HIPERTENSI EMERGENSI
DIPRESENTASIKAN OLEH :
PEMBIMBING :
RSUD ARJAWINANGUN
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya
dan karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun tugas
kasus yang berjudul “Hipertensi Emergensi”. Penyusunan tugas ini masih jauh dari
sempurna baik isi maupun penyajiaannya sehingga diharapkan saran dan kritik yang
membangun agar di kesempatan yang akan datang penulis dapat membuat karya tulis yang
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Hami Zulkifli
Abbas, Sp.PD, MH.Kes, FINASIM; Dr. Sibli Sp.PD dan Dr. Sunhadi, MM SDM serta
berbagai pihak Rumah Sakit Arjawinangun yang telah membantu menyelesaikan tugas presus
ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...3
Identitas Pasien………………………………………………………………………4
2
Anamnesis……………………………………………………………………………4
Pemeriksaan Fisik……………………………………………………………………6
Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………………......12
Resume………………………………………………………………………………13
Tinjauan Pustaka…………………………………………………………………….19
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..32
KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 65 tahun
Alamat : Grogol
3
Agama : Islam
Keluhan Utama :
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan nyeri kepala yang memberat
sejak 1 hari SMRS, nyeri kepala dirasakan berdenyut. Pasien mengeluhkan nyeri kepala
sudah dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Pasien tidak merasakan nyeri kepala berputar, dan
merasakan pandangannya terasa gelap apabila nyeri kepala, pasien merasa lemas pada tangan
dan kaki kiri, mual, tanpa disertai dengan muntah, dan tanpa penurunan kesadaran.
Pasien merasakan leher terasa tegang seperti tertarik sejak 3 hari SMRS. Selain itu pasien
juga mengalami sesak nafas. Sesak nafas tidak disertai bunyi mengi dan tidak dipengaruhi
oleh udara dingin, asap, debu ataupun makanan tertentu. Sesak juga tidak dipengaruhi oleh
aktivitas. Pasien juga merasakan dadanya berdebar-debar. Keluhan disertai dengan rasa mual
namun tidak muntah. Rasa mual membuat nafsu makan pasien menjadi menurun.
Pada 1 minggu SMRS, pasien mengeluhkan kencing yang berkurang, menjadi sedikit
namun tidak anyang-anyangan. Kencing berwarna kuning tanpa disertai darah. Buang air
besar lancar tanpa keluhan. Tidak terdapat adanya gangguan kelemahan otot pada pasien.
4
Riwayat adanya darah tinggi diakui pasien sejak 2 tahun yang lalu. Pasien mengaku
hanya berobat ke dokter sebanyak 3 kali, pasien berobat apabila timbul keluhan namun tidak
rutin kontrol, pasien tidak ingat nama obat dan jumlah obat yang diminum.
Pasien mengaku mempunyai riwayat darah tinggi sejak 2 tahun yang lalu dan tidak
Pasien mengaku tidak mengkonsumsi obat obatan dalam jangka waktu lama dan dekat
Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti pasien.
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit jantung, gula, ginjal dan
asma.
- Kesadaran: composmentis
- Nadi : 110x/menit
- Suhu : 36,5 C
5
- BB : 40 kg
- TB : 150 cm
- IMT : 17,78
- BB ideal : 45 – 50 kg
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebral -/-, pupil
Leher
Trakea berada di tengah, tidak deviasi dan intak, Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
Thoraks
Inspeksi : Bentuk dada kanan kiri simetris, pergerakan nafas kanan sama
Perkusi : redup pada kedua lapangan paru bagian basal, dimulai dari ruang ics
IV
Abdomen
Perkusi : Suara timpani pada lapang abdomen, shifting dullness (-), undulasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), tidak ada pembesaran hepar, tidak ada
Genitalia
Tidak dinilai
Ekstremitas
Akral hangat, CRT<2”, arteri perifer teraba normal, edema ekstermitas -/-,
IV. Resume :
Pasien datang dengan keluhan cephalgia. Keluhan disertai dengan adanya kaku pada
leher, dispnea, dada berdebar debar, nausea dan nafsu makan menurun. Pasien mengeluh
7
oliguri dan berwana kuning. Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu
namun tidak rutin kontrol. Pasien merasa bicara pelo dan terdapat lateralisasi Nervus Fasialis.
V. Daftar Masalah
Hipertensi Emergensi
SNH
VI. Pengkajian
1. Hipertensi Emergensi
Atas dasar : Didapatkan krisis hipertensi yang di golongkan pada hipertensi
emergensi, karena didapatkan peningkatan tekanan darah dan kerusakan
organ. Kerusakan organ berupa infrak otak aterotrombitik dengan hipertensi
berat.
Assesment :
Berdasarkan krisis hipertensi digolongkan pada hipertensi emergensi.
Planing
Fotorontgen Thorak
ECHO
Elektrolit
Treatment
Non farmakologis
o Di rawat di ICU
o Istirahat baring
o Tujuan pengobatan hipertensi emergensi adalah menurunkan
tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan
dengan keadaan klinis penderita
8
Farmakologis
o Infus RL 20 tpm
o Nicardipine 0,5 – 6 mcg / kgBB / menit (syringe pump/drip infus)
(menurut CHEST 2007)
o Ranitidin 2 x 25 mg/ml iv
o Menurunkan MAP tidak lebih dari 25% dalam beberapa menit
sampai 2 jam, setelah tidak ada tanda hipoferfusi organ
penurunan dapat di lanjutkan hingga 12-16 jam sampai
mendekati normal
2. Stroke Non Hemoragik
Atas dasar : berdasarkan perhitungan siriraj stroke score di dapatkan hasil -1,
diagnosis berdasarkan skore siriraj Stroke Non Haemoragik. Tidak adanya
penurunan kesadaran, tidak ada muntah, adanya nyeri kepala, tekanan
diastolik 110 mmhg, tidak adanya atheroma marker menjadi perhitungan dari
diagnosis Stroke Non Hemoragik.
Assesment : berdasarkan perhitungan siriraj skor didapatkan diagnosis Stroke
Non Hemoragik
Planing
o CT Scan kepala
Treatment
o Non farmakologis
Istirahat baring
diet rendah garam 1 gr
o Farmakologis
Infus RL 20 tpm
Citicolin 1 x 500 mg
Aspilet 1 x 250 mg
VII. Diagnosa
Hipertensi Emergensi
VIII. Prognosis :
9
Quo ad vitam : Dubia
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia
10
TINJAUAN PUSTAKA
11
B. KRITERIA KRISIS HIPERTENSI
Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat ) 3
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
Pendarahan intracranial, trombotik atau pendarahan subarakhnoid.
Hipertensi ensefalopati.
Aorta diseksi akut.
Oedema paru akut.
Eklampsi.
Feokhromositoma.
Funduskopi KW III atau IV.
Insufisiensi ginjal akut.
Infark miokard akut, angina unstable.
Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
- Cedera kepala.
- Luka bakar.
- Interaksi obat.
II. EPIDEMIOLOGI
Secara statistik, bila seluruh populasi hipertensi (HT) dihitung, terdapat sekitar 70%
pasien yang menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT
ini dapat timbul krisis hipertensi yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan
12
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis
HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 – 7% dari
populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama
2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena
kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta
penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian
ini. 1,2,3
III. PATOFISIOLOGI
Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau kontriksi dalam
merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk mempertahankan aliran (mekanisme
autoregulasi) yang tetap terhadap vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi.
Pada krisis hipertensi terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds
(terutama jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi. Akibat perubahan
ini akan terjad efek local dengan berpengaruhnya prostaglandin, radikal bebas dan lain-lain
yang mengakibatkan nekrosis fibrinoid arteriol, disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi
miointimal, dan efek siskemik akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin,
vesopresin, antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target. Jantung,
SSP, ginjal dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang dapat melindungi organ
tersebut dari iskemia yang akut, bila tekanan darah mendadak turun atau naik. Misalkan
individu normotensi, mempunyai autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada
tekanan arteri rata-rata.
Pada individu hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan arteri
rata-rata (110-180mmHg).Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi pada tekanan darah yang
mendadak naik (krisis hipertensi), akibatnya pada SSP akan terjadi endema dan ensefalopati,
demikian juga halnya dengan jantung, ginjal dan mata.3
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
13
yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa
suatu krisis hipertensi.
IV.1. Anamnesa
Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri
dada ).
d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan
14
terlaksana ).
2. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang
pertama) :
V. DIFERENSIAL DIAGNOSIS 3
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti :
- Hipertensi berat
Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis hipertensi sebaiknya
dirawat di ruang perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi:
15
rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi
ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan infark
cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih
lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 –
180/100 mmHg.
2. Pengobatan target organ
Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi
target organ, pada umumnya masih diperlukan pengobatan dan pengelolaan
khusus untuk mengatasi kelainan target organ yang terganggu. Misalnya pada
krisis hipertensi dengan gagal jantung kiri akut diperlukan pengelolaan khusus
termasuk pemberian diuretic, pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan
afterload. Pada krisis hipertensi yang disertai gagal ginjal akut, diperlukan
pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang kadang-kadang memerlukan
hemodialisis.
3. Pengelolaan khusus
Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan khusus, terutama
yang berhubungan dengan etiloginya, misalnya eklampsia gravidarum.
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan.
Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila
ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume
intravaskuler.
Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik.
16
- Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang
dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam
pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm
). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
- TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
17
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 – 1 jam,
IV :10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam.
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.
Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.
menit.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi,
mulut kering.
Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v.
Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll.
18
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10
jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering
dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis.
sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten,
Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100
cc dekstrose dengan titrasi dosis.
Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada parotis.
Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang
cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara
perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila terjadi
penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.
19
Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang
sebaiknya dihindari adalah sbb :
1. Hipertensi encephalopati:
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
2. Cerebral infark :
Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol,
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.
3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid :
Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loop
diuretuk.
Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Oedem paru akut :
Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol.
6. Aorta disseksi :
Anjuran : Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist,
labetalol.
7. Eklampsi :
Anjuran : Hydralazine, Diazoxide, labetalol, Ca antagonist, sodium nitroprusside.
Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8. Renal insufisiensi akut :
Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. KW III-IV :
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist.
Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
10. Mikroaangiopati hemolitik anemia :
20
Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
Hindarkan : B-antagonist.
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena
pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring
ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan
secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan
tampaknya memberikan harapan yang baik.
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat
oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan
captoprial pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah
menit ke 20. Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam menurunkan
TD.
Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada
pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-
tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD diastolik
<10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila TD diastolik mencapai <120mmHg
atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran
yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60
menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau
MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ
sasaran.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali
dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan.
21
Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini
dan hasilnya cukup memuaskan.
Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit). Buccal (onset 5 –10
menit), oral (onset 15-20 menit), duration 5 – 15 menit secara sublingual/ buccal).
Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action 8-12 jam.
Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg.
nd rd
Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2 degree atau 3 degree, heart
block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal
arteri sinosis.
Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu.
Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala.
Dikenal adanya “first dose” efek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi
akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.
22
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive
terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit
cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion
maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi
paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila TD penderita yang obati tidak berkurang maka
sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit.
VII. PROGNOSIS3
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah
20% dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%),
cerebro vascular accident (20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak
Miokard (1%), diseksi aorta (1%).
Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan penanggulangan
penderita gagal ginjal dengan analisis dan transplantasi ginjal.
23
DAFTAR PUSTAKA
2) William and Price. Bab VI: Krisis hipertensi dalam Buku Patoofisiologi, Edisi
p.1901-1916.
4) Roesma J. Bab 175: krisis hipertensi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
edisi 5, editor Sudoyo A.W dkk. Jakrta: Interna Publishing. 2009. p.1103-1104.
5) Sjaharudin H, Sally N. Bab XII: Edema Paru Aku dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, edisi 5, editor Sudoyo A.W dkk. Jakarta: Interna Publishing.
2009. p. 1920-1923.
2006. p. 61-62.
24