pada PFR atau FEV1 >15%.
b) Kenaikan >15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
c) Penurunan >15% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
Variabilitas adalah peningkatan dan penurunan hasil PFR dalam satu hari.
Penilaian yang baik dapat dilakukan jika pemeriksaannya berlangsung >2 minggu.
Penggunaan peak flow meter walaupun mahal merupakan hal yang penting dan
perlu dibudayakan, karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk
mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Berhubung alat tersebut tidak selalu
ada, maka Lembar Catatan Harian dapat digunakan sebagai alternatif karena
mempunyai korelasi yang baik dengan faal paru. Lembar Catatan Harian dapat
digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PFR. Jika gejala dan tanda asmanya
jelas, serta respons terhadap pengobatan baik sekali maka tidak perlu pemeriksaan
diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik maka perlu
dinilai dahulu apakah dosisnya sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah
benar, serta ketaatan pasien baik, sebelum melanjutkan pengobatan dengan obat
yang lebih poten. Bila semua aspek tersebut sudah baik dan benar maka perlu
dipikirkan kemungkinan bukan asma. Pasien dengan batuk produktif, infeksi
saluran napas berulang, gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan
tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru, perlu pe-meriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji
provokasi. Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto rontgen sinus paranaslis, uji
keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier,
bahkan sampai bronkoskopi. Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan penyakit
yang banyak dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh
karena itu uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga
asma maupun yang bukan. Dengan cara itu maka penyakit tuberkulosis yang
mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi. Jika pasien
kemudian memerlukan steroid untuk asmanya, tidak akan memperburuk
tuberkulosis yang diderita karena sudah dilindungi dengan obat. Berdasarkan alur di
atas, setiap anak yang menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi maka diagnosis
akhirnya dapat berupa: asma, asma dengan penyakit lain dan bukan asma.
Tabel 2 : Pembagian derajat asma pada anak

Bagan 1 : Alur diagnosis asma untuk anak

3.) Klasifikasi
Konsensus International Penanggulangan Asma Anak dalam pernyataan
ketiganya tahun 1998 membagi asma berdasarkan keadaan klinis dan keperluan
obat menjadi 3 golongan yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, dan
asma persisten.
a) Asma episodik jarang (asma ringan) : meliputi 75% populasi asma anak,
serangan asma sekali dalam 4-6 minggu, mengi ringan setelah aktivitas berat, di
antara serangan, tanpa gejala dan uji fungsi paru normal, terapi profilaksis tidak
diperlukan.
b) Asma episodik sering (asma sedang) : meliputi 20% populasi asma anak
serangan lebih sering, seminggu sekali atau kurang, mengi pada aktivitas sedang,
yang dapat dicegah dengan obat, uji fungsi paru mendekati normal, terapi
profilaksis biasanya diperlukan.
c) Asma persisten (asma berat) : meliputi 5% populasi asma anak, serangan sering,
lebih dari 3 kali/minggu, uji fungsi paru abnormal, terapi profilaksis harus
diberikan.
4.) Patofisiologi
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara
luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem mukosa
karena inflamasi saluran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak
seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat
terjadi. Sumbatan jalan napas menyebabkan peningkatan tahanan jalan napas,
terperangkapnya udara, dan distensi paru berlebihan (hiperinflasi). Perubahan
tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan
tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi
peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk
ekspirasi melalui saluran napas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau
menyebabkan penutupan dini saluran napas, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi
arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus
paradoksus. Ventilasi perfusi yang tidak padupadan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal
serangan, untuk meng-kompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar
PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi
jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot napas dan hipoventilasi alveolar
yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika
dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang
normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal napas. Selain
itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat
oleh otot napas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi
pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan
vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang
atau tidak ada, dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis. Bagan berikut ini
dapat menjelaskan patofisiologi asma :
Bagan 2 : Patofisiologi Asma

5.) Prognosis
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan mengi tidak
berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut
berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort,
dan lamanya pemantauan. Peningkatan IgE serum dan uji kulit yang positif
khususnya terhadap tungau debu rumah pada bayi, dapat memperkirakan mengi
persisten pada masa anak. Adanya dermatitis atopik merupakan prediktor terjadinya
asma berat.
6.) Tatalaksana
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin
dicapai adalah :
a) Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain dan
berolahraga.
b) Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
c) Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
d) Uji fungsi paru normal, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF.
e) Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan
tidak ada serangan.
f) Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tatalaksana Farmako :
a) Asma episodik jarang (asma ringan)
Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis
hirupan kerja pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan.2 Anjuran ini
tidak mudah dilakukan berhubung obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia
di semua daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan (metered dose inhaler)
memerlukan pelatihan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat
bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.
Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan maka beta-agonis
diberikan peroral. Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang
perannya dalam tata laksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun
mengingat di Indonesia obat betaagonis oral tidak selalu ada maka dapat
digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek
samping. Di samping itu penggunaan beta-agonis oral tunggal dengan dosis
besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi. Hal ini dapat
dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga Konsensus, Nasional seperti terlihat dalam
klasifikasi asmanya tidak mengajurkan pem-berian anti-inflamasi untuk asma
ringan.
Di lain pihak, untuk asma intermiten (derajat 1 dari 4) GINA menganjurkan
penggunaan kromoglikat sebelum aktivitas fisis atau pajanan dengan alergen.
Bahkan untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA sudah
menganjurkan pemberian obat pengendali (controller) berupa anti-inflamasi
yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.
Sebagai catatan, GINA menggunakan istilah obat pengendali (controller)
untuk istilah profilaksis yang digunakan oleh Konsensus Internasional. Obat
pengendali diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan/gejala. Sedangkan
obat yang diberikan saat serangan disebut obat pereda (reliever). Konig
menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tata laksana yang lazim,
yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada asma ringan,
ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit
yang mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak, asma sedang yang
mendapat kromoglikat, dan asma berat yang mendapat steroid hirupan,
menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang
dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari berat ke sedang atau
ringan, bahkan sampai asmanya asimtomatik.
b) Asma episodik sering (asma sedang)
Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa
menghitung penggunaan pra aktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi
lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan antiinflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi. Antiinflamasi lapis pertama yang digunakan
adalah kromoglikat, dengan dosis minimal 10 mg 3-4 kali perhari. Obat ini
diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah
terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari.
Sampai sekarang, obat ini tetap paling aman untuk pengendalian asma anak, dan
efek sampingnya ringan, yaitu sesekali menyebabkan batuk.
Nedokromil merupakan obat satu golongan dengan kromoglikat yang lebih
poten dan tidak menyebabkan batuk. Di luar negeri obat ini sudah diijinkan
pemakaiannya untuk anak >2 tahun. Namun untuk di Indonesia saat ini ijin yang
ada untuk anak >12 tahun. Untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA
menganjurkan pemberian steroid hirupan (utama) atau kromoglikat hirupan
(alternatif) sebagai obat pengendali. Sedangkan untuk asma persisten sedang
(derajat 3 dari 4) GINA merekomendasikan steroid hirupan tanpa memberi
tempat untuk kromoglikat.
c) Asma persisten (asma berat)
Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan beta-
agonis hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya termasuk
berat. Sebagai obat pengendali pilihan berikutnya adalah obat steroid hirupan.
Cara pemberian steroid hirupan apakah dari dosis tinggi ke rendah selama gejala
masih terkendali, atau sebaliknya dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat
dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya
pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi
dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid
hirupan diturunkan sampai optimal.2 Steroid hirupan biasanya efektif dengan
dosis rendah.
Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 200 mg/hari,
belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Dosis yang
masih dianggap aman adalah 400 mg/hari. Di atas itu dilaporkan adanya
pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 mg/hari agaknya mulai
berpengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisisadrenal sehingga dapat
berdampak terhadap pertumbuhan. Efek sistemik steroid hirupan dapat dikurangi
dengan penggunaan alat bantu berupa perenggang (spacer) yang akan
meningkatkan deposisi obat di paru dan mengurangi deposisi di daerah
orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik. Setelah dengan pemberian
steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau klinis perbaikan yang
mantap selama 1-2 bulan, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap sehingga
dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu
penggunaan beta-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
d) Asma sangat berat
Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum
terkendali maka pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari
Asma persisten). Penggunaan beta-agonis (kerja pendek) hirupan >3x sehari
secara teratur dan terus menerus diduga mempunyai peran dalam peningkatan
morbiditas dan mortalitas asma. Oleh karena itu obat dan cara peng-gunaannya
tersebut sebaiknya dihindari. Tetapi jika dengan steroid hirupan dosis sedang
(400- 600 mg/hari) asmanya belum terkendali, maka perlu dipertimbangkan
tambahan pemberian beta-agonis kerja panjang, atau beta-agonis lepas
terkendali, atau teofilin lepas lambat.
Dahulu beta-agonis dan teofilin hanya dikenal sebagai bronkodilator saja.
Namun akhir-akhir ini diduga mereka juga mempunyai efek anti-inflamasi. Jika
dengan penambahan obat tersebut asmanya tetap belum terkendali, obat tersebut
diteruskan dan dosis steroid hirupan dinaikkan, bahkan mungkin perlu diberikan
steroid oral. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar
daripada bahaya efek samping obat.6 Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat
diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil
yang diberikan selang hari pada pagi hari.

Tatalaksana Non Farmako

a) Allergen
Mengurangi atau menghilangkan paparan terhadap allergen bagi pasien sensitif,
termaksud :
1.) Bulu hewan, pindahkan hewan dari rumah atau jauhkan binatang dari kamar
tidur pasien.
2.) Tungau debu rumah, dianjurkan membungkus kasur dengan penutup tidak
tembus allergen, membungkus bantal dengan penutup kedap allergen atau
mencusinya setiap minggu, mencuci seprai dan selimut pada tempat tidur
pasien dalm air panas setiap minggu. Diinginkan kurangi kelembapan di
dalam ruangan sampai adatu dibawah 60 % .
3.) Kecoa, gunakan umpan racun atau perangkap untuk mengendalikan serangga,
namun membersihkan secara intensif diperlukan untuk mengurangi reservoir.
Jangan meninggalkan makanan atau sampah terbuka.
4.) Jamur di dalam ruangan, perbaiki semua kebocoran atau hilangkan sumber air
yang berkaitan dengan pertumbuhan jamur, bersihkan permukaan berjamur.
5.) Asap tembakau, sarankan pasien dan orang lain di rumah yang meokok untuk
berhenti merokok atau meroko diluar rumah.
7.) Pencegahan
Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi terhadap
alergen sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien
penyakit atopi yang belum menderita asma, serta pencegahan serangan dan
eksaserbasi asma. Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk
menghindari pajanan alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun
penghindaran pencetus. Para peneliti umumnya menyatakan bahwa alergen utama
yang harus dihindari adalah tungau debu rumah, kecoak, bulu hewan peliharaan
terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga.
Polutan harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang
merokok dalam rumah. Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan
eksaserbasi asma adalah asap kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2. Penghindaran
maksimal harus dilakukan di tempat anak biasa berada, terutama kamar tidur dan
tempat bermain sehari-hari. Untuk Indonesia, walaupun belum ada data yang
menyokong, agaknya kita harus menghindari obat nyamuk dan asap lampu minyak.
Beberapa klinik telah melakukan upaya pencegahan sensitisasi terhadap fetus dan
bayi, antara lain dengan memberikan diet hipo dan non alergenik serta
penghindaran asap rokok. Walaupun secara teoritis pemberian diet hipoalergenik
pada masa trimester ketiga kehamilan sangat menarik, ternyata bukti klinis
penelitian tersebut tidaklah menggembirakan. Tidak terlihat perbedaan kejadian
penyakit alergi pada umur, 5 tahun antara kelompok perlakuan dan kelola. Hasil
lebih baik justru akan terlihat pada bayi yang mendapat ASI dari ibu dengan diet
hipoalergenik pada masa laktasi. Sebaliknya terbukti bahwa ibu perokok akan
membahayakan perkembangan paru bayi baik dilakukan pada masa sebelum
maupun setelah kelahiran, yang berpengaruh terhadap peningkatan risiko terjadinya
mengi dan infeksi virus serta asma kronik anak.
Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic march
maka upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan menghambat
perjalanan alamiah penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain adalah dengan
mencegah timbulnya suatu penyakit alergi (asma) pada anak yang telah
tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter ETAC (early treatment of the atopic
child) telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat timbulnya asma
pada anak kecil penderita dermatitis atopi yang sudah tersensitisasi terhadap
alergen tertentu tetapi belum menderita asma. Untuk anak yang sudah menderita
asma dilakukan pengobatan pencegahan dan kontrol asma yang bertujuan untuk
mencegah kekambuhan, atau menurunkan kekerapan serta derajat serangan asma,
dengan pemberian sodium kromolin, ketotifen, inhibitor dan antagonis leukotrien,
serta kortikosteroid. Sodium kromolin sulit diaplikasi pada anak kecil, sedangkan
inhibitor serta antagonis leukotrien baru dianjurkan untuk anak besar (>12 tahun)
saja. Ketotifen sejauh ini memberikan efek profilaksis terutama untuk asma ringan.
Berbagai jenis antihistamin generasi baru mungkin dapat bermanfaat pula sebagai
pencegah asma tetapi uji klinis yang memadai untuk itu belum ada. Sejauh ini
kortikosteroid merupakan antiinflamasi terpilih yang paling efektif untuk
pencegahan asma. Pemberian kortikosteroid inhalasi dapat mengontrol asma kronik
dengan baik, walaupun pada anak kecil relatif lebih sulit dilakukan sehingga
membutuhkan alat bantu inhalasi.

KATA KUNCI ASMA


Anak 3 tahun +/-

Demam +

Rewel dan tidak pernah tidur +


sejak 3 bulan
Beringus dan batuk sejak 3 +/-
bulan terakhir dan hampir 1
bulan terakhir tidak berhenti
Sesak +

BB 10 kg -

Kedua kakaknya mengalami +


keluhan yang sama

Sumber :
- Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2000. Consensus nasional asma anak. Sari
Pediatri, Vol. 2(1).
- Sudoyo AW, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.hal 478. Jilid I.
Edisi VI. Jakarta: Interna Pubhising.

Anda mungkin juga menyukai