Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat
ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap mengganggu
aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan
dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta
menurunkan kualiti hidup.(American Academy of Allergy : 2007)
Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada
dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%. sebanyak 10-15% anak
laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada suatu saat selama masa kanak-
kanak. Beberapa survei menunjukkan bahwa penyakit asma menyebabkan absensi 16 % pada
anak sekolah di Asia, 43% anak-anak di Eropa, dan 40% hari pada anak-anak di Amerika
Serikat. Serangan asma yang terjadi pada anak-anak tersebut, didiagnosis oleh para ahli
sebagai asma ekstrinsik yang dapat disebabkan oleh alergen. Di Indonesia prevalensi asma
belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun
dengan menggunakan kuesioner ISAAC (Internationla Study on Asthma and Allergy in
Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat
menjadi 5,2%..(Badan Penerbit IDAI ; 2008)
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai
180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai
300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila
tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan
prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang.(Departemen Kesehatan RI ;2009)

Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak
dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat
serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab.(Badan
Penerbit IDAI ; 2008)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, yang menimbulkan gejala
episodik berulang dan mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.(American
Academy of Allergy : 2007)
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang ditandai
oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai respon terhadap
stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang.(Kartasasmita
CB ; 2008). Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan
inflamasi kronis salura n nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan.(Nataprawira HMD ; 2008)

2.2 Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori sudah
diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis
(hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan
hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,
yaitu :

1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan
2
spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)


Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.

Gambar 1 : tipe asma

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.

1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat

3
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan
foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

2. Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
 Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk bunga,
spora jamur, bakteri dan polusi)
 Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
 Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam tangan)

b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.

d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.

e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat


Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

4
2.3 Epidemiologi
Prevalensi asma meningkat di seluruh dunia. Hal ini disebabkan terutama oleh
pengertian yang salah mengenai asma, pedoman dan pelaksanaan pengelolaan asma yang
tidak lengkap atau sistimatis, serta sangat kurangnya data dan perencanaan lanjutan. Untuk
mengatasi hal tersebut perlu dilaksanakan strategi pengelolaan asma berdasarkan pedoman
pengelolaan yang lengkap dan sistimatik. Kerjasama yang erat di antara para dokter dan
petugas medik lainnya dengan penderita asma sangatlah diperlukan untuk mencapai hasil
yang sebaik-baiknya. Dengan upaya ini diharapkan akan tercapai penyebarluasan cara
pengelolaan asma preventif dan kuratif yang sesuai dengan perkem-bangan dan metoda
pengelolaan asma yang mutakhir. Dan akan tercapai pula penurunan angka morbiditas
maupun mortalitas yang diakibatkan oleh asma ataupun komplikasinya.
Menurut WHO, sebanyak 100 hingga 150 juta penduduk dunia adalah penyandang
Asma. Jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 orang setiap tahunnya. Di Indonesia,
prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2 – 5 %5 (3-8%2 dan 5-
7%7) penduduk Indonesia menderita asma. Berdasarkan laporan Heru Sundaru (Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM), prevalensi asma di Bandung (5,2%), Semarang (5,5%),
Denpasar (4,3%) dan Jakarta (7,5%)8. Di Palembang, pada tahun 1995 didapatkan prevalensi
asma pada siswa SMP sebesar 8,7% dan siswa SMA pada tahun 1997 sebesar 8,7% dan pada
tahun 2005 dilakukan evaluasi pada siswa SMP didapatkan prevalensi asma sebesar 9,2%2.
Penyakit Asma dapat mengenai segala usia dan jenis kelamin, 80-90% gejala timbul sebelum
usia 5 tahun. Pada anak-anak, penderita laki-laki lebih banyak dari pada perempuan,
sedangkan pada usia dewasa terjadi sebaliknya. Sementara angka kejadian Asma pada anak
dan bayi lebih tinggi daripada orang dewasa.

2.4. Patogenesis

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh
serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif. Tidak
semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap
asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali
dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama
kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan
memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.

5
(Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.2004
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major
Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada
sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu
membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran
respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T,
makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang
banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap
alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi
yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma
timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari
sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T
pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator.
Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke
arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan
transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk
pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase
lambat semakin lama semakin kuat.
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan
deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses
dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan
sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase
(MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor
pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam
remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan,
kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan
6
jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal
tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.(Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2004)
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar
submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran
respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori.
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori
yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2
tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.(Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2004)

Gambar 2 Patogenesis Asthma. Sumber : Global Initiative for Asthma 2005


Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.(Departemen
Kesehatan RI ;2009)

Faktor Risiko Faktor Risiko


Inflamasi

Hiperaktivitas Obstruksi
Bronkus Bronkus

Faktor Risiko Gejala


Tabel 1. Proses Terjadinya Asthma. Sumber : Departemen Kesehatan RI ;2009

7
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks
bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.( Departemen Kesehatan RI ;2009)

Gambar 3. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik. Sumber : American Academy of Allergy ; 2007

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan


asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet
Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini
menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.(Departemen
Kesehatan RI ;2009)

2.5 Patofisiologi Asthma


2.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi
mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin
D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh
saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos,
pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul

8
pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket
pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.(
Pusponegoro HD : 2005)
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan
saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon trakeobronkial. Salah satu
mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk
bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian
dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. (Gambar 4) Perubahan ini meningkatkan kerja
pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan
rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot
diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya
menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan
timbulnya kelelahan dan gagal nafas.(Pusponegoro HD : 2005)

Gambar 4. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik. Sumber : ADAM ; 2007

2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori


Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan
penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan
perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap
kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas
yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. (Pusponegoro HD ; 2005)
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian
histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan penurunan Forced
Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat
dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease

9
(COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun
adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti
histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.(Pusponegoro HD ;
2005)

2.5.3 Otot polos saluran respiratori


Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini
disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot
polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma
berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat
bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos
dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.(Pusponegoro
HD ; 2005)
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis
pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami kekakuan
bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan
fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten.
Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas,
kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil
elastis.(Pusponegoro HD ; 2005)
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein kationik
eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti
mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan
efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.
(Pusponegoro HD ; 2005)

2.5.4 Hipersekresi mukus


Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran
nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma
kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan
pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator.(Pusponegoro
HD ; 2005)
10
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan
volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari
sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan
sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan
DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.(Pusponegoro HD ; 2005)
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme
terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme patofisologi
hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus
lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas
jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang
diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil
elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.(Pusponegoro
HD ; 2005)

2.5.5 Keterbatasan aliran udara ireversibel


Penebalan saluran nafas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada bagian
kartilago dan membranosa dari saluran nafas, juga terjadi perubahan pada elastik dan
hilangnya hubungan antara saluran nafas dengan parenkim di sekitarnya, penebalan dinding
saluran nafas, ini menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan saluran nafas yang gagal
untuk kembali normal dan terjadi terus menerus. Kekakuan otot polos menyebabkan aliran
udara pernafasan terhambat hingga menjadi ireversibel.(Medical Communications Resources,
Inc ; 2006)

2.5.6 Eksaserbasi
Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, seperti udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang dapat
menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran nafas.
Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan kering
menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti
histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Stimulus yang hanya menyebabkan
bronkokonstriksi tidak akan memperburuk respon bronkial yang diakibatkan oleh stimulus
yang lain, sehingga hanya bersifat sementara saja. Eksaserbasi asma dapat timbul selama
beberapa hari. Sebagian besar berhubungan dengan infeksi saluran nafas, yang paling sering
adalah common cold oleh Rhinovirus yang dapat menginduksi respon inflamasi
11
intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi
serta dapat memperberat hipereaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi
dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau
kemokin T atau sel epitel bronkial. Selain itu, paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi
pada pasien asma.(Medical Communications Resources, Inc ; 2006)

2.5.7 Asma nokturnal


Saat dilakukan biopsi transbronkial, membuktikan adanya akumulasi eosinofil dan
makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari dan adanya inflamasi pada
saluran nafas perifer diperkuat dengan bukti bahwa adanya gangguan bila pasien asma tidur
dalam posisi supine.(Medical Communications Resources, Inc ; 2006)

2.5.8 Abnormalitas gas darah


Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas bila serangan berat. Berat
ringannya hpoksemia arteri, dapat menggambarkan beratnya obstruksi saluran nafas yang
terjadi secara tidak merata di seluruh paru. Hipokapnea yang ditemukan pada serangan asma
ringan sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernafas yang lebih. Peningkatan PCO2 arteri
mengindikasikan sedang terjadi obstruksi berat dan ini dapat menghambat pergerakan otot
pernafasan dan usaha bernafas ( keracunan CO2) sehingga dapat timbul gagal nafas dan mati.
(Medical Communications Resources, Inc ; 2006)

2.6 Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berkaitan dengan
cuaca. Anamsesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, di tambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan
lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit/gejala :

- Bersifat episodik,seringkali reveribel dengan atau tanpa pengobatan


- Gejala berupa batuk,sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala/timbul/memburuk terutama malam/dini hari
- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
- Respons terhadap pemberian bronkodilator

12
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
- Riwayat keluarga (atopi)
- Riwayat alergi / atopi
- Penyakit lain yang memberatkan
- Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan jasmani

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmanin dapat normal.
Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling serig ditemukan adalah mengi pada auskultasi.
Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran
objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru
yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walupun
demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar biacara,takikardi, hiperniflasi
dan penggunan otot bantu napas.

Faal paru
Umumya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi,
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan
persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal
paru digunakan untuk menilai ;

- Obstruksi jalan napas


- Reversibiliti kelainan faal paru
- Variabiliti faal paru, sebagai peniliaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Parameter dan metode untuk menilai faal paru adalah pemeriksaan spirometri dan
arus puncak ekspirasi (APE).

13
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooeperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas
diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP<75% atau VEP1<80% nilai prediksi.

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang
lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat
murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.

2.6.1 Diagnosis Banding

 Dewasa
o Penyakit paru obstruksi kronik
o Bronkitis kronik
o Gagal jantung kongestif
o Batuk kronik akibat lain-lain
o Disfungsi larings
o Obstruksi mekanis emboli tumor
 Anak
o Benda asing di saluran pernafasan
o Laringotrakeomalasia
o Pembesaran kelenjar limfe
o Tumor
o Stenosis trakea
o Bronkiolitis

14
2.7 Faktor Resiko
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma:


 Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap rokok.
 Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
 Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen dalam
rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari, asap
rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan kering,
olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis,
dan gastroesofageal refluks).
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut : (Departemen
Kesehatan RI ;2009)

15
Hiperaktivitas bronkus obstruksi

Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma
Faktor Lingkungan

Pemicu (inducer) Pemacu (enhancer) Pencetus (trigger)


Tabel 2 Mekanisme Terjadinya Asthma. Sumber : Departemen Kesehatan RI ; 2009

Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit yang
terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang terletak pada
kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan sampai saat ini masih
merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan asma. HLA-DR
merupakan MHC (major histocompatibility complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel
yang disandikan oleh kompleks antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen)
yang terletak pada kromosom 6 daerah 6p21.31. (Departemen Kesehatan RI ;2009)

2.8 Klasifikasi
Menurut Global Initiative for Asthma (Medical Communications Resources, Inc ; 2006.)
(Tabel 3)
1. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih dari 2
kali/bulan (FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas
PEV atau FEV1<20%)
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan dapat
mengganggu aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan (FEV1 ≥80%
predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV120-30%)
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala
nokturnal >1 kali/ minggu, menggunakan agonis-β2 kerja pendek setiap hari (FEV1
60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%).

16
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi
(FEV1 ≤60% predicted atau PEF ≤60% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%)

Derajat Gejala Gejala malam Faal


paru
Intermiten Gejala kurang dari 1x/minggu Kurang dari 2 kali APE >
dalam sebulan 80%
Asimtomatik
Persisten -Gejala lebih dari 1x/minggu tapi Lebih dari 2 kali dalam APE
ringan kurang dari 1x/hari sebulan >80%

-Serangan dapat menganggu


Aktivitas dan tidur
Persisten -Setiap hari, Lebih 1 kali dalam APE 60-
sedang seminggu 80%
-serangan 2 kali/seminggu, bisa
berahari-hari.

-menggunakan obat setiap hari

-Aktivitas & tidur terganggu


Persisten - gejala Kontinyu Sering APE
berat <60%
-Aktivitas terbatas

-sering serangan
Tabel 3. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan). Sumber : Buku Ajar
Respirologi ;2008

17
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Tujuan tatalaksana saat serangan
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.

2.9.2 Tatalaksana Medikamentosa


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini
tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang
disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi
masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat
ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya
diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai
6 – 8 minggu.(Supriyatno B, S Makmuri M ; 2008)

Obat – obat Pereda (Reliever)


1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi,
jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas
vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast. Suherman SK. (Ascobat P ; 2008)
 Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis
selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan
hipertensi.

18
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung
dan CNS. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
 β2 agonis selektif (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval
20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai
dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini
obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih
sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit,
dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 –
0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena
efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada
serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergick. Suherman SK.
Ascobat P

19
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor
adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian
oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan
nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine
didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.(Rahajoe N ; 2007)
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
 > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih
tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)

2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas
6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau
rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma
jangka panjang pada anak. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan : (Suherman SK. Ascobat P ;
2008)
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup
lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan
sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di

20
pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari
diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid,
menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan
menurunkan permeabilitas vascular.(Rahajoe N ; 2007)
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan
paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB
dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam. (Suherman SK. Ascobat P ; 2008)

Obat – obat Pengontrol


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin, cromones, dan
long acting oral β2-agonist. (Medical Communications Resources, Inc ; 2006 )

1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan
inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan
mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari
eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi
paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah
terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation
receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek
samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan
pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin
hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang

21
membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah
sebagai berikut :
 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane;
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat
montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan
kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF)
sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot
polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-
inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :


a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.
(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10
mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan
asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu
fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS
400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV 1 pagi dan
sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.
Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI
sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.

22
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang
bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid.
Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP,
palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping
muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis
inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/ha

Tabel 4. Obat asma yang tersedia d Indonesia tahun (2004). Sumber : Farmakologi dan Terapi ;2008

2.9.3 Terapi Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk


a. meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma sendiri)
b. meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma mandiri)

c. membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma

23
2.10 Pencegahan
a. Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi
b. Menghindari kelelahan
c. Menghindari stress psikis
d. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
e. Olahraga renang, senam asma

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.

2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,


Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.

3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global


Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.

4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,


Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.

5. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s Delgado,
Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report : Exercise-
induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa,
Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo : American Academy of Allergy : 2007

6. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:


Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.

7. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto


DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI ; 2008. h.98-104.

8. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia.2004

9. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS, Rusmil K,


dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI; 2005.

10. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

25
11. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

12. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog


Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500.

13. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Nasional Cipto
Mangunkusumo 2007

14. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen Kasus
Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta : Yapnas
Suddharprana; 2007.h. 97-106.

26

Anda mungkin juga menyukai