PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan yang banyak dijumpai pada
anak-anak maupun dewasa. Menurut global initiative for asthma (GINA) tahun 2015,
asma didefinisikan sebagai “ suatu penyakit yang heterogen, yang dikarakteristik oleh
adanya inflamasi kronis pada saluran pernafasan. Hal ini ditentukan oleh adanya riwayat
gejala gangguan pernafasan seperti mengi, nafas terengah-engah, dada terasa
berat/tertekan, dan batuk, yang bervariasi waktu dan intensitasnya, diikuti dengan
keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi”, (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
Asma adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapatmenyerang anak-anak
hingga orang dewasa, tetapipenyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak.Menurut
para ahli, prevalensi asma akan terusmeningkat. Sekitar 100 - 150 juta penduduk
duniaterserang asma dengan penambahan 180.000 setiaptahunnya. (Dharmayanti &
Hapsari, 2015).
Angka kejadian asma bervariasi diberbagai negara, tetapi terlihat kecendrungan
bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun belakang ini obat-obatan
asma banyak dikembangkan. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam world
health report 2000 menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan 17,4 % dari
seluruh kematian di dunia, masing-masing terdiri dari infeksi paru 7,2 %, PPOK
(Penyakit Paru Obstruksi Kronis) 4,8%, Tuberkulosis 3,0%, kanker paru/trakea/bronkus
2,1 %. Dan asma 0,3% (Infodatin, 2017).
Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data
dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta
orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400
juta. Jumlah ini dapat saja lebih besar mengingat asma merupakan penyakit yang
underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat
diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita asma. Data dari berbagai negara
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma berkisar antara 1-18% (Infodatin, 2017).
Prevalensi asma di Indonesia menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga sebesar
4%. Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2017, prevalensi
asma untuk seluruh kelompok usia sebesar 3,5% dengan prevalensi penderita asma pada
anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4% dan usia 5 - 14 tahun sebesar 2,0% (Infodatin, 2017).
Dampak yang akan terjadi jika asma broncial tidak ditangani dengan tepat, dimana
lingkungan memiliki peran dalam memicu kekambuhan asma. Selain itu ada faktor lain
yang dapat meningkatkan keparahan asma. Beberapa diantaranya adalah rinitis yang
tidak diobati atau sinusitis, gangguan refluks gastroesofagal, sensitivitas terhadap aspirin,
pemaparan terhadap senyawa sulfit atau obat golongan beta bloker, dan influenza, faktor
mekanik, dan faktor psikis (Stress) (Zullies, 2016).
Penanganan yang dilakukan pada asma yaitu jauhkan dari agen-agen yang dapat
membuat asma kambuh seperti debu, bulu binatang, perubahan cuaca, dll. Serta selalu
berikan masker dan kenakan pakaian yang hangat saat cuaca yang dingin agar tidak
terjadinya kekambuhan asma.
Upaya yang dilakukan dalam menurunkan angka kejadian asma dengan menjaga
kebersihan rumah dan lingkungan, hindari merokok dan asap rokok serta asap
korbondiaksoda, hindari binatang yang mempunyai bulu yang halus dan menjaga pola
makan agar tidak terjadinya obesitas, karena obesitas juga merupakan faktor resiko
terjadinya asma pada individu.
Peran perawat untuk merawat pasien dengan Asma adalah melalui pendekatan
proses keperawatan. Asuhan keperawatan yang diberikan melalui pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi
keperawatan. Perawat juga perlu memberikan dukungan dan motivasi kepada pasien dan
keluarga untuk tetap menjaga kesehatan, menyarankan kepada pasien dan keluarga agar
tetap tabah, sabar, dan berdoa agar diberikan kesembuhan, serta keluarga dapat merawat
pasien dirumah dengan mengikuti semua anjuran dokter dan perawat.
2.3 Klasifikasi
Keparahan asma juga dapat dinilai secara retrospektif dari tingkat obat yang
digunakan untuk mengontrol gejala dan serangan asma. Hal ini dapat dinilai jika pasien
telah menggunakan obat pengontrol untuk beberapa bulan. Yang perlu dipahami adalah
bahwa keparahan asma bukanlah bersifat statis, namun bisa berubah dari waktu-waktu,
dari bulan ke bulan, atau dari tahun ke tahun, (GINA, 2015) Adapun klasifikasinya adalah
sebagai berikut :
1. Asma Ringan Adalah asma yang terkontrol dengan pengobatan tahap 1 atau tahap 2,
yaitu terapi pelega bila perlu saja, atau dengan obat pengontrol dengan intensitas
rendah seperti steroid inhalasi dosis rendah atau antogonis leukotrien atau kromon.
2. Asma Sedang Adalah asma terkontrol dengan pengobatan tahap 3, yaitu terapi dengan
obat pengontrol kombinasi steroid dosis rendah plus long acting beta agonist (LABA).
3. Asma Berat Adalah asma yang membutuhkan terapi tahap 4 atau 5, yaitu terapi
dengan obat pengontrol kombinasi steroid dosis tinggi plus long acting beta agonist
(LABA) untuk menjadi terkontrol, atau asma yang tidak terkontrol meskipun telah
mendapat terapi. Perlu dibedakan antara asma berat dengan asma tidak terkontrol.
Asma yang tidak terkontrol biasnya disebabkan karena teknik inhalasi yang kurang
tepat, kurangnya kepatuhan, paparan alergen yang berlebih, atau ada komorbiditas.
Asma yang tidak terkontrol relatif bisa membaik dengan pengobatan. Sedangkan asma
berat merujuk pada kondisi asma yang walaupun mendapatkan pengobatan yang
adekuat tetapi sulit mencapai kontrol yang baik.
2.4 Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu
atau lebih dari konstraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi, yang menyempitkan jalan
nafas, atau pembengkakan membran yang melapisi bronkhi, atau penghisap bronkhi
dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkhial dan kelenjar mukosa
membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi,
dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan
ini belum diketahui, tetapi ada yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem
imunologis dan sisitem otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast
dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan
antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti
histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi
lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos
dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membaran
mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls
saraf vagal melalui sistem parasimpatis, Asma idiopatik atau nonalergik, ketika ujung
saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok,
emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin
ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan
mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi
rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam
bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi
terjadi ketika reseptor β- adregenik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α-
dan β- adregenik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP).
Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan penurunan cAMP, mngarah pada peningkatan
mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor
beta adrenergik mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan
mediator kimiawi dan menyababkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa
penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan
terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos (Wijaya dan
Putri, 2014).
WOC /Pathway
2.5 Manifestasi Klinik
Berikut ini adalah tanda dan gejala asma, menurut Zullies (2016), tanda dan gejala
pada penderita asma dibagi menjadi 2, yakni :
1. Stadium dini Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
a. Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek.
b. Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul.
c. Wheezing belum ada.
d. Belum ada kelainana bentuk thorak.
e. Ada peningkatan eosinofil darah dan IGE.
f. Blood gas analysis (BGA) belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan :
a. Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum.
b. Wheezing.
c. Ronchi basah bila terdapat hipersekresi.
d. Penurunan tekanan parial O2
2. Stadium lanjut/kronik
a. Batuk, ronchi.
b. Sesak nafas berat dan dada seolah-olah tertekan.
c. Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan.
d. Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest).
e. Thorak seperti barel chest
f. Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
g. Sianosis
h. Blood gas analysis (BGA) PaO2 kurang dari 80%
i. Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri
j. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis repiratorik.
Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan/ tanpa stetoskop, batuk produktif,
sering pada malam hari, nafas atau dada seperti tertekan, ekspirasi memanjang.
2.6 Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks, yaitu toraks menbungkuk ke
depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letaknya rendah,
gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik
dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat
terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke arah
atelektasis. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkietasis, dan
bila ada infeksi akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan
berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat yang biasa
disebut status asma tikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan
kematian, kegagalan pernafasan dan kegagalan jantung.
5. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
- Pemeriksaan dada dimulai dari torak posterior, pasien pada posisi duduk
- Dada diobservasi
- Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah
- Inspeksi torak posterior, meliputi warna kulit dan kondisinya, skar, lesi,
massa, dan gangguan tulang belakang, seperti kifosis, skoliosis, dan
lordosis.
- Catat jumlah, irama, kedalaman pernapasan, dan kesimetrisan pergerakkan
dada.
- Observasi tipe pernapasan, seperti pernapasan hidung pernapasan
diafragma, dan penggunaan otot bantu pernapasan.
- Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I) dan fase
eksifirasi (E). Rasio pada fase ini normalnya 1:2. Fase ekspirasi yang
memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada jalan napas dan sering
ditemukan pada pasien Chronic Airflow Limitation (CAL) / Chornic
obstructive Pulmonary Diseases (COPD).Kelainan pada bentuk dada
- Observasi kesimetrisan pergerakkan dada. Gangguan pergerakan atau
tidak adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada paru atau
pleura.
- Observasi trakea abnormal ruang interkostal selama inspirasi, yang dapat
mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
b. Palpasi
- Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasikan keadaan kulit, dan
mengetahui vocal/ tactile premitus (vibrasi).
- Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat inspeksi
seperti : massa, lesi, bengkak.
- Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang dihasilkan ketika
berbicara (Nuraruf & Kusuma, 2015).
c. Perkusi
Suara perkusi normal :
- Resonan (sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada jaringan paru
normal.
- Dullnes : bunyi yang pendek serta lemah, ditemukan diatas bagian
jantung, mamae, dan hati.
- Timpani : musical, bernada tinggi dihasilkan di atas perut yang berisi
udara.
- Hipersonan (hipersonor) : berngaung lebih rendah dibandingkan dengan
resonan dan timbul pada bagian paru yang berisi darah.
- Flatness : sangat dullnes. Oleh karena itu, nadanya lebih tinggi. Dapat
terdengar pada perkusi daerah hati, di mana areanya seluruhnya berisi
jaringan. (Nuraruf & Kusuma, 2015).
d. Auskultasi
- Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup mendengarkan
bunyi nafas normal, bunyi nafas tambahan (abnormal).
- Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui jalan nafas
dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.
- Suara nafas normal meliputi bronkial, bronkovesikular dan vesikular.
- Suara nafas tambahan meliputi wheezing : peural friction rub, dan crackles
(Nuraruf & Kusuma, 2015).
Ny. M
Ket :
: Laki – laki
: Perempuan
: Meninggal
: Pasien
4. Oksigenasi
- Pasien terpasang O2 4 liter
5. Pola tidur dan istirahat (lama tidur, gangguan tidur, perasaan saat bangun tidur)
- Pasien mengatakan sering terbangun di saat sesak dan batuk, pasien mengatakan
tidur hanya 3-4 jam pada malam hari
6. Pola Perceptual (penglihatan, pendengaran, pengecap, sensasi)
- penglihatan pasien tidak mengalami gangguan penglihatan dan pasien tidak
menggunakan kacamata
- pendengaran pasien normal, tidak memakai alat bantu pendengaran, tidak ada
gangguan pendengaran
- pengecap pasien normal, tidak ada masalah pada pengecapan
- Sensasi pasien normal, tidak ada masalah pada sensasi
7. Pola Persepsi diri (pandangan pasien tentang sakitnya, kecemasan, konsep diri)
- Pasien mengatakan cemas dengan penyakitnya akibat sesak dan pasien takut
tidak bisa sembuh
8. Pola seksualitas dan reproduksi (fertilitas, libido, menstruasi, kontrasepsi, dll)
- Pasien memiliki 3 orang anak, pasien masih produktif dan memakai kontrasepsi
IUD
9. Pola peran dan hubungan (komunikasi, hubungan dengan orang lain, kemampuan
keuangan)
- Pasien mengatakan perannya saat ini sebagai ibu, hubungan pasien dengan
orang lain baik, tidak mengalami masalah. Saat di rumah sakit pasien juga
berintraksi baik dengan orang lain
10. Pola Managemen koping stress (perubahan terbesar dalam hidup pada akhir-akhir
ini)
- Pasien dalam sebulan ini mersa stress akibat di tipu orang, jika ada masalah
pasien selalau tidur dan mencari pertolongan dengan bercerita kepada suaminya.
11. Sistem nilai dan kepercayaan (pandangan pasien tentang agama, kegiatan
keagamaan, dll)
- Pasien percaya bahwa penyakitnya ujian dari Allah dan selalu berdoa dan pasien
sedih karena semenjak sakit pasien tidak bias melakukan kegiatan pengajian di
mesjid.
Observasi dan PemeriksaanFisik :
Pemeriksaan Tanda-Tanda Fital
TD : 130/70 mmHg P : 26 x/menit
N : 100 x/menit S : 37 ºC
Pemeriksaan nyeri
- Provokatif/Paliatif (P) : Sesak nafas tiba-tiba pada saat beraktifitas dan pada pagi hari
di saat udara sejuk
Qualitas/Quantitas (Q) : sesak yang dirasakan hilang timbul
Region/Radiasi (R) : dada kanan
Skala Seviritas (S) :5
Timing (T) : 4-5 kali/jam
I. Kepala
- Rambut : Warna rambut hitam, pendek, kulit kepala bersih
- Mata : Konjungtiva tidak anemis, skelra tidak ikterik, pipil bulat, isokor, pasien
tidak pakaikaca mata
- Mulut : Tidak ada gangguan pengecapan ,lidah bersih,tidak ada perdaran pada
pada mulut
- Bibir : Mukosa kering ,tidak adanya stomatitis
- Gigi : Pasien tidak menggunakan gigi palsu, karies tidak ada, gigi masih lengkap
- Telinga : Tidak ada gangguan pada pendengaran ,tidak ada serumen.
- Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar tyroid, tidak ditemukan distensi vena
jugularis, kaku kuduk (-), tidak terpasang tracheostomi.
- Tangan : tangan kiri terpasang infus RL 20 tpm, luka (-), lecet (-), fraktur (-),
edema (-), akral teraba hangat, CRT < 3 detik. Skala kekuatan otot 4.
II. Dada (Paru Dan Jantung )
- Inspeksi : Normal bentuk dada simetris, batuk adanya bunyi weezing
- Palpasi : Normal ,tidak ada massa dan nyeri tekan.
Perkusi :
√Resonan Letak……………………………
ðHiperesonane Letak…………………………….
ðBatas jantung
Auskultasi :
ðBronkial Letak……………………………
√Bronkovesikuler Letak…………………………….
ðVesikuler Letak…………………………….
ðKrakles Letak……………………………..
√Whezzing Letak : Pa Dextra
ðRonchi Letak…………………………….
ð Friction Rub Letak…………………………….
ð S1 Letak……………Suara……………….Frekuesi………………..
ð S2 Ltak…………… Suara………………Frekuesi………………..
ð S3 Letak……………Suara ………………Frekuesi……………….
ð S4 Letak……………suara ………………Frekuesi……………….
III. Abdomen
- Inspeksi√ Normal ðAsites ð Stoma ð Luka
- Palpasi : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : peristaltic, kesan normal
IV. Genetelia
- Tidak terpasang terpasang kateter ,tidak ada pendarahan pervagina tidak ada
tanda-tanda infeksi, tidak ada benturan trauma, pasien tidak lagi menstruasi
V. Kaki
- Pasien masih bias berjalan ,walaupun di bantu keluarga dan perawat ,tidak ada
edema, kekuatan otot 5
VI. Punggung
- Tidak ada kelainan, tidak ada dikubitus/lulka
VII. Program terapi :
- Ivfd RL 20 Tpm Aminophilin 2 ampul 20 tts/mnt
- Inj vit C 1x250 mg,
- cetirizin 2X1
- inj Omeparazol 1X1
VIII. Hasil Pemeriksaan Penunjang dan laboratorium
- Hasil fhoto thorax Ap corakan bronkovaskuler
- Hasil laboraterium:
HB = 13,2 g/dl (P : 14-18 ; W : 12-15)
led=105
leukosit= 7000 /uL (4.000 – 11.000)
Ht=38 % (37 -47)
peningkatan pada laju endap darah dari normal
3.2 Analisa Data
III.3 DiagnosaKeperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas b.d Spasme otot polos bronkiolus
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d Mukosa meningkat sekresi mukus
berlebihan yang sangat lengket
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Peningkatan usaha dan
frekuensi pernafasan
4. Gangguan pemenuhan istirahat tidur b.d penyempitan Sesak dan batuk
III.4 Intervensi
No Diangnosa Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan pola napas
b.d Spasme otot polos
bronkiolus
2 Gangguan istirahat tidur 1.Mengkaji penyebar gangguan istirahat dan S= Pasien mengatakan masih susah
berhubungan dengan proses penyakit tidur Hasil= pasien mengatakan istirahat dan istirahatdan tidur karena sesak nafas
adanya sesak nafas dan batuk tidur terganggu karena sesak nafas dan batuk dan batuk
2.menciptakan lingkungan yang tenang dengan -Pasien mengatakan karena merasa
membatasi pengunjumg tidak aman dengan terpasngnya selang
3.menurangi rangsangan sensorik dengan cara O2 sering terbangun
menghindari pasien tidur dari suasana rebut O=keadaan lemah
/sinar cahaya lampu<silau> -pasien tampak mengantuk
4.Memberi posisi semi fowler -konjungtiva anemis
A= Masalah belum teratasi
P=Intervensi lanjut
3 Gangguan mobilitas fisik 1.Mengkaji kemampuan pasien dalam S=Pasien mengtakan belum bias
berhubungan dengan kelemahan beraktifitas beraktifitas secara mandri
tubuh Hasil= Pasien mulai berusaha beraktifitas -pasien menatakn ada kekakuan dalam
2.membantu pasien pemenuhan kebutuhan mekakukan rentang gerak
Hasil= Bantupasien untuk duduk member obat O= Keadaan umum lemah
dan kembali minum airhangat. -aktifitas pasien di bantu oleh perawat
3.Membantu pasien melakukan flexi ,extensi dan keluarga
pada extermitas atas dan bawah A=Masalah belum teratasi
4.memberikan pasien memberikan posisi yg P=Intervensi lanjut
nyaman untuk istiraha dan tidur
5.Mengkaji vital sign TD=120/80 mmhg
HR=94/mnt S=36,C
4 Gangguan pemenuhan nutrisi kurang 1.Mengkaji kebiasaan diet masukan makana sat S=Pasien mengtakan sudah mau minum
dari kebutuhan tubuh berhubungan ini O=klien menghabiskan porsi makan
dengan intake adekuat -Memberikan masukan makana sedikit demi yang di berikan
sedikit tapi sering
-menkaji /menimbang BB/H A= Masalah teratasi
-memberi makanan yang hangat dengan hasil P=Inttervensi diagnose keprawatan
-pasien habis makan 1 porsi yang di berikan. ketiga di hentikan