Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI EMERGENCY

Disusun oleh:
Gizela Yuanita

Pembimbing:
dr. Mulyono, Sp.A
dr. Teddy Wahyu

RUMAH SAKIT NASIONAL DIPONEGORO


SEMARANG
2019
1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 49 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Masuk RSND : 24 Oktober 2019, pukul 00.05 WIB
Ruang Perawatan : Gladiol 309
No. CM : 0276XX

1.2 DATA DASAR


ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada 24 Oktober 2019, pukul 00.05 WIB di Instalasi Gawat
Darurat RS Nasional Diponegoro, Semarang.

Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan Utama : Mimisan dari hidung kiri
Onset dan kronologis : Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 1 hari yang
lalu, nyeri dirasa berdenyut dan memberat sejak pagi hari tadi. Kira-kira setengah jam SMRS
pasien mimisan dari hidung kiri dan tidak kunjung berhenti. Keluhan timbul tiba-tiba saat
pasien sedang beristirahat, nyeri tengkuk (+), mual (+), muntah (-), pasien merasa lemas.
Riwayat trauma pada hidung (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasien mengaku mempunyai riwayat darah tinggi sejak 2 tahun yang lalu dan tidak rutin
kontrol ke dokter.
- Riwayat mimisan sebelumnya (+)

Riwayat Keluarga :
- Riwayat keluarga dengan hipertensi (+) yaitu ayah pasien

1.3 PEMERIKSAAN FISIK :


 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis, GCS : E4V5M6
 Vital signs
Tekanan darah : 210/127 mmHg
Nadi : 76 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu tubuh : 37,2° C per aksilla
 Mata : konjungtiva anemis ( -/-), sklera ikterik (-/-) Pupil bulat isokor 3mm/3mm,
Reflek cahaya +/+
 Hidung : tampak darah merah segar pada hidung kiri, deviasi septum (-), krepitasi (-)
 Mulut : sianosis (-), faring hiperemis (-), Tonsil T1/T1
 Leher : pembesaran limfonodi leher (-), JVP tidak meningkat
 Thoraks :
Inspeksi : simetris, simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : P/ stem fremitus kanan = kiri
C/ ictus cordis di SIC V 2 jari medial LMCS
 Perkusi : P/ Sonor di seluruh lapang paru
C/ batas jantung-paru dbn
 Auskultasi : P/ vesikuler +/+, ST (-)
C/ S1-2 reguler, ST (-)
 Abdomen
Inspeksi : kulit normal, distensi (-), asites (-), massa (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : Tympani, PH (+), PS (+) N, PA (-), nyeri ketok CVA -/-
Palpasi : NT (-), normo tympani (+), undulasi (-)
 Ekstremitas
Edema : (-/-/-/-) , akral hangat : (+/+/+/+)
Capillary refill : 1-2 detik

 Pemeriksaan Penunjang
Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 16,1 10,7 – 14,7 gr/dl
Lekosit 8,1 5,5 - 15,5 x 103/uL
Trombosit 247 217 – 497 x 103/uL
Hematokrit 50,2 31,0 – 43,0 %
Eritrosit 5,33 3,7 – 5,7 x 106/uL
INDEX ERITROSIT
MCV 94,2 72 – 88 fL
MCH 30,2 23 – 31 pg
MCHC 32,1 32 -36 g/dL
RDW-CV 12,7 11,5 – 14,5%

1.4 DIAGNOSIS
1. Hipertensi emergency
2. Epistaksis posterior

1.5 INSTRUKSI AWAL


- EKG
- Inj. Asam traneksamat 500 mg
- Captopril tablet 25mg sublingual
- Loading RL 250ml lanjut 20tpm
- Oksigen nasal canul 3 lpm
- Candesartan tab 8mg/24 jam p.o (pagi)
- Monitor TTV tiap 8 jam
- Rawat inap ruang biasa

1.6 FOLLOW UP
A. Tanggal 25 Oktober 2019
S: Mimisan (-), nyeri kepala (+) hilang timbul, mual (+)
O: KU = Compos mentis
HR = 84x/menit T= 36,60C
RR = 22x/menit TD = 155/93 mmHg
Mata : CA -/-, reflex cahaya +/+, pupil isokhor
Hidung : darah (-), deviasi septum (-), krepitasi (-)
Mulut : tonsil tidak hiperemis, sianosis -
Thorax : BJ I-II murni, regular, murmur -, gallop –
Abdomen : BU (+) normal, supel, normotympani, NT (-), ascites (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
A: Hipertensi stage I
P: - Inf. RL 20 tpm
- EKG ulang
- Inj. Asam traneksamat 250mg/8 jam i.v
- Monitor TTV/8 jam
- Parasetamol tab 500mg/8jam
- Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
- Candesartan tab 8mg/24 jam p.o (pagi)
B. Tanggal 26 Oktober 2019
S: Mimisan (-), nyeri kepala (-), mual (-)
O: KU = Compos mentis
HR = 78x/menit T= 36,80C
RR = 20x/menit TD = 142/90 mmHg
Mata : CA -/-, reflex cahaya +/+, pupil isokhor
Mulut : tonsil tidak hiperemis, sianosis –
Hidung : darah (-), deviasi septum (-), krepitasi (-)
Thorax : BJ I-II murni, regular, murmur -, gallop –
Abdomen : BU (+) normal, supel, normotympani, NT (-), ascites (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
A: Hipertensi stage I
P: - Pasien diperbolehkan pulang
- Obat pulang : Captopril tab 3 x 25 mg
- Kontrol DPJP sesuai jadwal

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang
sangat tinggi (tekanan diastolik > 140 mmHg) dengan kemungkinan akan timbulnya atau
telah terjadinya kelainan organ target.4,5
Krisis hipertensi meliputi dua kelompk yaitu: 3,4,6
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi
akut. (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau
kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.
Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam
sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.

STILAH KRISIS HIPERTENSI


Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain : 3
1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130
mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan
intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila
penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan
riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang
sebelumnya mempunyai TD normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila
TD diturunkan.

KRITERIA KRISIS HIPERTENSI


Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat ) 3
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
 Pendarahan intracranial, trombotik atau pendarahan subarakhnoid.
 Hipertensi ensefalopati.
 Aorta diseksi akut.
 Oedema paru akut.
 Eklampsi.
 Feokhromositoma.
 Funduskopi KW III atau IV.
 Insufisiensi ginjal akut.
 Infark miokard akut, angina unstable.
 Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
- Cedera kepala.
- Luka bakar.
- Interaksi obat.

Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak ) 3


 Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.
 KW I atau II pada funduskopi.
 Hipertensi post operasi.
 Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

I. EPIDEMIOLOGI
Secara statistik, bila seluruh populasi hipertensi (HT) dihitung, terdapat sekitar 70%
pasien yang menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT
ini dapat timbul krisis hipertensi yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis
HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 – 7% dari
populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama
2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena
kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta
penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian
ini. 1,2,3

II. PATOFISIOLOGI
Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau kontriksi dalam
merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk mempertahankan aliran (mekanisme
autoregulasi) yang tetap terhadap vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi.
Pada krisis hipertensi terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds
(terutama jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi. Akibat perubahan
ini akan terjad efek local dengan berpengaruhnya prostaglandin, radikal bebas dan lain-lain
yang mengakibatkan nekrosis fibrinoid arteriol, disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi
miointimal, dan efek siskemik akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin,
vesopresin, antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target. Jantung,
SSP, ginjal dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang dapat melindungi organ
tersebut dari iskemia yang akut, bila tekanan darah mendadak turun atau naik. Misalkan
individu normotensi, mempunyai autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada
tekanan arteri rata-rata.

Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole)


Pada individu hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan arteri
rata-rata (110-180mmHg).Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi pada tekanan darah yang
mendadak naik (krisis hipertensi), akibatnya pada SSP akan terjadi endema dan ensefalopati,
demikian juga halnya dengan jantung, ginjal dan mata.3

III. DIAGNOSIS 1,3,6


Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa
suatu krisis hipertensi.

IV.1. Anamnesa
Hal yang penting ditanyakan yaitu :
 Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
 Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
 Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
 Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas ).
 Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
 Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri
dada ).
 Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
 Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

IV.2. Pemeriksaan fisik :


Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD (baring dan berdiri) mencari
kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, gagal jantung kongestif). Perlu
dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung,
kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung
koroner.

IV.3. Pemeriksaan penunjang :


Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
1. Pemeriksaan yang segera seperti :
a. darah : rutin, BUN, creatinine, elektrolit.
b. urine : Urinalisa dan kultur urine.
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana ).
2. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang
pertama) :
a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography ( kasus tertentu ), biopsi
renal ( kasus tertentu ).
b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT
Scan.
c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine,
metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).

V. DIFERENSIAL DIAGNOSIS 3
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti :
- Hipertensi berat
- Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
- Ansietas dengan hipertensi labil.
- Oedema paru dengan payah jantung kiri.

VI. PENGOBATAN KRISIS HIPERTENSI


VI.1. Dasar-Dasar Penanggulangan Krisis Hipertensi: 1,6
Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis hipertensi sebaiknya
dirawat di ruang perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi:
1. Penurunan tekanan darah
Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat mungkin tapi
seaman mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan dicapai tidak boleh terlalu rendah,
karena akan menyebabkan hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan
darah yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan krisis
hipertensi, pengurangan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 20–25% dalam
beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada
penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan
dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi
lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk
pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD
dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170
– 180/100 mmHg.
2. Pengobatan target organ
Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi target
organ, pada umumnya masih diperlukan pengobatan dan pengelolaan khusus untuk
mengatasi kelainan target organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan
gagal jantung kiri akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian diuretic,
pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan afterload. Pada krisis hipertensi yang
disertai gagal ginjal akut, diperlukan pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang kadang-
kadang memerlukan hemodialisis.
3. Pengelolaan khusus
Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan khusus, terutama yang
berhubungan dengan etiloginya, misalnya eklampsia gravidarum.

VI. 2. Penanggulangan Hipertensi Emergensi : 1,5,6


Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan.
Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
 Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada
indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
 Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik
- tentukan penyebab krisis hipertensi
- singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
- tentukan adanya kerusakan organ sasaran
 Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya
kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien.
- Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari
160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama,
kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan
TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
- Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat
menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus
dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal :
dissecting anneurysma aorta.
- TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.

Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi 1,2,6


Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi
tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi
emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan
intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV )
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direkuat baik arterial maupun
venous.
Secara IV mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis 1 – 6 ug / kg /
menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan
dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 – 5 menit, duration
of action 3 – 5 menit.
Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus IV.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara IV bolus.
Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit, duration of action 4 – 12
jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit
sampai TD yang diinginkan.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia,
aritmia, dll.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 – 1 jam,
IV :10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam.
Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m.
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.
Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 –
60
menit.
Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama
untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin.
Dosis 5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m.
Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10 menit.
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi
sistem simpatis dan parasimpatis.
Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action : 1 – 5 menit.
Duration of action : 10 menit.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi,
mulut kering.
8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.
Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action 5 – 10 menit
Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10
jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering
dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis.
Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam.
Onset of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.
Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal
sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten,
obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.
Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100
cc dekstrose dengan titrasi dosis.
Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada parotis.
Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang
cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara
perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila terjadi
penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.
Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten
intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai,
injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang
long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.
*Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi 1,6,
Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang
sebaiknya dihindari adalah sbb :
1. Hipertensi encephalopati:
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
2. Cerebral infark :
Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol,
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.
3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid :
Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loop diuretuk.
Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Oedem paru akut :
Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol.
6. Aorta disseksi :
Anjuran : Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan B-antagonist, labetalol.
Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil
7. Eklampsi :
Anjuran : Hydralazine, Diazoxide, labetalol, Ca antagonist, sodium nitroprusside. Hindarkan:
Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8. Renal insufisiensi akut :
Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. KW III-IV :
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist.
Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
10. Mikroaangiopati hemolitik anemia :
Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
Hindarkan : B-antagonist.
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena
pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring
ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan
secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan
tampaknya memberikan harapan yang baik.
• Obat oral untuk hipertensi emergensi :5,6,
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat
oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan
captoprial pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah
menit ke 20. Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam menurunkan
TD.
Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada
pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-
tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD diastolik
<10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila TD diastolik mencapai <120mmHg
atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran
yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60
menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau
MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ
sasaran.

VI.3. Penanggulangan hipertensi urgensi :1


Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali
dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan.
Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini
dan hasilnya cukup memuaskan.
Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan a.l :
Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit). Buccal (onset 5 –10 menit),
oral (onset 15-20 menit), duration 5 – 15 menit secara sublingual/ buccal).
Efek samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action 8-12 jam.
Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg.

Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree,
heart block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Captopril : pemberian secara oral/sublingual.
Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan.
Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal
arteri sinosis.
Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu.
Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala.
Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP
sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama
digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine. Perlu
diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan
TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini jarang
sekali terjadi).
Dikenal adanya “first dose” efek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi
akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat
diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive
terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit
cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion
maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi
paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila TD penderita yang obati tidak berkurang maka
sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit.

VII. PROGNOSIS
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah
20% dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%),
cerebro vascular accident (20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak
Miokard (1%), diseksi aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat
yang efektif dan penanggulangan penderita gagal ginjal dengan analisis dan transplantasi
ginjal.3
DAFTAR PUSTAKA

1) Hipertensi, dalam Buku Farmakologi dan Terapi, edisi 5, editor Sulistia G.G. Jakarta:
Balai penerbit FKUI. 2009. p.341-360.
2) William and Price. Bab VI: Krisis hipertensi dalam Buku Patoofisiologi, Edisi 5, Editor
Harjianto. Jakarta: EGC. 2002. p.108-110.
3) KJ Isselbacher, Eugene Braunwald, Dennis L Kasper, Eugene B. Section 4: Heart
Failure, Acute Pulmonary Edem In. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi
18, editor Douglas L dkk. America. McGraw-Hill. 2012. p.1901-1916.
4) Roesma J. Bab 175: krisis hipertensi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5,
editor Sudoyo A.W dkk. Jakrta: Interna Publishing. 2009. p.1103-1104.
5) Sjaharudin H, Sally N. Bab XII: Edema Paru Aku dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, edisi 5, editor Sudoyo A.W dkk. Jakarta: Interna Publishing. 2009. p. 1920-
1923.
6) Houston M. Handbook of Hypertension edition 2. Tennessee: Wiley Blackwell. 2006. p.
61-62.

Anda mungkin juga menyukai