Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

ASMA

Disusun Oleh :
KUNTUM KHAIRANNISA PURNOMO
NIM. 2208438042

Pembimbing:
dr. Indra Yovie, Sp. P (K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PULMONOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2023

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Asma merupakan suatu penyakit heterogen yang ditandai dengan inflamasi
kronik saluran napas yang ditegakkan berdasarkan riwayat gejala pernapasan
seperti mengi, sesak, rasa berat di dada serta batuk yang bervariasi dalam kurun
waktu dan intensitas tertentu bersama dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi
yang bervariasi yang sering dipicu oleh faktor seperti olahraga, paparan alergen
atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran pernapasan.1,2
Beberapa data epidemiologi spesifik negara tersedia dalam literatur ilmiah
saat ini, menggambarkan peningkatan prevalensi kejadian asma di Amerika
Serikat dan negara lain selama paruh kedua abad ke-20, sedangkan di negara lain
epidemiologi asma dilaporkan stabil atau bahkan sedikit menurun.3
Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa prevalensi asma berkisar
antara 15% sampai 20% di banyak negara, terutama di negara maju. Di Amerika
Serikat (AS), prevalensi asma saat ini di antara orang dewasa adalah sekitar 7,6%,
tetapi angkanya bervariasi secara dramatis di antara kelompok etnis yang berbeda.
Prevalensinya adalah 9,1% di antara orang kulit hitam non-Hispanik dan 13,6% di
antara orang Puerto Rico tetapi hanya sekitar 5% untuk orang Meksiko dan Asia.
Secara internasional, sebagian besar data tentang perbedaan etnis terkait
prevalensi asma berasal dari Inggris (UK) atau Kanada. Wang dkk. menemukan
bahwa anak-anak Cina yang lahir di Kanada memiliki tingkat asma yang lebih
tinggi daripada mereka yang lahir di Cina.4
World Health Organization (WHO) menyatakan Prevalensi asma tiga
sampai 5% terjadi pada orang dewasa, dan tujuh sampai 10% pada anak. WHO
juga memperkirakan 100 sampai 150 juta penduduk dunia menderita asma dan
diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat sebesar 180.000 orang setiap
tahunnya.5
Sepuluh negara dengan kejadian kasus mengi yang dikaitkan dengan asma
terbanyak saat ini secara berurutan adalah China, India, Amerika Serikat, india,
Brazil, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, Rusia, dan Ethiopia, dimana total kasus
sebanyak 439,2 juta dan terhitung lebih banyak dari setengah (58,2%) kasus global

2
mengi pada tahun 2019.6
Berdasarkan latar belakang demokratis di Indonesia, pada umumnya asma
diderita usia muda namun diagnosa asma tidak tertutup kemungkinan bisa terjadi
pada kelompok usia tua. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)
Kementrian Kesehatan tahun 2013, Prevalensi asma pasien Rawat inap
berdasarkan umur tertinggi pada umur 45 sampai 64 tahun yaitu sebesar 25,66%
dan prevalensi terendah usia 0 – 6 hari sebesar 0,10%. Sedangkan prevalensi asma
pasien rawat jalan berdasarkan umur tertinggi pada umur 25 sampai 44 tahun yaitu
sebesar 24,05% dan Prevalensi terendah usia 0 – 6 hari sebesar 0,13%.7
Tatalaksana pasien asma dapat berbeda berdasarkan derajat beratnya asma.
Global Initiative for Asthma (GINA) menjelaskan bahwa pada dasarnya
penatalaksanaan asma adalah untuk menjadikan asma terkontrol, meminimalkan
risiko kematian terkait asma di masa depan, eksaserbasi, terbatasnya aliran udara
persisten pada saluran pernapasan dan efek samping dari pengobatan.2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma merupakan suatu penyakit heterogen yang ditandai dengan inflamasi
kronik saluran napas yang ditegakkan berdasarkan riwayat gejala pernapasan
seperti mengi, sesak, rasa berat di dada serta batuk yang bervariasi dalam kurun
waktu dan intensitas tertentu bersama dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi
yang bervariasi yang sering dipicu oleh faktor seperti olahraga, paparan alergen
atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran pernapasan.1,2

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai Negara, berdasarkan data
Global Health Metrics, diestimasikan sebanyak 262 juta orang menderita asma
dengan prevalensi masing – masing berdasarkan jenis kelamin yakni, 136 juta
kasus asma pada wanita dan 127 juta kasus pada laki – laki dan menyebabkan
455.000 kematian pada tahun 2019.8
Lebih spesifiknya di Indonesia, pada tahun 2013 terdapat 18 provinsi yang
mempunyai Prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional, dari 18 provinsi
tersebut lima provinsi teratas adalah Sulawesi tengah, masa Tenggara timur, DIY
Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan provinsi yang
mempunyai Prevalensi penyakit asma di bawah angka nasional, di mana lima
provinsi yang mempunyai Prevalensi asma terendah yaitu: Sumatera utara, Jambi,
Riau, Bengkulu, dan Lampung.7
Asma merupakan penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia
atau sebesar 5,6% berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT).
Dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk.
Kejadian asma terbanyak di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu 7,8% dan di Nusa
Tenggara Timur yaitu 7,3%, sedangkan di Provinsi Bengkulu angka kejadian asma
yaitu 2,0%.9

4
2.3 Faktor Risiko
Etiologi asma sangat kompleks dan multifaktorial. Faktor risiko asma di
lingkungan yang berbeda dan individu yang berbeda mungkin tidak sama dan
tidak serta merta meningkatkan kemungkinan berkembangnya asma. Menurut
studi yang ada, berikut ini beberapa faktor resiko kejadian asma.
a. Genetik dan Riwayat Keluarga
Terdapat komponen fenotipe asma yang turun-temurun. Namun,
komponen yang diwariskan ini tidak mengikuti pola Mendelian sederhana
dan gen spesifik yang bertanggung jawab atas komponen yang diwariskan
ini, dan bagaimana komponen tersebut berinteraksi satu sama lain dan
faktor risiko lingkungan.
b. Paparan tembakau prenatal
Ibu hamil yang merokok merupakan faktor risiko terjadinya asma anak,
hal ini terkait dengan gangguan fungsi paru pada bayi baru lahir. Selain itu,
merokok selama masa kehamilan dapat dikaitkan dengan efek buruk
kehamilan lainnya, termasuk kelahiran prematur, yang merupakan faktor
risiko asma lainnya.
c. Jenis kelamin
Asma anak-anak biasanya merupakan penyakit yang dominan pada laki-
laki, dengan prevalensi maksimum pada tahap pubertas. Insiden asma pada
anak perempuan mulai meningkat pada masa pubertas dan prevalensi pada
usia dewasa kurang lebih sama. Penyebab perbedaan jenis kelamin tidak
jelas dan sebagian besar masih belum diketahui. Hal ini dapat saja terkait
dengan prevalensi atopi yang lebih besar pada anak laki-laki, atau ukuran
saluran napas anak laki-laki yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan
anak perempuan. Ukuran saluran udara yang kecil juga dapat
meningkatkan risiko mengi setelah infeksi saluran pernapasan virus pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan.
d. Hiperaktivitas pernapasan
Respons jalan napas yang abnormal dan berlebihan terhadap rangsangan
tampaknya merupakan gambaran utama dalam patofisiologi asma dan
semua pasien asma mengalami hiperresponsif jalan napas (Airway

5
Hyperresponsiveness/AHR). AHR merupakan faktor risiko asma, tetapi
tidak semua orang dengan AHR menderita asma.
e. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi virus dan bakteri pada saluran pernapasan diketahui sebagai
penyebab utama eksaserbasi asma pada anak-anak dan orang dewasa.
Namun masih belum jelas apakah infeksi pernapasan menjadi penyebab
asma, prediktor kerentanan asma, ataupun faktor protektif. Efek infeksi
dapat saja bergantung pada jenis dan jumlah infeksi tertentu, kerentanan
genetik, dan faktor lain seperti usia, status atopik, dan mikrobioma
seseorang.
f. Atopi
Asma lebih sering terjadi pada individu dengan penyakit atopik yang
mendasarinya seperti dermatitis atopik dan rinitis alergi; namun hanya
sekitar sepertiga dari anak-anak dengan dermatitis atopik yang
berkembang menjadi asma. Penelitian telah menunjukkan bahwa asma
lebih erat kaitannya dengan kadar IgE, sedangkan rinitis alergi lebih erat
kaitannya dengan reaktivitas tes kulit. Tingkat imunoglobulin E (IgE)
serum yang tinggi dikaitkan dengan AHR (hiperresponsif saluran napas).10

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi pada asma baik saat serangan akut maupun berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka
panjang, karena semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.5
a. Derajat Asma pada Keadaan Stabil Sebelum Pengobatan
Derajat Gejala
Gejala Faal Paru
Asma Malam
Intermiten Bulanan: ≤ 2 kali APE ≥80%
* Gejala <1x/minggu sebulan * VEP1 ≥80% nilai
* Tanpa gejala di prediksi APE ≥80%
luar serangan nilai terbaik
* Serangan * Variabilitas APE <20%
singkat

6
Persisten Mingguan: > 2 kali APE > 80%
Ringan * Gejala sebulan * VEP1 ≥ 80%nilai
>1x/minggu, prediksi APE ≥ 80%
tetapi < 1x/hari nilai terbaik
* Serangan dapat * Variabilias APE 20-
mengganggu 30%
aktivitas dan tidur
Persisten Harian: > 1x APE 60 – 80%
Sedang * Gejala setiap hari seminggu * VEP1 60-80% nilai
* Membutuhkan prediksi APE 60-80%
bronkodilator setiap nilai terbaik
hari * Variabilitas APE >30%
* Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Persisten Terus-menerus: Sering APE ≤ 60%
Berat * Gejala terus * VEP1≤60% nilai
menerus prediksi APE ≤60%
* Sering kambuh nilai terbaik
* Aktivitas fisik * Variabilitas APE >30%
terbatas

Tabel 2.1. Klasifikasi derajat berat asma pada keadaan stabil sebelum pengobatan

b. Derajat Berat Eksaserbasi Asma


Berat Serangan Akut
Gejala dan
Tanda Keadaan
Ringan-sedang Berat
Mengancam jiwa

Berbicara Frasa Kata per kata

Posisi Duduk Duduk


membungkuk

Kesadaran Tidak agitasi Agitasi


Penurunan
Frekuensi Meningkat <30 >30 kali/menit
kesadaran, silent
napas kali/menit
chest, pernapasan
Otot bantu Tidak ada Ada paradoksal
napas

Frekuensi nadi 100-120 >120 kali/menit


kali/menit

Saturasi <90-95% <90%

7
APE >50% nilai <50% nilai
prediksi prediksi

Tabel 2.2 Klasifikasi derajat berat eksaserbasi asma

Fenotipe Asma5
a. Asma Alergi
Fenotipe asma yang paling mudah dikenali, sering dimulai sejak masa
kanak-kanak, berhubungan dengan riwayat alergi dalam keluarga seperti
eksim, rhinitis alergi dan alergi makanan serta obat-obatan. Pemeriksaan
induksi sputum pada pasien ini sebelum pengobtan menunjukkan inflamasi
eosinophil di saluran napas. Asma jenis ini memiliki respons terapi yang
baik dengan kortikosteroid inflamasi
b. Asma Nonalergi
Beberapa orang dewasa memiliki asma yang tidak berhubungan dengan
alergi. Gambaran sel dari sputum pasien ini dapat bersifat neutrofilik,
eosinofilik atau hanya mengandung beberapa sel inflamasi
(pausigranulositik). Pasien kategori ini memiliki respons yang kurang baik
dengan kortikosteroid inflamasi.
c. Asma Awitan (onset) lambat
Sebagian pasien asma dewasa khususnya perempuan, mengalami asma
pertama kali pada usia dewasa. Pasien ini cenderung tidak memiliki riwayat
alergi dan membutuhkan terapi kortikosteroid dosis tinggi.
d. Asma dengan Obstruksi Saluran Napas
Pasien asma yang mempunyai gejala demam dalam jangka waktu lama
menyebabkan terjadinya obstruksi saluran napas yang menetap yang diduga
disebabkan oleh remodelling saluran napas.
e. Asma dengan Obesitas
Beberapa pasien asma dengan obesitas memiliki keluhan pernapasan yang
menonjol dan inflamasi saluran napas eosinophil yang sedikit.

8
2.4 Patofisiologi
Ada dua fase eksaserbasi asma, yaitu fase awal dan fase akhir. Fase awal
diprakarsai oleh antibodi IgE yang disensitisasi dan dilepaskan oleh sel plasma.
Antibodi ini merespons pemicu tertentu di lingkungan, seperti faktor risiko yang
tercantum di atas. Antibodi IgE kemudian berikatan dengan sel mast dan basofil
berafinitas tinggi. Ketika polutan atau faktor risiko terhirup, sel mast melepaskan
sitokin dan akhirnya mengalami degranulasi. Histamin, prostaglandin, dan
leukotrien dilepaskan dari sel mast. Sel-sel ini bergiliran mengontraksikan otot
polos dan menyebabkan penyempitan jalan napas.
Limfosit Th2 memainkan peran integral di mana mereka menghasilkan
serangkaian interleukin (IL-4, IL-5, IL-13) dan GM-CSF, yang membantu
komunikasi dengan sel lain dan mempertahankan peradangan. IL-3 dan IL-5
membantu eosinofil dan basofil bertahan hidup. IL-13 atribut untuk renovasi,
fibrosis, hiperplasia.
Dalam beberapa jam berikutnya, fase akhir terjadi, di mana eosinofil, basofil,
neutrofil, dan sel T helper dan memori semuanya terlokalisasi ke paru-paru, yang
melakukan bronkokonstriksi dan menyebabkan peradangan. Sel mast juga
memainkan peran penting dalam membawa reaktan fase akhir ke tempat yang
meradang. Sangat penting untuk mengenali kedua mekanisme ini untuk
menargetkan terapi dan meredakan bronkokonstriksi dan peradangan, tergantung
pada tingkat keparahan penyakitnya. Menariknya, mereka yang memiliki jalan
napas lebih tebal dari waktu ke waktu memiliki durasi penyakit yang lebih lama,
karena jalan napas yang lebih sempit. Akibat inflamasi dan bronkokonstriksi,
terjadi obstruksi aliran udara intermiten, sehingga terjadi peningkatan kerja
pernapasan.
Hiperresponsif saluran napas merupakan ciri penting asma; yang merupakan
respons bronkokonstriktor yang berlebihan, biasanya terhadap rangsangan yang
berbeda. Ada berbagai mekanisme yang menyebabkan hiperresponsif saluran
napas. Beberapa penjelasan adalah karena peningkatan histamin dari sel mast atau
peningkatan massa otot polos saluran napa serta terjadi peningkatan tonus vagal
dan peningkatan kalsium bebas intraseluler yang selanjutnya meningkatkan
kontraktilitas sel otot polos jalan napas.

9
Untuk menilai hiperresponsivitas saluran napas, tes provokasi bronkus
digunakan untuk menentukan tingkat keparahannya. Aspek ini secara klinis
signifikan karena adanya hiperresponsif saluran napas dikaitkan dengan
penurunan fungsi paru yang lebih besar, dan peningkatan risiko perkembangan
dan eksaserbasi asma dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Oleh karena itu,
pengobatan yang ditargetkan dapat dilakukan sejak dini untuk memerangi asma
dan hiperresponsif. Semua mekanisme ini bersama-sama sedikit mengubah
kepatuhan paru untuk meningkatkan kerja pernapasan. Dikombinasikan dengan
peradangan, sel darah putih granular, eksudat, dan lendir yang menempati
bronkiolus, seseorang dapat semakin sulit bernapas secara normal. Jumlah
miofibroblas yang menimbulkan kolagen akan menyebabkan peningkatan epitel
yang menyempitkan lapisan otot polos dan lamina reticulari. Akibatnya, terjadi
peningkatan penebalan membran basal. Seseorang dapat mengalami obstruksi
aliran udara yang ireversibel, yang diyakini disebabkan oleh remodeling jalan
napas.
Remodeling terjadi dengan peralihan sel epitel ke mesenkimal,
meningkatkan kandungan otot polos. Sel-sel epitel kehilangan adhesi sel dan
polaritas fungsionalnya dengan persimpangan ketat, memformat ulang sel mereka
untuk berkembang menjadi sel mesenkimal. Selain itu, eosinofil selanjutnya dapat
memperburuk remodeling saluran napas karena pelepasan TGF-B dan sitokin
melalui interaksi sel mast. Mekanisme remodeling saluran napas ini dapat
memperburuk peradangan dan memperparah asma dari waktu ke waktu jika tidak
ditangani dan dikelola dengan benar. 11
Pada akhirnya, terjadinya penyempitan rongga saluran napas. Akibatnya
menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk mengeluarkan
dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara napas yang berbunyi yang
timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang sempit. Suara napas
tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat mengeluarkan napas
(ekspirasi).12

10
Gambar 2.1 Patofisiologi Asma

2.5 Diagnosis
Anamnesis
Penegakkan diagnosis asma dilakukan dengan mengidentifikasi
karakteristik gejala respirasi seperti mengi, sesak, dada terasa berat, atau batuk
dan hambatan aliran udara yang bervariasi. Pola gejala yang dialami oleh pasien
perlu digali lebih dalam karena gejala tersebut juga dapat disebabkan oleh
gangguan saluran napas lain. Hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah saat
pasien mengalami gejala tersebut untuk pertama kalinya, apakah gejala tersebut
membaik secara spontan atau dengan pengobatan, atau bila pasien sudah
terdiagnosis asma sebelumnya (perlu ditanyakan kapan pasien memulai terapi).5
Gejala-gejala berikut merupakan karakteristik asma, antara lain:5
• Lebih dari 1 gejala (mengi, sesak, batuk dan dada terasa berat) terutama pada
orang dewasa
• Gejala umumnya lebih berat pada malam atau awal pagi hari
• Gejala bervariasi menurut waktu dan intensitas

11
• Gejala dicetuskan oleh infeksi virus (flu), aktivitas fisis, pajanan alergen,
perubahan cuaca, emosi, serta iritan seperti asap rokok atau bau yang
menyengat
Gejala-gejala yang mengurangi kecurigaan terhadap asma antara lain adalah5 :
• Batuk tanpa disertai gejala pernapasan lainnya
• Produksi sputum kronik
• Sesak berhubungan dengan rasa kantuk, kepala terasa ringan atau kesemutan
• Nyeri dada
• Inspirasi dengan suara napas yang cukup keras dan dipicu oleh aktivitas fisis
Gejala pemapasan pada asma seringkali dimulai sejak masa kanak-kanak.
Ada riwayat rinitis alergi atau eksim kulit atau riwayat asma maupun alergi dalam
keluarga meningkatkan kemungkinan terjadinya gejala perapasan terkait dengan
asma. Walaupun demikian, kondisi tersebut tidak spesifik untuk asma dan belum
tentu ditemukan pada semua fenotip asma. Pasien dengan rinitis alergi atau
dermatitis atopik sebaiknya ditanyakan lebih lanjut mengenai ada tidaknya gejala
pemapasan.5
Pemeriksaan Fisik5
a. Pemeriksaan fisik pada asma bervariasi dari normal pada saat stabil (tidak
eksaserbasi), sampai didapatkan gambaran klinis yang berat yaitu pada
eksaserbasi akut berat.
b. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi pada
auskultasi, merupakan tanda terdapatnya obstruksi jalan nafas. Wheezing pada
umumnya bilateral, polifonik dan lebih terdengar pada fase ekspirasi.
c. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
d. Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik dapat tidak terdengar mengi atau
hanya terdengar jika melakukan ekspirasi paksa. Hal itu menunjukkan
obstruksi jalan nafas yang tidak berat, sehingga intensitas bunyi nafas
tambahan tersebut (mengi) tidak keras, nada tidak tinggi dan hanya terdengar

12
pada 1 fase pernafasan (ekspirasi). Semakin berat obstruksi jalan nafas
semakin tinggi nadanya dan semakin keras intensitasnya dan terdengar pada
kedua fase pernafasan (inspirasi dan ekspirasi).
e. Pada serangan yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar. Pada obstruksi
jalan nafas yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest), tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pemeriksaan Penunjang5
1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP)
melalui prosedur standar bergantung pada kemampuan penderita. Untuk
mendapatkan nilai akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Pemeriksaan VEP1/KVP lebih baik
dibandingkan APE. Obstruksi saluran pernapasan dapat diketahui dari nilai
rasio VEP1/KVP <75% atau VEP1<80% nilai prediksi. Penurunan rasio
VEP1/KVP menandakan adanya obstruksi atau hambatan aliran udara.
Apabila setelah diberi bronkodilator terjadi peningkatan VEP1/KVP ≥ 12%
dan APE ≥ 20%, maka dapat dikatakan diagnosis asma.
2. Arus Puncak Respirasi (APE)
Pemeriksaan ini dapat menggunakan spirometri atau dengan alat peak
expiratory flow meter (PEF). Alat PEF ini dapat digunakan di rumah untuk
memantau kondisi asma pasien dan menilai reversibilitas asma.
3. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus sebaiknya dilakukan pada penderita dengan gejala asma
dan faal paru normal. Uji ini dilakukan apabila penilaian awal tidak
menunjukkan hambatan aliran udara. Uji ini mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifisitasnya rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa
penderita tersebut asma. Hasil positif dapat ditemukan pada penyakit lain
seperti rinitis alergika, PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik. Inhalasi
metakolin, histamin, latihan, dan inhalasi manitol.

13
4. Uji Alergi
Komponen alergi dalam asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut dapat membantu untuk
mengetahui faktor pencetus. Uji kulit atau skin prick test memiliki sensitivitas
yang tinggi namun juga perlu dikonfirmasi dengan riwayat pasien.
Pengukuran IgE spesifik serum lebih mahal dan tidak meyakinkan.
5. Ekshalasi Nitric Oxide
Konsentrasi FENO (Fraksional Ekshalasi Nitric Oxide) meningkat pada asma
eosinofilik, tidak ditetapkan ada manfaat untuk mendiagnosis asma. FENO
dapat menurun pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi. FENO dapat
meningkat atau menurun pada infeksi virus.

2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis pada asma antara lain sebagai berikut5:
Dewasa :
• Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
• Bronkitis kronik
• Gagal jantung kongestif
• Batuk kronik akibat faktor lain
• Disfungsi laring
• Obstruksi mekanis (misalnya tumor)
• Emboli paru
Anak :
• Rinosinusitis
• Refluks gastroesofageal
• Infeksi respiratorik bawah viral berulang
• Displasia bronkopulmoner
• Tuberkulosis
• Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
• intratorakal
• Aspirasi benda asing
• Sindrom diskinesia silier primer

14
• Defisiensi imun
• Penyakit jantung bawaan
Perbedaan PPOK dan asma dari pemeriksaan penunjang13

Gambar 2.2 Perbedaan PPOK dan asma

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan asma stabil adalah untuk mengontrol penyakit dan


menjadikan asma terkontrol. Terdapat 4 faktor, yaitu:5
1. Medikasi (pengontrol dan pelega)
2. 5 tahapan pengobatan
3. Penatalaksanaan non farmakologis
4. Penanganan asma mandiri dan edukasi bahwa pengobatan asma jangka
panjang agar asma terkontrol.
Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari non farmakologi dan farmakologi5 :
 Penatalaksanaan non farmakologi

15
Tujuan penatalaksanaan non farmakologis yaitu untuk meningkatkan kontrol
gejala atau menurunkan risiko eksaserbasi. Penatalaksanaan non farmakologis
terdiri dari:
1. Olahraga
- Untuk meningkatkan kebugaran fisik
- Membantu otot-otot pernapasan
- Senam Asma Indonesia
- Pada kasus EIA (Exercise Induced Asthma), sebelum olahraga dapat
diberikan SABA inhalasi.
2. Berhenti Merokok
Asap rokok merupakan oksidan yang dapat menyebabkan inflamasi. Asap
rokok dapat mempercepat perburukan fungsi paru dan meningkatkan
risiko terjadinya penyakit lain, seperti bronkitis.
3. Lingkungan kerja
Hindari bahan-bahan faktor pencetus di tempat kerja (contoh: hindari
polusi udara, asap rokok, dan iritan).

 Penatalaksanaan farmakologi terdiri dari1 :


Prinsip pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1. Pengontrol (Controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebu pencegah, yang
termasuk obat pengontrol:
 Kortikosteroid inhalasi
Merupakan pilihan bagi asma serangan ringan sampai berat dan merupakan
medikasi jangka panjang paling efektif untuk mengontrol asma. Manfaat obat
ini yaitu dapat menurunkan hiperaktivitas bronkus, menurunkan gejala,
menurunkan frekuensi dan berat serangan, serta dapat memperbaiki kualitas
hidup.
 Kortikosteroid sistemik
Diberikan melalui oral atau parenteral. Biasanya dipakai sebagai pengontrol

16
asma persisten berat setiap hari atau selang sehari. Biasanya pada asma yang
sangat parah, tidak terkontrol dengan ICS dosis tinggi, agonis β2 kerja lambat,
antagonis leukotrien, teofilin, dan tidak terkontrol dengan dosis tinggi, maka
dapat diberikan kortikosteroid sistemik dosis rendah. Efek sampingnya terdiri
dari osteoporosis, hipertensi, diabetes, katarak, supresi hipotalamus atau
pituitari, obesitasi, glaukoma, sindroma cushing, muka bulan, tukak lambung,
menurunkan imun, striae.
 Kromalin (sodium kromoglikat dan redokromil sodium)
Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Kromalin
merupakan antiinflamasi nonsteroid yang menghambat pelepasan mediator
dari sel mast yang diperantarai IgE. Manfaat obat ini yaitu memperbaiki faal
paru dan gejala, menurunkan hipereaktivitas bronkus. Obat ini dalam bentuk
inhalasi dan dosis 4-6 mg untuk melihat pemberiannya bermanfaat atau tidak.
 Metilsantin
Obat ini dapat dikombinasikan dengan β2 agonis kerja singkat dan merupakan
bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi.
Obat tambahan pada asma berat. Obat ini lebih murah, dapat mengontrol
gejala dan memperbaiki faal paru. Efek sampingnya adalah pada dosis tinggi
(10 mg/kgBB/hari), mual dan muntah, takikardi, atirmia, intoksiskasi teofilin
(kejang atau kematian). Tidak dapat diberikan sebagai reliever apabila telah
menggunakan controller.
 β2 agonis kerja lama
Salmaterol dan formaterol termasuk di dalam β2 agonis kerja lama inhalasi
yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Pemberian inhalasi pada
preparat ini menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan dengan
preparat oral. Obat ini dapat diberikan kombinasi dengan inhalasi ICS.
Manfaatnya dalah merelaksasi otot polos, meningkatkan kebersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, memodulasi
pelepasan mediator sel mast dan basofil.
 Leukotriene modifiers
Mekanisme kerja obat ini yaitu menghambat 5-lipoksigenasi sehingga
memblok sintesis leukotrien atau memblok reseptor (contoh: zafirlukas dan

17
montelukas). Pada kasus Aspirin Induced Asthma dapat memberikan respon
yang baik. Obat ini merupakan antiasma relatif baru dengan pemberian secara
oral. Leukotriene dapat juga bersifat bronkodilator, mempunyai efek
antiinflamasi, dapat menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid inhalasi
penderita asma persisten sedang sampai berat, dan dapat mengontrol asma
pada pasien yang tidak terkontrol dengan steroid inhalasi. Obat yang tersedia
di Indonesia adalah zafirlukas dan montelukas.
 Tiotropium
Asetilkolin menyebabkan efek inflamasi dan menarik sel-sel proinflamasi dan
pelepasan sitokin. Obat ini merupakan efek antagonis reseptor M2 dan M3.
Obat ini digunakan pada asma eksaserbasi persisten walaupun sudah diberikan
LABA dan steroid inhalasi.
 Anti IgE (Omalizumab)
Pada asma eksaserbasi persisten walaupun LABA dan steroid inhalasi sudah
diberikan dosis maksimum. Merupakan antibodi monoklonal rekombinan
antimunoglobulin E dan mengobati alergi sehingga mengurangi konsentrasi
IGE bebas di plasma antibodi. Obat ini menghambat pelepasan mediator
inflamasi sel mast dan basofil. Injeksi subkutan tiap 2 minggu atau 4 minggu
dengan dosis sesuai dengan serum IgE dan berat badan.

2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat didada dan batuk, tetapi tidak memperbaiki
inflamasi jalan nafas atau menurunkan hiperesponsif jalan nafas.
 β2 agonis kerja singkat
Obat yang termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol, mempunyai waktu kerja yang cepat. Formaterol mempunyai onset
yang cepat dan durasi lama. Pemberian ini dapat secara inhalasi atau oral.
Obat ini merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asthma. Merelaksasi otot saluran
napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas

18
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast. Pilihan
untuk serangan akut dan praterapi EIA. Apabila tidak respon dengan baik,
maka perlu pemberian ICS. Efek samping obat ini adalah merangsang
kardiovaskular, tremor otot rangka, dan hipokalemia.
 Antikolinergik atau antimuskarinik kerja singkat
Mekanisme kerja anti-kolinergik memblok efek penglepasan asetilkolin dari
saraf kolinergik pada jalan napas. Pemberiannya secara inhalasi. Efeknya lama,
membutuhkan 30-60 menit untuki mencapai efek maksimum. Menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik dan menghambat refleks bronkokonstriksi
oleh karena iritan.
 Metilstatin
Amiofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau
disadari onset atau awitannya lebih lama daripada antagonis beta-2 kerja
singkat. Bermanfaat untuk respiratory drive, memperkuar fungsi otot
pernapasan, dan mempertahankan respon SABA. Pada asma berat atau kurang
respon dengan SABA saja.
 Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat apabila
tidak tersedia β2 agonis atau tidak respon dengan SABA. Pada pasien diatas
usia 45 tahun dengan riwayat kardiovaskular jangan diberikan. Pemberian bisa
intravena namun harus selalu dipantau dan monitor.

19
Pilihan terapi berdasarkan derajat berat asma

Gambar 2.3 Pilihan terapi berdasarkan derajat berat asma

20
Tatalaksana Asma Stabil

Gambar 2.4 Pilihan tatalaksana pada asma stabil

21
Penanganan Asma Mandiri

Sistem penanganan asma mandiri membantu penderita memahami kondisi


kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Mengajak penderita memantau
kondisinya sendiri, identifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala
dan mengetahui kapan penderita membutuhkan bantuan medis/ dokter.5

Gambar 2.5. Pelangi Asma

22
Tatalaksana pada Asma Eksaserbasi Akut di Faskes Primer

Gambar 2.6 Pilihan terapi pada Asma Eksaserbasi Akut di Faskes Primer

23
Tatalaksana pada Asma Eksaserbasi di IGD

Gambar 2.7 Pilihan terapi pada Asma Eksaserbasi di IGD

24
BAB III

ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. SL
Umur : 54 tahun
Alamat : Pekanbaru
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal masuk RSUD : 26 Mei 2023
ANAMNESIS (Auto anamnesis)

Keluhan Utama
Pasien datang ke poliklinik RSUD Arifin Achmad untuk kontrol asma

disertai dengan keluhan batuk berdahak sejak 3 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien masuk ke Poliklinik paru dengan keluhan sesak napas disertai batuk

sejak 3 hari SMRS. Sesak napas dirasakan hilang timbul. Sesak napas disertai

bunyi “ngik”. Sesak napas timbul tiap hari dalam satu bulan terakhir. Sesak napas

dirasakan pasien saat malam hari, saat lelah bekerja, namun tidak sampai

membuat pasien terbangun pada malam hari dikarenakan sesak napasnya. Setiap

kali merasakan sesak napas, batuk berat dan pilek, pasien melakukan nebu secara

mandiri di rumah.

Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 3 hari SMRS, batuk hilang timbul,

batuk berdahak sesekali, dahak berwarna putih bening, batuk darah (-), keluhan

nyeri dada (-), demam (-), penurunan nafsu makan (-), penurunan berat badan (-),

mual dan muntah (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

25
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat asma sejak ± 46 tahun yang lalu, rutin menggunakan obat semprot

sebagai obat pengontrol (ventolin inhaler)

- Tidak ada riwayat penggunaan OAT

- Tidak ada riwayat keganasan

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat penyakit asma pada keluarga (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat TB paru dalam keluarga (-)
- Riwayat keganasan (-)
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
- Pasien seorang karyawan wiraswasta
- Riwayat merokok sejak 34 tahun lalu (+) dengan IB Berat, dan sudah
berhenti merokok selama 4 tahun
- Riwayat konsumsi alkohol (+)
- Riwayat alergi (-)
- Riwayat konsumsi jamu-jamuan (-)
- Pasien mengaku tidak rutin berolahraga
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
- Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran : Komposmentis kooperatif
- Tekanan darah : 127/86 mmHg
- Nadi : 92 x/menit
- SpO2 : 97% udara ruangan
- Suhu : 36,5°C
- Napas : 24 x/ menit
- Tinggi Badan : 180 cm
- Berat Badan : 75 kg
- IMT : 23,1 (normal)

26
Kepala

- Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor,


diameter pupil kiri dan kanan 2/2 mm, reflek cahaya +/+.
- Telinga : deformitas daun telinga (-), cairan (-), darah (-)
- Hidung : nafas cuping hidung (-), cairan (-), darah (-)
- Mulut : mukosa basah, lidah tidak kotor, bibir sianosis (-)
- Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5±2 cmH20

Toraks
Paru
- Inspeksi :
Statis : Dinding dada simetris kanan dan kiri
Dinamis : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri,
penggunaan otot bantu pernafasan (-), retraksi dinding
dada (-)
- Palpasi : Vokal fremitus sama pada paru kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler (-/-), ronkhi (-/-), wheezing (+/+)
Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus kordis teraba di SIK VI linea midklavikula sinistra
- Perkusi
 Batas jantung kanan : Linea parasternalis dekstra
 Batas jantung kiri : Linea midklavikula sinistra SIK VI
- Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Perut tampak datar, venektasi (-), scar (-)
- Auskultasi : bising usus (+) 14x/menit
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

27
Ekstremitas
- Atas : Edema (-/-), akral hangat, capillary refilling time < 2 detik.

- Bawah : Edema (-/-), akral hangat, capillary refilling time < 2 detik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Asthma Control Test / ACT (26/05/2023)

Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering asma mengganggu anda untuk melakuka
pekerjaan sehari-hari (kantor, rumah, dll)?
3. Kadang-
1. Selalu 2. Sering 4. Jarang 5. Tidak pernah
kadang
Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering anda mengalami sesak napas?
1. Lebih dari 1x 2. Sekali 3. 3-6 kali 4. 1-2 kali
5. Tidak pernah
sehari sehari seminggu seminggu
Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering asma (bengek, batuk-batuk, sesak napas, nyeri
dada) menyebabkan anda terbangun malam/lebih awal?
1. 4 x/lebih dalam 2. 2-3x 3. Sekali
4. 1-2xsebulan 5. Tidak pernah
seminggu seminggu seminggu
Selama 4 minggu terakhir, seberapa sering anda menggunakan obat semprot/obat oral
untuk melegakan pernapasan?
4. 1x seminggu/
1. 3x/lebih Sehari 2. 1-2xsehari 3. 2-3xseminggu 5. Tidak pernah
kurang
Menurut anda, bagaimana tingkat kontrol asma anda dalam 4 minggu terakhir?
1. Tidak terkontrol 2. Kurang 3. Cukup 4. Terkontrol 5. Terkontrol
sama sekali terkontrol terkontrol dengan baik sepenuhnya
Jumlah : 15 (tidak terkontrol dengan baik)
Interpretasi :
20-25 : Asma terkontrol
<19 : tidak terkontrol dengan baik
<16 : sangat tidak terkontrol

RESUME
Pasien masuk ke Poliklinik Paru dengan keluhan sesak napas dan rasa

berat di dada sejak 1 hari SMRS. Sesak napas dirasakan hilang timbul. Sesak

napas muncul terutama pada malam hari. Sesak napas timbul 3 kali dalam

seminggu terakhir. Sesak napas dirasakan pasien saat udara dingin, saat lelah

bekerja, namun setiap kali pasien sesak, batuk parah dan pilek pasien melakukan

28
nebu. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 3 hari SMRS, batuk hilang timbul,

batuk berdahak sesekali, dahak berwarna putih bening, batuk berdahak pasien

hilang setelah minum air putih. Pasien memiliki riwayat asma sejak 46 tahun yang

lalu. Riwayat merokok sejak 34 tahun lalu (+) dengan IB Berat, dan sudah

berhenti merokok selama 4 tahun. Pada pemeriksaan fisis didapatkan data SpO2

pada udara ruangan yaitu 97%. Pada auskultasi ditemukan wheezing (+/+) pada

fase ekspirasi.

DIAGNOSIS KERJA
Asma persisten sedang
RENCANA PENATALAKSANAAN
 Non farmakologis
 Bedrest
 Hindari faktor pencetus
 Konsumsi makanan bergizi, buah-buahan, sayur-sayuran.
 Menggunakan masker dan menerapkan etika batuk
 Farmakologis
 Spiriva Respimat 1x2 puff
 Combivent 3x1 k/p
 Pulmicort 3x1 k/p
 Tab Vit D 1x5000iu po
 Tab acetylsistein 3 x 200mg

RENCANA PEMERIKSAAN
 Peak flow meter
 Spirometri bila stabil
 Kontrol ulang 1 bulan yang akan datang

29
BAB IV

PEMBAHASAN
Diagnosis pada pasien ini adalah asma persisten sedang. Hal ini berkaitan
dengan keluhan serangan sesak napas pada pasien dengan riwayat asma. Pada
anamnesis pasien mengeluhkan sesak napas dirasakan hilang timbul disertai bunyi
“ngik”. Sesak napas muncul terutama saat malam hari, lelah saat bekerja, namun
sesak napasnya tidak sampai membangunkan pasien saat tidur. Pasien merasakan
keluhan setiap hari dalam 1 minggu, membutuhkan bronkodilator berupa
salbutamol. Hal ini sesuai dengan kriteria pada asma persisten sedang. 1
Pemeriksaan fisik umum pasien tidak tampak gelisah, kesadaran pasien
komposmentis, dengan tekanan darah 127/86 mmHg, pernapasan 24x/menit, nadi
92x/menit. Pada inspeksi tidak terlihat penggunaan otot bantu pernapasan. Pada
auskultasi paru terdengar suara wheezing di kedua lapangan paru saat akhir
ekspirasi. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak
ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan nafas dan dibawah
membran basal sehingga menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas
yang menimbulkan gejala episodik berupa mengi, sesak nafas, dan batuk –batuk
pada malam hari.1,9
Pada pasien ini diberikan tatalaksana non-farmakologi dan farmakologi.
Tatalaksana non-farmakologi pada pasien ini adalah bedrest dan edukasi untuk
hindari faktor pencetus. Tatalaksana farmakologi pada pasien ini adalah terapi
kombinasi inhalasi steroid (pulmicort) dan combivent yang mengandung
bronkodilator short acting ß2 agonis (SABA) dan antimuskarinik/antikolinergik.
Penggunaan kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan bagi asma serangan ringan
sampai berat dan merupakan medikasi jangka panjang paling efektif untuk
mengontrol asma. Manfaat obat ini yaitu dapat menurunkan hiperaktivitas
bronkus, menurunkan gejala, menurunkan frekuensi dan berat serangan, serta
dapat memperbaiki kualitas hidup.1 Penggunaan salbutamol merupakan terapi
pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-
induced asthma. Merelaksasi otot saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi
pelepasan mediator dari sel mast. Selain itu, antikolinergik menimbulkan

30
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsic, selain itu juga
menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan. Obat yang termasuk
dalam golongan antikolinergik kerja singkat adalah Ipratropium Bromide. Studi
metaanalisis menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan
bronkodilatasi agonis ß2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru
dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna. Oleh karena itu,
disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik kerja singkat dan
agonis ß2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma
berat atau pada serangan asma yang kurang respon dengan agonis ß2 kerja singkat
saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Antikolinergik tidak
bermanfaat jika diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega
pada pasien yang menunjukkan efek samping dengan agonis ß2 kerja singkat
inhalasi seperti takikardi, aritmia dan tremor.1
Selain itu, Spiriva Respimat yang berisi tiotropium bromide diberikan
sebagai agen antimuskarinik kerja panjang, yang sering disebut sebagai
antikolinergik. Obat ini memiliki afinitas yang mirip dengan subtipe reseptor
muskarinik, M1 hingga M5. Di saluran pernapasan efek farmakologis bekerja
melalui penghambatan reseptor M3 pada otot polos yang menyebabkan
bronkodilatasi.14
Pemberian vitamin D diberikan sebagai terapi suportif yang diharapkan
dapat membantu mencegah kejadian eksaserbasi asma. Uji klinis telah
memberikan saran bahwa vitamin D memiliki peran protektif terhadap eksaserbasi
asma. Beberapa penelitian menemukan bahwa anak-anak yang menerima
tambahan 500 IU/hari vitamin D memiliki risiko eksaserbasi asma yang lebih
rendah ketika dipicu oleh infeksi pernapasan akut. Studi cross-sectional lain yang
dilakukan pada 560 anak berusia antara 6 dan 14 tahun dengan asma di Puerto
Rico melaporkan bahwa anak-anak dengan kekurangan vitamin D 2,6 kali lebih
berisiko mengalami eksaserbasi asma.15
N-acetylcysteine diberikan sebagai mukolitik untuk keluhan batuk pasien,
selain itu obat ini juga memiliki sifat anti-inflamasi dan antioksidan dengan
membantu mengurangi spesies oksigen reaktif dan mediator inflamasi yang
menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan.16

31
REFERENSI
1. Susanto AD, Widysanto A, Putra AC, Rozaliyani A, Budiyanti, Syahruddin E, et
al. Panduan Umum Praktik Klinis Penyakit Paru dan Pernapasan. Kosasih A,
Sutanto YS, Susanto AD, editors. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia;
2021.
2. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention 2022 Update [Internet]. Global Initiative for Asthma. 2022. p. 1–225.
Available from: http://www.ginasthma.org
3. Mattiuzzi C, Lippi G. Worldwide asthma epidemiology: insights from the Global
Health Data Exchange database. Int Forum Allergy Rhinol. 2020;10(1):75–80.
4. Enilari O, Sinha S. The global impact of asthma in adult populatio. Vol. 85,
Annals of Global Health. 2019. p. 1–7.
5. Yunus F, Djajalaksana S, Wiyono WH, Damayanti T, Amin M, Tarigan A, et al.
ASMA Pedoman Diagosis dan Tatalaksana di Indonesia 2021.pdf. 3rd ed. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2021.
6. Song P, Adeloye D, Salim H, Dos Santos JP, Campbell H, Sheikh A, et al. Global,
regional, and national prevalence of asthma in 2019: a systematic analysis and
modelling study. J Glob Health. 2022;12:04052.
7. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI “ You Can Control
Your Asthma.” 2020;8.
8. Institute of Health Metrics and Evaluation. Global burden of disease 2019 -
Asthma. Lancet [Internet]. 2020;396:108–9. Available from:
https://www.thelancet.com/pb-assets/Lancet/gbd/summaries/diseases/asthma.pdf
9. Rosfadilla P, Sari AP. Asma Bronkial Eksaserbasi Ringan - Sedang pada Pasien
Perempuan Usia 46 Tahun. AVERROUS J Kedokt dan Kesehat Malikussaleh.
2022;8(1):17.
10. Shorena K, Ivane C. Study of the Major Risk Factors Associated with Bronchial
Asthma in Children in Georgia. 4531:116–31.
11. Sinyor B, Perez LC. Pathophysiology Of Asthma. [Internet]. StatPearls Publishing,
Treasure Island (FL); 2023 [cited 2023 May 25]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551579/
12. Ward JP., J W, RM L, CM W. At a glance sistem respirasi edisi kedua. Jakarta:
Erlangga medical series; 2008.
13. Watkins R, Laber D, Peters SP. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
and Asthma: Similarities and Differences [Internet]. World Allergy Organization.
2015. Available from: https://www.worldallergy.org/education-and-
programs/education/allergic-disease-resource-center/professionals/copd-and-
asthma
14. Boehringer Ingelheim International GmbH. Spiriva Respimat [Internet]. 2021
[cited 2023 May 26]. Available from: https://www.boehringer-ingelheim.com
15. Ali NS, Nanji K. A Review on the Role of Vitamin D in Asthma. Cureus
[Internet]. 2017 May 29; Available from: http://www.cureus.com/articles/7343-a-
review-on-the-role-of-vitamin-d-in-asthma

32
16. Gupta R, Wadhwa R. Mucolytic Medications. [Internet]. Florida: Treasure Island;
2023 [cited 2023 May 26]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559163/

33

Anda mungkin juga menyukai