Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Asma merupakan penyakit saluran pernapasan kronik yang telah lama

dikenal masyarakat luas dan merupakan penyakit genetik dengan penyeabab

belum dketahui secara pasti. Asma adalah salah satu penyakit alergi dan masih

menjadi masalah kesehatan di negara maju maupun berkembang (Sastrawan,

2008). Penyakit asma ditandai dengan terhambatnya aliran udara dalam saluran

napas pada paru dengan gejala batuk berulang, mengi dan sesak napas yang terjadi

pada malam hari (Oemiati, 2010).

Asma adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai oleh spasme akut

otot polos bronkiolus. Serangan asma terjadi apabila terpajan alergen sebagai

pencetus. Pajanan elergen tersebut menyebabkan terjadinya bronkokontriksi,

edema, hipersekresi saluran napas dengan hasil akhir berupa obstruksi saluran

nafas bawah sehingga terjadi gangguan ventilasi berupa kesulitan nafas pada saat

ekspirasi (air tapping) (Bambang, 2010).

Asma merupakan penyakit saluran nafas kronis yang dapat bersifat ringan,

akan tetapi dapat menetap serta mengganggu aktivitas sehari-hari. Sampai saat ini

kematian disebabkan oleh serangan asma seperti sesak napas, mengi, yang

seharusnya tidak perlu terjadi masih saja tetap ditemukan, meskipun

perkembangan dalam hal pengobatan sudah demikian majunya. Kematian pada

penderita asma pada dasarnya terjadi karena kesalahan klinikus sendiri seperti
kegagalan mengenai serangan asma akut terutama yang berat, membuat program

penatalaksanaan yang tidak tepat atau pengobatan yang tidak memadai. Gejala

serangan asma dapat terjadi sangat ringan, singkat, dan sembuh spontan. Namun

sebaliknya dapat pula terjadi sangat berat, berlangsung lama, sehingga sulit

ditanggulangi.

Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak menular. Penyakit

asma telah mempengaruhi lebih dari 5% penduduk dunia, dan beberapa indicator

telah menunjukkan bahwa prevalensinya terus menerus meningkat, khususnya

pada anak-anak. Masalah epidemiologi mortalitas dan morbiditas penyakit asma

masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja

sama dengan organisasi asma di dunia yaitu Global Astma Network (GAN)

memprediksikan saat ini jumlah pasien asma di dunia mencapai 334 juta orang,

diperkirakan angka ini akan terus mengalami peningkatan sebanyak 400 juta orang

pada tahun 2025 dan terdapat 250 ribu kematian akibat asma termasuk anak-anak

(GAN, 2014)

Asma menjadi salah satu masalah kesehatan utama baik di negara maju

maupun di negara berkembang. Menurut data dari laporan Global Initiatif for

Asthma (GINA) tahun 2017 dinyatakan bahwa angka kejadian asma dari berbagai

negara adalah 118% dan diperkirakan terdapat 300 juta penduduk di dunia

menderita asma. Prevalensi asma menurut World Health Organization (WHO)

tahun 2016 memperkirakan 235 juta penduduk dunia saat ini menderita penyakit

asma dan kurang terdiagnosis dengan angka kematian lebih dari 80% di negara
berkembang. Di Amerika Serikat menurut National Center Health Statistic

(NCHS) tahun 2016 prevalensi asma berdasarkan umur, jenis kelamin, dan ras

berturut-turut adalah 7,4% pada dewasa, 8,6% pada anak-anak, 6,3% laki-laki,

9,0% perempuan, 7,6% ras kulit putih, dan 9,9% ras kulit hitam.

Menurut Kementrian Kesehatan RI tahun 2011 Penyakit asma masuk dalam

sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia dengan angka

kematian yang disebabkan oleh penyakit asma diperkirakan akan meningkat

sebesar 20% pada 10 tahun mendatang, jika tidak terkontrol dengan baik. Angka

kejadian asma di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2013 mencapai 4,5% sedangkan pada tahun 2018 mencapai 2,4%.

(Riskesdas, 2018).

Riskesdas tahun 2018 menyatakan bahwa angka kejadian asma di Sulawesi

Tenggara adalah 2,4%. Data dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Kendari

penyakit asma termasuk ke dalam daftar 10 penyebab kematian terbanyak di kota

Kendari tahun 2013, dengan angka kematian 11 orang perempuan dan 5 orang

laki-laki, terlihat bahwa angka kejadian asma di Indonesia khususnya di Sulawesi

Tenggara masih tinggi dan perlu mendapatkan peranan yang signifikan agar

penderita asma mampu memiliki kualitas hidup yang baik (Profil Kesehatan

Provinsi Sulawesi Tenggara, 2017).

Sedangkan jumlah penderita Asma berdasarkan data dari Instalasi Rekam

Medik Puskesmas Lepo - Lepo Kota Kendari, pada tahun 2016 jumlah pasien

sebanyak 317 orang. Dan pengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2017
yaitu jumlah pasien sebanyak 400 orang. Kemudian mengalami penurunan pada

tahun 2018 yaitu jumlah pasien sebanyak 238 orang dan pada tahun 2019

berjumlah 295 orang (Instalasi Rekam Medik RSUD Kota Kendari Provinsi

Sulawesi Tenggara, 2020).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.Konsep Penyakit

1. Pengertian
Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang

ditandai dengan adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan

timbul terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran

pernapasan. (Infodatin, 2017).

Asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan menjadi

hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema, dan

hipersekresi kelenjar.(Nelson, 2013) Asma adalah suatu keadaan dimana

saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap

rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan. (Amin & Hardi, 2016).

Asma bronkial adalah kelainan inflamasi kronis saluran nafas dimana

berbagai sel memainkan perannya, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit

T. Pada individu yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode berulang

bising mengi, sesak nafas, dada terasa tegang serta batuk khususnya di waktu

malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan penyempitan saluran

nafas yang sangat luas dan bervariasi, dan sebagian sedikit reversible baik

secara spontan maupun dengan pengobatan. Proses inflamasi dapat meningkat

dengan dipacu beberapa faktor pencetus antara lain udara dingin, infeksi,

makanan, bau bahan kimia, bulu binatang, gangguan piki dan lain-lin (GINA,

2016).

2. Etiologi
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkaan faktor autonom,

imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada

berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai

suatu keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas bronkokonstriktor

neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris

vagus pada epitel jalan napas, disebut reseptor batu atau iritan, tergantung pada

lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens

merangsang kontraksi otot polos bronkus.

a. Faktor imunologis

Pada beberapa penderita yang disebut asma ekstrinsik atau alergik,

eksaserbasi terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti

debu rumah, tepungsari, dan ketombe. Bentuk asma adanya instrinsik dan

ekstrinsik. Perbedaan intrinsik dan ekstrinsik mungkun pada hal buatan

(artifisial), karena dasar imun pada jejas mukosa akibat mediator pada kedua

kelompok tersebut. Asma ekstrinsikmungkin dihubungkan dengan lebih

mudahnya mengenali.

b. Faktor endokrin

Asma dapat lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan

menstruasi, terutama premenstruasi, atau dapat timbul pada saat wanita

menopause. Asma membaik pada beberapa anak saat pubertas.

c. Faktor psikologis
Faktor emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan

dewasa yang berpenyakit asma, tetapi “penyimpangan” emosional atau sifat-

sifat perilaku yang dijumpai pad anak asma tidak lebih sering daripada anak

dengan penyakit cacat kronis yang lain.(Nelson, 2013).

3. Gejala asma

Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat

hiperaktifitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan

maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma (klinik citama, 2011)

antara lain :

a. Bising mengi (Wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop.

b. Batuk produktif, sering pada malam hari.

c. Nafas atau dada seperti tertekan.

Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan

memburuk pada malam hari. Diagnosis asma berdasarkan :

a. Anamnesis : riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi,

serta gejala klinis.

b. Pemeriksaan fisik

c. Pemeriksaan laboratorium : darah (terutama eosinofil, IgE total, IgE


spesifik), sputum (eosinofil, spiral Curshman, kristal Charcot- Leyden)

d. Tes fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter untuk

menentukan adanya obstruksi jalan nafas

4. Klasifikasi

Asma Keparahan asma juga dapat dinilai secara retrospektif dari tingkat

obat yang digunakan untuk mengontrol gejala dan serangan asma. Hal ini dapat

dinilai jika pasien telah menggunakan obat pengontrol untuk beberapa bulan.

Yang perlu dipahami adalah bahwa keparahan asma bukanlah bersifat statis,

namun bisa berubah dari waktu-waktu, dari bulan ke bulan, atau dari tahun ke

tahun, (GINA, 2015). Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :

a. Asma Ringan

Asma Ringan Adalah asma yang terkontrol dengan pengobatan tahap 1 atau

tahap 2, yaitu terapi pelega bila perlu saja, atau dengan obat pengontrol

dengan intensitas rendah seperti steroid inhalasi dosis rendah atau antogonis

leukotrien, atau kromon.

b. Asma Sedang

Asma Sedang Adalah asma terkontrol dengan pengobatan tahap 3, yaitu

terapi dengan obat pengontrol kombinasi steroid dosis rendah plus long

acting beta agonist (LABA).


c. Asma Berat

Asma Berat Adalah asma yang membutuhkan terapi tahap 4 atau 5, yaitu

terapi dengan obat pengontrol kombinasi steroid dosis tinggi plus long acting

beta agonist (LABA) untuk menjadi terkontrol, atau asma yang tidak

terkontrol meskipun telah mendapat terapi. Perlu dibedakan antara asma

berat dengan asma tidak terkontrol. Asma yang tidak terkontrol biasnya

disebabkan karena teknik inhalasi yang kurang tepat, kurangnya kepatuhan,

paparan alergen yang berlebih, atau ada komorbiditas. Asma yang tidak

terkontrol relatif bisa membaik dengan pengobatan. Sedangkan asma berat

merujuk pada kondisi asma yang walaupun mendapatkan pengobatan yang

adekuat tetapi sulit mencapai kontrol yang baik.

5. Manifestasi Klinik

Berikut ini adalah tanda dan gejala asma, menurut Zullies (2016), tanda dan

gejala pada penderita asma dibagi menjadi 2, yakni :

a. Stadium dini

Faktor hipersekresi yang lebih menonjol.

1) Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek.

2) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang

timbul.

3) Wheezing belum ada.

4) Belum ada kelainana bentuk thorak


5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IGE f. Blood gas analysis (BGA)

belum patologis

Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan :

1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum

2) Wheezing

3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi

4) Penurunan tekanan parial O2

b. Stadium lanjut/kronik

1) Batuk, ronchi

2) Sesak nafas berat dan dada seolah-olah tertekan

3) Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan

4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)

5) Thorak seperti barel chest

6) Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus

7) Sianosis

8) Blood gas analysis (BGA) Pa O2 kurang dari 80 %

9) Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri

10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis repiratorik Bising mengi

(wheezing) yang terdengar dengan/ tanpa stetoskop, batuk produktif,

sering pada malam hari, nafas atau dada seperti tertekan, ekspirasi

memanjang
6. Patofisiologi

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara

lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.

Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi

hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.

Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor

kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema

lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen

bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi

saluran napas.

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran

napas. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa

keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada

hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan

tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal

mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa

P, neurokinin A dan Calcito-nin GeneRelated Peptide (CGRP). Neuropeptida

itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi

plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamsi.


Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya

hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang

merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara

digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan

uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun

inhalasi zat nonspesifik (GINA 2016).

7. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan Asma adalah mencapai asma terkontrol

sehingga penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma dibagi menjadi 2,

yaitu : penatalaksanaan asma jangka panjang dan penatalaksanaan asma

akut/saat serangan.

a. Tatalaksana Asma Jangka Panjang

Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat Asma

(pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat pelega

diberikan pada saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan

serangan dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus.

b. Tatalaksana Asma Akut pada Anak dan Dewasa

Tujuan tatalaksana serangan Asma akut :

1) Mengatasi gejala serangan asma

2) Mengembalikan fungsi paru ke keadaan sebelum serangan


3) Mencegah terjadinya kekambuhan Menurut Kusuma (2016),

4) Mencegah kematian karena serangan asma

Ada program penatalaksanaan asma meliputi 7 komponen, yaitu :

1) Edukasi

Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti. Edukasi

tidak hanya ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain

yang membutuhkan energi pemegang keputusan, pembuat perencanaan

bidang kesehatan/asma, profesi kesehatan.

2) Menilai dan monitor berat asma secara berkala

Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh

penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal

tersebut disebabkan berbagai faktor antara lain :

a) Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan

terapi

b) Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada

asmanya

c) Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview,

sehingga membantu penanganan asma terutama asma mandiri.

3) Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

4) Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut

sebagai asma terkontrol. Terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan :


a) Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala

obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.

b) Tahapan pengobatan

(1) Asma Intermiten, medikasi pengontrol harian tidak perlu

sedangakan alternatif lainnya tidak ada.

(2) Asma Presisten Ringan, medikasi pengontrol harian diberikan

Glukokortikosteroid ihalasi (200-400 ug Bd/hati atau

ekivalennya), untuk alternati diberikan Teofilin lepas lambat,

kromolin dan leukotriene modifiers.

(3) Asma Persisten Sedang, medikasi pengontrol harian diberikan

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau

ekivalennya), untuk alternatifnya diberikan glukokortikosteroid

ihalasi (400-800 ug Bd atau ekivalennya) ditambah Teofilin dan di

tambah agonis beta 2 kerja lama oral, atau Teofilin lepas lambat.

(4) Asma Persisten Berat, medikasi pengontrol harian diberikan

ihalasi glukokortikosteroid (> 800 ug Bd atau ekivalennya) dan

agonis beta 2 kerja lama, ditambah 1 antara lain : Teofilin lepas

lambat, Leukotriene, Modifiers, Glukokortikosteroid oral. Untuk

alternatif lainnya Prednisolo/ metilprednisolon oral selang sehari

10 mg ditambah agonis bate 2 kerja lama oral, ditambah Teofilin

lepas lambat.
5) Penanganan asma mandiri (pelangi asma)

Hubungan penderita dokter yang baik adalah dasar yang kuat untuk

terjadi kepatuhan dan efektif penatalaksanaan asma. Rencanakan

pengobatan asma jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik/

memungkinkan bagi penderita dengan maksud mengontrol asma.

6) Menetapkan pengobatan pada serangan akut Pengobatan pada serangan

akut antara lain : Nebulisasi agonis beta 2 tiap 4 jam, alternatifnya Agonis

beta 2 subcutan, Aminofilin IV, Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK, dan oksigen

bila mungkin Kortikosteroid sistemik.

7) Kontrol secara teratur Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal

yang penting diperhatikan oleh dokter yaitu :

a) Tindak lanjut (follow-up) teratur

b) Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penangan lanjut bila

diperlukan

c. Pola hidup sehat

a) Meningkatkan kebugaran fisik

Olahraga menghasilkan kebugaran fisik secara umum. Walaupun

terdapat salah satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah

execrise, akan tetapi tidak berarti penderita EIA dilarang melakukan

olahraga. Senam asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk

olahraga yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-otot

pernapasan khususnya, selain manfaat lain pada olahraga umumnya.


b) Berhenti atau tidak pernah merokok

c) Lingkungan kerja Kenali lingkungan kerja yang berpotensi dapat

menimbulkan asma.

8. Pencegahan

Menurut Broide 2008 ada 2 upaya dalam pencegahan asma :

a. Mencegah Sensititasi

Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya

atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau

pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain

menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir,

tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma..

b. Mencegah Eksaserbasi

Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang

memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau

beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut. Eksaserbasi asma dapat

ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor seperti tungau

debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti

polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita

dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap

rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala

dapat mem-perbaiki kontrol asma serta keperluan obat.


B. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial

1. Pengkajian

Menurut Nuraruf & Kusuma (2015), meliputi :

a. Biodata

Identitas pasien berisikan nama pasien, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,

tanggal masuk sakit, rekam medis.

b. Keluhan utama

Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma adalah dispnea (sampai

bisa berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk, dan mengi (pada beberapa

kasus lebih banyak paroksimal).

c. Riwayat Kesehatan Dahulu

Terdapat data yang menyatakan adanya faktor prediposisi timbulnya

penyakit ini, di antaranya adalah riwayat alergi dan riwayat penyakit saluran

nafas bagian bawah (rhinitis, utikaria, dan eskrim).

d. Riwayat Kesehatan Keluarga Klien dengan asma sering kali didapatkan

adanya riwayat penyakit turunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak

ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota keluarganya.

e. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi

a) Pemeriksaan dada dimulai dari torak posterior, klien pada posisi duduk

b) Dada diobservasi

c) Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah


d) Inspeksi torak posterior, meliputi warna kulit dan kondisinya, skar,

lesi, massa, dan gangguan tulang belakang, seperti kifosis, skoliosis,

dan lordosis. Catat jumlah, irama, kedalaman pernapasan, dan

kesimetrisa pergerakkan dada.

e) Observasi tipe pernapasan, seperti pernapasan hidung pernapasan

diafragma, dan penggunaan otot bantu pernapasan.

f) Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I) dan

fase eksifirasi (E). Rasio pada fase ini normalnya 1:2. Fase ekspirasi

yang memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada jalan napas dan

sering ditemukan pada klien Chronic Airflow Limitation (CAL) /

Chornic obstructive Pulmonary Diseases (COPD)

g) Kelainan pada bentuk dada

h) Observasi kesimetrisan pergerakkan dada. Gangguan pergerakan atau

tidak adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada paru

atau pleura

i) Observasi trakea abnormal ruang interkostal selama inspirasi, yang

dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas.

2) Palpasi

a) Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan

mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasikan keadaan kulit, dan

mengetahui vocal/ tactile premitus (vibrasi)


b) Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat

inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.

c) Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang dihasilkan ketika

berbicara (Nuraruf & Kusuma, 2015)

3) Perkusi

Suara perkusi normal :

a) Resonan (sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada jaringan

paru normal.

b) Dullnes : bunyi yang pendek serta lemah, ditemukan diatas bagian

jantung, mamae, dan hati

c) Timpani : musical, bernada tinggi dihasilkan di atas perut yang berisi

udara

d) Hipersonan (hipersonor) : berngaung lebih rendah dibandingkan

dengan resonan dan timbul pada bagian paru yang berisi darah.

e) Flatness : sangat dullnes. Oleh karena itu, nadanya lebih tinggi. Dapat

terdengar pada perkusi daerah hati, di mana areanya seluruhnya berisi

jaringan (Nuraruf & Kusuma, 2015).

4) Auskultasi

a) Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup

mendengarkan bunyi nafas normal, bunyi nafas tambahan (abnormal).

b) Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui

jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.


c) Suara nafas normal meliputi bronkial, bronkovesikular dan vesikular.

d) Suara nafas tambahan meliputi wheezing : peural friction rub, dan

crackles (Nuraruf & Kusuma, 2015).

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut diagnosis keperawatan SDKI (2017), diagnosa keperawatan yang

dapat diambil pada pasien dengan asma bronkial adalah :

a. D

b. C

3. Implementasi

Menurut Kozier, Erb, Berman, & Snyder (2010), implementasi

keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat melaksanakan rencana

atau intervensi yang sudah di laksanakan sebelumnya. Implementasi terdiri

atas melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus

yang di gunakan untuk melaksanakan intervensi. Implementasi keperawatan

membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas perawat. Sebelum melakukan suatu

tindakan, perawat harus mengetahui alasan mengapa tindakan tersebut di

lakukan. Beberapa hal yang harus di perhatikan di antaranya tindakan

keperawatan yang di lakukan harus sesuai dengan tindakan yang sudah di

rencanakan, di lakukan dengan cara yang tepat, aman, serta sesuai dengan

kondisi klien, selalu di evaluasi mengenai keefektifan dan selalu


mendokumentasikan menurut urutan waktu. Aktivitas yang di lakukan pada

tahap implementasi di mulai dari pengkajian lanjutan, membuat prioritas,

menghitung alokasi tenaga, memulai intervensi keperawatan, dan

mendokumentasikan tindakan dan respon klien terhadap tindakan yang telah

di lakukan (Debora, 2012).

4. Evaluasi

Evaluasi keperawatan menurut Tarwoto & Wartonah (2015), merupakan

tindakan akhir dalam proses keperawatan. Menurut Deswani (2011), evaluasi

dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil. Evaluasi terdiri dari evaluasi

formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama program berlangsung.

Sedangkan evaluasi sumatif di lakukan setelah program selesai dan

mendapatkan informasi efektivitas pengambilan keputusan. Menurut Dinarti,

Aryani, Nurhaeni, Chairani, & Tutiany (2013), evaluasi asuhan keperawatan di

dokumentasikan dalam bentuk SOAP (subyektif, obyektif, assessment,

planing). Adapun komponen SOAP yaitu S (subyektif) di mana perawat

menemukan keluhan klien yang masih di rasakan setelah di lakukan tindakan.

O (obyektif) adalah data yang berdasarkan hasil pengukuran atau observasi

klien secara langsung dan dirasakan setelah selesai tindakan keperawatan. A

(assesment) adalah interpretasi dari data subyektif dan obyektif. P (planning)

adalah perencanaan keperawatan yang akan di lanjutkan di hentikan, di


modifikasi atau di tambah dengan rencana kegiatan yang sudah di tentukan

sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai