Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Penyakit ini dapat
timbul pada semua usia meskipun paling banyak pada anak. Asma dapat bersifat ringan dan
tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas
bahkan kegiatan harian. Berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di
suatu tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktorfaktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya
serangan, derajat asma dan kematian karena penyakit asma. Prevalensi asma meningkat dari
waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan
terutama polusi baik indoor maupun outdoor.
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan asma seminimal
mungkin sehingga memungkinkan pasien dapat melakukan kegiatan harian tanpa terganggu
produktivitasnya. Serangan asma biasanya mencerminkan kegagalan pencegahan asma,
kegagalan tatalaksana asma jangka panjang dan kegagalan penghindaran dari faktor pencetus.

Asma Persisten Sedang

Page 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
Menurut GINA (Global Initiative For Asthma) 2002, batasan asma
menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanismenya. Asma didefinisikan
sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel eosinofil dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada
tertekan dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi,
biasanya bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Konsensus Nasional tahun 2000 menggunakan batasan bahwa asma adalah mengi
berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik,
cenderung malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta adanya
riwayat asma atau atopi pada pasien / keluarganya.

II.

Epidemiologi
Dari tahun ke tahun prevalensi penderita asma semakin meningkat. Di
Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan
kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun
1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, dan meningkat tahun 2003 menjadi
dua kali lipat lebih yakni 5,2%. Kenaikan prevalensi di Inggris dan di Australia
mencapai 20-30%. National Heart, Lung and Blood Institute melaporkan bahwa
asma diderita oleh 20 juta penduduk amerika.
Asma dapat timbul pada segala umur; 30% penderita bergejala pada umur 1
tahun, sedang 80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 4-5
tahun. Perjalanan dan keparahan asma sukar diramal. Sebagian besar anak yang
terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, relatif
mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya
lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman. Meskipun asma paling
banyak di temukan dan terdiagnosis pada anak usia balita dan sekolah, namun
seringkali asma akan hilang dengan sendirinya dan dapat muncul pada saat dewasa.
Hal ini di sebabkan karena seringkali tubuh akan bereaksi pada saat terkena pajanan
berulang dari alergi yang di derita, sehingga manifestasi yang awalnya hilang akan
muncul kembali.

Asma Persisten Sedang

Page 2

III.

Etiologi
Sampai saat ini penyebab penyakit asma belum diketahui secara pasti meski
telah banyak penelitian oleh para ahli di dunia kesehatan. Namun demikian yang
dapat disimpulkan adalah bahwa pada penderita asma saluran pernapasannya
memiliki sifat yang khas yaitu sangat peka terhadap berbagai rangsangan (bronchial
hyperreactivity = hipereaktivitas saluran napas) seperti polusi udara (asap, debu, zat
kimia), serbuk sari, udara dingin, makanan, hewan berbulu, tekanan jiwa, bau/aroma
menyengat (parfum) dan aktivitas berlebih yang akan memicu peningkatan sekresi

IV.

lendir pada bronkus.


Patologi
Asma ditandai 3 kelainan utama pada bronkus yaitu bronkokonstriksi otot
bronkus, inflamasi mukosa dan bertambahnya sekret yang berada di jalan nafas. Pada
stadium permulaan terlihat mukosa jalan nafas pucat, terdapat edema dan sekresi
lendir bertambah. Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat spasme. Terlihat
kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil bahkan juga dalam sekret di dalam
lumen saluran nafas. Bila serangan terjadi sering dan lama atau dalam stadium lanjut,
akan terlihat deskuamasi epitel, penebalan membran hialin basal, hiperplasi serat
elastin, hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus dan jumlah sel goblet bertambah.
Kadang-kadang pada asma menahun atau pada serangan yang berat terdapat
penyumbatan bronkus oleh mukus yang kental yang mengandung eosinofil.

Asma Persisten Sedang

Page 3

Gambar 1. asma terjadi karena penyempitan, peradangan dan konstriksi otot bronkus
Sampai saat ini patogenesis asma belum diketahui dengan pasti, namun
berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan
respon saluran napas yang berlebihan. Asma saat ini dipandang sebagai penyakit
inflamasi saluran napas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena
vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan
edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang
terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi
yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa
membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik
dijumpai adanya inflamasi dan hiperreaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling
Asma Persisten Sedang

Page 4

tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel penyaji
antigen), untuk selanjutnya hasil olahan allergen akan dikomunikasikan kepada sel Thelper. Sel T-helper inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau
sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator-mediator

inflamasi.

Mediator-mediator

inflamasi

seperti

histamin,

prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,


tromboksan (TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas,
infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan
hiperreaktivitas saluran napas.

V.

Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit
pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran
napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan
hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi
saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa
detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi) sedangkan penurunan KVP
(Kapasitas Vital Paru) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran
napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala
mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran
napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui
daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan

Asma Persisten Sedang

Page 5

kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh


melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya
pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian
menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak
saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi
terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot
pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan
produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi
CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang
berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah
paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit
pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan
demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan gangguan
ventilasi berupa hipoventilasi, ketidakseimbangan ventilasi perfusi di mana distribusi
ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru, serta gangguan difusi gas di tingkat
alveoli. Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
respiratorik pada tahap lanjut.

VI.

Manifestasi Klinis
Secara umum gejala asma adalah sesak napas, batuk berdahak dan suara napas
yang berbunyi ngik-ngik dimana seringnya gejala ini timbul pada pagi hari menjelang
waktu subuh, hal ini karena pengaruh keseimbangan hormon kortisol yang kadarnya
rendah ketika pagi dan berbagai faktor lainnya. Penderita asma akan mengeluhkan
sesak nafas karena udara pada waktu bernafas tidak dapat mengalir dengan lancar
pada saluran nafas yang sempit dan hal ini juga yang menyebabkan timbulnya bunyi
ngik-ngik pada saat bernafas. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan
yang terjadi dapat berupa pengerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang
diproduksi secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk
mengeluarkan dahak tersebut.

Asma Persisten Sedang

Page 6

Gambar 2. Sebelum dan sesudah serangan asma


Salah satu ciri asma adalah hilangnya keluhan di luar serangan. Artinya, pada saat
serangan, penderita asma bisa kelihatan amat menderita (banyak batuk, sesak napas
hebat dan bahkan sampai seperti tercekik), tetapi di luar serangan pasien tampak
sehat-sehat saja Inilah salah satu hal yang membedakannya dengan penyakit lain
(keluhan sesak pada asma adalah revesibel, bisa baik kembali di luar serangan).
VII.

Klasifikasi Asma Bronkial


Derajat
Step 1
Intermittent

Step 2
Mild
persistent

Step 3
Moderate
persistent

Step 4
Severe
persistent

Kekambuhan/serangan
Kurang dari 1 kali dalam
seminggu
Asimptomatis dan PEF
normal di antara serangan
Satu kali atau lebih dalam 1
minggu

Setiap hari
Menggunakan B2 agonis
setiap hari.
Serangan mempengaruhi
aktivitas
Terus menerus.
Aktivitas fisik terbatas

Asma Persisten Sedang

Page 7

Terapi
Obat reliever:
Beta agonis inhaler

Obat Kontroller:
Medikasi 1x/hari
Bisa ditambahkan bronkodilator
long acting
Obat reliever:
Beta agonis inhaler
Obat Kontroller:
Kortikosteroid inhaler harian
bronkodilator long acting harian
Obat reliever:
Beta agonis inhaler
Obat Kontroller:
Kortikosteroid inhaler harian
bronkodilator long acting harian
Kortikosteroid oral
Obat reliever:
Beta agonis inhaler

Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu derajat beratnya
serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai APE, dan bila
mungkin analisis gas darah

Ringan
Aktivitas

Sedang

Berat

Dapat berjalan

Jalan terbatas

Sukar berjalan

Dapat berbaring

Lebih suka duduk

Duduk membungkuk
ke depan

Bicara

Beberapa kalimat Kalimat terbatas

Kata demi kata

Kesadaran

Mungkin

Biasanya terganggu

Biasanya terganggu

Meningkat

Sering > 30 kali/menit

terganggu
Frekuensi

Meningkat

napas
Retraksi otot- Umumnya tidak Kadang kala ada
otot

Ada

bantu ada

napas
Mengi

Lemah

sampai Keras

Keras

sedang
Frekuensi

< 100

100-120

> 120

nadi
Pulsus

Tidak ada (< 10 Mungkin ada (10-25 Sering

paradoksus

mmHg)

APE sesudah > 80%

mmHg)

mmHg)

60-80%

< 60%

ada

bronkodilator
(% prediksi)
PaCO2

< 45 mmHg

< 45 mmHg

< 45 mmHg

SaO2

> 95%

91-95%

< 90%

Asma Persisten Sedang

Page 8

(>

25

VIII. Diagnosis
Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik
awal untuk menegakkan diagnosis. Gejalanya timbul biasanya berhubungan dengan
beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara
spontan maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain:
Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
Batuk produktif, sering pada malam hari
Napas atau dada seperti tertekan
Gejalanya bersifat paroksimal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk
pada malam hari.
Secara etiologis asma bronkial dibagi dalam 3 tipe:
Asma bronkial tipe non atopi (intrinsik). Pada golongan ini, keluhan tidak
ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya
adalah: serangan timbul setelah dewasa, pada keluarga tidak ada yang menderita
asma, penyakit infeksi sering menimbulkan serangan, ada hubungan dengan
pekerjaan atau beban fisik, rangsangan psikis mempunyai peran untuk
menimbulkan serangan reaksi

asma, perubahan-perubahan cuaca atau

lingkungan yang non spesifik merupakan keadaan peka bagi penderita.


Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik). Pada golongan ini, keluhan ada
hubungannya dengan paparan terhadap alergen lingkungan yang spesifik.
Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi
bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat: timbul sejak kanak-kanak, pada
keluarga ada yang menderita asma, adanya eksim pada waktu bayi, sering

menderita rinitis.
Asma bronkial campuran (Mixed). Pada golongan ini, keluhan diperberat baik
oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik

Jika di urutkan, maka berikut adalah langkah-langkah untuk mendiagnosis asma.


1. Anamnesis

Identitas pasien: nama, usia, jenis kelamin, BB, TB


Keluhan:
Apakah ada mengi atau gejala batuk timbul secara episodik?
Apakah ada sesak nafas terutama pada malam hari atau setelah
melakukan aktivitas fisik ?
Apakah
adanya riwayat asma dan atopi pada penderita atau

keluarganya?
2. Pemeriksaan
2.1.
Pemeriksaan Fisik
Asma Persisten Sedang

Page 9

Hasil yang didapat tergantung stadium serangan serta lamanya serangan


serta jenis asmanya. Pada asma yang ringan dan sedang tidak ditemukan
kelainan fisik diluar serangan.
Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk
paroksimal, kadang-kadang terdapat suara wheezing (mengi), ekspirium
memanjang, pada inspirasi terlihat retraksi daerah supraklavikular,
suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik terlihat bentuk
toraks bertambah. Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks,
terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
Pada auskultasi mula-mula bunyi nafas kasar/mengeras, tapi pada stadium
lanjut suara nafas melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara
sangat lemah. Dalam keadaan normal fase ekspirasi 1/3 1/2 dari fase
inspirasi. Pada waktu serangan fase ekspirasi memanjang. Terdengar juga
ronki kering dan ronki basah serta suara lendir bila banyak sekresi bronkus.
Tanda-tanda yang berhubungan dengan tingkat obstruksi jalan nafas pada
waktu pemeriksaan umumnya tidak atau kurang dapat dipercaya dan sangat
bergantung pada kemampuan pengamat. Hal yang lebih baik ialah mencari
tanda-tanda yang berhubungan dengan hiperinflasi dada, seperti misalnya
hipersonansi, retraksi subkostal, tarikan trakea, dan tegangnya otot-otot
skalenus.
2.2.
Pemeriksaan Penunjang
2.2.1. Uji Faal Paru. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk menilai asma
meliputi diagnosis dan pengelolaannya. Uji faal paru dikerjakan
untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi
bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan
penyakit. Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma ialah
PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC. Volume kapasitas vital paksa
(FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC
berkurang > 15% dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu
ekspirasi

paksa

biasanya

ditemukan,

walaupun

PEFR

dan

FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi berlebihan yang


biasanya

terlihat

secara

klinis

akan

digambarkan

sebagai

meningkatnya kapasitas residu fungsional dan total (FRC, TLC) dan


volume residu (VR) yang bervariasi tapi umumnya sedang. Diluar
serangan, umumnya faal paru tersebut umumnya akan kembali
Asma Persisten Sedang

Page 10

normal kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus


dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk
menunjukkan adanya hiperaktivitas bronkus. Uji provokasi bronkus
dapat dilakukan dengan 1) Histamin, 2) Metacholin, 3) Beban lari,
4) Udara dingin, 5) Uap air, 6) Alergen. Yang sering dilakukan
adalah cara 1,2, dan 3. Hiperaktivitas positif bila PEFR, FEV1 turun
> 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi
bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1
sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik

> 15% ini

berarti hiperaktivitas positif dan uji provokasi tidak perlu.


2.2.2. Pemeriksaan laboratorium. Eosinofilia pada darah dan sputum
terjadi pada asma. Eosinofilia darah lebih dari 250-400 sel/mm 3
adalah biasa. Sputum dari pasien asma tampak keputihan, sangat
kental dan mengandung major basic protein (MBP) eosinofil dalam
kadar tinggi. Beberapa penyakit pada anak selain asma mungkin
menyebabkan eosinofilia dalam sputum. Biakan sputum biasanya
tidak membantu pada anak asma karena superinfeksi bakteri jarang
dan biakan seringkali terkontaminasi dengan organisme orofaring.
Protein serum dan kadar immunoglobulin lainnya normal pada
asma, kecuali bahwa kadar IgE mungkin bertambah.
2.2.3. Foto sinar-X toraks. Pemeriksaan foto sinar-X toraks harus
dilakukan pada evaluasi awal semua pasien asma, dan secara berkala
apabila respons klinis terhadap terapi kurang memuaskan. Pada
pasien asma ringan asimptomatik, foto sinar-X mungkin tampak
normal selain peningkatan sedang corakan perihilus. Namun, foto
ini membantu menyingkirkan kelainan struktural lainnya atau proses
penyakit lain (misalnya fibrosis kistik) yang mungkin disertai oleh
mengi. Selama serangan asma, paru tampak mengalami hiperinflasi
dan mungkin dijumpai bercak-bercak infiltrate yang konsisten
dengan atelektasia segmental. Yang terakhir dapat mudah dibedakan
dari pneumonia karena cepat lenyap setelah terapi asma yang sesuai.
2.2.4. Uji alergi kulit. Uji alergi kulit berguna untuk menunjukkan alergen
yang potensial sebagai pencetus. Hasil uji alergi kulit harus
dihubungkan dengan keadaan klinis, dan bila cocok itulah alergen
pencetus yang sesuai. Untuk menentukkan hal itu, sebenarnya ada
Asma Persisten Sedang

Page 11

pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan


alergen yang bersangkutan.
IX.

Diagnosis Banding
1. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penyakit paru obstruktif kronik
adalah obstruktif jalan nafas yang terjadi menahun karena bronchitis kronik atau
emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai
hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Faktor yang
menyebabkan timbulnya penyakit paru obstruktif kronik adalah:
Kebiasaan merokok
Polusi udara
Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja
Riwayat infeksi saluran pernafasan
Bersifat genetic yaitu defisiensi -1 antitripsin
Gejala klinis pada penyakit paru obstruktif kronis:
Batuk
Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen
Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk
bernapas.
2. Bronkitis kronis. Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai
sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya
berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan
kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor
pumonal.
3. Emfisema paru. Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma,
emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat
melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan
nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah.
Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
4. Gagal jantung kongestif. Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam
hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada
malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
5. Emboli paru. Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung
dan tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai

Asma Persisten Sedang

Page 12

darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik
didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis,
dan hipertensi
X.

Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan asma adalah:
1. Menghilangkan dan mengendalikan asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan fungsi paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal
5. Mencegah terbatasnya aliran udara yang menetap
6. Mencegah kematian karena asma
Sedangkan seorang penderita asma di katakan asma terkontrol bila gejala yang
di alami minimal, tidak ada ketebatasan fisik, kebutuhan akan obat-obatan minimal,
serta tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat. Pada pasien dengan asma, penting di
lakukan edukasi, mengingat pengobatan akan di lakukan dalam jangka panjang, yaitu
minimal 6 bulan dengan jumlah serangan seminimal mungkin, selain itu pasien harus
datang kontrol secara teratur dan menerapkan pola hidup sehat.

Tata laksana medikamentosa (dengan obat-obatan)


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller).
Reliever, sering disebut obat serangan, digunakan untuk meredakan serangan
atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada
gejala lagi, maka obat ini tidak digunakan lagi.
Controller, sering disebut obat pencegah, digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi respiratorik kronik (peradangan saluran napas menahun).
Dengan demikian pemakaian obat ini terus-menerus dalam jangka waktu relatif lama,
tergantung

derajat

penyakit

asma,

dan

responnya

terhadap

pengobatan/penanggulangan. Controller diberikan pada asma episodik sering dan


asma persisten.

Asma Episodik Jarang


Asma Persisten Sedang

Page 13

Asma episodik jarang cukup diobati dengan reliever berupa bronkodilator beta agonis
hirupan (inhaler/spray) kerja pendek (short acting 2-agonist, SABA) atau golongan xantin
kerja cepat, bila terjadi gejala/serangan. Kendala penggunaan spray ini adalah harganya yang
mahal dan tidak tersedia di semua tempat. Selain itu pemakaian inhaler (Metered Dose
Inhaler/MDI atau Dry Powder Inhaler/DPI) ini memerlukan teknik penggunaan yang benar
(untuk anak besar), dan memerlukan alat bantu (untuk anak kecil/bayi). Bila obat hirupan
tidak ada, maka beta agonis diberikan per oral (obat minum). Penggunaan xantin kerja cepat
(teofilin) sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tata laksana asma, karena batas
keamanannya (margin of safety) sempit. Namun mengingat di Indonesia obat beta agonis oral
tidak selalu ada, maka dapat menggunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan
timbulnya efek samping.

Asma Episodik Sering


Jika penggunaan beta agonis hirupan sudah lebih dari 3x per minggu (tanpa
menghitung penggunaan sebelum aktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari
sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti inflamasi sebagai pengendali (controller)
diperlukan, yakni steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid yang sering digunakan pada anak
adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah
setara dengan 100-200 g/hari budesonid (50-100 g/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan 200-400 g/hari budesonid untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Pada penggunaan dosis 100-200 g/hari belum dilaporkan adanya efek samping jangka
panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi/peradangan kronik, controller
berupa anti inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Penilaian
dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan
inflamasinya. Apabila masih tidak respons (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur
atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menaikkan dosis
steroid hirupan sampai dengan 400 g/hari, yang termasuk dalam tata laksana asma persisten.

Asma Persisten

Asma Persisten Sedang

Page 14

Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama
gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala
dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, dianjurkan untuk
menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya
dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal. Setelah
pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik, diperlukan
terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap
steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (long acting beta-2 agonist) atau
ditambahkan teophylline slow release (TSR) atau ditambahkan anti-leukotriene receptor
(ALTR). Dosis medium adalah setara dengan 200-400 g/hari budosenid (100-200 g/hari
flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600 g/hari budosenid (200300 g/hari flutikason) untuk anak dan dewasa berusia di atas 12 tahun. Apabila dengan
pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan
alternatif lapis ketiga, yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis
tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Yang
dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan > 400 g/hari budesonid (> 200 g/hari
flutikason), untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan > 600 g/hari budesonid (> 300
g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan dapat memperbaiki FEV1,
menurunkan gejala asma, dan memperbaiki kualitas hidup. Apabila dosis steroid hirupan
sudah mencapai > 800 g/hari namun tidak mencapai respon, maka baru menggunakan
steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali)
adalah jalan terakhir. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar
daripada bahaya efek samping obat. Sebagai dosis awal, steroid oral dapat diberikan 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari
pada pagi hari.

Tata Laksana Serangan Asma


GINA (Global Initiative for Asthma) membagi tata laksana serangan asma menjadi
dua, tata laksana di rumah dan di rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh mereka yang
sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup.

Asma Persisten Sedang

Page 15

Terapi awal berupa inhalasi beta agonis kerja pendek hingga tiga kali dalam satu jam.
Kemudian pasien atau keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan
derajat serangan, untuk ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita,
pemberian terapi awal di rumah seperti di atas cukup riskan, dan kemampuan melakukan
penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian, maka apabila setelah dilakukan
inhalasi satu kali tidak mempunyai respons yang baik, maka dianjurkan mencari pertolongan
dokter.9

Obat Lain untuk Serangan Asma


Magnesium Sulfat
Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat intravena (infus) di rumah sakit
mempunyai efektivitas sama dengan pemberian beta agonis.
Mukolitik (pengencer dahak)
Antibiotika
Pemberian antibiotika pada asma tidak dianjurkan, karena sebagian besar pencetusnya
bukan infeksi bakteri, melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu, antibiotika dapat
diberikan, yaitu pada infeksi saluran napas yang dicurigai karena bakteri, atau dugaan
sinusitis yang menyertai asma.
Anti histamin (anti alergi). Anti histamin jangan diberikan pada serangan asma, karena
tidak mempunyai efek yang bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan.

TERAPI INHALASI
Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin,
serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali, serangannya
tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diberi obat bronkodilator pada saat
serangan, dan obat anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk menurunkan inflamasi yang
timbul. Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu parenteral
(melalui infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian per inhalasi adalah
pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma,
penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada
Asma Persisten Sedang

Page 16

pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis
lainnya.
Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan per inhalasi
harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya
dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.

Jenis Terapi Inhalasi


Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa,
tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di
saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua. Namun
keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai. Berikut beberapa alat terapi inhalasi:

MDI (Metered Dose Inhaler ) tanpa Spacer

Gambar 3. MDI tanpa spacer

Asma Persisten Sedang

Page 17

MDI (Metered Dose Inhaler) dengan Spacer

Gambar 4. MDI dengan spacer


Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga
kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di
orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan
panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml.
Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak.

Dry Powder Inhaler (DPI)


Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang
cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar,
penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi

Asma Persisten Sedang

Page 18

dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI
dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.

Gambar 5. Dry powder inhaler


Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara
terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang
ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup.
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang
bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih
banyak bergantung pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan
partikel aerosol terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul
pada saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang.

Asma Persisten Sedang

Page 19

XI.

Status Asmatikus
Jika penderita berlanjut menderita distress pernapasan yang berarti walaupun
dengan pemberian obat-obat simpatomimetis dengan atau tanpa teofilin, diagnosis
status asmatikus harus dipikirkan. Status asmatikus merupakan diagnosis klinik yang
ditentukan oleh semakin beratnya asma yang tidak responsif terhadap obat-obat yang
biasanya efektif. Penderita dengan diagnosis status asmatikus yang berat harus
dimasukkan ke rumah sakit, lebih baik pada unit perawatan intensif, dimana keadaan
ini dapat dipantau secara teliti. Para penderita status asmatikus adalah orang-orang
yang kekurangan oksigen (hipoksemik). Oleh karenanya oksigen dengan kadar yang
dikendalikan dengan teliti selalu terindikasi, untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan. Oksigen dapat diberikan dengan sangat efektif melalui pipa hidung
bercabang. Atau masker dengan kecepatan aliran 2-3 L/menit. Kadar oksigen yang
cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri parsial 70-90 mmHg atau
saturasi oksigen lebih besar daripada 92% adalah optimal. Jangan digunakan tenda
kabut, air ini tidak mencapai jalan napas bawah yang sedikit banyak mempunyai arti,
dan kabut mempunyai pengaruh iritan pada jalan napas banyak penderita asmatis,
menimbulkan batuk dan memperburuk mengi. Harus diperhatikan agar jangan
memberikan cairan yang berlebihan kepada penderita, karena akan terjadi kenaikan
sekresi hormon antidiuretik selama status asmatikus, menambah retensi cairan, dan
karena tekanan pleura puncak ekspirasi yang sangat negatif, yang terjadi pada anakanak, membantu pengumpulan cairan dalam sela interstisial di sekeliling jalan napas
kecil. Biasanya harus diberikan tidak lebih daripada 1-1,5 kali batas rumatan.
Natrium bikarbonat, 1,5-2 mEq/kg dapat diberikan jika pH arteri kurang dari
7,3, ada asidosis metabolik, dan natrium serum kurang dari 145 mEq/L. Karena agen
adrenergik-2 dapat menyebabkan hipokalemia, kalium harus ditambahkan pada
larutan intravena sesudah penderita kencing. Terapi aerosol simpatomimetik
bronkodilator yang dimulai di kamar gawat darurat harus diteruskan. Aminofilin 4-5
mg/kg dapat diberikan secara intravena selama 20 menit setiap 6 jam. Pengobatan
dengan antimuskarinik seperti atropin sulfat yang diberikan bersama dengan
nebulisasi agonis- mungkin lebih efektif daripada dengan pengobatan salah satunya
saja, walaupun puncak bronkodilatasi dengan atropin dicapai lebih lambat daripada

Asma Persisten Sedang

Page 20

puncak bronkodilatasi dengan agonis-. Kortikosteroid seperti metilprednisolon 1-2


mg/kg setiap 6 jam harus diberikan. Steroid memperbaiki oksigenasi, mengurangi
penyumbatan jalan napas, dan memperpendek waktu yang diperlukan untuk
penyembuhan. Pengobatan dibimbing melalui pengukuran gas dan pH darah secara
serial setiap beberapa jam, atau lebih sering jika ada indikasi.
XII.

Komplikasi Asma Bronkial


1. Pneumotoraks
2. Pneumodiastinum dan emfisema subcutis
3. Atelektasis
4. Gagal nafas

XIII. Prognosis
Prognosis jangka panjang pada penderita asma umumnya baik. Pada anak-anak,
sebagian besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar
50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15%
yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Hanya 5% dari asma kronik/persisten
yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodik sering,
hampir 60% tetap sebagai asma kronik/persisten dan sisanya menjadi asma episodik
jarang.

Asma Persisten Sedang

Page 21

BAB III
LAPORAN KASUS

I.

Identitas pasien
Nama
: Ny. S
Usia
: 72 tahun
Nomor RM : R 05103XXX
Alamat
: Muara rapak
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Tanggal masuk: 5 Desember 2015

II.

Anamnesis
Keluhan utama: sesak nafas
Keluhan tambahan: batuk dan pilek

III.

Riwayat penyakit sekarang


Os mengeluh sesak nafas sejak empat hari SMRS. Pada awalnya sesak hanya di
rasakan saat malam hari, namun satu hari SMRS sesak di rasakan makin berat. Os
merasa lebih nyaman jika dalam posisi setengah duduk dan dapat berbicara meskipun
tersendat-sendat. Os juga mengatakan saat bernafas ada suara ngik-ngik yang
terdengar. Selama ini os mengatakan ada obat semprot yang di gunakan, namun obat
tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap keluhan yang di rasakan. Keluhan sesak
ini di katakan os memberat jika dalam keadaan dingin, os terlalu lelah, dan tidak di
picu oleh debu ataupun bulu binatang. Selain itu, os mengeluh sering batuk pada dini
hari.
Os juga mengeluhkan adanya nyeri ulu hati, batuk berdahak dan pilek yang
muncul empat hari SMRS. Keluhan demam di sangkal, nyeri dada di sangkal, sesak
pada saat tidur di sangkal, bab dan bak normal.

IV.

V.
VI.

Riwayat penyakit dahulu


Os mengatakan adanya asma sejak 20 tahun yang lalu dan hipertensi. Os juga ada
alergi debu dan dingin. Riwayat diabetes melitus disangkal os.
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada orang di keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran
Glasgow coma scale
Keadaan umum
Status gizi

Asma Persisten Sedang

: compos mentis
: 15
: tampak sakit sedang
: baik
Page 22

Tanda vital

Tekanan Darah : 190/100 mmHg

Frekuensi Nadi : 84x/menit

Suhu

Frekuensi Nafas : 29x/menit

: 37,7o C

Status Generalis
Kepala

: normocephali, distribusi rambut merata, rambut tidak mudah

Mata

di cabut
Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, reflex

Hidung

cahaya +/+
Bentuk normal, septum deviasi tidak ada, sekret -/-, konka

Telinga
Mulut

:
:

tidak hiperemis dan tidak menebal


Bentuk normal, MEA lapang, sekret +/+
Sianosis perioral (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring

Leher

hiperemis (-)
: JVP tidak meningkat,pembesaran KGB (-)

Thorax
Dinding thorax

: Simetris, retraksi (-), tidak ada sela iga yang melebar

Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

:
:
:
:

Dada simetris dalam keadaan statis dan dinamis


Fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Sonor pada semua lapang paru
SN vesikuler, rhonki +/+, wheezing +/+ pada saat ekspirasi

Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

:
:
:
:

Tidak tampak pulsasi ictus cordis


Pulsasi ictus cordis tidak teraba
Redup
BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi
Palpasi

: Mendatar, jaringan parut (-), striae (-)


: Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak

Perkusi
Auskultasi

:
:

Asma Persisten Sedang

teraba membesar
Timpani
Bising usus (+) normal
Page 23

Ekstremitas
VII.

Akral hangat, edema -/-

Pemeriksaan penunjang
Hasil laboratorium tanggal 5 desember 2015
Hasil
Hemoglobin
Hematokrit
Lekosit
Trombosit

Nilai
14.2 g/dL
43 %
14.35
230.000

Nilai normal
14.0-18.0
42.0-52.0
4.8-10.80rb

Rontgen thorax posisi AP tanggal 6 desember 2015


Kesan: cardiomegali (CTR >50%) di sertai dilatasi dan elongasi aorta
Pulmo dalam batas normal
Elektrokardiografi tanggal 5 desember 2015
Kesan: sinus rhytem, HR 92x/menit, atrial fibrilasi
VIII. Resume
Telah diperiksa seorang perempuan, usia 72 tahun, dengan keluhan sesak nafas
sejak empat hari SMRS yang memberat satu hari SMRS. Pasien selama ini
menggunakan obat-obatan semprot namun tidak ada perbaikan. Selain itu terdapat
batuk berdahak dan pilek, terdapat riwayat asma dan hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan darah 190/100 mmHg, suara nafas
vesikuler dengan suara tambahan rhonki dan wheezing pada kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan nilai lekosit, adanya
cardiomegali pada rontgen thorax dan gambaran atrial fibrilasi pada EKG.
IX.

Diagnosis
Diagnosis banding: asma bronkial persisten sedang, bronkopneumnia
Diagnosis kerja:
1. Asma bronkial persisten sedang
2. Hipertensi urgency

X.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan di UGD
Inhalasi ventolin: pulmicort: NS: bisolvon dengan perbandingan 1:1:1cc:1cc
Cedocard 5mg sub lingual
Penatalaksanaan di rawat inap
IVFD RL 5 tpm
Bricasma 1 ampul + aminofilin 1 ampul di drip dalam RL
Ceftriaxone injeksi 1x2 gram IV selama 5 hari
Ranitidine injeksi 2x1 ampul IV
Metilprednisolone injeksi 3x125mg
Amlodipine 1x10 mg p.o

Asma Persisten Sedang

Page 24

Salbutamol 3x2 mg p.o


Inhalasi ventolin : pulmicort= 1:1 3x/hari

XI.

Follow Up
6 Des 2015
S: sesak (+)
O: TD 150/90
Wh +/+
A: Asma persisten
sedang,

8 Des 2015
S: sesak, batuk
O: TD 140/90
Rh +/-, Wh +/+
A: Asma persisten

9 Des 2015
S: sesak, batuk
O: TD 130/90
Rh +/-, Wh +/+
A: Asma persisten

sedang,

sedang perbaikan,

bronkopneumonia,

bronkopneumonia,

bronkopneumonia,

hipertensi gr. I
P: terapi lanjut

hipertensi gr. I
P: terapi lanjut

hipertensi
P: Rawat jalan

hipertensi sedang,

gr. I
P: terapi lanjut

XII.

7 Des 2015
S: sesak, batuk
O: TD 160/90
Rh +/-, Wh +/+
A: Asma persisten

Prognosis
Ad vitam
: ad bonam
Ad sanationam: ad bonam
Ad funcitionam: ad bonam

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. Ilmu penyakit dalam. Jilid II. Jakarta:
FKUI;2006.
2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R dkk. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta:
FKUI; 2001.
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC;2006.
4. Baliga, R.R. Asthma. 250 Cases in Clinical Medicine. Third Edition. 2010.
Asma Persisten Sedang

Page 25

5. Chesnut MS, Prendergarst T. Enviromental and Occupational Lung Disorders. 2012


Current Medical Treatment. New York: Lange MC Graw Hill; 2012.
6. Departemen Kesehatan RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan
Primer. Edisi I. Jakarta: Depkes RI; 2013.

Asma Persisten Sedang

Page 26

Anda mungkin juga menyukai