Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN STUDI KASUS

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA

PADA PASIEN DENGAN PIODERMA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh:
Ima Maili Shofiyani
212.121.0061

Pembimbing Lapangan :
dr. Titis Ari Respatilatsih

Pembimbing:
dr. Farida Rusnianah, M.Kes. (MARS), Dipl.DK.
Sri Herlina, S.KM, M.PH

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
2019
2

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, wr.wb.
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Pioderma” tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Public
Health dan untuk menambah wawasan penulis tentang penatalaksanaan Pioderma.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Kritik dan saran untuk penyempurnaan semoga telaah ini dapat berguna dan
memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamualaikum wr.wb

Gondanglegi, April 2019

Ima Maili Shofiyani

2
3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pioderma merupakan penyakit infeksi kulit yang sering dijumpai dan


memiliki hubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi. Presdiposisi penyakit ini
meliputi, higenitas suatu penderita daya tahan tubuh penderita, hingga penularan
penyakit yang disebabkan karena telah adanya penyakit kulit lain sebelumnya.1
Penyebab utama infeksi kulit pada pioderma ialah kuman Gram positif, yakni
Streptococcus dan Staphylococcus, Selain itu pioderma bisa juga disebabkan oleh
kuman Gram negatif, misalnya: Pseudomonas aeruginosa, Proteus vulgaris,
Proteus mirabitis, Escherichia coli, dan Klebsiella. Penyakit ini bisa mengenai
anak-anak maupun dewasa, namun penyakit ini sering di jumpai pada anak-anak,
karena aktivitas anak-anak yang kerap hubungannya terhadap paparan kuman
streptococcus atau staphylococcus yang terdapat pada benda-benda
sekelilingnya.1 Prevalensi pioderma di Indonesia adalah 1,4 % pada dewasa dan
0,2 % pada anak.2
1.2 Tujuan
 Untuk mengetahui definisi, patofisiologi dan etiologi Pioderma
 Untuk mengetahui bentuk, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Pioderma.
 Untuk mengetahui penatalaksanaan,prognosis, dan komplikasi Pioderma.

3
4

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : An R
Umur : 4 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Panggungrejo
Suku : Jawa
Pendidikan :-
Tanggal periksa : 21 Maret 2019
Jam datang : 09.00 WIB
2.2 Anamnesis
Keluhan utama: Gatal pada kedua kaki
RPS: Pasien datang ke poli umum Puskesmas Gondanglegi pada tanggal 21
Maret 2019 dengan keluhan gatal-gatal pada kedua kaki sejak ± 1 minggu
yang lalu. Awalnya muncul seperti plentingan kecil kemudian lama
kelamaan membesar dan berisi nanah. Gatal terasa terus-menerus, terutama
saat malam. Menurut ibunya, pasien sering menggaruk kakinya sehingga
terdapat luka lecet akibat garukan. Selain lecet juga timbul koreng pada
bagian yang digaruk, bila koreng dikelupas mengeluarkan darah.
RPD:
Riwayat penyakit serupa: disangkal
Riwayat HT: disangkal
Riwayat DM: disangkal
RPK
Riwayat penyakit serupa: disangkal
Riwayat HT: disangkal
Riwayat DM: disangkal
R. pengobatan:
 Pernah diobati dengan salep acyclovir yang di dapat dari apotek
namun keluhan tidak membaik
R. alergi: disangkal

4
5

R. kebiasaan: pasien mandi menggunakan sabun batangan


2.3 Pemeriksaan Fisik
KU: tampak sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
Vital sign
TD : Tidak dievaluasi
N : 102 x/menit
RR : 19 x/menit
T ax : Tidak dievaluasi
Status dermatologis
Cruris : Nodul eritematosa lentikular, bentuk tidak teratur, permukaan lesi tidak
rata, berbatas tegas, konsistensi lunak, nyeri (-), pustul (+) multipel , krusta (+)
Patella : Pustul (+) multiple, Krusta (+), berbatas tegas

2.6 Diagnosa Banding


Scabies
Furunkular miasis
2.7 Diagnosis Kerja
Pioderma (susp. Folikulitis superficialis)
2.8 Diagnosis Holistik
1. Diagnosis dari segi biologis :
Pioderma (susp. Folikulitis Superficialis)
2. Diagnosis dari segi psikologis :

5
6

An. R merasa gelisah dan tidak nyaman karena rasa gatal yang
mengganggu sehingga sulit tidur dan sulit bermain.
3. Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi :
Aspek sosial dan ekonomi keluarga An. R dalam kondisi menengah
kebawah. An. R sebagai anak satu-satunya dari ayah dan ibunya yang
masing-masing berprofesi sebagai wiraswasta dan ibu rumah tangga.
Pasien dan keluarga menggunakan BPJS.
2.9 Penatalaksanaan Holistik
1. Holistik
o Aspek personal: memberikan KIE mengenai keluhannya, seperti
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, kaitan kegiatan pasien dengan
keluhan pasien, upaya preventif dan kuratif.
o Aspek klinis : memberikan terapi berupa obat oral dan salep.
Pasien dianjurkan kontrol jika obat habis atau jika keluhan tidak
berkurang, serta mengkonsumsi obat rutin dan teratur.
o Aspek resiko internal : KIE agar istirahat yang cukup agar makan
makanan dengan gizi cukup.
o Aspek resiko eksternal: KIE mengenai higiene sanitasi lingkungan
rumah dan anggota keluarga yang lainnya.
2. Komprehensif
o Promotif : penjelasan atau KIE mengenai diagnosis pioderma,
komunikasi hal-hal yang terkait dengan penyakit tersebut
o Preventif: tata cara untuk mencegah terjadinya penularan seperti
tata cara untuk menjaga higiene sanitasi diri dan lingkungan rumah
seperti selalu membersihkan rumah, menutup makanan, cuci
tangan yang baik setiap kali akan makan.
o Kuratif: antihistamin, antibiotik, salep antibiotik, istirahat, diet
yang cukup.
o Rehabilitatif: istirahat yang cukup
3. Integratif : bekerjasama dengan keluarga pasien dalam menjaga sanitasi
dan higienitas diri dan lingkungan rumah, bekerjasama dengan tenaga
kesehatan lain untuk mengadakan penyuluhan mengenai pioderma.

6
7

4. Berkesinambungan: berkomunikasi dengan pasien dan home visit.


5. Medikamentosa
1) u.e Gentamycin salep (2 dd 1 setiap habis mandi)
2) p.o Amoxicillin syr 3 dd cth 1
3) p.o Ryhest syr 3 dd cth 1

7
8

BAB III
PEMBAHASAN ASPEK KEDOKTERAN KELUARGA

3.1 Identifikasi Keluarga


3.1.1 Fungsi Holistik
1. Fungsi Biologis
Keluarga terdiri dari, An.R, Tn.S, Ny.S, An.M Pasien didiagnosa dokter
mengalami pioderma.
2. Fungsi Psikologis
Hubungan An.R dengan anggota keluarga sangat baik,satu sama lain
saling mendukung, memperhatikan dan saling pengertian.
3. Fungsi Sosial
Keluarga ini mempunyai kedudukan sosial baik di masyarakat dan rajin
mengikuti kegiatan yang diadakan di desa.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Penghasilan keluarga selama ini sudah cukup. Dalam pemenuhan
kebutuhan primer, sekunder, tersier berasal dari penghasilan Tn.S
sebagai petani. Untuk kebutuhan air menggunakan air sumur. Untuk
memasak memakai kompor LPG biasanya istri pasien memasak 1 kali
sehari dengan nasi, sayur dan lauk pauk. Apabila sakit, keluarga pasien
biasa berobat di Puskesmas.
Kesimpulan :
Dari poin satu sampai empat dari fungsi holistik, fungsi biologis pasien
mengalami gangguan, dimana pasien mengalami pioderma. Fungsi
psikologis, dan sosial ekonomi pasien baik.

A. Fungsi Fisiologis dengan APGAR Score


 Adaptation : kemampuan anggota keluarga beradaptasi dengan anggota
keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan, dan saran dari anggota
keluarga yang lain.

8
9

 Partnership : menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi


antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut
 Growth : menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang
dilakukan anggota keluarga lain
 Affection : menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar
anggota
 Resolve : menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan
dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.
 Penilaian :
o Hampir selalu : 2 poin
o Kadang – kadang : 1 poin
o Hampir tak pernah : 0 poin
 Penyimpulan :
o Nilai rata-rata < 5 : kurang
o Nilai rata-rata 6-7 : cukup/sedang
o Nilai rata-rata 8-10 : baik
Tabel 3.3. APGAR score Tn. S(30 tahun)
APGAR Tn.J terhadap keluarga 2 1 0

A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi √


masalah

P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi √


masalah dengan saya

G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung √


keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup
yang baru

A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih √


sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian
dll

R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu √

9
10

bersama-sama

Total APGAR score Tn.M = 10

Tabel 3.3. APGAR score Ny.S (27 tahun)


APGAR Ny.M terhadap keluarga 2 1 0

A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi √


masalah

P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi √


masalah dengan saya

G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung √


keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup
yang baru

A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih √


sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian
dll

R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu √
bersama-sama

Total APGAR score Ny.M = 10

Tabel 3.3. APGAR score An.M (6 tahun)


APGAR An.R terhadap keluarga 2 1 0

A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi √


masalah

P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi √


masalah dengan saya

10
11

G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung √


keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup
yang baru

A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih √


sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian
dll

R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu √
bersama-sama

Total APGAR score An. A= 8


Kesimpulan : rata-rata A.P.G.A.R dari keluarga pasien adalah 9,3. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki dalam keadaan baik.

B. Genogram

Keterangan
= Laki –laki = Pioderma
= Perempuan = Tinggal serumah

11
12

C. Informasi Pola Interaksi Keluarga

Tn.S
Ny.S

An.R An.M

Keterangan:
: hubungan baik
: hubungan kurang baik
Kesimpulan : Hubungan antara An. R dengan keluarganya cukup baik. Dalam
keluarga ini jarang terjadi konflik atau hubungan buruk antar anggota keluarga.
3.2 Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan
3.2.1. Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga
1. Faktor Perilaku Keluarga
a. Pengetahuan
Keluarga ini pengetahuan tentang kesehatan kurang.
b. Sikap
Keluarga ini peduli terhadap kesehatan pasien maupun anggota
keluarga yang lain. Hal ini dapat dilihat dari sikap aggota keluaraga
lain yang selalu merawat anggota keluarga ketika salah satu sakit.
c. Tindakan
Apabila terdapat anggota keluarga yang sakit, mereka segera datang
ke Puskesmas Gondanglegi.
2. Faktor Non Perilaku Keluarga
a. Lingkungan
Lingkungan rumah jarang penduduk dan berada di pinggir jalan kecil
sehingga udara masih cukup bersih. Rumah yang cukup ventilasi
namun relative kurang bersih.
b. Pelayanan kesehatan
Puskesmas setempat cukup dekat dengan rumah An.R.

12
13

c. Keturunan
Penyakit yang diderita An.R merupakan penyakit yang diturunkan.

3.2.2 Mapping Konsep Modifikasi Teori Bloom

Pengetahuan:
Tingkat pengetahuan An.R
kurang mengenai kesehatan & Lingkungan:
penyakit yang dialaminya Lingkungan sekitar rumah cukup baik
dan ventilasi cukup.

Sikap:
Sikap:
Cukup perhatian
Cukup perhatian
keluarga terhadap Keturunan:
keluarga Keluarga Ny.P
Keluarga An.R Tidak ada faktor
penyakit penderita
terhadap keturunan
penyakit
penderita
Tindakan: Pelayanan Kesehatan:
Pelayanan Kesehatan:
segera datang ke Letak puskesmas cukup dekat
puskesmas apabila
Jika Ny. W sakit,
dengan rumah a,.An.R
merasa tidak enak orangtuanya
badan. membawanya berobat
ke perawat terdekat

Keterangan :
: Faktor Perilaku
: Faktor Non Perilaku

3.2.3 Identifikasi Lingkungan Rumah


1. Gambaran Lingkungan
Keluarga ini tinggal disebuah rumah berukuran 7x5 meter yang relatif
jarang sehingga agak berjarak dengan rumah tetangga. Rumah ini terdiri
dari satu ruang tamu, 2 kamar tidur, 1 dapur, 1 kamar mandi yang
sudah memiliki fasilitas jamban keluarga. Pintu masuk dan keluar ada
dua, di bagian depan rumah dan dibagian belakang rumah. Terdapat
jendela kaca di depan, di setiap kamar, di samping rumah. Lantai rumah
merupakan lantai keramik. Ventilasi dan penerangan rumah cukup.
Atap rumah tersusun dari genteng. Kamar memiliki satu kasur untuk

13
14

tidur. Dinding rumah berupa tembok bata yang sudah dicat di bagian
depan dan tembok bata tanpa di cat di bagian belakang. Perabotan
lengkap. Sehari-hari keluarga memasak menggunakan LPG. Sumber air
untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari air sumur. Secara keseluruhan
kebersihan rumah kurang terjaga.
2. Denah Rumah

KM Dapur &
Kamar R.makan

Kamar
R. Tamu Kamar

Kesimpulan : Lingkungan rumah kurang memenuhi syarat rumah sehat.

14
15

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi
Pioderma merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus, Streptococcus atau keduanya, dapat juga disebabkan oleh bakteri
Gram-negatif seperti Pseudomonas aeroginosa, Proteus vulgari, Proteus mirabilis,
Escherichia coli dan Klebsiella.3

4.2 Etiologi
Penyebab utama dari infeksi ini adalah bakteri Staphylococcus aureus dan
Streptococcus B hemoliticus, sedangkan staphylococcus epidemis merupakan
penghuni normal di kulit dan jarang menyebabkan infeksi.3

Tabel 4.1: Membedakan bentuk pioderma berdasarkan kuman penyebab:4


Staphilococcus Aureus Streptococcus Keduanya
- Impetigo Bulosa - Impetigo Krustosa - Selulitis
- Folikulitis - Ektima - Flegmon
- Furunkel - Erisipelas - Pionika
- Karbunkel
- Abses Multipel Kelenjar
Keringat
- Hidradenitis
- Staphylococcal Scaled Skin
Syndrome (S4)

4.3 Epidemiologi
Prevalensi pioderma dibeberapa negara lain, seperti di Brazil, Ethiopia,
Taiwan, dan lain-lain adalah 0,2-35 %. Sedangkan prevalensi pioderma di
Indonesia adalah 1,4 % pada dewasa dan 0,2 % pada anak.
4.4 Faktor Predisposisi3

15
16

4.4.1 Hygine yang kurang


Hygine yang di maksud adalah personal hygine suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan untuk kesejahteraan fisik dan psikis,
kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya sendiri.
Menurut Entjang, hygine dan santitasi lingkungan adalah pengawasan
lingkungan fisik, bologi, sosial, dan ekomi yang mempengaruhi kesehatan
manusia, diamana lingkungan yang berguna di tingkatkan dan diperbanyak
sedangkan yang merugiakn diperbaiki atau dihilangkan.
4.4.2 Menurunnya daya tahan
Biasanya karena kelelahan, anemia, atau penyakit-penyakit tertentu seperti
penyakit kronis, neoplasma, dan diabetes mellitus.
4.4.3 Telah ada penyakit lain di kulit.
Hal ini dapat merangsang terjadinya pioderma yang hampir bisa
dipastikan akan memperparah penyakit kulit sebelumnya tersebut, hal itu
juga terjadi karena fungsi kulit sebagai pelindung yang terganggu oleh
penyakit.

4.5 Patofisiologi
Banyak hal yang mempengaruhi seseorang sampai terjadinya pioderma
antara lain faktor host, agent, dan lingkungan seperti yang telah dipaparkan diatas
dimana adanya ketidakseimbangan antara ketiga faktor tersebut. Staphylococcus
mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigen yang merupakan
substansi penting di dalam struktur dinding sel Peptidoglikan, suatu polimer
polisakarida yang mengandung subunit-subunit yang terangkai, merupakan
eksoskeleton kaku pada dinding sel. Peptidoglikan dihancurkan oleh asam kuat
atau lisozim. Hal ini merupakan penting dalam potogenitas infeksi: zat ini
menyebabkan monosit membuat interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi
opsonik, dan zat ini juga menjadi zat kimia penarik (kemotraktan) untuk leukosit
polimorfonuklear, mempunyai aktifitas mirip endotoksin, mengaktifkan
komplement.
Patologi prototipe lesi staphylococcus adalah furunkel atau abses setempat
lainnya. Kelompok-kelompok S. aureus yang tinggal dalam folikel rambut

16
17

menimbulkan nekrosis jaringan. Koagulase dihasilkan dan mengkoagulasi fibrin


disekitar lesi dan didalam saluran getah bening, mengakibatkan pembentukan
dinding yang membatasi proses dan diperkuat oleh penumpukan sel radang dan
kemudian jaringan fibrosis. Di tengah-tengah lesi, terjadi pencairan jaringan
nekrotik (dibantu oleh hipersensitivitas tipe lambat) dan abses mengarah pada
daerah yang daya tahannya paling kecil, setelah jaringan nekrotik mengalir keluar,
rongga secara perlahan-lahan diisi dengan jaringan granulasi dan akhirnya
sembuh.4

Gambar 4.1: Patofisiologi Pioderma

4.6 Klasifikasi 3
4.6.1 Pioderma Primer

17
18

Infeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu,


penyebabnya biasanya satu macam mikroorganisme.
4.6.2 Pioderma Sekunder
Pada kulit telah ada penyakit kulit yang lain. Gambaran klinisnya tak
khas dan mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit disertai
pioderma sekunder disebut impetigenisata, contohnya: dermatitis
impetigenisata, scabies impetigenisata. Tanda impetigenisata ialah jika
terdapat pus, kustul, bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan,
pembesaran kelenjar getah bening regional, leukositosis, dapat pula
disertai demam

4.7 Bentuk Pioderma3


4.7.1 Impetigo
- Definisi :penyakit infeksi piogenik pada kulit superfisial dan menular
disebabkan oleh staphylococcus aureus dan, atau Streptococus pyogenes.
Untuk penangan impetigo tergantung pada jumlah lesi dan lokasi (wajah,
kelopak mata dan mulut) dan diperlukan pencegahan terhadap penyebaran
infeksi ke bagian lain.
- Patofisiologi: Penyakit ini mengenai kulit pada lapisan seperfisial
(epidermis). Kuman penyabab dapat ditemukan dan dibiakan dari cairan
bulanya. Pada impetigo bulosa, dari cairan bula ditemukan toksin
epidermolitik yang dianggap sebagai penyebab terjadinya bula. Masuknya
kuman melalui mikro lesi dikulit dan menular.
- Klasifikasi : Terdapat 2 bentuk impetigo, impetigo krustosa dan impetigo
bulosa.
a. Impetigo Krustosa
- Sinonim : Impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo Tillbury
FoX.
- Etiologi : Biasanya Streptococcus B hemolyticus. Tersering pada
anak-anak
- Tempat predileksi: muka sekitar hidung dan mulu, anggota gerak
(kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan

18
19

- Gejala Klinis :Tidak disertai gejala konstitusi (demam, malaise,


mual), hanya terdapat pada anak-anak. Tempat predileksi di muka,
yakni disekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber
infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel
yang cepat memecah sehingga jika penderita dating berobat yang
terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika
dilepaskan akan tampak erosi di bawahnya. Sering krusta menyebar
ke perifer dan sembuh di bagian tengah.

Gambar 2.A Gambar 2.B

Gambar 4.2: Impetigo Krusta , (Sumber : Fitz’s Patrick)


- Komplikasi : glomerulonefritis (2-5%) yang disebabkan oleh sero
tipe tertentu
- Diagnosabanding : Ektima
- Pengobatan: Jika krusta sedikit, dilepaskan dan diberi salep
antibiotic, kalau banyak diberi pula antibiotic sistemik.
b. Impetgo Bulosa
- Sinonim :Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet.
- Etiologi :Biasanya karena Staphylococcus aureus.
- Gejala klinis :Keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat predileksi
di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama merialia. Terdapat
pada anak dan orang dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula dan
bula hipopin. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat,

19
20

vesikel/bula telah memecah sehingga yang tampak hanya koleret dan


dasarnya masih eritematosa.

Gambar 3.A Gambar 3.B Gambar 3.C

Gambar 4.3: Impetigo Bulosa(Sumber : Fitz’s Patrick)

- Diagnosa banding :Jika vesikel/bula telah pecah dan hanya terdapat


koleret dan eritema, maka mirip dermafitosis. Pada anamnesa
hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lumpuh. Jika ada,
diagnosanya adalah impetigo bulosa.
- Pengobatan :
1. Pengobatan topikal:
 Krem antibiotik
 Drainage: bula dan pustule dengan ditusuk jarum steril untuk
mencegah penyebaran lokal
 kompres larutan Sodium kloride 0,9 %
2. Pengobatan sistemik:Diberikan pada kasus-kasus berat, lama
pengobatan paling sedikit 7-10 hari. Penisilin dan semisintetiknya
(pilih salah satu):
 Kloksasilin (untuk Staphylococci yang kebal penisilin)
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 kali/hari a.c
Anak-anak: 10-25 mg/kg/dosis, 4 kali/hari a.c
 Diklosasilin (untuk Staphylococci yang kebal penisilin)
Dosis: 125-250 mg/dosis,3-4 kali/hari a.c
Anak-anak: 5-15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/hari a.c

20
21

 Fenoksimetil penisilin (penisilin V)


Dosis: 250-500 mg/dosis,4 kali/hari a.c
Anak-anak: 7,5-12,5 mg/dosis, 4 kali/hari a.c
 Eritromisin
Dosis: 150-500 mg/dosis,4 kali/hari p.c
Anak-anak: 12,5-50 mg/kg/dosis, 4 kali/hari p.c
 Klindamisin
Dosis: 150-300 mg/dosis,3-4 kali/hari
Anak-anak lebih 1 bulan: 8-20 mg/kg/hari, 3-4 kali/hari
3. Kebersihan: mandi teratur dengan sabun mandi. Pakaian, handuk
sprei sering diganti dan dicuci air panas dan dipakai sendiri.

c. Impetigo neonatorum
Penyakit ini merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada
neonates.Kelainan kulit serupa impetigo bulosa hanya likasinya
menyeluruh, dapat disertai demam.

Gambar 4.A Gambar 4.B

Gambar 4.4: Impetigo neunatorum , (Sumber : Fitz’s Patrick)

- Diagnosa banding :Sifilis congenital. Pada penyakit ini bula juga


terdapat ditelapak tangan dan kaki, terdapat pula snuffle nose, saddle
nose, dan pseudo paralisis parrot.
- Pengobatan :Antibiotic harus diberika secara sistemik. Topical dapat
diberikan bedak salisil 2%.

21
22

4.7.2 Folikulitis
- Definisi :keradangan yang dimulai dari folikel rambut.
- Etiologi :Biasanya Staphylococcus aureus.
- Epidemiologi: Folikulitis dapat mengenai semua umur, tetapi lebih sering di
jumpai pada anak – anak dan folikulitis juga tidak di pengaruhi oleh jenis
kelamin. Jadi pria dan wanita memiliki angka resiko yang sama untuk terkena
folikulitis, dan folkulitis lebih sering timbul pada daerah panas atau beriklim
tropis.
- Patogenesis: Setiap rambut tumbuh dari folikel, yang merupakan suatu
kantung kecil di bawah kulit. Selain menutupi seluruh kulit kepala, folikel
juga terdapat pada seluruh tubuh kecuali pada telapak tangan, telapak kaki
dan membrane mukosa bibir. Folikulitis bisa di sebabkan oleh karena minyak
ataupun pelumas dan keringat berlebihan yang menutupi dan menyumbat
saluran folikel rambut. Bisa juga di sebabkan oleh gesekan saat bercukur atau
gesekan pakaian pada folikel rambut maupun trauma atau luka pada kulit. Hal
ini merupakan port de entry dari berbagai mikroorganisme terutama
staphylococcus aureus sebagai penyebab folikulitis. Kebersihan yang kurang
dan higiene yang buruk menjadi faktor pemicu dari timbulnya folikulitis,
sedangkan keadaan lelah, kurang gizi dan Diabetes melitus merupan faktor
yang mempercepat atau memperberat folikulitis ini.
- Klasifikasi:
a. Folikulitis superfisialis: terdapat di dalam epidermis.
- Sinonim : Impetigo Bockhar
- Gejala klinis :Berukuran kecil, mudah pecah, pustule berbentuk
kubah, terdapat di kulit kepala dan biasanya multiple pada anak-anak
dan pada orang dewasa di temukan pada daerah dagu, axila,
extremitas atau tungkai bawah, dan daerah bokong.

22
23

Gambar 4.5 : Folikulitis Superfisialis(Sumber : Fitz’s Patrick)


- Diagnosa banding: cystic acne, kerion, hidradenitis suppurativa, dan
furunkular miasis
b. Folikulitis profunda: sampai ke subkutan.
- Gambaran klinis: Sikosis barbae adalah folikulitis profunda yang
terjadi pada daerah berjenggot, wajah dan bibir atas. Jika tidak diobati
lesi dapat menjadi lebih dalam dan kronis. Pengobatan lokal dengan
kompres salin dan antibiotic lokal (mupirosin atau topical
klindamisin) dapat mengatasi infeksi. diperlukan terapi antibiotic
sistemik jika terjadi lesi yang meluas. Perlu dibedakan dengan
folikulitis dermatophytic dengan folikulitis Staphylococcus aureus.
Dimana pada infeksi jamur, mengalami kerusakan atau kerontokan
pada rambut, dan ditemukan nodus granulomatosa dari pada pustule.
Pada dermatophytic folliculitis, rambut yang cabut biasanya tidak
terasa sakit.

Gambar 4.6: Folikulitis profunda, Sikosis Barbae (Sumber: Fitz’s Patrick)

- Diagnosa banding: Tinea barbe, lokasinya di mandibula/


submandibula, unilateral. Pada tenia barbe sediaan dengan KOH
positif.
- Pemeriksaan Penunjang:Diagnosa di tegakkan berdasarkan
anamnesa, gambaran klinis, pemeriksaan bakteriologis dari sekret lesi

23
24

dan kalau mendukung bisa dilakukan pemeriksaan histopatologi.Pada


pemeriksaan histopatologi pada folikel rambut tampak edematosa
dengan sebukan sel radang
- Penatalaksanaan:
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan adalah:
1. Pengobatan topikal
 bila lesi masih basah/kotor dikompres dengan Solusio Sodium
Khloride 0,9%.
 Bila lesi telah bersih, diberi salep natrium fusidat atau
framisitin Sulfat kasa steril.
2. Pengobatan sistemik
 antibiotika umumnya diberikan 7-10 hari
a. penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu):
- penisilina G Prokain injeksi
dosis: 0,6-1,2 juta I.U.i.m.,1-2kali/hari
anak-anak: 25.000-50.000 I.U./kg/dosis,1-2kali/hari
- Ampisilin
Dosis : 250-500 mg/dosis, 4 kali/hari a.c.
Anak-anak : 7,5-25mg/kg/dosis, 4kali/hari a.c.
- Amoksilin, penulisan resep harus diparaf staf medik
Dosis : 250-500 mg/dosis, 3 kali/hari a.c.
Anak-anak : 7,5-25mg/kg/dosis, 3 kali/hari a.c.
- Kloksasilin (untuk Staphylococci yang kebal
penisilin)
Dosis : 250-500 mg/dosis, 4 kali/hari a.c.
Anak-anak : 10-25mg/kg/dosis, 4kali/hari a.c.
- Dikloksasilin (untuk Staphylococci yang kebal
penisilin)
Dosis : 125-250 mg/dosis, 3-4 kali/hari a.c.
Anak-anak : 5-15mg/kg/dosis, 3-4kali/hari a.c.
- Fenoksimetil penisilin (penisilin V)
Dosis : 250-500 mg/dosis, 4 kali/hari a.c.

24
25

Anak-anak : 7,5-12,5mg/kg/dosis, 4kali/hari a.c.


b. Eritromisin
Dosis : 250-500 mg/dosis, 4 kali/hari p.c.
Anak-anak : 12,5-25mg/kg/dosis, 4kali/hari p.c.
c. Klindamisin
Dosis : 150-300 mg/dosis, 3-4 kali/hari
Anak-anak lebih 1 bulan: 8-20 mg/kg/hari, 3-4 kali/hari
d. Pengobatan penyakit dasarnya, misalkan Diabetes
mellitus.
e. Tindakan : Insisi bila telah supurasi.
- Prognosa: Prognosa penyakit folikulitis ini adalah baik.
4.7.3 Furunkel/Karbunkel
- Definisi :
Furunkel adalah radang folikel rambut dan sekitarnya. Jika lebih dari pada
sebuah disebut furunkulosis. Sedangkan karbunkel adalah kumpulan dari
furunkel. Furunkel atau bisul adalah suatu tanda inflamasi berupa nodul dan
berkembang di sekitar folikel rambut, biasanya diawali dengan folikulitis
yang berkembang menjadi abses. sedangkan karbunkel adalah kumpulan dari
furunkel dengan ukuran yang lebih besar serta terdapat lesi infiltrative yang
lebih luas. (2) tempat predileksi pada furunkel adalah pada bagian dengan
bantalan rambut, terutama di tempat yang banyak friksi, misalnya aksila dan
bokong dapat juga ditemukan pada bagian wajah dan leher.
- Etiologi : Bakteri penyebab dari penyakit ini adalah Staphylococcus aureus
- Epidemologi: Karbunkel sering menyerang laki-laki pada usia menengah dan
usia tua.
- Gejala Klinis :

25
26

Gambar : 3.6 a Gambar : 3.6 b Gambar : 3.6 c

Gambar 4.7: Furunkel(Sumber : Fitz’s Patrick)

Gambar : 3.7 a Gambar : 3.7 b

Gambar 4.8: Karbunkel(Sumber : Fitz’s Patrick)

Keluhannya berupa Nyeri. Ditemukan kelainan berupa nodus erimatosa berbentuk


krucut, dan ditengahnya terdapat pustul. Kemudian melunak menjadi abses yang
berisi pus dan jaringan krotik, lalu memecah membentuk fistel. Tempat predileksi
penyakit ini adalah tempat yang terdapat banyak friksi atau gesekan, contohnya
aksila dan bokong.
Karbunkel : berukuran lebih besar sekitar 3-10cm, tampak benjolan merah,
permukaan halus, biasanya dirasakan demam dan malaie, sangat sakit pada daerah
predileksi di tengkuk, punggung dan pada, terdapat kemerahan dan beberapa
pustule pada permukaan dan sekitar folikel rambut.

26
27

- Pemeriksaan penunjang : terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah


lengkap. pewarnaan gram (diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan Gram
positif streptococcus aureus)
- Pengobatan : Terapi antibiotik untuk furunkel yang disarankan adalah
antibiotik sistemik: eritromisin 4 x 250 mg atau penisilin , jika lesi matang,
lakukan insisi dan aspirasi dan selanjutnya dikompres atau diberi salep
kloramfenikol 2%. Sedangkan antibiotik yang diberikan pada karbunkel
adalah eritromisin 4x250 mg selama 7 - 14 hari ; penisilin 600.000 IU selama
5 - 10 hari. Antibiotik yang masih sensitif memberi hasil yang memuaskan
seperti sefalosporin atau golongan kuinolon. Basitrasin topikal juga efektif
untuk pengobatan furunkel

4.7.4 Ektima
- Definisi :Ektima ialah ulkus superficial dengan krusta diatasnya disebabkan
infeksi Streptococcus,
- Etiologi:Disebabkan infeksi Streptococcus, biasanya Streptococcus B
hemolyticus
- Epidemiologi:Sering terjadi pada traveler (orang yang bepergian) terjdi pada
anak-anak, dewasa muda, dan orang tua dengan sanitasi dan higienis yang
buruk serta terdapat gangguan imunokompromise. Tidak ada perbedaan ras
dan jenis kelamin terhadap angka insdensi tersebut.
- Patogenesa:Patogen utama streptokokus pada manusia merupakan bagian
grup A streptokokus (GAS), terutama Streptokokus pyogenes. Bakteri ini
terbagi menjadi beberapa divisi tergantung antigen protein permukaan M dan
T. Protein M melindungi organisme melawan fagosit, mengakibatkan
adherensi pada jaringan epitel yang berbeda dan berkontribusi pada terjadinya
virulensi. Antigen protein T juga berada pada permukaan dan gen untuk
protein T telah diinvestigasi, khususnya dalam kejadian tiba-tiba (outbreaks)
di mana protein M tidak terindentifikasi. C5a peptidase, sebuah enzim
proteolitik pada permukaan grup A streptokokus, menghambat dalam
pengenalan sel-sel fagosit terhadap lokasi infeksi, dan selanjutnya memainkan

27
28

peran dalam patogenesis penyakit yang diakibatkan oleh streptokokus.


Eksotoksin pirogenik streptokokus, termasuk di dalamnya toksin eritrogenik,
memainkan bagian penting dalam syok endotoksik, dan memiliki efek super-
antigenik pada sistem imun, sebagai hasil dari produksi sitokin secara massif.
- Gejala Klinis

Gambar : 3.8 a Gambar :3.8 b Gambar : 3.8 c

Gambar 4.9: Ektima(Sumber : Fitz’s Patrick)


Gejala yang tampak adalah krusta tebal berwarna kuning berlokasi di tungkai
bawah, yaitu tempat yang relative banyak trauma. Jika krusta diangkat ternyata
lekat dan tampak ulkus yang dangkal
- Diagnosis Banding: impetigo krustosa, perbedaannya, impetigo krustosa
sering terjadi pada anak dan berlokasi di muka dan dasarnya adalah erosi,
ektima terjadi pada anak maupun dewasa tempat predileksi tungkai bawah
dan dasarnya terdapat ulkus.
- Pemeriksaan Penunjang:Biopsi kulit dengan pewarnaan gram dari jaringan
kulit dalam dan kultur bakteri. Pewarnaan gram dari cairan vesikular dan
terlihat di bawah mikroskop biasanya dipastikan terdapat kokus gram positif
yang menggambarkan grup A streptokokus. Stafilokokus aureus bisa juga
terlihat. Tes kultur dan sensitivitas dari cairan atau kulit yang terlepas bisa
digunakan untuk mengidentifikasi jenis antibiotik yang paling sesuai. Hitung
sel darah putih bisa saja meningkat
- Pengobatan: Pengobatan yang dipakai adalah krusta diangkat dan disalep
antibiotic. Jika banyak, gabungkan dengan antibiotic sistemik
- Komplikasi:Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren,
limfangitis, limfadenitis supuratif, dan bakteremia.

28
29

- Prognosa:Ektima sembuh secara perlahan, tetapi biasanya meninggalkan


jaringan parut (skar).
4.7.5 Pionikia
- Definisi : Radang sekitar kuku oleh piokokus
- Etiologi : Penyebabnya biasanya Staphylococcus dan/atau Streptococcus B
hemolyticus
- Gejala Klinis :

Gambar 4.10: Pionikia, (Sumber : Fitz’s Patrick)


Gejala klinis dari penyakit ini adalah didahului trauma, mulai infeksi pada lipatan
kuku, terlihat tanda-tanda radang dan menjalar ke matriks dan lempeng kuku (nail
plate), dapat terbentuk abses subungual
- Pengobatan: Pengobatan kompres dengan larutan antiseptic dan berikan
antibiotic sistemik. Jika terjadi abses subungual, kuku diekstraksi.
4.7.6. Erisipelas
- Definisi :Erisipelas ialah penyakit infeksi akut, biasanya disebabkan oleh
Streptococcus B hemolyticus, gejala utamanya adalah eritema berwarna
merah cerah dan terbatas tegas serta disertai gejala konstitusi.
- Etiologi : Penyebabnya biasanya Staphylococcus dan/atau Streptococcus B
hemolyticus
- Patogenesa: Inokulasi bakteri ke daerah kulit yang mengalami trauma
merupakan peristiwa awal perkembangan dari erisipelas. Dengan demikian,
faktor-faktor lokal, seperti insusfisiensi vena, statis ulserasi, dermatitis,
gigitan serangga, dan sayatan bedah telah terlibat sebagai pintu masuknya
kuman ke kulit.Sumber bakteri di erisepalas wajh sering bersumber dari
nasofaring dan riwayat faringitis streptokokus baru-baru ini telah dilaporkan
dalam sampai sepertiga dari kasus. Faktor predisposisi lainnya termasuk
diabetes, penyalahgunaaan alkohol, infeksi HIV, sindrom nefrotik, kondisi

29
30

penurunan sistem imun lain, dan tidak optimalnya higienis meningkatkan


risiko erisipelas.Disfungsi limfatik subklinis adalah faktor resiko untuk
erisipelas. Dalam erisipelas, infeksi dengan cepat menyerang dan menyebar
melalui pembuluh limfatik. Kondisi ini akan memberikan manifestasi
kerusakan kulit diatasnya dan pembengkakan kelenjar getah bening regional.
Respon imunitas menjadi menurun dan memberikan optimalisasi bagi
organisme untuk berkembang. 1
Gejala Klinis :

Gambar 4.11 a Gambar 4.11 b

Gambar 4.11: Erisipelas(Sumber : Fitz’s Patrick)

Terdapat gejala konstitusi seperti demam, malese.Dimana lapisan kulit yang


diserang adalah epidermis dan dermis.didahului dengan trauma, tempat
predileksinya tungkai bawah. kelainan yang utama adalah eritema merah cerah,
berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda radang akut. Dapat disertai
edem, vesikel dan bula. Terdapat leukosistosis. Jika sering residif ditempat yang
sama dapat terjadi elephantiasis
- Diagnosis banding :selulitis, namun pada penyakit ini infiltratnya di
subkutan
- Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah : Leucocytosis.

30
31

2. Mencari Streptococcus dengan kultur dari tenggorokan, hidung atau


mata.
- Pengobatan :
1. Pada penderita bayi, usia tua dan yang keadaan umumnya lemah sebaiknya
dirawat di RS.
2. Pemberian antibiotika sistemik diberikan 7 – 10 hari.
a. Penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu)
 Penisilina G Prokain
Dosis : 1 – 2 dd 0,6 – 1,2 juta U
Anak-anak : 1 – 2 dd 25.000 – 50.000 I.U./kg
 Ampisilin
4 dd 250 – 500 mg a.c.
anak-anak : 4 dd 25 – 75 mg/kg – a.c.
 Amoksilin (penulisan resep harus diparaf staf medik UPF)
3dd 250 – 500 mg.a.
anak-anak : 3 dd. 7,5 – 25 mg/kg a.c.
b. Eritromisin
4 dd 250 – 500 mg pc
anak-anak : 4 dd 12,5 mg – 25 mg/kg – pc
bila alergi penisilin
c. Linkomisin
3 – 4 dd 250 – 500 mg
anak-anak lebih 1 bulan 3 dd 10 – 20 mg/kg
bila alergi penisilin dan yang menderita gangguan saluran cerna
d. Bila kambuh-kambuh diberikan antibiotika sistemik dosis tinggi dulu
sampai sembuh, baru dilanjutkan dosis rendah jangka lama selama 1 – 3
bulan.
3. Pengobatan topical
a. Kompres dengan solusio Sodium Chloride 0,9 % atau Solusio Burowi :
 bila ada vesikule/bule
 dapat sebagai pendingin
b. Neocitrin ointment (Basitrasina dan Polimiksina B)

31
32

bila lesi kulit telah kering


- Komplikasi:
- 1. Nefritis
- 2. Abses subkutan
- 3. Septisemia
- 4. Kematian 50% pada bayi, penderita usia tua dan yang lemah.
- 5. Kambuh lagi – Cellulitis
- Prognosis: Prognosis pasien erisipelas adalah bagus. Komplikasi dari infeksi
tidak menyebabkan kematian dan kebanyakan kasus infeksi dapat diatasi
dengan terapi antibiotik. Bagaimanapun, infeksi ini masih sering kambuh
pada pasien yang memiliki faktor predisposisi.8 Jika tidak diobati akan ia
menjalar ke sekitarnya terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat
yang sama, dapat terjadi elephantiasis
3.7.7 Selulitis
- Definisi:Infeksi bakteri pada kulit dan jaringan lunak, sering dengan
keterlibatan dari struktur utama seperti fasia, otot, dan tendon14. Infeksi yang
meluas dengan melibatkan dermis dan lemat di subkutan, dan sering
menyebar ke otot atau tulang.
- Etiologi: Selulitis terjadi pada lapisan dermis dan subkutan. Etiologi paling
sering disebabkan oleh S. pyogens, S.aureus dan GAS. Selain itu, bakteri
streptokokus grup B juga bisa menyerang bayi dan bakteri basil gram negatif
bisa menyerang orang dengan tingkat imun yang rendah. Tinea pedis
biasanya menjadi port of the entry infeksi penyakit ini. Selulitis mempunyai
gejala yang sama dengan erisipelas yaitu eritema dan sakit, tetapi dapat
dibedakan dengan batas lesi yang tidak tegas, terjadi di lapisan yang lebih
dalam, permukaan lebih keras dan ada krepitasi saat dipalpasi. Selulitis dapat
berkembang menjadi bulla dan nekrosis sehingga mengakibatkan
penggelupasan dan erosi lapisan epidermal yang luas.
- Epidemiologi: Selulitis bukan satu penyakit tetapi kumpulan gejala,
sehingga membuat sulit untuk mendeskripsikan sebuah pola epidemologinya

32
33

- Gejala Klinis:

Gambar : 4.12 a Gambar : 4.12 b


Gambar 4.12: Selulitis, (Sumber : Fitz’s Patrick)

Tampak lesi yang kemerahan, bengkak, dan lembut dengan batas yang tidak
jelas, piting edema tampak jelas, kadang kulit dapat tampak pucat karena
bengkak. Ketika mulai terjadi nekrosis, jarang tampak di permukaan, yang
menjadi tanda umum adalah abses dan ulkus yang baru terbentuk.
- Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan histopatologi tidak banyak
membantu, hanya menunjukkan edema dan neutrophil. Pada banyak kasus,
kultur kuman dapat dilakukan dengan mengaspirasi dari lesinya
Tabel 4.2: Perbedaan selulitis dan abses:

- Pengobatan: Rekomendasi untuk pengobatan selulitis adalah flucloxacillin


1g qds jika diberikan intra vena, sedangkan flucloxacilin 500 mg qds apabila
ingin diberikan terapi peroral. Terapi ini diberikan selama 5-7 hari. Pada
kondisi yang berat dapat ditambahkan clindamycin 300-450 mg per oral qds.

33
34

Apabila pasien alergi terhadap penicillin atau suspect MRSA dapat diberikan
vancomycin intra vena atau doxycycline 200 mg per oral pada hari pertamaa
lalu dilanjutkan dengan 100 mg per oral.
3.7.8 Flegmon
- Definisi: Selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis
hanya saja ditambah dengan insisi

Gambar : 4.13 a Gambar : 4.13 b

Gambar 4.13: Flegmon(Sumber : Fitz’s Patrick)

3.7.9 Ulkus Piogenik


- Definisi: Ulkus yang gambaran klinisnya tidak khas, disertai pus diatasnya.
- Gejala Klinis:

Gambar : 4.14 a Gambar : 4.14 b

34
35

Gambar 4.14: Ulkus Piogenik, (Sumber : Fitz’s Patrick)


Berbentuk ulkus, gambaran klinisnya tidak khas dengan disertai pus diatasnya.
Dibedakan dengan ulkus lain yang disebabkan oleh kuman gram negative
sehingga perlu dilakukan kultur.
- Pemeriksaan Penunjang: Dengan dilakukan kultur untuk membedakan
dengan ulkus yang lain, terutama ulkus yang disebabkan oleh kuman Gram
negatif
- Pengobatan: Antibiotik yang disarankan untuk pengobatan secara sistemik
adalah penisilin 600.000 - 1,2 juta IU intramuskular selama 5 - 7 hari;
eritromisin 4 x 500 mg selama 7 hari. Siprofloksasin atau sefalosporin
memberi hasil yang baik.

4.7.10 Abses Multipel Kelenjar Keringat


- Definisi :Merupakan infeksi yang biasanya disebabkan oleh Staphylococcus
aureus pada kelenjar keringat, berupa abses multiple tidak nyeri dan
berbentuk kubah.
- Etiologi:Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
- Patogenesa: Bakteri Staphylococcus Aureus menginfeksi kelenjar keringat
ekrin akibat hygiene seseorang yang buruk dan system imun yang kurang.
Bakteri yang masuk direspon oleh tubuh sebagai benda asing, sehingga terjadi
peradangan pada daerah yang terinfeksi. Rasa gatal merupakan alarm yang
menandakan adanya respon imun terhadap pathogen. Rasa gatal ini yang
memicu seseorang untuk menggaruk, sehingga memperparah jaringan kulit
disekitarnya yang mana hal ini membantu bakteri untuk berkembang biak.
- Gejala Klinis

Gambar 4.15a Gambar 4.15 b

35
36

Gambar 4.15: Abses Multipel Kelenjar Keringat, (Sumber : Fitz’s


Patrick)

Pada anak, faktor predisposisi ialah daya tahan yang menurun contohnya:
malnutrisi, morbili, banyak keringat karena sering bersamaan dengan timbulnya
miliaria. Pada gambaran klinis didapatkan berupa nodus eritematosa, multiple, tak
nyeri, berbentuk kubah, dan lama memecah. Lokasinya terdapat di tempat yang
menjadi sumber keringat.
- Diagnosis Banding: Furunkulosis, pada penyakit ini terasa nyeri dan
berbentuk seperti krucut dengan pustule di tengah dan relative lebih cepat
pecah.
- Pengobatan: Dapat diberikan pengobatan antibiotik yang sistemi dan topikal.
Perlu diperhatikan faktor predisposisi.
4.7.11 Hidradenitis
- Definisi: Hidraadenitis merupakan infeksi kelenjar apokrin, yang biasanya
disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.
- Etiologi: Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Staphylococcus aureus
- Epidemilogi: Infeksi hidraadenitis terjadi pada sesudah akil balik (masa
pubertas) sampai dewasa muda
- Gejala Klinis :

Gambar : 4.16 a Gambar : 4.16 b

Gambar 4.16: Hidradenitis(Sumber : Fitz’s Patrick)

Infeksi terjadi pada kelenjar apokrin, karena itu terdapat pada usia sesudah akil
balik samapai dewasa muda. Sering diketahui oleh trauma atau mikrotrauma,

36
37

contohnya : banyak kringat, pemakaina deodorant tau rambut ketiak yang di


guntung.
Penyakit ini desertai gejala konstitusi, antara lain : demam, malaise. Raum berupa
nodus dengna kelima tanda radang akut.Kemudian melunak menjadi babses dan
memecah membentuh fistel dan disebut hidradenitis supurativa.Pada yang
menahun atau kronis dapat berbentuk absses, fistel dan sinus yang
multiple.Banyak berlokasi di ketiak dan juga perineum.Di tempat yang banyak
kelenjar apokrin. Terdapat leukositosis.
- Diagnosis Banding :Skrofuloderma. Dimana persamaannya terdapat nodus,
abses dan fistel. Perbedaanya, pada hidraadenitis supurativa pada permulaan
desertai tanda-tanda radang akut dan terdapat gejala konstitusi. Sebaliknya
pada skrofulderma tidak didapatkan tanda-tanda radang akut dan tidak ada
leukositosis.
- Pemeriksaan Penunjang: Pada pemeriksaan darah lengkap terdapat
leukositosis
- Pengobatan :Antibiotic seistemik. Jika telah terbentuk abses dapat diinsisi.
Kalau belum melunak diberi kompres terbuka. Pada kasus yang kronik dan
residitif, kelenjar apokrin dieksisi.

4.7.12 S4 (Staphylococcal Scaleded Skin Syndrome)


- Definisi :S.S.S.S ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu
dengan ciri yang khas ialah terdapatnya epidermolisis.
- Etiologi :Etiologinya ialah Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55
dan/atau faga 71`
- Epidemiologi: Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan
penyakit pada neonatus dan anak-anak. S4 jarang terjadi pada dewasa kecuali
dengan gangguan ginjal, defisiensi imun dan penyakit kronik. Prevalensi pada
anak kurang dari 2 tahun sebesar 62% dan hampir seluruh kasus terjadi pada
anak kurang dari 6 tahun (98%). Rasio pada pria dan wanita adalah 2:1.23
- Anak-anak merupakan faktor resiko pada SSSS karena kekurangan imunitas
dan kemampuan renal imatur dalam pembersihan toksin (toksin exfoliative).

37
38

Antibodi maternal dapat ditransfer kepada infant melalui ASI tetapi SSSS
masih dapat terjadi karena inadekuat imunitas dan imatur ginjal.
- Patogenesis :Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung,
tenggorok, dan telinga. Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik
(epidermolin, eksofoliatin) yang beredar di seluruh tubuh sampai pada
epidermis dan menyebabkan kerusakan. Pada kulit tidak selalu ditemukan
kuman penyebab. Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan
eksofoliatin, pada bayi diduga fungsi ginjal belum sempurna sehingga
penyakit ini terjadi pada golongan usia tersebut

- Gejala Klinis :

Gambar : 4.17 a Gambar : 4.17 b

Gambar 4.17: S4 (Staphylococcal Scaleded Skin Syndrome),


(Sumber : Fitz’s Patrick)

Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi disaluran nafas bagian
atas. Kelainan kulit yang pertama timbul adalah eritema, yang timbul mendadak
pada muka, leher, ketiak dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24
jam. Dalam waktu 1-2 hari akan muncul bula-bula berdinding kendur, tanda
nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai

38
39

pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tanpak daerah erosif. Akibat


epidermolisis tersebut gambarannya mirip dengan kambustio. Daerah-daerah
tersebut akan mongering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi.
Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks
- PemeriksaanPenunjang:
o Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan Gram
o Kultur (mata, tenggrorok) untuk mengetahui S. Aureus.
o Pemeriksaan darah (WBC, ESR)
o Pemeriksaan PCR
o Pemeriksaan Histologi: Pemeriksaan pada tepi bula untuk melihat
lapisan kulit (epidermis) sehingga dapat mengetahui aktivitas
epidermolitik kulit.
o Biopsi kulit: Pemeriksaan biopsi pada daerah kulit yang terinfeksi akan
terlihat gambaran pemisahan epidermis pada lapisan granular.

- Diagnosis Banding :Penyakit ini mirip N.E.T (Nekrolisis Epidermal Toksik,


bahkan pada awalnya disebut N.E.T sebelum dilaporkan oleh Ritter).
Perbedaannya S4 umumnya menyerang anak-anak dibawah usia 5 tahun,
mulainya kelainan kulit didaerah muka, leher, dan lipat paha, mukosa
umumnya tidak diserang dan angka kematian lebih rendah (meskipun begitu
penyakit ini adalah pioderma penyebab kematian paling mungkin). Kedua
penyakit ini sulit dibedakan sehingga ada baiknya dilakukan pemeriksaan
histopatologi secara frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena
prinsip pengobatan keduanya berbeda. Perbedaan terletak pada celah, S4 di
stratum granulosum, N.E.T di sub epidermal. Perbedaan lain pada N.E.T
terdapat nekrosis disekitar celah dan terdapat sel radang.
- Komplikasi :Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS
adalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang
sering terjadi berupa dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis. Kasus SSSS
pada anak jarang menyebabkan sepsis sehingga angka kematiannya lebih
rendah (1-5%). Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai 50-60%)

39
40

karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan


kejadian sepsis
- Pengobatan :Pengobatan dapat dengan pemberian antibiotic jika dipilih
dengan derivate penisislin yang efektif bagi Staphylococcus aureus yang
membentuk penisilinase, contohnya kloksasilin dengan dosis 3 X 250 mg
/hari/os untuk dewasa. Pada neonates atau dengan penyakit ritter dosisnya 3
X 50mg/hari/os. Obat lain yang dapat diberikan antara lain adalah
klindamisin dan sefosporin generasi 1. Pemberian topical dapat diberikan
sufratulle atau krim antibiotic. Diperlukannya memperhatikan keseimbangan
carian serta elektrolit.
- Prognosis :Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah
setahun, yang berkisar antara 1-10%. Dimana penyebab utama kematian
adalah tidak adanya keseimbangan cairan ataupun elektrolit dan sepsis.
- Pencegahan: Pengenalan potensi epidemik SSSS pada neonatal intensive
care unit (NICU) sangat penting meliputi:
a. Identifikasi pekerja kesehatan yang terinfeksi Staphylococcus Aureus
sehingga tidak melakukan penularan pada neonatal melalui prosedur
perawatan umbilkus (nosokomial infeksi).
b. Prosedur pemakaian chlorhexidine hand washing pada pekerja
kesehatan.
4.8Pengobatan Umum3
4.8.1 Sistemik
1. Penisilin G prokain dan semi-sintetiknya
- Penisilin G prokain,
Dosisnya 1,2 juta/hari i.m, obat ini sudah tidak dipakai lagi
karena dianggap tidak praktis dan pemakaiannya sering
menimbulkan syok anafilaktik
- Ampisillin,
Dosis 4×500 mg, dapat diberikan sejam sebelum makan (Post-
Cunam)
- Amoksisilin,

40
41

dosisnya sama dengan ampisilin, dipakai setelah makan (Post-


Cunam) dan absorbsinya lebih cepat dari Ampisilin sehingga
konsentrasi dalam plasma lebih tinggi.
- Golongan obat penisilin resisten-penisillinase,
contohnya adalah oksasillin, kloksasillin, dikloksasillin,
flukloksasillin. Dosis 3×250 mg/hari ante-cunam. Kelebihan obat
ini adalah juga berkashiat pada Staphylococcus yang telah
membentuk penisilinase
2. Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin, 3×500 mg/hari. Klindamisin diabsorbsi lebih
banyak karenanya dosisnya lebih kecil yaitu 4×150 mg/hari/os, pada
infeksi berat dosisnya 4×300-450 mg/hari. Linkomisin agar tidak
dipakai lagi dan digantikan oleh Klindamisin karena potensial
antibakterinya lebih besar dan efek sampingnya lebih sedikit dan tidak
terlalu terhambat oleh adanya makanan dalam lambung
3. Eritromisin
Dosis 4×500 mg/hari/os.Efektivitasnya kurang dibandingkan
Linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin resisten-
penisillinase. Cepat menyebabkan resistensi dan kadang terjadi tak
enak di lambung
4. Sefalosporin
Bila terjadi pioderma berat yang dengat obat diatas tidak
menunjukan hasil maka dipakailah Sefalosporin.Ada empat generasi
yang berkhasiat untuk kuman gram positif yaitu generasi I juga
generasi IV. Contohnya adalah sefadoksil dari generasi I dengan dosis
dewasa, 2×500 mg atau 2×1000 mg/hari
4.8.2 Topikal
Bermacam obat topikal dapat digunakan untuk pioderma, contohnya
basitrasin, neomisin, mupirosin.Neomisin berkhasiat juga untuk bakteri Gram
negatif.Neomisin sering mengalami sensitisasi, sedangkan teramisin dan
kloramfenikol sebenarnya tidak terlalu efektif namun sering dipakai

41
42

karenanya harganya murah.Obat-obatan ini biasanya berbentuk salep atau


krim.
Selain itu juga baik agar diberikan kompres terbuka contohnya, larutan
permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1 o/oo dan yodium povidon 7,5
% yang dilarutkan 10 kali.
Tabel 4.3: Pengobatan pioderm secara sistemik dan topikal

4.9 Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan laboratorik (darah tepi) terdapat leukositosis. Pada kasus
yang kronis dan sukar sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada
kemungkinan penyebabnya bukan stafilokokus melainkan kuman gram negatif.
Hasil tes resistensi hanya bersifat menyokong, invivo tidak selalu sesuai dengan in
vitro.3

4.10 Komplikasi
Komplikasi pioderma yaitu bisa menyebar ke bagian tubuh yang laindan
Septikemia (bakteri dalam peredaran darah).

4.11 Pencegahan
- Jagalah kebersihan dengan mandi tiap hari
- Jangan menggaruk apabila kulit terasa gatal
- Apabila kulit cedera, teriris atau luka, oleskan cairan antibiotika

42
43

BAB V
PENUTUP

Pioderma merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus,


Streptococcus atau keduanya, dapat juga disebabkan oleh bakteri Gram-negatif
seperti Pseudomonas aeroginosa, Proteus vulgari, Proteus mirabilis, Escherichia
coli dan Klebsiella.
Faktor predisposisi terjadinya pioderma yaitu karena hygine yang kurang,
menurunnya daya tahan, telah ada penyakit lain di kulit.
Banyak hal yang mempengaruhi seseorang sampai terjadinya pioderma
antara lain faktor host, agent, dan lingkungan seperti yang telah dipaparkan diatas
dimana adanya ketidakseimbangan antara ketiga faktor tersebut. Kelompok-
kelompok S. aureus yang tinggal dalam folikel rambut menimbulkan nekrosis
jaringan. Koagulase dihasilkan dan mengkoagulasi fibrin disekitar lesi dan
didalam saluran getah bening, mengakibatkan pembentukan dinding yang
membatasi proses dan diperkuat oleh penumpukan sel radang dan kemudian
jaringan fibrosis. Di tengah-tengah lesi, terjadi pencairan jaringan nekrotik
(dibantu oleh hipersensitivitas tipe lambat) dan abses mengarah pada daerah yang
daya tahannya paling kecil, setelah jaringan nekrotik mengalir keluar, rongga
secara perlahan-lahan diisi dengan jaringan granulasi dan akhirnya sembuh.
Ada beberapa macam pioderma antara lain impetigo, folikulitis,
furunkel/bisul, abses multipel kelenjar keringat, erisipleas, selulitis, dan
stahylococcal scaled skin syndrome (4S).
Pengobatan pioderma secara umum yaitu pengobatan sistemik dan
pengobatan topikal. Pengobatan sistemik dengan mengunakan antibiotik yaitu:
Penisilin, Ampisillin, Amoksisilin, Likomisink, Klindamisin, Eritromisin,
Sefalosporin. Sedangkan topikal ada beberapa macam untuk pioderma, contohnya
basitrasin, neomisin, mupirosin. Neomisin berkhasiat juga untuk bakteri gram
negative, Neomisin dituliskan sering mengalami sensitisasi, sedangkan teramisin
dan kloramfenikol sebenarnya tidak terlalu efektif namun sering dipakai
karenanya harganya murah. Obat-obatan ini biasanya berbentuk salep atau
krim.Selain itu juga baik agar diberikan kompres terbuka contohnya, larutan

43
44

permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1 o/oo dan yodium povidon 7,5 %
yang dilarutkan 10 kali

44
45

DAFTAR PUSTAKA
1. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, Seven Edition. Mc Graw
Hill; 2008.
2. Stevens,L, Alan L, Hery f, Practice Guidelines for the Diagnosis and
Management of Skin Soft-Tisue Infection. Oxfordjournal.org 2005 . 1376-
1379.
3. Djuanda A. Pioderma. Dalam Djuanda A., Hamzah M.Aisah S. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Edisi keenam. Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2010. h.29-35
4. Martodihardjo. Sunarko dkk, 2005. Impitigo dan Furunkel/Karbunkel.
Dalam Pedoman Diagnosa dan Terapi Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Ketiga. Surabaya: Airlangga University Press, hal 94-97
5. Mansjoer A, Suprohaita dkk, 2000. Pioderma. Kapikta Selekta Kedokteran
Edisi ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal 76-
85
6. Murtiastutik D, Ervianti E dkk, 2009. Impetigo,
Folikulitis/Furunkel/Karbunkel, Erisipelas. Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi kedua. Surabaya: Fakultas Airlangga/RSUD dr. Soetomo, hal 27-38

45
46

LAMPIRAN

46
47

47
48

48

Anda mungkin juga menyukai