PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Penyakit ini dapat
timbul pada semua usia meskipun paling banyak pada anak. Asma dapat bersifat ringan dan
tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas
bahkan kegiatan harian. Berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di
suatu tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktorfaktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya
serangan, derajat asma dan kematian karena penyakit asma. Prevalensi asma meningkat dari
waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan
terutama polusi baik indoor maupun outdoor.
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan asma seminimal
mungkin sehingga memungkinkan pasien dapat melakukan kegiatan harian tanpa terganggu
produktivitasnya. Serangan asma biasanya mencerminkan kegagalan pencegahan asma,
kegagalan tatalaksana asma jangka panjang dan kegagalan penghindaran dari faktor pencetus.
Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
Definisi
Menurut GINA (Global Initiative For Asthma) 2002, batasan asma
menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanismenya. Asma didefinisikan
sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel eosinofil dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada
tertekan dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi,
biasanya bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Konsensus Nasional tahun 2000 menggunakan batasan bahwa asma adalah mengi
berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik,
cenderung malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta adanya
riwayat asma atau atopi pada pasien / keluarganya.
II.
Epidemiologi
Dari tahun ke tahun prevalensi penderita asma semakin meningkat. Di
Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan
kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun
1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, dan meningkat tahun 2003 menjadi
dua kali lipat lebih yakni 5,2%. Kenaikan prevalensi di Inggris dan di Australia
mencapai 20-30%. National Heart, Lung and Blood Institute melaporkan bahwa
asma diderita oleh 20 juta penduduk amerika.
Asma dapat timbul pada segala umur; 30% penderita bergejala pada umur 1
tahun, sedang 80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 4-5
tahun. Perjalanan dan keparahan asma sukar diramal. Sebagian besar anak yang
terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, relatif
mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya
lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman. Meskipun asma paling
banyak di temukan dan terdiagnosis pada anak usia balita dan sekolah, namun
seringkali asma akan hilang dengan sendirinya dan dapat muncul pada saat dewasa.
Hal ini di sebabkan karena seringkali tubuh akan bereaksi pada saat terkena pajanan
berulang dari alergi yang di derita, sehingga manifestasi yang awalnya hilang akan
muncul kembali.
Page 2
III.
Etiologi
Sampai saat ini penyebab penyakit asma belum diketahui secara pasti meski
telah banyak penelitian oleh para ahli di dunia kesehatan. Namun demikian yang
dapat disimpulkan adalah bahwa pada penderita asma saluran pernapasannya
memiliki sifat yang khas yaitu sangat peka terhadap berbagai rangsangan (bronchial
hyperreactivity = hipereaktivitas saluran napas) seperti polusi udara (asap, debu, zat
kimia), serbuk sari, udara dingin, makanan, hewan berbulu, tekanan jiwa, bau/aroma
menyengat (parfum) dan aktivitas berlebih yang akan memicu peningkatan sekresi
IV.
Page 3
Gambar 1. asma terjadi karena penyempitan, peradangan dan konstriksi otot bronkus
Sampai saat ini patogenesis asma belum diketahui dengan pasti, namun
berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan
respon saluran napas yang berlebihan. Asma saat ini dipandang sebagai penyakit
inflamasi saluran napas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena
vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan
edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang
terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi
yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa
membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik
dijumpai adanya inflamasi dan hiperreaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling
Asma Persisten Sedang
Page 4
tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel penyaji
antigen), untuk selanjutnya hasil olahan allergen akan dikomunikasikan kepada sel Thelper. Sel T-helper inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau
sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator-mediator
inflamasi.
Mediator-mediator
inflamasi
seperti
histamin,
V.
Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit
pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran
napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan
hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi
saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa
detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi) sedangkan penurunan KVP
(Kapasitas Vital Paru) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran
napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala
mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran
napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui
daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan
Page 5
VI.
Manifestasi Klinis
Secara umum gejala asma adalah sesak napas, batuk berdahak dan suara napas
yang berbunyi ngik-ngik dimana seringnya gejala ini timbul pada pagi hari menjelang
waktu subuh, hal ini karena pengaruh keseimbangan hormon kortisol yang kadarnya
rendah ketika pagi dan berbagai faktor lainnya. Penderita asma akan mengeluhkan
sesak nafas karena udara pada waktu bernafas tidak dapat mengalir dengan lancar
pada saluran nafas yang sempit dan hal ini juga yang menyebabkan timbulnya bunyi
ngik-ngik pada saat bernafas. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan
yang terjadi dapat berupa pengerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang
diproduksi secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk
mengeluarkan dahak tersebut.
Page 6
Step 2
Mild
persistent
Step 3
Moderate
persistent
Step 4
Severe
persistent
Kekambuhan/serangan
Kurang dari 1 kali dalam
seminggu
Asimptomatis dan PEF
normal di antara serangan
Satu kali atau lebih dalam 1
minggu
Setiap hari
Menggunakan B2 agonis
setiap hari.
Serangan mempengaruhi
aktivitas
Terus menerus.
Aktivitas fisik terbatas
Page 7
Terapi
Obat reliever:
Beta agonis inhaler
Obat Kontroller:
Medikasi 1x/hari
Bisa ditambahkan bronkodilator
long acting
Obat reliever:
Beta agonis inhaler
Obat Kontroller:
Kortikosteroid inhaler harian
bronkodilator long acting harian
Obat reliever:
Beta agonis inhaler
Obat Kontroller:
Kortikosteroid inhaler harian
bronkodilator long acting harian
Kortikosteroid oral
Obat reliever:
Beta agonis inhaler
Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu derajat beratnya
serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai APE, dan bila
mungkin analisis gas darah
Ringan
Aktivitas
Sedang
Berat
Dapat berjalan
Jalan terbatas
Sukar berjalan
Dapat berbaring
Duduk membungkuk
ke depan
Bicara
Kesadaran
Mungkin
Biasanya terganggu
Biasanya terganggu
Meningkat
terganggu
Frekuensi
Meningkat
napas
Retraksi otot- Umumnya tidak Kadang kala ada
otot
Ada
bantu ada
napas
Mengi
Lemah
sampai Keras
Keras
sedang
Frekuensi
< 100
100-120
> 120
nadi
Pulsus
paradoksus
mmHg)
mmHg)
mmHg)
60-80%
< 60%
ada
bronkodilator
(% prediksi)
PaCO2
< 45 mmHg
< 45 mmHg
< 45 mmHg
SaO2
> 95%
91-95%
< 90%
Page 8
(>
25
VIII. Diagnosis
Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik
awal untuk menegakkan diagnosis. Gejalanya timbul biasanya berhubungan dengan
beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara
spontan maupun dengan pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain:
Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
Batuk produktif, sering pada malam hari
Napas atau dada seperti tertekan
Gejalanya bersifat paroksimal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk
pada malam hari.
Secara etiologis asma bronkial dibagi dalam 3 tipe:
Asma bronkial tipe non atopi (intrinsik). Pada golongan ini, keluhan tidak
ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya
adalah: serangan timbul setelah dewasa, pada keluarga tidak ada yang menderita
asma, penyakit infeksi sering menimbulkan serangan, ada hubungan dengan
pekerjaan atau beban fisik, rangsangan psikis mempunyai peran untuk
menimbulkan serangan reaksi
menderita rinitis.
Asma bronkial campuran (Mixed). Pada golongan ini, keluhan diperberat baik
oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik
keluarganya?
2. Pemeriksaan
2.1.
Pemeriksaan Fisik
Asma Persisten Sedang
Page 9
paksa
biasanya
ditemukan,
walaupun
PEFR
dan
terlihat
secara
klinis
akan
digambarkan
sebagai
Page 10
Page 11
Diagnosis Banding
1. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penyakit paru obstruktif kronik
adalah obstruktif jalan nafas yang terjadi menahun karena bronchitis kronik atau
emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai
hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Faktor yang
menyebabkan timbulnya penyakit paru obstruktif kronik adalah:
Kebiasaan merokok
Polusi udara
Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja
Riwayat infeksi saluran pernafasan
Bersifat genetic yaitu defisiensi -1 antitripsin
Gejala klinis pada penyakit paru obstruktif kronis:
Batuk
Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen
Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk
bernapas.
2. Bronkitis kronis. Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai
sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya
berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan
kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor
pumonal.
3. Emfisema paru. Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma,
emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat
melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan
nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah.
Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
4. Gagal jantung kongestif. Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam
hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada
malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
5. Emboli paru. Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung
dan tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai
Page 12
darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik
didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis,
dan hipertensi
X.
Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan asma adalah:
1. Menghilangkan dan mengendalikan asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan fungsi paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal
5. Mencegah terbatasnya aliran udara yang menetap
6. Mencegah kematian karena asma
Sedangkan seorang penderita asma di katakan asma terkontrol bila gejala yang
di alami minimal, tidak ada ketebatasan fisik, kebutuhan akan obat-obatan minimal,
serta tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat. Pada pasien dengan asma, penting di
lakukan edukasi, mengingat pengobatan akan di lakukan dalam jangka panjang, yaitu
minimal 6 bulan dengan jumlah serangan seminimal mungkin, selain itu pasien harus
datang kontrol secara teratur dan menerapkan pola hidup sehat.
derajat
penyakit
asma,
dan
responnya
terhadap
Page 13
Asma episodik jarang cukup diobati dengan reliever berupa bronkodilator beta agonis
hirupan (inhaler/spray) kerja pendek (short acting 2-agonist, SABA) atau golongan xantin
kerja cepat, bila terjadi gejala/serangan. Kendala penggunaan spray ini adalah harganya yang
mahal dan tidak tersedia di semua tempat. Selain itu pemakaian inhaler (Metered Dose
Inhaler/MDI atau Dry Powder Inhaler/DPI) ini memerlukan teknik penggunaan yang benar
(untuk anak besar), dan memerlukan alat bantu (untuk anak kecil/bayi). Bila obat hirupan
tidak ada, maka beta agonis diberikan per oral (obat minum). Penggunaan xantin kerja cepat
(teofilin) sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tata laksana asma, karena batas
keamanannya (margin of safety) sempit. Namun mengingat di Indonesia obat beta agonis oral
tidak selalu ada, maka dapat menggunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan
timbulnya efek samping.
Asma Persisten
Page 14
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama
gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala
dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, dianjurkan untuk
menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya
dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal. Setelah
pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik, diperlukan
terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap
steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (long acting beta-2 agonist) atau
ditambahkan teophylline slow release (TSR) atau ditambahkan anti-leukotriene receptor
(ALTR). Dosis medium adalah setara dengan 200-400 g/hari budosenid (100-200 g/hari
flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600 g/hari budosenid (200300 g/hari flutikason) untuk anak dan dewasa berusia di atas 12 tahun. Apabila dengan
pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan
alternatif lapis ketiga, yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis
tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Yang
dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan > 400 g/hari budesonid (> 200 g/hari
flutikason), untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan > 600 g/hari budesonid (> 300
g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan dapat memperbaiki FEV1,
menurunkan gejala asma, dan memperbaiki kualitas hidup. Apabila dosis steroid hirupan
sudah mencapai > 800 g/hari namun tidak mencapai respon, maka baru menggunakan
steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali)
adalah jalan terakhir. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar
daripada bahaya efek samping obat. Sebagai dosis awal, steroid oral dapat diberikan 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari
pada pagi hari.
Page 15
Terapi awal berupa inhalasi beta agonis kerja pendek hingga tiga kali dalam satu jam.
Kemudian pasien atau keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan
derajat serangan, untuk ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita,
pemberian terapi awal di rumah seperti di atas cukup riskan, dan kemampuan melakukan
penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian, maka apabila setelah dilakukan
inhalasi satu kali tidak mempunyai respons yang baik, maka dianjurkan mencari pertolongan
dokter.9
TERAPI INHALASI
Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin,
serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali, serangannya
tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diberi obat bronkodilator pada saat
serangan, dan obat anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk menurunkan inflamasi yang
timbul. Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu parenteral
(melalui infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian per inhalasi adalah
pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma,
penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada
Asma Persisten Sedang
Page 16
pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis
lainnya.
Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan per inhalasi
harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya
dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.
Page 17
Page 18
dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI
dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.
Page 19
XI.
Status Asmatikus
Jika penderita berlanjut menderita distress pernapasan yang berarti walaupun
dengan pemberian obat-obat simpatomimetis dengan atau tanpa teofilin, diagnosis
status asmatikus harus dipikirkan. Status asmatikus merupakan diagnosis klinik yang
ditentukan oleh semakin beratnya asma yang tidak responsif terhadap obat-obat yang
biasanya efektif. Penderita dengan diagnosis status asmatikus yang berat harus
dimasukkan ke rumah sakit, lebih baik pada unit perawatan intensif, dimana keadaan
ini dapat dipantau secara teliti. Para penderita status asmatikus adalah orang-orang
yang kekurangan oksigen (hipoksemik). Oleh karenanya oksigen dengan kadar yang
dikendalikan dengan teliti selalu terindikasi, untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan. Oksigen dapat diberikan dengan sangat efektif melalui pipa hidung
bercabang. Atau masker dengan kecepatan aliran 2-3 L/menit. Kadar oksigen yang
cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri parsial 70-90 mmHg atau
saturasi oksigen lebih besar daripada 92% adalah optimal. Jangan digunakan tenda
kabut, air ini tidak mencapai jalan napas bawah yang sedikit banyak mempunyai arti,
dan kabut mempunyai pengaruh iritan pada jalan napas banyak penderita asmatis,
menimbulkan batuk dan memperburuk mengi. Harus diperhatikan agar jangan
memberikan cairan yang berlebihan kepada penderita, karena akan terjadi kenaikan
sekresi hormon antidiuretik selama status asmatikus, menambah retensi cairan, dan
karena tekanan pleura puncak ekspirasi yang sangat negatif, yang terjadi pada anakanak, membantu pengumpulan cairan dalam sela interstisial di sekeliling jalan napas
kecil. Biasanya harus diberikan tidak lebih daripada 1-1,5 kali batas rumatan.
Natrium bikarbonat, 1,5-2 mEq/kg dapat diberikan jika pH arteri kurang dari
7,3, ada asidosis metabolik, dan natrium serum kurang dari 145 mEq/L. Karena agen
adrenergik-2 dapat menyebabkan hipokalemia, kalium harus ditambahkan pada
larutan intravena sesudah penderita kencing. Terapi aerosol simpatomimetik
bronkodilator yang dimulai di kamar gawat darurat harus diteruskan. Aminofilin 4-5
mg/kg dapat diberikan secara intravena selama 20 menit setiap 6 jam. Pengobatan
dengan antimuskarinik seperti atropin sulfat yang diberikan bersama dengan
nebulisasi agonis- mungkin lebih efektif daripada dengan pengobatan salah satunya
saja, walaupun puncak bronkodilatasi dengan atropin dicapai lebih lambat daripada
Page 20
XIII. Prognosis
Prognosis jangka panjang pada penderita asma umumnya baik. Pada anak-anak,
sebagian besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar
50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15%
yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Hanya 5% dari asma kronik/persisten
yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodik sering,
hampir 60% tetap sebagai asma kronik/persisten dan sisanya menjadi asma episodik
jarang.
Page 21
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
Identitas pasien
Nama
: Ny. S
Usia
: 72 tahun
Nomor RM : R 05103XXX
Alamat
: Muara rapak
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Tanggal masuk: 5 Desember 2015
II.
Anamnesis
Keluhan utama: sesak nafas
Keluhan tambahan: batuk dan pilek
III.
IV.
V.
VI.
: compos mentis
: 15
: tampak sakit sedang
: baik
Page 22
Tanda vital
Suhu
: 37,7o C
Status Generalis
Kepala
Mata
di cabut
Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, reflex
Hidung
cahaya +/+
Bentuk normal, septum deviasi tidak ada, sekret -/-, konka
Telinga
Mulut
:
:
Leher
hiperemis (-)
: JVP tidak meningkat,pembesaran KGB (-)
Thorax
Dinding thorax
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
:
:
:
:
Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
:
:
:
:
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
:
:
teraba membesar
Timpani
Bising usus (+) normal
Page 23
Ekstremitas
VII.
Pemeriksaan penunjang
Hasil laboratorium tanggal 5 desember 2015
Hasil
Hemoglobin
Hematokrit
Lekosit
Trombosit
Nilai
14.2 g/dL
43 %
14.35
230.000
Nilai normal
14.0-18.0
42.0-52.0
4.8-10.80rb
Diagnosis
Diagnosis banding: asma bronkial persisten sedang, bronkopneumnia
Diagnosis kerja:
1. Asma bronkial persisten sedang
2. Hipertensi urgency
X.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan di UGD
Inhalasi ventolin: pulmicort: NS: bisolvon dengan perbandingan 1:1:1cc:1cc
Cedocard 5mg sub lingual
Penatalaksanaan di rawat inap
IVFD RL 5 tpm
Bricasma 1 ampul + aminofilin 1 ampul di drip dalam RL
Ceftriaxone injeksi 1x2 gram IV selama 5 hari
Ranitidine injeksi 2x1 ampul IV
Metilprednisolone injeksi 3x125mg
Amlodipine 1x10 mg p.o
Page 24
XI.
Follow Up
6 Des 2015
S: sesak (+)
O: TD 150/90
Wh +/+
A: Asma persisten
sedang,
8 Des 2015
S: sesak, batuk
O: TD 140/90
Rh +/-, Wh +/+
A: Asma persisten
9 Des 2015
S: sesak, batuk
O: TD 130/90
Rh +/-, Wh +/+
A: Asma persisten
sedang,
sedang perbaikan,
bronkopneumonia,
bronkopneumonia,
bronkopneumonia,
hipertensi gr. I
P: terapi lanjut
hipertensi gr. I
P: terapi lanjut
hipertensi
P: Rawat jalan
hipertensi sedang,
gr. I
P: terapi lanjut
XII.
7 Des 2015
S: sesak, batuk
O: TD 160/90
Rh +/-, Wh +/+
A: Asma persisten
Prognosis
Ad vitam
: ad bonam
Ad sanationam: ad bonam
Ad funcitionam: ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. Ilmu penyakit dalam. Jilid II. Jakarta:
FKUI;2006.
2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R dkk. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta:
FKUI; 2001.
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC;2006.
4. Baliga, R.R. Asthma. 250 Cases in Clinical Medicine. Third Edition. 2010.
Asma Persisten Sedang
Page 25
Page 26