Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

TRANSIENT ISCHEMIC ATTACK

Disusun guna memenuhi persyaratan sebagai peserta dokter internsip


di RSUD Kalideres
Periode 7 November 2016 - 6 November 2017

Disusun oleh : dr. Pramita Yulia Andini


Pembimbing : dr. Ratna Hastuti

1
LEMBAR PENGESAHAN
Program Dokter Internsip RSU Kalideres Periode 7 November 2016 – 6 November 2017

Presentasi Kasus : Transient Ischemic Attack


Pembimbing : dr. Ratna Hastuti

Mengetahui,

dr. Ratna Hastuti

Pembimbing Internsip

KATA PENGANTAR

2
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas case report ini
mengenai “Transient Ischemic Attack” sebagai salah satu syarat program dokter internship
RSUD Kalideres periode 7 November 2016 – 6 November 2017
Presentasi kasus ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya karena adanya dukungan,
bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada :

1. dr. Fify mulyani,MARS selaku Direktur Utama RSUK Kalideres


2. dr. Ratna hastuti selaku pembimbing program internship di RSUK Kalideres
3. Rekan sejawat dan teman-teman perawat program internship DKI Jakarta di RSUD
Kalideres

Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis
mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan yang membangun untuk menjadi lebih baik
dan semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat dengan baik.

Jakarta, 21 Oktober 2017

Penulis

dr. Pramita Yulia Andini

BAB I
PENDAHULUAN

3
CVD (Cerebro Vascular Desease) atau stroke merupakan penyakit ketiga yang
menyebabkan kematian dibeberapa negara berkembang setelah jantung dan kanker.
Setiap tahunnya sekitar 4,5 juta orang meninggal karena stroke. Stroke sebagai salah satu
penyebab kematian dan kecacatan neurologi yang utama di Indonesia. Serangan otak ini
merupakan kegawatdaruratan medis yang harus ditangani secara cepat, tepat, dan
cermat.1,2
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik
dalam hal kematian, kejadian dan kecacatan. Insiden stroke 51,6/100.000 penduduk dan
kecacatan 1,6% tidak berubah dan 4,3% semakin memberat. 3 Angka kematian
berdasarkan umur sebesar 15,9% (usia 45-55 tahun), 26,8% (usia 55-64 tahun), dan
23,5% (usia >65 tahun).4 Stroke dapat terjadi pada semua umur tapi sebagian dialami oleh
orang yang berusia lebih dari 70 tahun.5
Otak mengontrol fungsi tubuh kita, bagaimana kita berpikir, melihat, berbicara,
dan bergerak. Sinyal-sinyal ke dan dari otak yang ditransmisikan melalui medulla spinalis
ke seluruh tubuh. Sisi kanan otak mengendalikan sisi kiri tubuh, dan sisi kiri otak
mengendalikan sisi kanan tubuh.6  
Suplai darah ke otak berasal dari arteri karotis (dikenal sebagai sirkulasi anterior)
dan arteri vertebralis yang berasal dari medulla spinalis (disebut sebagai sirkulasi
posterior). Ketika area otak kehilangan atau terhentinya suplai darah dan bagian tubuh
yang dikendalikan juga berhenti bekerja, hal inilah yang menjadi penyebab stroke atau
CVD (Cerebro Vascular Desease).6 Penyebab stroke didominasi oleh plak arteriosklerotik
yang terjadi pada satu atau lebih arteri yang memberi aliran darah berupa nutrisi dan
makanan ke otak. Plak biasanya mengaktifkan mekanisme pembekuan darah, dan
menghasilkan bekuan untuk membentuk dan menghambat arteri, dengan demikian
menyebabkan hilangnya fungsi otak secara akut pada area yang terlokalisasi.7
Ketika otak kehilangan suplai darah, otak akan mencoba memulihkan aliran
darah. Jika suplai darah dapat dipulihkan, maka fungsi dari sel-sel otak yang terkena
dapat berfungsi kembali. Hal inilah yang terjadi pada TIA (Transient Ischemic Attack)
atau serangan stroke sementara atau mini stoke.6 
Sekitar satu dari seratus orang dewasa mengalami paling sedikit 1 kali serangan
iskemik sesaat (TIA) seumur hidup mereka. Jika diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari
para pasien ini kemudian akan mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan

4
pertama, dan sekitar 1/3 akan terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama.
Risiko TIA untuk terkena stroke 35-60% dalam waktu lima tahun.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama                      : Tn. CBU
Umur                      : 59 Tahun
Jenis Kelamin         : Laki-laki
Agama                    : Islam
Suku                       : Jawa
Bangsa                    : Indonesia
Pendidikan              : SMP
Pekerjaan                : Pedagang
Alamat                    : jl. Kebon Mangga Kalideres Jakarta barat
Tanggal Periksa      : 27 Juli 2017
Status Menikah : Menikah

Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien pada tanggal 27 Juli 2017 pukul
08.50.
Keluhan Utama : lemah separuh badan sejak 1 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien laki-laki usia 59 tahun datang ke IGD RSUD Kalideres dengan keluhan lemah
separuh badan sejak 1 jam SMRS. Pasien tidak dapat mengangkat kaki sebelah kiri sejak 1
jam yang lalu, tangan sebelah kiri juga terasa lemas. Keluhan timbul tiba-tiba saat pasien
sedang beristirahat. Bicara tidak pelo. Pasien tidak mengeluh demam, nyeri kepala, maupun
mual muntah. Anak dari pasien mengatakan bahwa os pada saat dirumah sempat bicaranya
pelo, namun saat di rumah sakit bicara sudah lancar tidak pelo lagi. Os masih bisa BAK dan
BAB seperti biasa. Makan dan minum masih dapat seperti biasa.

6
Riwayat Penyakit Dahulu :
Keluhan seperti ini tidak pernah dirasakan sebelumnya. Tidak ada riwayat penyakit jantung,
hati, DM, dan asma.. Tidak ada riwayat pengobatan paru dengan OAT. Os memiliki riwayat
hipertensi selama tiga tahun namun tidak terkontrol. Riwayat alergi makanan maupun obat-
obatan sebelumnya juga tidak ada. Riwayat terjatuh tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Dikeluarga kandung tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Riwayat
penyakit jantung, hati, hipertensi, DM, dan asma disangkal. Riwayat alergi tidak ada di
keluarga.

Riwayat Kebiasaan :
Pasien tidak merokok maupun minum minuman beralkohol. Pasien biasa mengendarai motor
jika pergi dan pulang bekerja pada malam hari, memakai helm dan masker. Tempat tinggal
pasien di perkampungan yang padat penduduk, rumah memiliki ventilasi yang cukup baik.

PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda Vital : Tekanan darah : 170/90 mmHg
Nadi : 92/menit, irama teratur,isi cukup
Suhu : 36,8o C
Pernafasan : 24 x/menit, regular
Kepala : Normochepal, rambut tersebar merata, tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+
Telinga : Normotia +/+, nyeri tekan tragus dan anti tragus -/- , serumen -/-
Hidung : Deviasi septum -/-, sekret -/-, konka hiperemis -/-
Mulut : Bibir tidak kering, lidah tidak kotor, gigi karies (+)

7
Leher : Trakea terletak ditengah, KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid
tidak teraba membesar, JVP 5-2cm

Thoraks :
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V 2 jari medial linea midklavikula
sinistra
Perkusi : pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra, batas
kanan ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri ICS V 2 jari
medial linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pemeriksaan Paru
Inspeksi : pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar, tidak tampak buncit
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : deformitas (-), gibus (-)
Pemeriksaan Ekstremitas
Atas : akral hangat + / +, edema - / -
Bawah : akral hangat + / +, edema - / -

I. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS : E4V5M6 = 15
Rangsang Selaput Otak :
Kaku kuduk :-
Laseque :-
Kerniq :-
Brudzinsky I :-
Brudzinsky II :-/-

Nervus Kranialis
N. I (Olfaktorius)
Normosmia + / +
N. II (Optikus)
Acies visus : baik / baik
Visus campus : baik / baik
Lihat warna : baik / baik
Funduskopi : tidak dilakukan
N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducens)
Kedudukkan bola mata : ortoposisi + / +
Pergerakkan bola mata : baik ke segala arah
Nasal : +/+

8
Temporal : +/+
Nasal atas : +/+
Temporal atas : +/+
Nasal bawah : +/+
Temporal bawah : +/+
Exopthalmus :-/-
Nystagmus :-/-
Pupil
Bentuk : bulat, isokor, diameter 3mm/3mm
Reflek cahaya langsung : +/+
Reflek cahaya tidak langsung : +/+
Reflek akomodasi : +/+
Reflek konvergensi : +/+
N. V (Trigeminus)
Cabang Motorik
Gerakan rahang : baik / baik
Menggigit : baik / baik
Cabang sensorik
Ophtalmicus : baik / baik
Maksilaris : baik / baik
Mandibularis : baik / baik
Refleks
Kornea : +/+
Jaw reflex :-/-
N. VII (Fascialis)
Motorik
Sikap wajah : kesan mencong tidak ada
Angkat alis : baik/baik
Mengernyitkan dahi : baik/baik
Menutup mata : baik/baik
Menyeringai : mencong ke kiri
Plika nasolabialis : kanan lebih mendatar
Rasa kecap : baik/baik
Kesan : Parese N. VII dextra sentral
Sensorik
Pengecapan lidah 2/3 depan : baik
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular
Vertigo :-
Nistagmus : -/-
Koklearis : baik
N. IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
Motorik
Kedudukan uvula : di tengah
Kedudukan arcus faring : tidak ada deviasi
Menelan : tidak ada gangguan menelan
Sensorik : baik / baik
N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : baik / baik
Menoleh : baik / baik

9
N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah : baik
Menjulurkan lidah : mencong ke arah kanan
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Kesan : parese N. XII dextra sentral

Sistem Motorik
Trofi : eutrofi
Tonus : normotonus
Kekuatan otot :
Ekstremitas atas proksimal - distal : 5555/4444
Ekstremitas bawah proksimal - distal : 5555/4444
Gerakkan involunter :
Tremor :-/-
Chorea :-/-
Atetose :-/-
Miokloni :-/-
Tics :-/-

Sistem Sensorik
Propioseptif
Getar : tidak dilakukan
Sikap : baik / baik
Eksteroseptif
Nyeri : baik / baik
Suhu : baik / baik
Raba : baik / baik

Refleks Fisiologis
Kornea :+/+
Biceps : +/+
Triceps : +/+
Dinding perut : + / +
Patella : +/+
Achilles : +/+

Refleks Patologis
Hoffman Tromer :-/-
Babinsky :-/-
Chaddok :-/-
Gordon :-/-
Schaefer :-/-
Klonus patella :-/-
Klonus achilles :-/-

Fungsi Serebelar
Ataxia : kesan baik
Tes Romberg : kesan baik

10
Disdiadokokinesia : kesan baik
Jari-jari : kesan baik
Jari-hidung : kesan baik
Tumit-lutut : kesan baik
Rebound phenomenon : -/-
Hipotoni :-/-

Fungsi Luhur
Astereognosia :-
Apraxia :-
Afasia :-

Fungsi Otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi keringat : baik

Keadaan Psikis
Intelegensia : baik
Tanda regresi :-
Demensia :-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jenis pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai rujukan
27/07/2017 28/07/2017
Hemoglobin 14,0 - 13-17mg/dl
Eritrosit - - -
Leukosit 8,3 - 4-10,0ribu/mm3
Trombosit 344 - 150-450ribu/mm3
Hematocrit 43,0 - 36,1-49,4%

Kimia Klinik
GDS 148 - <200mg/dl
Ureum 26 - <43mg/dl
Creatinine 1,1 - 0,8-1,3mg/dl
Kolesterol total - 277 <200mg/dl
Asam urat - 5,3 3,5-7,2mg/dl

11
Resume
Pasien laki-laki usia 59 tahun datang ke IGD RSUD Kalideres dengan keluhan lemah
separuh badan sejak 1 jam SMRS. Pasien tidak dapat mengangkat kaki sebelah kiri sejak 1
jam yang lalu, tangan sebelah kiri juga terasa lemas. Keluhan timbul tiba-tiba saat pasien
sedang beristirahat. Bicara tidak pelo. Pasien tidak mengeluh demam, nyeri kepala, maupun
mual muntah. Anak dari pasien mengatakan bahwa os pada saat dirumah sempat bicaranya
pelo, namun saat di rumah sakit bicara sudah lancar tidak pelo lagi.
Os memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol selam 3 tahun. Dari hasil pemeriksaan
fisik didapatkan tanda vital TD 170/90mmHg (hipertensi grade II) dan hemiparesis sinistra
dari hasil pemeriksaan status neurologis nervus kranialis didapatkan hasil parese N. VII
dextra sentral dan parese N. XII dextra sentral. Kekuatan otot didapatkan hasil
5555/4444 untuk ekstremitas atas dan 5555/4444 untuk ekstremitas bawah. Dari hasil
pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan hasil kolesterol 277mg/dl
(hiperkolesterolemia).

Diagnosis
 Diagnosis klinis : hemiparesis sinistra, parese N VII dan N XII, hipertensi grade
II, hiperkolesterolemia
 Diagnosis etiologi : TIA
 Diagnosis topis : hemisfer dextra

Anjuran pemeriksaan penunjang

 CT- Scan kepala

Penatalaksanaan
 IVFD Asering 20tpm
 Inj. Citicolin 2x500mg iv
 Inj. Omeprazol 2x40mg iv
 Clopidogrel 1x75mg PO

12
 Aspilet 1x80mg PO
 Simvastatin 1x20mg PO
 Allupurinol 1x100mg PO
 Captopril 1x25mg
 Anjurkan pasien untuk banyak minum air mineral
 Fisioterapi untuk mengembalikan kekuatan otot

Prognosis
• Quo ad vitam : dubia ad bonam

• Quo ad fungsional : dubia ad bonam

• Quo ad sanationam : dubia ad malam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Transient Ischemic Attack


Didefinisikan sebagai disfungsi neurologis sementara yang secara umum
berlangsung selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus sereberal, medulla spinalis maupun
iskemi retinal; dan tidak berkaitan dengan adanya infark dari jaringan. 1
Patogenesis dari terjadinya TIA terjadi oleh karena berkurangnya aliran darah
serebral dibawah 20-30 ml 100 g/menit yang mengakibatkan timbulnya gejala
neurologis. Infark dapat terjadi sebagai akibat dari derajat penurunan aliran darah dan
durasi dari berkurangnya aliran darah serebral. Jika aliran darah dapat kembali kepada
area dari otak dengan durasi waktu yang cepat, maka gejala iskemi dapat kembali
menjadi normal.
Penyebab berkurangnya aliran darah serebral dapat diakibatkan oleh
berkurangnya aliran yang mengalir pada pembuluh darah atau karena adanya
hambatan pada pembuluh darah akibat adanya emboli.

Gambar 1. Patogenesis TIA

Gejala-gejala yang diakibatkan oleh TIA dapat diklasifikasikan berdasarkan


lokasi terjadinya. Jika TIA terjadi pada daerah anterior, maka akan timbul gejala

14
seperti hemiparesis, gangguan hemisensorik, disfasia, kebutaan monocular (amaurosis
fugax). Jika terjadi pada bagian posterior, maka akan menimbulkan gejala berupa
hilangnya kesadaran, gangguan motorik atau sensorik anggota gerak tubuh, kebutaan
binocular, vertigo, tinnitus, diplopia, ataupun disartria.6

Gambar 2. Gejala TIA berdasarkan sirkulasi yang terlibat

Presentasi dan lokalisasi dari TIA penting untuk diketahui. Penting untuk
membedakan apakah gejala yang dimiliki pasien terjadi karena gangguan dari
distribusi pembuluh darah karotis atau vertebrobasilar. 8

Tabel 1. Distribusi gejala stroke/TIA

2.2. Diagnosis and Initial Management of Transient Ischaemic Attack 9

2.2.1. Mengenali tanda dan gejala, dan mendiagnosa TIA secara cepat dan tepat
Pasien dengan disfungsi neurologis transien sering tidak menyadari pentingnya
gejala yang mereka alami dan menunda mencari pertolongan medis. Meskipun
demikian, sifat transien dari gejala TIA tidak mengurangi kepentingannya untuk
mendapat tatalaksana sesegera mungkin.

15
Pada pasien dengan gejala neurologis yang timbul mendadak maka dapat
digunakan alat bantu diagnosa yang sudah tervalidasi seperti Face Arm Speech Test
(FAST) untuk skrining diluar rumah sakit agar dapat mengetahui adanya stroke atau
TIA.

Tabel 2. Face Arm Speech Test

Pada pasien yang masuk ke UGD dengan suspek stroke atau TIA maka diagnosa
harus dapat ditegakkan secara cepat dengan menggunakan alat bantu berupa sistem
skoring yang sudah tervalidasi seperti Recognition of Stroke in the Emergency Room
(ROSIER).

16
Gambar 3. Recognition of Stroke in the Emergency Room

Algoritma Stroke Gajah mada score

17
Siriraj score
(2.5 x tingkat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x pusing) + (0.1 x tekanan darah
diastolik) - (3x atheroma markers) - 12.
Keterangan:
 Derajat kesadaran : Sadar penuh = 0, Somnolen = 1, Koma = 2
 Nyeri kepala : Tidak ada = 0, Ada = 1
 Vomitus : Tidak ada = 0, Ada = 1
 Ateroma : Tidak ada penyakit jantung, DM = 0, Ada = 1
 Dengan hasil sebagai berikut:
 SS > 1 =Stroke Hemoragik 
 -1 > SS > 1 = Perlu pemeriksaan penunjang (Ct- Scan)
 SS <-1 = Stroke Non Hemoragik 

2.2.2. Pemeriksaan dan tatalaksana awal TIA

18
TIA merupakan prediktor yang penting untuk mengetahui kemungkinan adanya
stroke. Semua pasien yang pernah atau diperkirakan memiliki riwayat TIA harus
diperiksa sesegera mungkin terhadap risiko terjadinya stroke. Hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan ABCD2 Scoring System.

Tabel 3. The ABCD2 Score

Skor ≥ 4 menandakan adanya risiko tinggi terjadinya stroke dalam waktu 7 hari
kedepan (4% risiko mengalami stroke dalam 7 hari), sementara skor ≤ 3 menandakan
risiko yang lebih rendah untuk terjadi stroke. Namun, perlu diperhatikan bahwa sistem
skoring seperti ABCD2 mengeksklusi beberapa populasi pasien yang mungkin
memiliki risiko tinggi seperti TIA berulang, atau sedang dalam terapi antikoagulan,
yang mungkin juga memerlukan tatalaksana yang segera.
Pasien dengan TIA crescendo (≥ 2 dalam 1 minggu) harus diberiksan tatalaksana
seperti memiliki risiko tinggi terkena stroke meskipun skor ≤ 3. Pasien dengan
riwayat TIA namun datang lebih dari 1 minggu setelah gejala hilang diberikan
tatalaksana seperti memiliki risiko yang rendah untuk terkena stroke.
Semua pasien dengan suspek TIA harus mendapatkan pengobatan berupa aspirin
300 mg/hari. Pasien harus mendapatkan assessment dari spesialis dan dimulai dalam
jangka waktu 24 jam pada pasien dengan risiko tinggi terkena stroke, untuk pasien
dengan risiko lebih rendah dapat dimulai sesegera mungkin, sebaiknya dalam jangka
waktu 1 minggu setelah timbul gejala.
Untuk tatalaksana akut pada pasien, maka dapat dilakukan langkah berikut:
 Pastikan tidak ada gejala neurologis residual (eksklusi stroke)

19
 Lakukan pemeriksaan gula darah, profil lipif, fungsi ginjal, dan trombosit.
Lakukan pemeriksaan EKG untuk eksklusi adanya fibrilasi atrium.
 Mulailah terapi aspirin (kecuali jika terdapat kontraindikasi)
 Pastikan apakah TIA yang dialami pasien memiliki risiko tinggi atau rendah
terhadap terjadinya stroke, hal ini pentin untuk menentukan apakah pasien
butuh pemeriksaan oleh spesialis dalam 24 jam pertama atau dapat dilakukan
dalam 1 minggu kedepan.
Setelah pasien dikonsultasikan kepada spesialis, maka akan dilakukan
pemeriksaan yang meliputi:
 Konfirmasi diagnosa
 Pemeriksaan faktor risiko, gaya hidup, dan pencegahan sekunder
 Tatalaksana farmakologis awal
 Tindakan pencitraan baik untuk otak maupun carotid, dan intervensi karotis
dalam 2 minggu.
2.2.3. Pemeriksaan radiologis pada pasien dengan TIA
Tidak semua pasien dengan TIA membutuhkan pemeriksaan radiologis terhadap
otak dengan segera, pasien membutuhkan assessment oleh spesialis sebelum
diputuskan untuk melakukan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis
direkomendasikan saat:
 Daerah vaskular yang terlibat tidak jelas (anterior atau posterior) dan pasien
dipertimbangkan untuk carotid endarterectomy
 Patologi penyebab gejala neurologis dari pasien tidak dapat dipastikan,
diagnosa banding dapat meliputi migraine, epilepsi ataupun tumor otak.
 Adanya perdarahan intraserebral perlu untuk dieksklusi, contohnya pada
pasien dengan terapi antikoagulan jangka panjang.
Pasien dengan suspek TIA harus diperiksa oleh spesialis sebelum dibuat
keputusan untuk melakukan pemeriksaan radiologis.
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang dianggap baik untuk pasien
dengan suspek TIA yang memerlukan pemeriksaan radiologis, dan harus dilakukan:
 Pada 24 jam setelah onset gejala, jika skor ABCD 2 ≥ 4 atau dengan TIA
crescendo
 Dalam 1 minggu setelah onset dari gejala, jika skor ABCD2 ≤ 3

20
Jika MRI dikontraindikasikan contohnya pada pasien dengan pacemaker,
aneurysm clips, ataupun katup jantung buatan, maka CT-Scan dapat digunakan.

2.3. Clinical Guidelines for Stroke and TIA Management: A Quick Guide for General
Practice 10

2.3.1. Pemeriksaan dan tatalaksana awal


Semua pasien dengan suspek TIA harus diperiksa secara lengkap, meliputi
riwayat penyakit secara lengkap, pemeriksaan fisik lengkap, prognosis. Dapat
dilakukan dengan menggunakan skor ABCD2 dan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis, dan EKG)
Jika pasien dianggap memiliki risiko tinggi (ABCD2 >3 dan/atau ditemukan
adanya fibrilasi atrial, gejala dari sirkulasi karotis ataupun TIA yang bersifat
crescendo) maka harus dilakukan pemeriksaan radiologis otak secara cepat, dalam
jangka waktu 24 jam. Pemeriksaan karotid juga harus dilakukan secara cepat jika
pasien memiliki gejala sirkulasi anterior yang merupakan kandidat untuk dilakukan
revaskularisasi carotid. Pada kondisi akses yang terbatas terhadap pemeriksaan ini,
maka harus dilakukan rujukan dalam jangka waktu 24 jam.
Pasien yang dianggap memiliki risiko rendah (skor ABCD 2 <4) tanpa fibrilasi
atrial, atau gangguan sirkulasi carotid yang datang lebih dari 1 minggu setalah gejala
terakhir harus melakukan pemeriksaan radiologis otak dan karotis secepat mungkin,
diusahakan dalam jangka waktu 48 jam.
Pemeriksaan penunjang berikut harus dilakukan pada pasien dengan suspek
TIA: pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, laju endap darah, fungsi ginjal, profil
lipid, kadar glukosa, dan EKG.
Pemeriksaan lanjut terhadap otak, jantung dan arteri karotis harus dilakukan
pada pasien yang pada pemeriksaan awal tidak dapat ditentukan adanya penyebab
iskemik, pada pasien dengan riwayat TIA >1 dan pada pasien yang mungkin
melakukan pembedahan karotis.

2.3.2. Pemeriksaan radiologis


Semua pasien dengan suspek stroke harus melakukan pemeriksaan CT atau MRI
secara segera dalam jangka wajtu 24 jam. Pasien yang merupakan kandidat dari terapi
trombolisis harus melakukan imaging otak secara segera.
21
Semua pasien dengan gejala dari gangguan karotis yang memungkinkan untuk
menjadi kandidat revaskularisasi karotis harus melakukan imaging karotis.
Pemeriksaan lebih lanjut terhadap jantung ataupun pencitraan daerah karotis
seharusnya dilakukan pada pasien yang pada pemeriksaan awal tidak diperkirakan
mengalami defisit neurologis akibat gangguan iskemik, pasien dengan riwayat TIA
berulang, dan pasien yang memungkinkan untuk dilakukan operasi karotid.

2.3.3. Investigasi
Pemeriksaan berikut harus dilakukan pada pasien dengan suspek stroke:
pemeriksaan darah lengkap, EKG, elektrolit, fungsi renal, pemeriksaan lipid, LED
dan/atau CRP dan kadar glukosa.
Pada pasien tertentu memungkinkan dilakukan pemeriksaan tambahan seperti
rontgen thorax, skrining vaskulitis, skrining protrombin. Pemeriksaan berikut harus
dilakukan sesegera mungkin sebagai prosedur kegawatdaruratan medis pada pasien
tertentu.
Pada terapi antitrombolitik, aspirin harus diberikan secara segera setelah onset
dari gejala, diusahakan dalam 48 jam pertama jika CT/MRI menunjukan tidak ada
perdarahan. Dosis awal berkisar 150-300 mg. Dosis kemudian dapat dikurang menjadi
100 mg/hari.

2.3.4. Pencegahan sekunder

a. Modifikasi pola hidup


Semua pasien dengan stroke harus diperiksa dan diberikan infromasi
mengenai faktor risiko yang dimiliki terhadap stroke dan juga harus diberikan
informasi mengenai strategi yang dapat dilakukan untuk memodifikasi faktor
risiko yang telah terdeteksi. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara, melakukan
terapi untuk menghentikan kebiasaan merokok pasien, memperbaiki pola makan
pasien dengan diet rendah lemak dan garam tetapi kaya akan buah-buahan dan
sayur-sayuran, meningkatkan aktivitas (olahraga) secara rutin, dan menghindari
konsumsi alkohol dalam jumlah besar (tidak lebih dari 2 gelas/ hari)

b. Ketaatan dalam mengkonsumsi obat

22
Pasien harus diberikan informasi yang cukup agar dapat mengkonsumsi
obat sesuai yang telah diresepkan secara teratur. Hal ini dapat dicapai dengan
berbagai cara, misalnya dengan menyarankan pasien untuk membuat pengingat
pribadi, atau diingatkan dengan bantuan anggota keluarga yang lain.

c. Penurunan tekanan darah


Semua pasien dengan stroke maupun TIA, normotensi ataupun hipertensi,
harus mendapatkan terapi untuk menurukan tekanan darah, kecuali ada
kontraindikasi adanya hipotensi simtomatik.
Terapi penurunan tekanan darah yang baru harus dimulai sebelum pasien
dipulangkan dari rumah sakit.

d. Terapi antiplatelet
Terapi antiplatelet jangka panjang harus diberikan kepada pasien dengan
stroke iskemik atau TIA yang tidak diberikan terapi antikoagulan.
Aspirin dosis rendah dan dipyridamole atau clopidogrel dapat diberikan
pada pasien dengan stroke iskemik atau TIA, dengan melihat faktor komorbid
dari pasien.
Aspirin sebagai terapi tunggal dapat digunakan, terutama pada pasien yang
tidak dapat mentolerir aspirin yang dikombinasikan dengan dipyridamole atau
clopidogrel.
Kombinasi aspirin dan clopidogrel tidak disarankan untuk pencegahan
sekunder penyakit serebrovaskular pada pasien yang tidak memiliki penyakit
jantung koroner atau pemasangangan stent coroner.

e. Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan sebagai pencegahan sekunder pada pasien dengan
stroke iskemik atau TIA dari penyebab arterial tidak dapat digunakan secara
rutin.
Terapi antikoagulan untuk pencegahan sekunder jangka panjang sebaiknya
digunakan pada pasien dengan stroke atau TIA dengan fibrilasi atrial atau stroke
kardioemboli.

23
Pada pasien stroke, keputusan untuk memulai terapi antikoagulan dapat
ditunda hingga 2 minggu, namun sebaiknya dilaksakan sebelum pasien
dipulangkan dari rumah sakit.
Pada pasien dengan TIA maka terapi antikoagulasi harus dimulai setelah CT
atau MRI mengekslusi adanya perdarahan intrakranial.
f. Penurunan kadar kolesterol
Terapi dengan golongan statin sebaiknya digunakan pada semua pasien
dengan stroke iskemik atau TIA, dan sebaiknya tidak digunakan secara rutin
pada stroke hemoragik.
g. Terapi bedah carotid
Pasien yang memenuhi kriteria untuk melaksanakan carotid endarterectomy
harus melakukan operasi secepat mungkin, idelanya dalam 2 minggu setelah
onset dari gejala.
h. Terapi diabetes
Pasien dengan penyakit penyerta diabetes sebaiknya diberikan tatalaksana
sesuai dengan guideline yang ada mengenai tatalaksana diabetes.
i. Hormone replacement therapy
HRT sebaiknya dihentikan setelah terjadinya stroke. Keputusan untuk
memulai kembali HRT pada pasien dengan riwayat stroke atau TIA sebaiknya
didiskusikan dengan pasien dan dapat diambil keputusan dengan menimbang
secara keseluruhan kebaikan dan keburukan dari terapi tersebut.
j. Kontrasepsi oral
Keputusan untuk melanjutkan kontrasepsi oral pada wanita usia subur
dengan riwayat stroke harus didiskusikan mengingat baik dan buruknya terapi,
dan sebaiknya disarankan untuk menggunakan kontrasepsi non-hormonal.

2.4. Diagnosis and Initial Management of Acute stroke and Transient Ischaemic Attack 11
2.4.1. Mengenali dan mendiagnosa secara cepat
Pada pasien dengan gejala akut gangguan neurologis, maka alat ukur seperti
FAST (Face Arm Speech Test) harus dilakukan diluar rumah sakit untuk skrinning
diagnosa stroke ataupun TIA)
Hipoglikemi harus segera dieksklusi sebagai penyebab dari gejala neurologis
yang timbul.

24
Pasien yang datang ke UGD degan suspek stroke atau TIA harus dapat
didiagnosa secara cepat menggunakan ROSIER (Recognition of Stroke in the
Emergency Room)
2.4.2. Pemeriksaan pasien suspek TIA dan identifikasi faktor risiko terhadap stroke
Pasien dengan suspek TIA (tidak ada gejala neurologis saat pemeriksaan dalam
jangka waktu 24 jam) harus segera diperiksa secara cepat akan risiko serangan stroke
lanjut dengan menggunakan sistem skoring ABCD2.
Pasien dengan risiko tinggi stroke (skor ABCD2 >4) harus mendapatkan terapi:
 Aspirin (300 mg/hari) yang dimulai sedini mungkin
 Pemeriksaan oleh spesialis dan investigasi gejala dalam 24 jam setelah onset
 Pencegahan sekunder harus diperkenalkan sedini mungkin, dengan mencari
faktor risiko
Pasien dengan TIA crescendo (2 atau lebih TIA dalam 1 minggu) harus
mendapatkan tatalaksana seperti pasien dengan risiko tinggi untuk terkena stroke,
meskipun pasien memiliki skor ABCD2 <3.
Pasien dengan suspek TIA dengan skor ABCD2 < 3 sebaiknya mendapatkan terapi:
 Aspirin (300 mg/ hari)
 Pemeriksaan oleh spesialis dan investigasi gejala secepatnya, dalam jangka
waktu 1 minggu
 Pencegahan sekunder seperti mencari dan mengatasi faktor risiko
Pasien dengan TIA namun tidak segera datang ke (> 1 minggu setelah gejala
hilang) harus diberikan tatalaksana seperti pasien memiliki risiko rendah terhadap
stroke.
2.4.3. Pencitraaan pada pasien dengan suspek TIA atau stroke tanpa kecacatan
Semua pasien dengan gejala stroke akut memerlukan pemeriksaan pencitraan
sedini mungkin terhadap otak, namun belum banyak penelitian yang
merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan ini pada pasien dengan gejala yang
telah sembuh pada saat pemeriksaan. Pada bagian ini akan dibahas rekomendasi
pasien suspek TIA mana saja yang memerlukan pemeriksaan pencitraan dan jenis
pencitraan apa yang terbaik.
Pasien suspek TIA yaitu mereka yang tanda dan gejalanya sudah hilang
sempurna dalam waktu 24 jam harus diperiksa oleh spesialis selambat-lambatnya 1
minggu setelah onset. Pasien dengan suspek TIA yang memiliki risiko tinggi untuk

25
terkena stroke (skor ABCD2 >4) atau dengan TIA crescendo dimana daerah vaskular
yang terlibat tidak dapat diketahui secara pasti harus melakukan pencitraan, dimana
pemeriksaan MRI lebih direkomendasikan.
Pasien dengan suspek TIA namun memiliki risiko terkena stroke yang relatif
rendah (skor ABCD2 <4) dimana daerah vaskular yang terlibat sulit ditentukan harus
melakukan pencitraan, dimana MRI lebih direkomendasikan.
Pasen dengan suspek TIA yang memerlukan pemeriksaan pencitraan dengan
segera, sebaiknya melakukan pemeriksaan pencitraan menggunakan diffusion-
weighted MRI atau jika terdapat kontraindikasi, dapat digunakan CT-Scan.
Pemeriksaan pencitraan otak sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada pasien
dengan stroke akut jika terdapat kondisi dibawah ini :
 Indikasi untuk terapi trombolisis atau antikoagulan
 Pasien sedang dalam terapi antikoagulan
 Diketahuinya ada kecenderungan terjadinya perdarahan
 Penurunan kesadaran (GCS <13)
 Gejala yang progresif atau fluktuatif yang sulit ditentukan penyebabnya
 Adanya papilledema, kaku kuduk, atau demam
 Adanya nyeri kepala berat pada saat onset dari gejala stroke

2.4.4. Terapi farmakologis


a. Terapi antitrombolitik dikombinasikan dengan alteplase
Trombolisis dengan alteplase. Alteplase direkomendasikan untuk tatalaksana
stroke iskemik akut saat digunakan oleh tenaga medis yang terlatih dan
berpengalaman pada tatalaksana stroke akut. Hanya boleh diberikan pada pusat
kesehatan dengan staff yang telah terlatih dan akses untuk imaging secara cepat.

b. Terapi aspirin dan antikoagulan


Semua pasien dengan stoke akut yang telah mendapat pemeriksaan radiologis,
dan dinyatakan tidak memiliki perdarahan intraserebral, sebaiknya mendapat terapi
berikut sedini mungkin, dalam 24 jam pertama setelah onset :
 Aspirin 300 mg per oral jika pasien tidak memiliki disfagia
 Aspirin 300 mg sup atau per NGT jika pasien disfagia

26
 Aspirin 300 mg harus diteruskan selama setidaknya 2 minggu setelah onset dari
gejala stroke, dan pada saat itu pemberian antirombolitik jangka panjang
sebaiknya dimulai. Pada pasien yang telah memenuhi indikasi untuk pulang
kurang dari 2 minggu dapat memulai terapi jangka panjang lebih dini dari 2
minggu.
Jika pasien memiliki riwayat dispepsia, maka obat golongan PPI harus
ditambahkan pada pemberian aspirin. Pasien dengan stroke iskemik akut yang alergi
terhadap aspirin harus diberikan antiplatelet alternatif lainnya. Terapi antikoagulan
sebaiknya tidak digunakan untuk tatalaksana rutin pada stroke akut.

c. Terapi statin
Pemberian statin tidak disarankan untuk diberikan secara dini, namun jika
pasien dengan stroke telah mendapatkan terapi statin secara rutin, maka terapi statin
sebaiknya tetap diteruskan.

2.4.5. Pemeliharaan dan perbaikan homeostasis


a. Pemberian oksigen
Pasien dengan stroke harus diberikan oksigen tambahan apabila saturasi oksigen
menurun hingga < 95%. Pemberian oksigen secara rutin tidak direkomendasikan
pada pasien dengan stroke akut yang tidak hipoksia.

b. Kontrol gula darah


Pasien dengan stroke akut harus diberikan tatalaksana untuk menjaga
konsentrasi gula darah antara 4 – 11 mmol/ liter. Pemberian insulin secara optimal
harus diberikan pada semua pasien dewasa dengan diabetes yang memiliki risiko
tinggi infark miokard atau stroke.

c. Pemantauan tekanan darah


Pemberian obat-obatan anti hipertensi hanya direkomendasikan apabila ada
salah satu dari kondisi hipertensi emergensi dibawah ini:
 Ensefalopati hipertensi
 Nefropati hipertensi
 Gagal jantung hipertensi

27
 Diseksi aorta
 Pre-eklamsia/eklamsia
 Perdarahan intraserebral dengan tekanan darah sistol > 200 mmHg
Penurunan darah hingga 185/110 mmHg atau kurang sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien yang menjadi kandidat untuk diberikan terapi
trombolisis.

2.4.6. Nutrisi dan hidrasi


a. Penilaian kemampuan menelan
Pada saat tiba di rumah sakit maka kemampuan menelan harus diperiksa
apakah dapat berfungsi dengan baik sebelum diberikan makanan, cairan maupun
obat-obatan per oral.
Jika ditemukan adanya masalah menelah, maka harus diperiksa oleh spesialis
dalam jangka waktu 24-72 jam.
Pasien dengan suspek aspirasi atau membutuhkan pemasangan NGT atau
modifikasi diet selama 3 hari harus diperiksa ulang dan dikonsultasikan mengenai
dietnya.
Pasien dengan stroke akut yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan
cairan secara oral harus dipasangkan NGT selambat-lambatnya setelah 24 jam.
b. Suplementasi nutrisi oral
Semua pasien yang diraway dirumah sakit harus di skrining untuk adanya
malnutrisi dan faktor risiko untuk malnutrisi, dimana skrining tersebut sebaiknya
diulang setiap minggu. Skrining yang dilakukan meliputi, BMI dan persentase dari
unintentional weight loss harus diperiksa, dan dapat menggunakan alat ukut The
Malnutrition Screening Tool (MUST). Saat skrining, harus diperhatikan adanya
disfagia, kondisi kesehatan rongga mulut, dan kemampuan pasien untuk makan
sendiri.
c. Mobilisasi dini dan posisi yang optimal untuk pasien stroke akut
Mobilisasi dini dianggap sebagai elemen yang penting dalam tatalaksana
stroke akut. Posisi duduk dapat membantu menjaga saturasi oksigen dan mengurangi
adanya risiko pneumonia hipostatik.

28
Pasien dengan stroke akut sebaiknya dimobilisasikan sedini mungkin setelah
kondisi klinis pasien memungkinkan, dan sebaiknya diposisikan dalam posisi duduk
sedini mungkin.
d. Menghindari risiko pneumonia aspirasi
Pnemumonia aspirasi ialah komplikasi dari stroke yang dikaitkan dengan
meningkatnya kematian dan prognosis yang buruk. Pada pasien dengan disfagia,
makanan dan cairan harus diberikan dalam bentuk yang dapat ditelan tanpa
menimbulkan aspirasi.

2.5. Perbandingan Guideline


2.5.1. Pemeriksaan dan tatalaksana awal
Pada guideline pertama dan ketiga dicantumkan bagaimana cara mendeteksi
adanya pasien dengan suspek stroke atau TIA, namun pada guideline kedua tidak
dicantumkan.
Pada guideline pertama dan ketiga, diberikan petunjuk bagaimana untuk
melakukan skrining secara cepat akan kemungkinan adanya stroke atau TIA yaitu
dengan menggunakan Face Arm Speech Test (FAST).
Pertanyaan dalam FAST cukup sederhana, sehingga memungkinkan untuk
dilakukan diluar rumah sakit, dan bahkan dapat disosialikan kepada orang awam.
Pertanyaan yang terdapat dalam FAST meliputi,
 Apakah orang tersebut dapat tersenyum, apakah terlihat mulut atau mata
yang tampak seperti terjatuh?
 Apakah orang tersebut dapat mengangkat kedua tangannya?
 Apakah orang tersebut dapat berbicara dengan jelas dan mengerti apa yang
diucapkan orang lain?
Pada guideline pertama dan ketiga juga dijelaskan untuk menggunakan
Recognition of Stroke in the Emergency Room (ROSIER) ketika pasien yang
dicurigai terkena stroke atau TIA tiba di rumah sakit.
Dalam kuesioner tersebut berisi tanggal pemeriksaan, tanggal dari onset gejala.
Kemudian berisi juga skor GCS dari pasien, tekanan darah, dan kadar gula darah
sewaktu. Dilanjutkan dengan pertanyaan seperti apakah terdapat kehilangan
kesdaran? Apakah terdapat kejang?

29
Setelah itu dilanjukan dengan memeriksa adanya onset akut dari gejala
neurologis seperti:
 Kelemahan wajah sesisi
 Kelemahan tangan sesisi
 Kelemahan tungkai sesisi
 Gangguan berbicara
 Gangguan lapangan pandang
Setiap pertanyaan memiliki skor dan total skor dapat bervariasi mulai dari -2
hingga +5, pasien dianggap tidak memiliki stroke jika skor < 0.
Setelah dapat dipastikan adanya diagnosa TIA maka perlu dinilai faktor risiko
stroke yang mungkin dimiliki oleh pasien. Ketiga guideline tersebut
merekomendasikan penggunaan skor ABCD2 untuk memeriksa kemungkinan pasien
mengalami stroke.
Pemeriksaan dengan menggunakan skor ABCD2 dikalkulasikan berdasarkan:
 Age (Usia) : >60 tahun = 1 poin
 Blood pressure at presentation (>140/90 mmHg = 1 poin)
 Clinical features : Kelemahan sesisi = 2 poin, Gangguan bicara tanpa
kelemahan = 1 poin
 Duration of symptoms : >60 menit = 2 poin, 10-59 menit= 1 poin
 Diabetes = 1 poin
Interpretasi dari skor pada ketiga guideline didapatkan sama yaitu, skor > 4
diartikan bahwa pasien memiliki risiko tinggi untuk stroke, dan skor <4 diartikan
sebagai pasien dengan risiko stroke rendah.

2.5.2. Indikasi pemeriksaan radiologis


Guideline 1 menyatakan bahwa tidak semua pasien dengan TIA memerlukan
pemeriksaan radiologis secara segera, dan hanya direkomendasikan untuk dilakukan
secepatnya pada kondisi tertentu, seperti adanya ketidakjelasan dari daerah yang
terlibat (sirkulasi anterior atau posterior) berdasarkan gejala klinis, atau pada pasien
yang dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan carotid endarterectomy.
Pemeriksaan juga direkomendasikan jika penyebab gejala neurologis pada
pasien tidak dapat dipastikan, dengan diagnosa banding meliputi migrain, epilepsi,
atau tumor otak. Pencitraan direkomendasikan jika ingin mengeksklusi perdarahan

30
intraserebral sebagai penyebab dari gejala neurologis yang ada. Pasien dengan suspek
TIA harus diperiksa oleh spesialis sebelum dibuat keputusan untuk melakukan
pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih direkomendasikan dan dianggap
sebagai yang terbaik untuk pemeriksaan pada pasien suspek TIA dan harus dilakukan
selambat-lambatnya 24 jam setelah onset gejala, jika skor ABCD 2 ≥ 4 atau dengan
TIA crescendo, dan selambat-lambatnya dalam 1 minggu setelah onset dari gejala, jika
skor ABCD2 ≤ 3
Guideline 2 menyatakan bahwa semua pasien dengan suspek stroke harus
melakukan pemeriksaan CT atau MRI secara segera dalam jangka waktu 24 jam.
Namun tidak terdapat pernyataan mengenai pemeriksaan pencitraan pada pasien
dengan suspek TIA.
Sementara itu, pasien yang merupakan kandidat dari terapi trombolisis harus
melakukan imaging otak secara segera dan sesuai dengan guideline pertama,
dinyatakan juga bahwa semua pasien dengan gejala dari gangguan karotis yang
memungkinkan untuk menjadi kandidat revaskularisasi karotis harus melakukan
imaging karotis.
Berdasarkan guideline 3, dikatakan bahwa pasien dengan TIA yang perlu
melakukan pemeriksaan pencitraan terhadap otak adalah pasien dengan suspek TIA
yang memiliki risiko tinggi untuk terkena stroke (skor ABCD 2 >4) atau dengan TIA
crescendo ataupu TIA dengan risiko stroke rendah (skor ABCD2 <4) dimana daerah
vaskular yang terlibat tidak dapat dipastikan secara klinis.
Pada kondisi ini, pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih
direkomendasikan, namun dapat juga menggunakan pemeriksaan CT-Scan. Pada
pasien dengan kondisi-kondisi diatas, pencitraan dapat dilakukan hingga maksimal 7
hari setelah onset.

2.5.3. Terapi farmakologis


Berdasarkan ketiga guideline, maka terapi awal untuk pasien dengan TIA adalah
aspirin 300 mg yang dimulai sedini mungkin. Pada guideline 2 dinyatakan dosis dapat
berkisar 150-300 mg untuk awalnya, dan dapat dikurangi menjadi 100 mg/hari.
Guideline 1 dan 3 didapatkan petunjuk lebih spesifik mengenai tatalaksana
awal, dimana tatalaksana yang diberiksan dibedakan berdasarkan skor ABCD 2 dari
pasien.
31
Pasien dengan skor ABCD2 > 4 dan TIA crescendo sebaiknya mendapatkan
terapi berupa aspirin 300 mg yang dimulai sedini mungkin dan harus dilakukan
pemeriksaan dan investigasi oleh spesialis dalam 24 jam dari onset gejala, serta
lakukan pencegahan sekunder setelah diagnosa dapat ditegakkan, dan segera lakukan
pemeriksaan faktor risiko pada pasien.
Sementara itu untuk pasien dengan skor ABCD 2 <3 atau yang datang setelah 1
minggu dari onset gejala, dengan gejala yang telah hilang, dapat memulai terapi
aspirin 300mg/hari, namun pemeriksaan lainnya dapat dilakukan hingga selambat-
lambatnya dalam 7 hari.

Guideline 2 selain memaparkan mengenai terapi awal, memaparkan juga untuk


terapi lanjutan yang dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi risiko terjadinya
stroke, meliputi:
a. Penurunan tekanan darah yang harus diberikan pada pasien baik normotensi
atau hipertensi, dan harus sudah dimulai sebelum pasien dipulangkan dari
rumah sakit
b. Terapi antiplatelet
Terapi harus diberikan untuk jangka panjang bagi pasien TIA yang tidak
menerima terapi antikoagulan. Dapat digunakan aspirin saja, atau aspirin
dikombinasikan dengan dipyridamole atau clopidogrel.
c. Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan untuk pencegahan sekunder jangka panjang sebaiknya
digunakan pada pasien dengan stroke atau TIA dengan fibrilasi atrial atau
stroke kardioemboli. Pada pasien dengan TIA maka terapi antikoagulan harus
dimulai setelah CT atau MRI mengekslusi adanya perdarahan intrakranial.
d. Penurunan kadar kolesterol
Terapi dengan golongan statin sebaiknya digunakan pada semua pasien dengan
stroke iskemik atau TIA, dan sebaiknya tidak digunakan secara rutin pada
stroke hemoragik.
e. Terapi bedah carotid
Pasien yang memenuhi kriteria untuk melaksanakan carotid endarterectomy
harus melakukan operasi secepat mungkin, idelanya dalam 2 minggu setelah
onset dari gejala.
f. Terapi diabetes
32
Pasien dengan penyakit penyerta diabetes sebaiknya diberikan tatalaksana
sesuai dengan guideline yang ada mengenai tatalaksana diabetes.

g. Hormone replacement therapy


HRT sebaiknya dihentikan setelah terjadinya stroke. Keputusan untuk memulai
kembali HRT pada pasien dengan riwayat stroke atau TIA sebaiknya
didiskusikan dengan pasien dan dapat diambil keputusan dengan menimbang
secara keseluruhan kebaikan dan keburukan dari terapi tersebut.
h. Kontrasepsi oral
Keputusan untuk melanjutkan kontrasepsi oral pada wanita usia subur dengan
riwayat stroke harus didiskusikan mengingat baik dan buruknya terapi, dan
sebaiknya disarankan untuk menggunakan kontrasepsi non-hormonal.

33
Skema Tatalaksana

BAB III
KESIMPULAN

34
TIA merupakan disfungsi neurologis sementara yang secara umum berlangsung
selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus serebelar, medulla spinalis, maupun iskemi retinal, dan
tidak berkaitan dengan adanya infark dari jaringan.
TIA dapat terjadi oleh karena berkurangnya aliran darah serebral dibawah 20-30
ml/100g/menit, yang diakibatkan oleh adanya penurunan aliran darah serebral yang kemudian
kembali sebelum ada infark dari jaringan, maupun adanya emboli.
Meskipun TIA memiliki gejala yang bersifat transien, dan tidak menimbulkan defisit
neurologis yang menetap, pasien dengan TIA tetap penting untuk mendapatkan tatalaksana
sesegera mungkin, oleh karena terdapat faktor risiko untuk terjadinya stroke.
Berdasarkan guideline yang telah dibahas, maka dapat disimpulkan bahwa tahap
pertama untuk mengenali dan mendiagnosa TIA dapat dilakukan dengan skrining diluar
rumah sakit dengan menggunakan metode Face Arm Speech Test (FAST), kemudian pada
UGD dapat digunakan sistem skoring Recognition of Stroke in the Emergency Room
(ROSIER).
Setelah didapatkan diagnosa maka pasien sebaiknya menerima terapi aspirin sedini
mungkin, diikuti dengan pemeriksaan terhadap faktor risiko yang dimiliki pasien dengan
menggunakan sistem skoring ABCD2. Setelah mendapat skor, tentukan apakah pasien
memiliki skor yang tinggi atau rendah, segera konsultasikan kepada spesialis dan lakukan
pencitraan terhadap otak maupun daerah carotid dalam 24 jam pertama jika pasien memiliki
skor >4.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien meliputi pemeriksaan darah
lengkap, kadar glukosa, profil lipid, fungsi ginjal, EKG, CT-Scan/MRI sesuai indikasi.
Setelah diagnosa TIA dapat ditegakkan dan faktor risiko untuk pasien telah diketahui, maka
pasien diberikan tatalaksana pencegahan sekunder untuk terjadinya stroke.

BAB IV
ANALISIS KASUS

35
Berdasarkan data-data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan pasien menderita TIA
A. ANAMNESIS
Dari anamnesis data yang menunjang adalah defisit neurologis berupa
hemiparesis sisnistra, tidak ada penurunan kesadaran, mual maupun muntah.
Dari anamnesis juga ditemukan faktor resiko stroke seperti gender (laki-laki)
dan hipertensi yang tidak terkontrol.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang menunjang ke arah diagnosis kerja adalah bukti
hipertensi pada pemeriksaan tanda vital. Hipertensi merupakan salah satu faktor
resiko penyebab tersering serangan stroke. Namun demikian tidak menutup
kemungkinan stroke yang menyerang pasien merupakan stroke non-hemoragik,
dikarenakan tekanan darah yang begitu tinggi 170-90mmHg dapat menyebabkan
pecahnya pembuluh darah cerebri.
Pemeriksaan rangsang meningeal dan kaku kuduk yang negatif dapat
membantu menyingkirkan kemungkinan ICH terutama bila ICH sampai mengisi
ventrikel. Dari pemeriksaan nervus kranialis didapatkan parese N. VII dextra sentral
dan parese N. XII dextra sentral. Kekuatan otot didapatkan hasil 5555/4444 untuk
ekstremitas atas dan 5555/4444 untuk ekstremitas bawah (kesan hemiparesis sinistra)
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelum dilakukannya CT-scan
dapat dilakukan penegakkan diagnosis berdasarkan sistem skoring:
 Gadjah Mada skor
Penurunan kesadaran (-) + sakit kepala (-) + refleks babinski (-) 
stroke non- hemoragik
 Siriraj skor

Skor Stroke Siriraj


Rumus :
(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x nyeri kepala) + (2 x muntah) + (0,1 x
tekanan diastolik) – (3 x penanda ateroma) – 12
Keterangan :
Derajat 0 = kompos mentis; 1 = somnolen;
kesadaran 2 = sopor/koma

Muntah 0 = tidak ada; 1 = ada


Nyeri kepala 0 = tidak ada; 1 = ada

36
Ateroma 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih (diabetes;
angina; penyakit pembuluh darah)
Hasil :
Skor > 1 Perdarahan supratentorial
Skor < 1 Infark serebri
Skor pasien:
(2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0,1 x 90) - (3 x 0) – 12 = -11,1
 infark cerebri ( stroke non-hemoragik)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan hasil kolesterol
277mg/dl (hiperkolesterolemia). Hal ini dapat menjadi salah satu faktor risiko pada pasien
untuk mendukung kearah stroke.

Penatalaksanaan pada pasien stroke iskemik yang pertama adalah oksigen untuk
mencegah terjadinya hipoksia otak. Pemberian kombinasi Aspilet dan Clopidogrel ditujukan
untuk melisiskan trombus maupun emboli yang menyumbat pembuluh darah. Citicholin
memiliki sifat neuroprotektif dan neurorestoratif pada sel saraf yang mengalami iskemi.
Pemberian Citicholin diharapkan mencegah kerusakan sel saraf lebih lanjut sekaligus
mengembalikan fungsi sel saraf yang mengalami iskemik.. Pemberian Omeprazole sebagai
PPI bertujuan untuk mencegah terjadinya stress ulcer.
Dari hasil follow didapatkan perbaikan berangsur-angsur. Tekanan darah yang masih
sangat tinggi perlu diperhatikan dan dikontrol untuk mencegah terjadinya stroke berulang.
Fisioterapi perlu dilakukan pada pasien agar fungsi motorik yang terganggu dapat
dikembalikan mendekati normal sehingga pasien dapat kembali menjalani aktivitas sehari-
harinya mengingat pasien masih dalam usia produktif.
Prognosis ad vitam pada kasus ini ad bonam, hal ini dipengaruhi oleh keadaan pasien
pada saat datang yang masih dalam keadaan umum yang baik. Untuk prognosis ad
fungsionam dubia ad bonam dikarenakan sangat tergantung dari ketelatenan pasien dalam
menjalani fisioterapi. Kecenderungan bonam dipengaruhi oleh luas lesi yang tidak terlalu
besar sehingga pengembalian fungsi diharapkan dapat kembali mendekati semula. Prognosis
sanationam dubia ad malam dikarenakan adanya faktor resiko hipertensi yang butuh
kesadaran dan perhatian dari pasien untuk mengontrolnya.

BAB V
KESIMPULAN

37
Transient Ischemic Attack adalah gangguan fungsi otak yang merupakan akibat dari
berkurangnya aliran darah otak untuk sementara waktu (kurang dari 24 jam). Resiko TIA
meningkat pada: Hipertensi, hiperkolesterol, aterosklerosis, penyakit jantung (kelainan katup
atau irama jantung), diabetes, merokok, riwayat stroke dan usia (pria >45 tahun dan
perempuan >55 tahun). Gejala pada TIA yaitu hemihipestesia, hemiparese, hilangnya
sebagian penglihatan atau pendengaran, diplopia dan sakit kepala. Diagnosis ditegakkan
melalui anamnesis yang lengkap, skening ultrasonik dan teknik Doppler, angiografi serebral
dan pemeriksaan darah lengkap. Penatalaksanaan TIA obat-obatan seperti aspirin, bisulfate
clopidogrel atau aspirin dipyridamole ER untuk mengurangi kecenderungan pembentukan
bekuan darah, yang merupakan penyebab utama dari stroke dan pembedahan endarterektomi
jika tidak dapat diatasi dengan obat-obatan. Adapun pencegahan untuk TIA dengan
mengurangi faktor resiko, modifikasi gaya hidup sehat dan mengikuti serta berperan aktif
dalam sosialisasi TIA. TIA dapat menyebabkan stroke jika pengobatan dan pencegahan tidak
adekuat.

DAFTAR PUSTAKA
38
1. Albers GW, Caplan LR, Easton JD, Fayad PB, Mohr JP, Saver JL, et al. Transient
ishemic attack : proposal for a new definition. N Engl J Med 2002; 347(21): 1713-6.
2. Kleindorfer D, Panagos P, Pancioli A, et al. Incidence and short-term prognosis of
transien ischemic attack in a population-based study. Stroke 2005; 36(4): 720-3.
3. Johston SC, Fayad PB, Gorelick PB, Hanley DF, Shwayder P, VanHusen D, et al.
Prevalence and knowledge of transient ischemic attack among US adults. Neurology
2003; 60(9): 1429-34.
4. Edlow JA, Kim S, Pelletrier AJ, Camargo CA. National study on emergency
department visits for transient ischemic attack, 1992-2001. Acad Emerg Med 2006;
13(6): 666-72.
5. Truelsen T, Begg S, Mathers C. World Heath Organization. The global burden of
cerebrovascular disease. Global Burden of Disease 2000.
6. Lindsay K, Bone I, Fuller G. Neurology and Neurosurgery Illustrated.3 rd ed.
Philadelphia: Chucrchill Livingstone; 2007: p.242
7. Johnston SC. Transient ischemic attack: an update. Stroke 2007; 17(2).
8. Weiner WJ, Goetz CG, Shin RK. Neurology for the non-neurologist. 6 th ed.
Philadelphia: Lippincott; 2010: p.113.
9. PJ Tyrell. Diagnosis and initial management of transient ischemic attack: concise
guidance to good practice series. Royal College of Physicians 2010.
10. Walker R, Hill M, Harley J. Diagnosis and initial management of acute stroke and
transient ischemic attack. National Institute for Health and Clinical Excellence 2008.
11. Clinical Guideline for Stroke and TIA Management: a quick guide for general
practice. Stroke Foundation 2010.

39

Anda mungkin juga menyukai