Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

Enterobiasis

Oleh:
Anerza Nurfitri, S.Ked
G1A216065

Pembimbing:
dr. Azwar Djauhari, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JAMBI
PUSKESMAS SIMPANG KAWAT
PROVINSI JAMBI

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama / JK / Umur : An. A / perempuan / 4 tahun 6 bulan
Pendidikan : PAUD
Alamat : RT 02 Cempaka Putih

II. Latar Belakang Sosial-Ekonomi-Demografi-Lingkungan Keluarga


a. Anak/Saudara : anak ke lima dari lima bersaudara
b. Status ekonomi keluarga : kurang mampu
Ayah : wiraswasta (penghasilan  50.000/hari)
Ibu : ibu rumah tangga
c. Kondisi rumah :
Pasien tinggal di rumah bedeng semi permanen dengan lantai semen,
dinding kayu, dan atap seng. Terdiri dari 1 ruang tamu sekaligus ruang
tengah dengan 1 jendela, 2 ruang tidur tanpa ventilasi dan jendela, 1 dapur
tanpa ventilasi dan jendela, 1 kamar mandi dengan jamban jongkok yang
terletak di bangunan berbeda di bagian belakang rumah tanpa ventilasi dan
digunakan bersama keluarga lain di lokasi bedeng tersebut. Pencahayaan
dan pertukaran udara di dalam rumah ini masih tergolong buruk. Sumber
air bersih dan minum berasal dari sumur yang terletak di belakang rumah
tepat di sebelah kamar mandi, dan sumber listrik dari PLN. Tempat
pembuangan sampah terletak di belakang rumah. Di sebelah kanan dan kiri
rumah pasien terdapat rumah tetangga yang berdekatan langsung dengan
rumah pasien.

2
Rumah tampak depan Rumah tampak samping

Ruang tamu & tengah Jalan menuju dapur

Ruang tidur I Ruang tidur II

3
Dapur Kamar mandi

Sumur Peralatan makan

Pembuangan sampah Bersama pasien dan ibunya

4
a. Kondisi Lingkungan Keluarga dan Kebiasaan:
Pasien merupakan anak kelima dari lima bersaudara, tinggal bersama
ayah, ibu dan 1 kakaknya. Sumber penghasilan keluarga dari penghasilan
ayah yang berwiraswasta membakar batok. Menurut keterangan ibu pasien,
tidak ada masalah dalam keluarganya dan keharmonisan dalam keluarga
baik. Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk dan kurang sehat.
Anak sangat senang bermain dengan teman sebayanya di sekitar
rumah dan terkadang bermain tanah. Anak biasa makan 2 kali sehari, sering
makan jajanan yang dijual gerobak keliling yang lewat di depan rumah,
seperti bakso, tekwan, atau pempek ketika bermain. Setiap hendak makan,
anak jarang mencuci tangan dengan sabun. Ibu biasa memotong kuku anak
bila terlihat sudah panjang, anak biasa mandi 2 kali sehari.

III. Aspek Psikologis di Keluarga


- Pasien merupakan anak perempuan satu-satunya dan anak bungsu
- Pasien tinggal bersama kedua orangtua dan satu kakaknya
- Hubungan dengan anggota keluarga baik
IV. Riwayat Penyakit Sekarang (Tanggal 04 oktober 2018)
Keluhan Utama : Keluar cacing kremi dari dubur
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Anak dibawa ke Puskesmas Simpang Kawat dengan keluhan keluar
cacing kremi dari dubur semalam, ibu melihat dua cacing kremi seperti
benang dengan panjang  1 cm keluar dari dubur anak. Anak dalam dua hari
ini memang susah tidur pada malam hari dan terlihat menggaruk pantatnya,
anak mengatakan bahwa pantatnya terasa gatal terutama malam hari hingga
mengganggu tidurnya. Nafsu makan menurun (+), mual (-), muntah (-), batuk
(-), pilek (-), demam (-), BAK dan BAB seperti biasa. Menurut ibu anak
tampak lebih lesu dari biasanya dan kurang bersemangat. Ibu belum memberi
obat apapun pada anak sejak keluhan timbul.

5
V. Riwayat Penyakit Dahulu/Keluarga
 Riwayat dengan keluhan sama  1 tahun yang lalu
 Riwayat ibu dengan keluhan sama  4 bulan yang lalu dan sekarang
 Riwayat kakak yang tinggal serumah dengan keluhan yang sama  4
bulan yang lalu
VI. Riwayat Imunisasi
BCG : dilakukan 1 kali
Hepatitis : dilakukan 3 kali
Polio : dilakukan 4 kali
DTP : dilakukan 4 kali
Campak : dilakukan 1 kali
Ibu selalu membawa anaknya ke puskesmas untuk imunisasi.
VII.Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
1. Keadaan Umum : tampak sakit ringan
2. Kesadaran : compos mentis
3. Nadi : 82 x/menit
4. Pernafasan : 26 x/menit
5. Suhu : 36,7°C
6. Berat Badan : 12 kg
7. Tinggi Badan : 110 cm
8. Status Gizi :
BB/U : -3SD s/d -2SD (Gizi kurang)
TB/U : -2SD s/d +2SD (Normal)
BB/TB : -3SD s/d +-2SD (Kurus)
Pemeriksaan Organ
 Kepala Bentuk : normocephal, simetris
 Mata Exopthalmus/enophtal: (-)
Kelopak : normal
Conjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
6
Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya +/+
 Telinga : Sekret (-), serumen (-)
 Hidung : Nafas cuping hidung (-)
 Mulut Bibir : lembab
Gigi geligi : caries (-)
Palatum : deviasi (-)
Gusi : warna merah muda, perdarahan (-)
Lidah : kotor (-), ulkus (-), stomatitis (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), detritus (-)
 Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiriod (-)
 Thoraks; Cor (Jantung)
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula kiri
Perkusi Batas-batas jantung :
Atas : ICS II linea midclavicularis sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dekstra
Kiri : ICS V linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo (Paru)

Pemeriksaan Kanan Kiri


Inspeksi Statis & dinamis: simetris Statis & dinamis : simetris
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler, Wheezing (-), Vesikuler, Wheezing (-),
ronkhi (-) rhonki (-)
 Abdomen
Inspeksi Datar, sikatriks (-), dilatasi vena (-)
Palpasi Supel, nyeri tekan (-), hati dan lien tidak teraba
Perkusi Timpani
Auskultasi Bising usus (+) normal

7
 Perianal : hiperemis (-), pruritus (-)

 Ekstremitas Atas : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik,


kuku terlihat panjang dan kotor
Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

VIII. Pemeriksaan Penunjang


Belum dilakukan pemeriksaan
IX. Pemeriksaan Penunjang Anjuran
a. Anal swab
b. Pemeriksaan mikroskopis feses
X. Diagnosis Kerja
Enterobiasis (B80)
XI. Diagnosis Banding
- Anoreksia (R63.0)
- Tinea corporis (B35.4)
- Psoriasis vulgaris (L40.0)
XII. Manajemen
a. Promotif :
 Menjelaskan pada ibu pasien mengenai penyakit cacingan yang
pasien derita mulai dari penyebab, faktor risiko, cara penularan,
pengobatan, pencegahan, serta komplikasi dari penyakit ini.

8
 Menjelaskan pentingnya pemberian makanan bergizi beserta
manfaatnya terhadap status gizi dan kesehatan anak.
 Menjelaskan bagaimana cara meningkatkan kesehatan lingkungan di
antaranya dengan tiap hari membuka pintu dan jendela agar
pertukaran udara berjalan lancar, bila perlu menambah jendela dan
ventilasi sehingga pertukaran udara menjadi lebih baik, mencuci
sprei dan sarung bantal dua minggu sekali, tidak menggantung
pakaian terlalu banyak, mencuci alat makan menggunakan sabun dan
air yang bersih, menguras bak mandi 2-3 minggu sekali, serta
meningkatkan kebersihan diri dengan mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan, memastikan alat-alat makan bersih sebelum
digunakan, memotong kuku anak 1-2 minggu sekali.

b. Preventif :
 Menjaga kebersihan tubuh anak dengan mandi dua kali sehari.
 Memotong kuku bila panjang, tidak menggigit-gigit kuku, dan
menjaga kebersihan kuku
 Coba mengganti air minum dengan galon
 Mencuci tangan sebelum makan, setelah buang air besar
maupun kecil, setelah menggaruk dubur, dan setelah bermain di
luar
 Memakai alas kaki saat keluar rumah.
 Jangan bermain tanah atau di tempat kotor
 Anak sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur agar
alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat
menggaruk daerah perianal.
 Toilet sebaiknya dibersihkan dan disiram dengan desinfektan,
bila mungkin setiap hari
 Pakaian dicuci bersih dan diganti setiap hari
 Tidak makan makanan yang dijual dipinggir jalan yang
diragukan kebersihannya.
9
c. Kuratif :
Non Farmakologi
 Diet makanan yang bergizi dan seimbang sesuai kebutuhan anak
Farmakologi
 Pirantel Pamoat tablet 125 mg diberikan 1 x 1 tablet
 Vitamin B complex tablet diberikan 2 x 1 tablet

RESEP

Dinas Kesehatan Kota Jambi


Puskesmas Simpang Kawat
Jl. Beton Payo Lebar,Simpang Kawat Jelutung
dr. Anerza Nurfitri
SIP. 27031994
STR. 16102004

Tanggal: 04 oktober 2018

R/ Pirantel pamoat tab 125 mg No. I


ʃ 1 dd 1 tab I

R/ Vit. B comp tab No. VI


ʃ 2 dd 1 tab I

Pro : An. A
Umur : 4 tahub 6 bulan
Alamat : RT 02 Cempaka Putih

10
Tradisional
 Akar pepaya dihaluskan bersama bawang putih, setelah itu
tambahkan segelas air. Lalu didihkan di atas api sampai tinggal
setengan gelas. Anda bisa meminum obat ini 2 kali sehari, tiap
kali minum yaitu ¼ gelas. Selama anda meminum obat ini
sebaiknya anda mengurangi makan anda, anda bisa mencampur
obat ini dengan susu agar tidak terasa pahit saat diminum.

 Biji pepaya masak lebih kurang satu mangkuk digiling hingga


halus. Kemudian dicampur dengan air dan diminum satu kali
sehari setelah makan malam.

d. Rehabilitatif
 Menjaga asupan makanan bergizi, bersih, dan sehat untuk
memperbaiki gizi anak.
 Kontrol ulang ke puskesmas 3 hari kemudian untuk melihat apakah
keadaan membaik atau tidak.
 Memberikan pengobatan cacingan juga untuk anggota keluarga yang
tinggal serumah dengan pasien.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Istilah cacingan yang paling populer di Indonesia adalah cacingan oleh


cacing kremi (Oxyorus vermicularis) yaitu sejenis cacing famili Vermes Annelida
yang juga termasuk parasit bagi manusia. Enterobiasis (Oxiyuriasis, cacing kremi,
dan infeksi Seatworm) adalah kondisi medis yang disebabkan oleh cacing kremi (
Enterobius vermicularis/ Oxyuris). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan yang
paling sering terinfeksi adalah anak-anak. Enterobiasis ditandai dengan sering
ditemukannya rasa gatal pada anus (pruritis ani) yang timbul pada malam hari,
anoreksia, penurunan berat badan, sulit tidur, diare, dan nyeri perut. Infeksi
Enterobiasis vermicularis terjadi melalui makanan, jari dan inhalasi udara yang
terkontaminasi telur Enterobiasis vermicularis serta secara retroinfeksi dari
daerah sekitar anus. Cacing Enterobius vermicularis paling banyak ditemukan di
daerah dingin karena pada umumnya di daerah dingin orang-orang jarang mandi
dan berganti pakaian dalam.
Hasil penelitian menunjukan angka prevelensi pada berbagai golongan
manusia sekitar 3-8 %. Peneliyian di daerah Jakarta Timur menunjukan bahwa
kelompok usia terbanyak yang menderita Enterobiasis adalah kelompok usia 5-9
tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1 %) dari 85 anak yang diperiksa. Penularan
penyakit Enterobiasis paling sering terjadi pada keluarga atau kelompok yang
hidup pada lingkungan yang sama (asrama, dan rumah piatu). Pada anak-anak
sering terinfeksi Enterobiasis karena sering memasukan jari tangannya ke mulut
dan jarang cuci tangan sebelum makan. Untuk menghindari terkena Enterobiasis,
kebersihan perorangan harus dilakukan, memotong kuku, mencuci tangan
sebelum makan terutama pada anak-anak dan selalu menjaga kebersihan
makanan.

12
A. Enterobiasis
Enterobiasis (Infeksi Cacing Kremi) adalah suatu infeksi parasit yang
terutama menyerang anak-anak, dimana cacing Enterobius vermicularis tumbuh
dan berkembangbiak di dalam usus.
1. Etiologi
Penyebab penyakit Enterobiasis adalah Enterobius vermicularis atau
Oxyuris vermicularis yang berukuran 1 cm dan berwarna putih. Dalam sekali
bertelur cacing ini dapat menghasilkan 11.000 butir telur. Telurnya bebentuk
asimetris, eclipse pada satu sisi dan datar pada sisi lainnya dengan ukuran 30-
60 µm. Setelah melalui proses pematangan larva dapat bertahan hidup dalam
telur sampai 20 hari.
Infeksi cacing Enterobius vermicularis bisa terjadi melalui 2 cara yaitu,
yang pertama telur cacing berpindah dari daerah sekitar anus (perianal)
penderita kemudian pindah ke pakaian, sprei atau mainan, kemudian melalui
jari-jari tangan telur cacing pindah ke mulut dan akirnya tertelan. Kemudian
cara yang kedua dapat terhirup melalui udara kemudian tertelan.

2. Morfologi Enterobius vermicularis


a. Telur Enterobius vermicularis
Telur berbentuk elipsoid atau
lonjong dan mempunyai dua sisi yaitu sisi
lengkung dan sisi mendatar atau lebih
datar pada satu sisi (asimetrik). Dinding
telur bening dan agak lebih tebal
berdinding hialin transparan, biasanya
sudah diketemukan embrio dalam stadium tadpole (kecebong). Telur
jarang dikeluarkan melalui tinja dan tahan disinfektan dan suhu dingin.
b. Cacing betina Enterobius vermicularis
Cacing betina Enterobius vermicularis berukuran 8-13 mm x 0,4
mm dan berbentuk silindris. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum
seperti sayap yaitu 1 pasang alae yang disebut cephalic alae dan terdapat 3
13
labia. Bulbus esofagus ganda jelas sekali, ekornya panjang dan runcing,
Vulva terletak kira ½ bagian anterior. Uterus cacing yang gravid melebar
dan penuh dengan telur.

Gambar : Cacing dewasa jantan dan betina

c. Cacing jantan Enterobius vermicularis


Cacing jantan Enterobius
vermicularis berukuran 2-5 mm
berbentuk silindris juga mempunyai 3
labia dan sepasang alae yang disebut
chepalic alae pada ujung anterior.
Bulbus esofagus ganda, ujung
posterior sangat melengkung jelas dengan spikulum kopulatoris yang jelas.
Tidak ada gubernaculums. Mempunyai bursa kecil yang tampak sebagai
alae kaudal.
Kopulasi cacing jantan dan betina kemungkinan terjadi di sekum.
Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar, usus halus
yang berdekatan dengan rongga usus. Makanannya adalah isi dari usus
penderitanya. Cacing jantan mati setelah kawin dan cacing betina mati
setelah bertelur. Cacing betina yang mengandung 11.000-15.000 butir
telur akan bermigrasi ke daerah sekitar anal (perianal) untuk bertelur.
14
Migrasi ini berlangsung 15 – 40 hari setelah infeksi. Telur akan matang
dalam waktu sekitar 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu tubuh. Dalam
keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.

3. Patogenesis
a. Telur berada di lipatan perianal. Telur ini memerlukan waktu 4-6 jam
untuk menjadi telur yang infektif
b. Telur tertelan manusia, misal menggaruk anus lalu menggunakannya
untuk makan tanpa cuci tangan
c. Sesampainya di duodenum telur ini menetas dan menjadi larva
rhabditiformis dan berkembang menjadi cacing dewasa
d. Cacing dewasa akan menuju jejunum, coecum dan kolon
e. Cacing betina akan bermigrasi ke daerah perineum/perianal untuk
bertelur lalu mati setelah bertelur. Cacing jantan mati setelah kopulasi.
Motilitas cacing betina saat bertelur di anus, dapat menyebabkan gatal-
gatal di anus. Jika telur menetas di anus, larva akan masuk ke kolon lagi
(retrofeksi). Telur enterobius vermicularis biasa menempel di manapun,
di lantai, meja, kursi dan mudah diterbangkan bersama debu dan
menginfeksi orang yang menghisap debu ini (infeksi inhalasi).

Gambar : Siklus hidup Enterobius vermikularis


15
4. Manifestasi klinis
Beberapa gejala dan tanda dari Enterobiasis (infeksi cacing kremi) adalah
a. Rasa gatal pada anus (pruritis ani), karena adanya deposit atau tumpukan
telur Enterobius vermicularis di daerah sekitar anus (perianal) dan arena
cacing Enterobius vermicularis suka bergerak di daerah anus terutama
pada malam hari.
b. Luka garuk di sekitar anus, karena adanya rasa gatal pada daerah perianal
sehingga menyebabkan penderita menggaruk pada daerah perianal tersebut
sampai terjadi luka
c. Insomnia (susah tidur), karena rasa gatal (pruritis ani) sering terjadi pada
waktu mlam hari sehingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi
lemah
d. Kurang nafsu makan (terutama pada infeksi yang berat) sehingga
menyebabkan penurunan berat badan
e. Kadang-kadang cacing dewasa dapat bergerak ke usus halus bagian
proksimal sampai ke lambung, esophagus dan hidung sehingga
menyebabkan gejala nyeri perut, rasa mual, muntah dan diare.
f. Vaginitis (radang saluran telur), terjadi karena cacing betina gravid
mengembara dan bersarang di vagina dan di tuba fallopi.

5. Diagnosis dan diagnosis banding


a. Diagnosis
Diagnosis enterobiasis ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
1) Gejala klinis
a) Anamnesis; Keluhan utama yang sering kali muncul dari infeksi
cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di
sekitar anus pada waktu malam hari. Disamping itu sumber
penyakit harus ditelusuri.
b) Pemeriksaan fisik; Pasien mengalami nyeri pada perutnya, nafsu
makan dan berat badan turun, dan diare, anoreksia, badan menjadi
16
kurus, sukar tidur. Disamping itu juga timbul rasa mual, muntah,
disebabkan karena iritasi cacing dewasa pada sekum, apendiks,
dan sekitar muara anus.
c) Pemeriksaan penunjang; Pemeriksaan darah tepi umumnya
normal, hanya ditemukan sedikit eosinofilia. Diagnosis pasti
enterobiasis dengan cara menemukan telur atau cacing dewasa di
daerah perianal dengan swab atau di dalam tinja. Anal swab di
tempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak
buang air besar dan mencuci pantat.

b. Diagnosis banding
Pruritus ani merupakan gejala enterobiasis yang menonjol, yang juga
dijumpai pada hampir semua kelainan kulit, misalnya psoriasis dan dermatitis
atopik. Reaksi alergi, misalnya dermatitis kontak yang disebabkan oleh bahan
obat bius yang dioleskan di kulit, berbagai jenis salep atau bahan kimia dalam
sabun. Infestasi parasit seperi cacing kremi dan skabies atau pedikulosis.
Selain itu, penyakit-penyakit, seperti kencing manis atau penyakit hati,
kelainan anus (misalnya tanda di kulit atau skin tags, kriptitis, pengeringan
fistula) dan kanker (contohnya penyakit Bowen).

6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan
pemeriksaan laboratorium yaitu dengan Anal Swab. Pemeriksaan Anal swab
dilkukan untuk menemukan telur atau cacing dewasa di daerah perianal di
dalam tinja. Pemeriksaan Anal swab dilakukan pada waktu pagi hari sebelum
anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok).
Anal Swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada
ujungnya dilekatkan pita perekat atau Scoth adhesive tape. Bila adhesive tape
ini ditempelkan di daerah sekitar anus (perianal), telur cacing akan menempel
pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan
dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Satu tes tidak selalu
17
cukup untuk berhasil mendiagnosa enterobiasis dan lebih dari satu mungkin
harus dilakukan. Sebuah tes ulang dilakukan setiap hari selama tiga hari
berturut-turut akan mendiagnosis enterobiasis lebih dari 90% dari waktu.

7. Pencegahan
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pencegahan atau
mengendalikan infeksi cacing kremi (Enterobius vermicularis) antara lain :
a. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
b. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
c. Mencuci sprei minimal 2 kali seminggu
d. Membersihkan kamar mandi atau jamban setiap hari
e. Sebaiknya pakaian dicuci bersih dan diganti setiap hari
f. Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung
parasit

8. Pengobatan
a. Perawatan umum
1) Pengobatan sebaiknya dilakukan juga terhadap keluarga serumah
atau yang sering berhubungan dengan pasien
2) Kesehatan pribadi perlu diperhatikan terutama kuku, jari-jari dan
pakaiain tidur
3) Toilet sebaiknya dibersihkan dan disiram dengan desinfektan, bila
mungkin setiap hari
b. Pengobatan spesifik
1) Mebendazole; Pemberian mebendazole dengan dosis tunggal 500 mg,
diulang setelah 2 minggu. Kerjanya merusak subseluler dan menghambat
sekresi asetilkolinesterase cacing, menghambat ambilan glukosa.
Absorpsi oral buruk, ekskresi terutama lewat urin dalam dalam bentuk
utuh.
2) Albendazole; Albendazole diberikan dosis tunggal 400 mg diulang
setelah 2 minggu.
18
3) Piperazin sitrat; Piperazin sitrat diberikan dengan dosis 2 x 1 g/hari
selama 7 hari berturut-turut dapat diulang dengan interval 7 hari.
Kerjanya menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin
sehingga terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik
usus. Absorpsi melalui saluran cerna, ekskresi melalui urine.
4) Pirvium pamoat; Obat ini diberikan dengan dosis 5 mg/kg berat badan
(maksimum 0,25 g) dan diulangi 2 minggu kemudian. Obat ini dapat
menyebabkan rasa mual, muntah dan warna tinja menjadi merah.
Bersama mebendazole efektif terhadap semua stadium cacing Enterobius
vermicularis.
5) Pirantel pamoat; Pirantel pamoat diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat
badan sebagai dosis tunggal dan maksimum 1 gram. Kerjanya
menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi
impuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak
baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja, <15% lewat urine.

9. Prognosis
Infeksi cacing ini biasanya tidak begitu berat, dan dengan pemberian obat-obat
yang efektif maka komplikasi dapat dihindari. Pengobatan yang secara periodik
akan memberikan prognosis yang baik. Yang sering menimbulkan masalah adalah
infeksi intra familiar, apalagi dengan keadaan higienik yang buruk. Baik dan
biasanya tidak menimbulkan bahaya, terutama dengan pengobatan yang baik.
Yang perlu diperhatikan adalah kebersihan dan pencegahan auto atau hetero-
infection kembali.

10. Epidemiologi
Penyebaran dan penularan penyakit cacing kremi (enterobiasis) terutama
terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup di dalam suatu
lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Di berbagai rumah tangga dengan
beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat
ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, buffet, tempat duduk kakus (toilet seats),
19
bak mandi, alas kasur dan pakaian. Kelompok usia yang rentan terinfeksi
Enteobius vermicularis adalah kelompok usia 5-9 tahun (anak-anak).

11. Kompilkasi
Bila jumlah cacing dewasa cukup banyak akan dapat menyebabkan
apendisitis. Cacing dewasa pada wanita dapat bermigrasi ke dalam vagina, uterus
dan tuba falopi, dan dapat menyebabkan peradangan di daerah tersebut.
- Salpingitis (peradangan saluran indung telur).
- Vaginitis (peradangan vagina).
- Infeksi ulang.

B. Cara infeksi dan penularan


Penularan dapat dipengaruhi oleh:
a. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (auto
infeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun
kepada diri sendiri karena memegang benda-benda yang terkontaminasi.
b. Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh
angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan.
c. Retrofeksi melalui anus, larva dari telur menetas di sekitar anus kembali
masuk melalui anus terus naik sampai sekum dan tumbuh menjadi
dewasa ke usus.
d. Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi
sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya.

20
BAB III
ANALISIS KASUS

Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar:


 Pasien tinggal di lingkungan rumah yang padat penduduk, sekitar rumah
tampak kumuh. Kebersihan diri, makanan yang dimakan, peralatan makan,
rumah, lokasi sumur yang bersebelahan langsung dengan jamban, dan
lingkungan sekitar kurang terjaga, serta keadaan sosial ekonomi yang
tergolong kurang mampu.
 Penyakit yang diderita pasien termasuk penyakit yang menular. Dengan
lingkungan rumah yang padat dan kumuh akan meningkatkan risiko
terjadinya penularan diantara penduduk setempat. Lokasi sumur yang
bersebelahan dengan jamban meningkatkan risiko tercemarnya sumur oleh
feses yang mungkin mengandung telur cacing, apalagi keluarga pasien
minum dengan air sumur tersebut. Ditambah lagi dengan kebersihan diri,
rumah, dan makanan yang kurang terjaga merupakan faktor predisposisi
penularan penyakit yang dialami pasien.

Hubungan diagnosis dengan keluarga dan hubungan keluarga:


 Dari anamnesis diketahui bahwa ibu dan kakaknya juga pernah mengalami
keluhan yang sama dengan pasien.
 Terdapat hubungan, seperti yang dikatakan sebelumnya penyakit ini sangat
mudah menular sehingga besar kemungkinan ibu dan kakak pasien
menularkan penyakit tersebut kepada pasien atau sebaliknya.
Kemungkinan juga air sumur memang sudah tercemar oleh telur cacing,
sehingga anggota keluarga pasien juga mengalami keluhan seperti pasien.

Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan


sekitar:
 Anak sangat senang bermain dengan teman sebayanya di daerah tempat
tinggal yang tergolong tidak sehat dan terkadang bermain tanah, sering
21
makan jajanan yang dijual gerobak keliling yang lewat di depan rumah,
seperti bakso, tekwan, atau pempek ketika bermain. Setiap hendak makan,
anak jarang mencuci tangan dengan sabun. Ibu biasa memotong kuku anak
bila terlihat sudah panjang, saat dilakukan pemeriksaan kuku anak terlihat
panjang dan kotor.
 Kuku yang panjang dan kotor dapat menjadi media bagi telur cacing untuk
masuk ke dalam tubuh anak. Apalagi bila sebelum makan anak tidak
mencuci tangannya terlebih dahulu. Jadi, cacing dapat masuk dengan
mudah melalui makanan yang masuk ke mulut. Kemudian cacing akan
berkembang di dalam tubuhnya.

Analisis kemungkinan faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien ini:
 Kuku yang panjang dan kotor dapat menjadi media bagi telur cacing untuk
masuk ke dalam tubuh anak. Sebelum makan anak juga jarang mencuci
tangannya terlebih dahulu dengan sabun. Jadi, cacing dapat masuk dengan
mudah melalui makanan yang masuk ke mulut. Kemudian cacing akan
berkembang di dalam tubuhnya.
 Kebersihan diri, rumah, lingkungan, dan makanan yang kurang terjaga
yang mungkin sudah tercemar telur cacing.
 Lingkungan rumah yang padat dan kumuh akan meningkatkan risiko
terjadinya penularan diantara penduduk setempat.
 Lokasi sumur yang bersebelahan dengan jamban meningkatkan risiko
tercemarnya sumur oleh feses yang mungkin mengandung telur cacing,
apalagi keluarga pasien minum dengan air sumur tersebut.

Analisis untuk mengurangi paparan:


 Menjaga kebersihan tubuh anak dengan mandi dua kali sehari.
 Memotong kuku bila panjang, tidak menggigit-gigit kuku, dan menjaga
kebersihan kuku
 Mencuci tangan sebelum makan, setelah buang air besar maupun kecil,
setelah menggaruk dubur, dan setelah bermain di luar
22
 Memakai alas kaki saat keluar rumah.
 Coba mengganti air minum dengan galon
 Jangan bermain tanah atau di tempat kotor
 Anak sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur agar alas kasur
tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal.
 Toilet sebaiknya dibersihkan dan disiram dengan desinfektan, bila
mungkin setiap hari
 Pakaian dicuci bersih dan diganti setiap hari
 Tidak makan makanan yang dijual dipinggir jalan yang diragukan
kebersihannya

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Parasitologi kedokteran edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2009
2. Brown H W. Dasar Parasitologi Klinik. Jakarta: penerbit Gramedia. 2009
3. Rampengan, Laurentz. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC.
2003
4. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Infeksi dan Penyakit tropis.
Edisi 1. Jakarta: Penerbit FKUI. 2002
5. Purwono, Gunawan W, Magdalena L J, dkk. Atlas Helmintologi Kedokteran.
Jakarta: Penerbit PT gramedia. 2001.
6. Syarif A, Ari E, Arini S, dkk. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Balai
penerbit FKUI 2001.
7. World Health Organization. Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. 2009.

24

Anda mungkin juga menyukai