Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

ASMA

Disusun Oleh :
RAESKI AYISHA ISTI
NIM. 2008434519

Pembimbing:
dr. Indi Esha, M.Si, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PULMONOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang ditandai dengan
gejala bervariasi yaitu dari mengi, sesak napas, rasa berat di dada dan atau batuk.
Asma umumnya mengenai 1-18% populasi dan kecenderungan terjadi
peningkatan prevalensi asma di berbagai negara. Asma sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2019
terdapat 262 juta orang menderita asma di seluruh dunia dan terdapat angka
kematian sebanyak 461.000 orang.2 Berdasarkan Global Asthma Report pada
tahun 2018, penyakit asma termasuk 15% penyebab kematian di dunia. Angka
kejadian asma diperkirakan terjadi pada 339 juta orang di seluruh dunia.3
National Health Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan
bahwa setidaknya 6,5 juta orang orang mengalami asma. Di Indonesia kasus asma
rawat inap terbesar terdapat di Provinsi Jawa Timur (7.942 kasus) sedangkan
Provinsi Papua memiliki kasus rawat inap terendah (15 kasus). Di Riau, jumlah
kasus rawat inap penyakit asma pada tahun 2017 adalah 1.341 kasus, sedangkan
jumlah kasus rawat jalan penyakit asma adalah 10.122 kasus.4
Asma dapat terjadi pada berbagai kelompok usia. Keluhan asma dapat
dicetuskan oleh berbagai faktor seperti pajanan alergi/iritan, perubahan cuaca
serta infeksi virus. Asma berhubungan dengan hiperaktivitas saluran napas, baik
terhadap stimulus langsung dan tidak langsung. Penyakit ini mempunyai dampak
sosial pada pasien, yaitu mengganggu aktivitas dan menurunkan produktivitas,
serta meningkatkan biaya kesehatan. Gejala dan obstruksi saluran napas dapat
segera berkurang dengan obat-obatan bahkan dapat mengalami bebas serangan
dalam hitungan pekan atau bulan. Tujuan penatalaksanaan asma adalah
menjadikan asma terkontrol sehingga kualitas hidup pasien meningkat.1
Asma eksaserbasi akut merupakan episode asma yang ditandai dengan
peningkatan gejala dan penurunan fungsi paru secara progresif. Eskaserbasi berat
dapat terjadi pada pasien asma yang terkontrol sebagian atau total. Asma

2
eksaserbasi berat ini merupakan keadaan darurat medis yang berpotensi
mengancam jiwa dan terapinya memerlukan pemantauan yang ketat.1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut Global Initiative For Asthma (GINA) asma adalah suatu penyakit
heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronik yang di
tandai dengan mengi, nafas yang pendek, dada terasa berat dan batuk yang terjadi
secara episodik dan dipengaruhi oleh faktor pencetus. Gejala dapat di penggaruhi
dan diperburuk oleh beberapa faktor seperti infeksi virus, alergen, merokok,
olahraga dan stres.5
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan bahwa asma
memiliki karakteristik inflamasi kronik saluran napas. Penyakit ini ditandai
dengan riwayat gejala pernapasan mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk
yang bervariasi dalam hal waktu dan intensitas, disertai dengan variasi hambatan
aliran udara ekspirasi. Asma berhubungan dengan hiperaktivitas saluran napas.
Hiperaktivitas dan inflamasi dapat terjadi terus menerus, tetapi dapat membaik
dengan pengobatan.1

2.2 Faktor Risiko


Faktor risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor
pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Kemungkinan terjadinya interaksi
faktor genetik / pejamu dengan lingkungan dapat dipikirkan melalui1 :
• Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma.
• Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

4
Gambar 1. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma
A. Faktor Pejamu
Asma sebagai penyakit yang diturunkan telah dibuktikan dari berbagai
penelitian. Faktor genetik merupakan predisposisi untuk berkembangnya asma.
Fenotip berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan
objektif (hipereaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Adapun
faktor pejamu penyakit asma adalah sebagai berikut1:
1. Predisposisi genetik
2. Alergik (atopi)
3. Hiperaktivitas bronkus
4. Inflamasi jalan napas
5. Jenis kelamin
6. Ras/etnik
7. Hipotesis higiene
8. Obesitas
9. Depresi

B. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi dengan
kecendrungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, dan yang
menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan menyebabkan gejala menetap.1
a. Faktor lingkungan yang mempengaruhi berkembangnya asma pada individu
dengan predisposisi asma

5
1. Alergen di dalam ruangan  alergen binatang, alergen kecoa, jamur ,
tungau debu rumah, bulu binatang
2. Alergen di luar ruangan  tepung sari bunga, jamur
3. Bahan lingkungan kerja
4. Asap rokok  perokok aktif dan perokok pasif
5. Polusi udara  polusi udara di luar dan di dalam ruangan
6. Infeksi parasit
7. Status sosioekonomi
8. Besar keluarga
9. Diet dan obat
10. Microbiome
11. Obesitas
b. Faktor lingkungan mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-
gejala asma menetap
1. Alergen di dalam dan di luar ruangan
2. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
3. Infeksi pernapasan
4. Exercise dan hiperventilasi
5. Perubahan cuaca
6. Sulfur dioksida
7. Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat
8. Ekspresi emosi yang berlebihan
9. Asap rokok
10. Iritan (parfum, bau-bau merangsang, household spray)

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi pada asma baik saat serangan akut maupun berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka
panjang, karena semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.1

a. Derajat Asma pada Keadaan Stabil Sebelum Pengobatan


Derajat
Gejala Gejala Malam Faal Paru
Asma

6
Intermiten Bulanan: ≤ 2 kali sebulan APE ≥80%
* Gejala <1x/minggu * VEP1 ≥80% nilai
* Tanpa gejala di prediksi APE ≥80% nilai
luar serangan terbaik
* Serangan * Variabilitas APE <20%
singkat
Persisten Mingguan: > 2 kali APE > 80%
Ringan * Gejala sebulan * VEP1 ≥ 80% nilai
>1x/minggu, tetapi prediksi APE ≥ 80%
< 1x/hari nilai terbaik
* Serangan dapat * Variabilias APE 20-30%
mengganggu aktivitas
dan tidur

Persisten Harian: > 1x seminggu APE 60 – 80%


Sedang * Gejala setiap hari * VEP1 60-80% nilai
* Membutuhkan prediksi APE 60-80%
bronkodilator setiap nilai terbaik
hari * Variabilitas APE >30%
* Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Persisten Terus-menerus: Sering APE ≤ 60%
Berat * Gejala terus menerus * VEP1≤60% nilai
* Sering kambuh prediksi APE ≤60%
* Aktivitas fisik nilai terbaik
terbatas * Variabilitas APE >30%

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma pada keadaan stabil sebelum pengobatan

b. Derajat Berat Eksaserbasi Asma


Berat Serangan Akut
Gejala dan Tanda Keadaan Mengancam
Ringan-sedang Berat
jiwa

Berbicara Frasa Kata per kata Penurunan kesadaran,


silent chest, pernapasan
Posisi Duduk Duduk membungkuk paradoksal
Kesadaran Tidak agitasi Agitasi

Frekuensi napas Meningkat <30 >30 kali/menit


kali/menit

Otot bantu napas Tidak ada Ada

Frekuensi nadi 100-120 kali/menit >120 kali/menit

Saturasi <90-95% <90%

7
APE >50% nilai prediksi <50% nilai prediksi

Tabel 2.
Klasifikasi derajat berat eksaserbasi asma

2.4 Patogenesis
Asma merupakan kelainan inflamasi kronik jalan napas yang
menyebabkan sesak napas, bunyi mengi, dada tertekan, dan batuk terutama pada
malam hari dan atau pagi-pagi. Tanda khas pada penyakit ini adalah obstruksi
jalan napas intermiten dan reversibel, radang bronkus kronik disertai eosinofil,
hipertrofi dan hiperaktivitas sel otot polos bronkus dan meningkatnya sekresi
mukus. Asma dapat dikategorikan sebagai atopik dan non atopik. Pada asma
atopik sering terjadi pada masa kanak-kanak dan merupakan contoh klasik dari
reaksi hipersensitivitas tipe I yang di mediasi IgE. Asma non atopik tidak
memiliki bukti sensitisasi alergen, dan uji kulit biasanya memberikan hasil
negatif.6,7
Pada penderita asma bronkial karena saluran napas yang hipersensitif
terhadap adanya partikel udara sebelum sempat dikeluarkan dari tubuh,
menyebabkan jalan napas hipereaktif, yang menyebabkan keadaan:8
• Otot polos menghubungkan cincin tulang rawan akan berkontraksi/
memendek/ mengkerut.
• Produksi kelenjar lendir yang berlebihan.
• Bila ada infeksi akan terjadi reaksi sembab/pembengkakan dalam saluran
napas.
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk
mengeluarkan dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara napas yang
berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang
sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat
mengeluarkan napas (ekspirasi).9

8
Gambar 2. Patofisiologi Asma

2.5 Diagnosis
Anamnesis
Penegakkan diagnosis asma dilakukan dengan mengidentifikasi
karakteristik gejala respirasi seperti mengi, sesak, dada terasa berat, atau batuk
dan hambatan aliran udara yang bervariasi. Pola gejala yang dialami oleh pasien
perlu digali lebih dalam karena gejala tersebut juga dapat disebabkan oleh
gangguan saluran napas lain. Hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah saat
pasien mengalami gejala tersebut untuk pertama kalinya, apakah gejala tersebut
membaik secara spontan atau dengan pengobatan, atau bila pasien sudah
terdiagnosis asma sebelumnya (perlu ditanyakan kapan pasien memulai terapi).1
Gejala-gejala berikut merupakan karakteristik asma, antara lain:1
• Lebih dari 1 gejala (mengi, sesak, batuk dan dada terasa berat) terutama pada
orang dewasa
• Gejala umumnya lebih berat pada malam atau awal pagi hari
• Gejala bervariasi menurut waktu dan intensitas

9
• Gejala dicetuskan oleh infeksi virus (flu), aktivitas fisis, pajanan alergen,
perubahan cuaca, emosi, serta iritan seperti asap rokok atau bau yang
menyengat

Gejala-gejala yang mengurangi kecurigaan terhadap asma antara lain adalah1 :


• Batuk tanpa disertai gejala pernapasan lainnya
• Produksi sputum kronik
• Sesak berhubungan dengan rasa kantuk, kepala terasa ringan atau kesemutan
• Nyeri dada
• Inspirasi dengan suara napas yang cukup keras dan dipicu oleh aktivitas fisis
Gejala pemapasan pada asma seringkali dimulai sejak masa kanak-kanak.
Ada riwayat rinitis alergi atau eksim kulit atau riwayat asma maupun alergi dalam
keluarga meningkatkan kemungkinan terjadinya gejala perapasan terkait dengan
asma. Walaupun demikian, kondisi tersebut tidak spesifik untuk asma dan belum
tentu ditemukan pada semua fenotip asma. Pasien dengan rinitis alergi atau
dermatitis atopik sebaiknya ditanyakan lebih lanjut mengenai ada tidaknya gejala
pemapasan.1

Pemeriksaan Fisik1
a. Pemeriksaan fisik pada asma bervariasi dari normal pada saat stabil (tidak
eksaserbasi), sampai didapatkan gambaran klinis yang berat yaitu pada
eksaserbasi akut berat.
b. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi pada
auskultasi, merupakan tanda terdapatnya obstruksi jalan nafas. Wheezing pada
umumnya bilateral, polifonik dan lebih terdengar pada fase ekspirasi.
c. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
d. Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik dapat tidak terdengar mengi atau
hanya terdengar jika melakukan ekspirasi paksa. Hal itu menunjukkan

10
obstruksi jalan nafas yang tidak berat, sehingga intensitas bunyi nafas
tambahan tersebut (mengi) tidak keras, nada tidak tinggi dan hanya terdengar
pada 1 fase pernafasan (ekspirasi). Semakin berat obstruksi jalan nafas
semakin tinggi nadanya dan semakin keras intensitasnya dan terdengar pada
kedua fase pernafasan (inspirasi dan ekspirasi).
e. Pada serangan yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar. Pada obstruksi
jalan nafas yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest), tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pemeriksaan Penunjang1
1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP)
melalui prosedur standar bergantung pada kemampuan penderita. Untuk
mendapatkan nilai akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Pemeriksaan VEP1/KVP lebih baik
dibandingkan APE. Obstruksi saluran pernapasan dapat diketahui dari nilai
rasio VEP1/KVP <75% atau VEP1<80% nilai prediksi. Penurunan rasio
VEP1/KVP menandakan adanya obstruksi atau hambatan aliran udara.
Apabila setelah diberi bronkodilator terjadi peningkatan VEP1/KVP ≥ 12%
dan APE ≥ 20%, maka dapat dikatakan diagnosis asma.
2. Arus Puncak Respirasi (APE)
Pemeriksaan ini dapat menggunakan spirometri atau dengan alat peak
expiratory flow meter (PEF). Alat PEF ini dapat digunakan di rumah untuk
memantau kondisi asma pasien dan menilai reversibilitas asma.
3. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus sebaiknya dilakukan pada penderita dengan gejala asma
dan faal paru normal. Uji ini dilakukan apabila penilaian awal tidak
menunjukkan hambatan aliran udara. Uji ini mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifisitasnya rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa
penderita tersebut asma. Hasil positif dapat ditemukan pada penyakit lain

11
seperti rinitis alergika, PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik. Inhalasi
metakolin, histamin, latihan, dan inhalasi manitol.
4. Uji Alergi
Komponen alergi dalam asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut dapat membantu untuk
mengetahui faktor pencetus. Uji kulit atau skin prick test memiliki sensitivitas
yang tinggi namun juga perlu dikonfirmasi dengan riwayat pasien.
Pengukuran IgE spesifik serum lebih mahal dan tidak meyakinkan.
5. Ekshalasi Nitric Oxide
Konsentrasi FENO (Fraksional Ekshalasi Nitric Oxide) meningkat pada asma
eosinofilik, tidak ditetapkan ada manfaat untuk mendiagnosis asma. FENO
dapat menurun pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi. FENO dapat
meningkat atau menurun pada infeksi virus.

2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis pada asma antara lain sebagai berikut1:
Dewasa :
• Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
• Bronkitis kronik
• Gagal jantung kongestif
• Batuk kronik akibat faktor lain
• Disfungsi laring
• Obstruksi mekanis (misalnya tumor)
• Emboli paru
Anak :
• Rinosinusitis
• Refluks gastroesofageal
• Infeksi respiratorik bawah viral berulang
• Displasia bronkopulmoner
• Tuberkulosis
• Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
• intratorakal
• Aspirasi benda asing

12
• Sindrom diskinesia silier primer
• Defisiensi imun
• Penyakit jantung bawaan

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan asma stabil adalah untuk mengontrol penyakit dan
menjadikan asma terkontrol. Terdapat 4 faktor, yaitu:1
1. Medikasi (pengontrol dan pelega)
2. 5 tahapan pengobatan
3. Penatalaksanaan non farmakologis
4. Penanganan asma mandiri dan edukasi bahwa pengobatan asma jangka
panjang agar asma terkontrol.
Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari non farmakologi dan farmakologi1 :
a. Penatalaksanaan non farmakologi
Tujuan penatalaksanaan non farmakologis yaitu untuk meningkatkan kontrol
gejala atau menurunkan risiko eksaserbasi. Penatalaksanaan non farmakologis
terdiri dari:
1. Olahraga
- Untuk meningkatkan kebugaran fisik
- Membantu otot-otot pernapasan
- Senam Asma Indonesia
- Pada kasus EIA (Exercise Induced Asthma), sebelum olahraga dapat
diberikan SABA inhalasi.
2. Berhenti Merokok
Asap rokok merupakan oksidan yang dapat menyebabkan inflamasi. Asap
rokok dapat mempercepat perburukan fungsi paru dan meningkatkan
risiko terjadinya penyakit lain, seperti bronkitis.
3. Lingkungan kerja
Hindari bahan-bahan faktor pencetus di tempat kerja (contoh: hindari
polusi udara, asap rokok, dan iritan).

13
b. Penatalaksanaan farmakologi terdiri dari1 :
Prinsip pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1. Pengontrol (Controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebu pencegah, yang
termasuk obat pengontrol:
 Kortikosteroid inhalasi
Merupakan pilihan bagi asma serangan ringan sampai berat dan merupakan
medikasi jangka panjang paling efektif untuk mengontrol asma. Manfaat obat
ini yaitu dapat menurunkan hiperaktivitas bronkus, menurunkan gejala,
menurunkan frekuensi dan berat serangan, serta dapat memperbaiki kualitas
hidup.
 Kortikosteroid sistemik
Diberikan melalui oral atau parenteral. Biasanya dipakai sebagai pengontrol
asma persisten berat setiap hari atau selang sehari. Biasanya pada asma yang
sangat parah, tidak terkontrol dengan ICS dosis tinggi, agonis β2 kerja lambat,
antagonis leukotrien, teofilin, dan tidak terkontrol dengan dosis tinggi, maka
dapat diberikan kortikosteroid sistemik dosis rendah. Efek sampingnya terdiri
dari osteoporosis, hipertensi, diabetes, katarak, supresi hipotalamus atau
pituitari, obesitasi, glaukoma, sindroma cushing, muka bulan, tukak lambung,
menurunkan imun, striae.
 Kromalin (sodium kromoglikat dan redokromil sodium)
Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Kromalin
merupakan antiinflamasi nonsteroid yang menghambat pelepasan mediator
dari sel mast yang diperantarai IgE. Manfaat obat ini yaitu memperbaiki faal
paru dan gejala, menurunkan hipereaktivitas bronkus. Obat ini dalam bentuk
inhalasi dan dosis 4-6 mg untuk melihat pemberiannya bermanfaat atau tidak.
 Metilsantin
Obat ini dapat dikombinasikan dengan β2 agonis kerja singkat dan merupakan
bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Obat tambahan pada asma berat. Obat ini lebih murah, dapat

14
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Efek sampingnya adalah pada
dosis tinggi (10 mg/kgBB/hari), mual dan muntah, takikardi, atirmia,
intoksiskasi teofilin (kejang atau kematian). Tidak dapat diberikan sebagai
reliever apabila telah menggunakan controller.
 β2 agonis kerja lama
Salmaterol dan formaterol termasuk di dalam β 2 agonis kerja lama inhalasi
yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Pemberian inhalasi pada
preparat ini menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan dengan
preparat oral. Obat ini dapat diberikan kombinasi dengan inhalasi ICS.
Manfaatnya dalah merelaksasi otot polos, meningkatkan kebersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, memodulasi
pelepasan mediator sel mast dan basofil.
 Leukotriene modifiers
Mekanisme kerja obat ini yaitu menghambat 5-lipoksigenasi sehingga
memblok sintesis leukotrien atau memblok reseptor (contoh: zafirlukas dan
montelukas). Pada kasus Aspirin Induced Asthma dapat memberikan respon
yang baik. Obat ini merupakan antiasma relatif baru dengan pemberian secara
oral. Leukotrienedapat juga bersifat bronkodilator, mempunyai efek
antiinflamasi, dapat menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid inhalasi
penderita asma persisten sedang sampai berat, dan dapat mengontrol asma
pada pasien yang tidak terkontrol dengan steroid inhalasi. Obat yang tersedia
di Indonesia adalah zafirlukas dan montelukas.
 Tiotropium
Asetilkolin menyebabkan efek inflamasi dan menarik sel-sel proinflamasi dan
pelepasan sitokin. Obat ini merupakan efek antagonis reseptor M2 dan M3.
Obat ini digunakan pada asma eksaserbasi persisten walaupun sudah diberikan
LABA dan steroid inhalasi.
 Anti IgE (Omalizumab)
Pada asma eksaserbasi persisten walaupun LABA dan steroid inhalasi sudah
diberikan dosis maksimum. Merupakan antibodi monoklonal rekombinan
antimunoglobulin E dan mengobati alergi sehingga mengurangi konsentrasi
IGE bebas di plasma antibodi. Obat ini menghambat pelepasan mediator

15
inflamasi sel mast dan basofil. Injeksi subkutan tiap 2 minggu atau 4 minggu
dengan dosis sesuai dengan serum IgE dan berat badan.

2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat didada dan batuk, tetapi tidak memperbaiki
inflamasi jalan nafas atau menurunkan hiperesponsif jalan nafas.
 β2 agonis kerja singkat
Obat yang termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol, mempunyai waktu kerja yang cepat. Formaterol mempunyai onset
yang cepat dan durasi lama. Pemberian ini dapat secara inhalasi atau oral.
Obat ini merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asthma. Merelaksasi otot saluran
napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast. Pilihan
untuk serangan akut dan praterapi EIA. Apabila tidak respon dengan baik,
maka perlu pemberian ICS. Efek samping obat ini adalah merangsang
kardiovaskular, tremor otot rangka, dan hipokalemia.
 Antikolinergik atau antimuskarinik kerja singkat
Mekanisme kerja anti-kolinergik memblok efek penglepasan asetilkolin dari
saraf kolinergik pada jalan napas.Pemberiannya secara inhalasi. Efeknya lama,
membutuhkan 30-60 menit untuki mencapai efek maksimum. Menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik dan menghambat refleks bronkokonstriksi
oleh karena iritan.
 Metilstatin
Amiofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau
disadari onset atau awitannya lebih lama daripada antagonis beta-2 kerja
singkat. Bermanfaat untuk respiratory drive, memperkuar fungsi otot
pernapasan, dan mempertahankan respon SABA. Pada sma berat atau kurang
respon dengan SABA saja.

16
 Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat apabila
tidak tersedia β2 agonis atau tidak respon dengan SABA. Pada pasien diatas
usia 45 tahun dengan riwayat kardiovaskular jangan diberikan. Pemberian bisa
intravena namun harus selalu dipantau dan monitor.

17
Pilihan terapi berdasarkan derajat berat asma

Tabel 3. Pilihan terapi berdasarkan derajat berat asma

18
Terapi lini pertama pengobatan asma di Pelayanan Kesehatan

Tabel 3. Terapi lini pertama pengobatan asma di Pelayanan Kesehatan

Penanganan Asma Mandiri


Sistem penanganan asma mandiri membantu penderita memahami kondisi
kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Mengajak penderita memantau
kondisinya sendiri, identifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala
dan mengetahui kapan penderita membutuhkan bantuan medis/ dokter. 1

19
Tabel 4. Pelangi Asma

20
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. HS
Umur : 51 tahun
Alamat : Jalan Paus Ujung
Pekerjaan : Mandor Sawit
Tanggal masuk RSUD : 23 Jui 2021

ANAMNESIS (Auto-anamnesis)

Keluhan Utama
Sesak napas sejak 2 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien masuk ke Poliklinik Paru dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari SMRS.
Sesak napas dirasakan hilang timbul. Sesak napas disertai bunyi “ngik”. Sesak
napas muncul terutama pada malam dan subuh hari. Sesak napas timbul 3 kali
dalam seminggu. Sesak napas dirasakan menganggu aktivitas dan pasien masih
dapat tidur telentang dan berbicara satu kalimat. Pasien mengatakan sesak
napasnya membuatnya terganggu pada malam hari sehingga membuatnya
terbangun saat tidur dan membutuhkan obat semprot agar bisa tidur kembali.
Keluhan sesak nafas disertai batuk yang muncul sejak 2 hari SMRS. Batuk
dirasakan hilang timbul disertai dengan dahak berwarna putih bening, batuk darah
(-). Keluhan nyeri dada (-), demam (-), penurunan nafsu makan (-), penurunan
berat badan (-). Mual dan muntah (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat asma sejak ± 50 tahun yang lalu


- Ada riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, pasien minum obat amlodipine
10 mg

21
- ada riwayat diabetes mellitus sejak 1 tahun yang lalu, pasien minum obat
metformin 500 mg
- Tidak ada riwayat penggunaan OAT
- Tidak ada riwayat keganasan

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat penyakit asma pada ayah, abang dan adik pasien (+)
- Riwayat hipertensi pada ayah dan paman pasien (+)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat DM pada ayah dan paman pasien (+)
- Riwayat TB paru dalam keluarga (-)
- Riwayat keganasan (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan


- Pasien seorang ibu rumah tangga
- Pasien tidak ada kebiasaan merokok
- Riwayat konsumsi alkohol (-)
- Riwayat alergi dingin dan alergi makanan udang
- Riwayat konsumsi jamu-jamuan (-)
- Pasien mengaku jarang berolahraga
- Ventilasi rumah cukup, pencahayaan cukup, jarak rumah pasien dengan
rumah tetangga berjauhan

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
• Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
• Kesadaran : Komposmentis kooperatif
• Tekanan darah : 130/85 mmHg
• Nadi : 95 x/menit
• SpO2 : 98% (no device)
• Suhu : 36,5 °C
• Napas : 18x/ menit

22
• Tinggi Badan : 149 cm
• Berat Badan : 44 kg
• IMT : 19,81 (Normoweight)
Kepala
1. Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, diameter
pupil kiri dan kanan 2 mm , reflek cahaya +/+.
2. Telinga: deformitas daun telinga (-), cairan (-), darah (-)
3. Hidung: nafas cuping hidung (-), cairan (-), darah (-)
4. Mulut : mukosa basah, lidah tidak kotor, bibir sianosis (-)
5. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5-2 cmH20

Toraks
Paru
1. Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, penggunaan otot
bantu pernafasan (-), retraksi dinding dada (-)
2. Palpasi : Vokal fremitus teraba sama pada paru kanan = kiri
3. Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
4. Auskultasi: Vesikuler (+/+) , ronkhi (-/-), wheezing (+/+),
Jantung
1. Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat
2. Palpasi : iktus kordis teraba di SIK VI linea midklavikula sinistra
3. Perkusi
 Batas jantung kanan : Linea parasternalis dekstra
 Batas jantung kiri : Linea midklavikula sinistra
4. Auskultasi: bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : Perut tampak datar, venektasi (-), scar (-)
- Auskultasi : bising usus (+) 9x/menit
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

23
Ekstremitas
Edema (-/-), akral hangat, capillary refilling time < 2 detik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Toraks

Pembacaan :
- Identitas Ny. ES usia 56 tahun

- Marker R

- Foto AP

- Kekerasan cukup

- Soft tissue <2cm

- Costae, vertebrae, clavicula dan scapula intak, tidak ada tanda-tanda fraktur

- Diafragma kanan dan kiri licin

- Sudut costofrenikus kanan dan kiri lancip

- Trakea midline

- CTR <50%

- Kesan : Corakan bronkovaskuler normal

24
RESUME
Pasien mengeluhkan sesak napas sejak 2 hari SMRS. Sesak napas
dirasakan hilang timbul. Sesak napas disertai bunyi “ngik”. Sesak napas muncul
terutama pada malam hari. Sesak napas timbul 3 kali dalam seminggu. Suara
napas berbunyi “ngik”. Sesak muncul 3 kali dalam 1 minggu. Sesak malam hari
3x/bulan, sesak dirasakan mengganggu aktivitas dan tidur. Batuk berdahak
bewarna putih dan memiliki riwayat asma sejak ± 15 tahun yang lalu. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan wheezing (+/+).

DIAGNOSIS KERJA
Asma persisten ringan

RENCANA PENATALAKSANAAN
 Non farmakologis
• Bed rest
• Hindari faktor pencetus

 Farmakologis
• Budesonide 160 mcg dan Formoterol fumarate 4,5 mcg) inhaler 2x1
puff
• Teofilin Cap 2x300 mg po
• N. Asetylsistein Cap 3x200 mg po

RENCANA PEMERIKSAAN
 Spirometri
 APE
 Kontrol ulang

25
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosa pada pasien ini adalah asma persisten ringan. Hal ini berkaitan
dengan keluhan serangan sesak nafas pada pasien dengan riwayat asma. Pada
anamnesis, pasien mengeluhkan dalam seminggu ini sesak nafas 3 kali dalam
seminggu dengan bunyi “ngik” dan 3 kali untuk serangan malam dalam sebulan.
Sesak mengganggu aktivitas dan mengganggu tidur malam. Pasien dapat
berbicara satu kalimat. Sesak napas dicetuskan oleh cuaca dingin di malam hari.
Hal ini sesuai dengan kriteria klasifikasi derajat asma persisten ringan berdasarkan
gambaran klinis. Pasien merasakan sesak nafas yang dapat disebabkan oleh
penyempitan saluran nafas karena adanya faktor pencetus dari lingkungan.1
Pemeriksaan fisik umum pasien tidak tampak gelisah, kesadaran pasien
komposmentis, dengan tekanan darah 130/85 mmHg, pernapasan 18 x/menit, nadi
95x/menit. Pada inspeksi tidak terlihat penggunaan otot bantu pernapasan. Pada
auskultasi paru terdengar suara wheezing di kedua lapangan paru saat akhir
ekspirasi paksa. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang
banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan nafas dan dibawah
membran basal sehingga menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas
yang menimbulkan gejala episodik berupa mengi, sesak nafas, dan batuk –batuk
pada malam hari dan atau dini hari.1,8 Pada pasien ini ditemukan hasil radiologi
yang normal.
Pada pasien ini diberikan tatalaksana non-farmakologi dan farmakologi.
Tatalaksana non-farmakologi pada pasien ini adalah bedrest dan edukasi untuk
hindari faktor pencetus. Tatalaksana farmakologi pada pasien ini adalah terapi
kombinasi inhalasi steroid dan brokodilator long acting ß2 agonis kerja cepat
yaitu budesonide dan formoterol. Penggunaan kombinasi long-acting β2-agonis
kerja cepat (formoterol) dan inhalasi glucocorticosteroid (budesonide) dalam satu
inhaler sebagai pengontrol dan pelega efektif dalam mempertahankan tingkat
kontrol asma yang tinggi dan mengurangi eksaserbasi. Budesonide dan
Formoterol bekerja secepat dan seefektif SABA (short acting beta 2 agonist)
dalam menimbulkan efek bronkodilatasi.12 Pada pasien asma di butuhkan

26
parameter objektif untuk menilai berat asma dengan mengukur faal paru
menggunakan spirometri. Pada spirometri digunakan untuk mencari volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP).13
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat
mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma
sehari-hari yang kurang tepat. Penanganan asma ditekankan pada penanganan
jangka panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan
gejala dengan memberikan penangan yang tepat. Terapi asma pada saat serangan
meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga saturasi oksigen arteri tetap
adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan napas dengan
bronkodilator inhalasi kerja cepat (2-agonis dan antikolinergik) dan mengurangi
inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian
kortikosteroid sistemik yang lebih awal.
Penilaian berat serangan asma merupakan langkah pertama dalam
penanganan serangan akut. Langkah selanjutnya adalah memberikan pengobatan
yang tepat sesuai algoritma tatalaksana serangan asma di rumah sakit, kemudian
selanjutnya menilai respon pengobatan dan memberikan tindakan apa yang
sebaiknya diberikan pada penderita (pulang, dirawat atau dirawat di ICU).14

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma (Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia). Jakarta: 2021

2. World health organization (WHO). Asthma. 2021.

3. Global Asthma Report. Asthma. 2018.

4. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Penderita asma di


Indonesia. 2019.

5. Global Initiative For Asthma. Global strategy for asthma management and
prevention 2021.

6. Kummar V, Abbas A, Aster J, Nasar I, Cornain S. Buku ajar patologi robbins.


Edisi 9. Singapore: Elsevier;2015.p.461-3.

7. Prince SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit


edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteron EGC; 2013.

8. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam: Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu penyakit
Dalam FKUI, 2014. 1590-607.

9. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a glance sistem respirasi edisi
kedua. Jakarta: Erlangga medical series; 2007.

10. Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: Penerbit buku


kedokteran EGC; 2009.

11. Syafiuddin T. Perbaikan Kualiti Hidup Penderita Asma dengan Pengobatan


Inhalasi Kombinasi Steroid dan ß2 Agonis Kerja Lama. 2007.
(http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/ dikutip Oktober 2020).

12. Zab Mosenifar, MD, FACP, FCCP. Asthma Guidelines. 2017. Available on
https://emedicine.medscape.com/article/296301-guidelines.

28
13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional pengendalian
penyakit asma. Jakarta. 2000.

29
30
31

Anda mungkin juga menyukai