Anda di halaman 1dari 29

KASUS

Congestive Heart Failure

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Penikahan : Menikah
Alamat : Palampitan Hulu
Pendidikan Terakhir : SMA
Masuk Ruangan : 30 Oktober 2014 (Melati)
Nomer RM : 04-81-02

B. ANAMNESIS
Anamnesis pada pasien ini dilakukan secara autoanamnesis pada hari
Kamis, 30 Oktober 2014, sekitar pukul 10.30 WITA di Ruang Perawatan Melati
RSUD Pambalah Batung, Amuntai.

Keluhan Utama
Sesak napas.

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 7 hari sebelum masuk rumah penderita mengeluh sesak nafas yang
dirasakan semakin lama semakin memberat. Keluhan sesak disertai dengan
jantung yang dirasakan berdebar debar ketika beraktifitas berat ataupun ringan
dan keluhan membaik jika diistirahatkan. Keluhan sesak disertai dengan adanya
mual dan muntah 3x berupa sisa makan sebanyak setengah gelas belimbing
keluhan juga disertai dengan batuk yang berdahak berwarna putih yang timbul
bersamaan. Sejak 2 bulan terkahir keluhan sesak napas semakin lama dirasakan
semakin berat bahkan jika melakukan aktifitas ringan pun keluhan sesak sering
terjadi, Penderita juga mengeluhkan sering terbangun pada malam hari karena
sesak nafas, karena keluhan sesak tersebut penderita lebih nyaman tidur dengan
menggunakan dua bantal. Pada awalnya sekitar 1 tahun lalu sesak nafas timbul
dirasakan penderita jika melakukan aktifitas berat seperti berjalan jauh.
Keluhan sesak disertai nyeri dada sebelah kiri yang dirasakan saat
beraktivitas, nyeri dada dirasakan seperti ditusuk-tusuk jarum, nyeri dada tersebut
dirasakan menjalar ke tangan hingga punggung pasien. Nyeri dada tersebut
berlangsung selama kurang lebih 20 menit dan berkurang jika penderita
beristirahat. Keluhan nyeri dada disertai dengan adanya keringat dingin sampai
baju basah tanpa disertai mual dan muntah.

Faktor Risiko PJK :

Merokok (-), Darah tinggi (+) sejak 2 tahun yang lalu, namun penderita tidak rajin
rutin minum obat dan mengkontrol keluhannya tersebut. Riwayat kencing manis
(-) Riwayat mengkonsumsi alkohol (-) Riwayat kolesterol (-)

Riwayat Penyakit Dahulu: Stroke (-), Asma (-)

Faktor Risiko Keluarga :

Riwayat keluarga dengan penyakit jantung, darah tinggi, kolesterol tinggi dan
penyakit kencing manis tidak diketahui pasien.

Anamnesis Sistem

Sistem Cerebrospinal : Tidak ada keluhan


Sistem Kardiovaskuler : Nyeri dada
Sistem Respiratorius : Sesak napas
Sistem Gastrointestinal : Mual dan Muntah
Sistem Urogenital : Tidak ada keluhan
Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan
Sistem Integmental : Tidak ada keluhan

C. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan umum
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6
Tinggi Badan : 150 cm (anamnesis)
Berat Badan : 61 kg (anamnesis)
Status gizi : Obesitas (BMI = 27,1 kg/m2)

Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 92 kali/menit, teratur, tekanan cukup, isi cukup
Suhu : 36,6oC
Pernapasan : 26 kali/menit, regular.

Kulit
Warna : sawo matang Suhu raba : Afebris
Pertumbuhan rambut : merata Edema : Tidak ada
Lembab / kering : Lembab
Pigmentasi : Merata

Kepala : Mesosefal, deformitas (-),


Mata : eksoftalmus (-), Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal

Leher

- Bentuk : Simetris
- Trakhea : Di tengah
- KGB : Tidak membesar
- JVP : Meningkat (R+3 cm H2O)
Paru-paru
Inspeksi : pergerakan dada simetris, ketinggalan gerak (-/-),
retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), pengembangan dada simetris, fremitus
taktil (+/+) simetris,
Perkusi : sonor (-/-)
Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), rhonki basah halus (+/+) di
basal kedua paru ,wheezing (-/-),

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Auskultasi : Bunyi Jantung I & II murni reguler, tunggal, murmur (-),
gallop (-)

Perut
Inspeksi : datar, dinding perut sejajar dengan dinding dada,
kelainan kulit (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : timpani diseluruh kuadran paru


Palpasi : supel, nyeri tekan (-), massa (-), defansmuscular
(-), Hepar/lien/massa tidak teraba.

Anggota gerak
- Superior : Edema (-/-), Sianosis (-/-), ikterik (-/-)
- Inferior : Edema (-/-), Sianosis (-/-), ikterik (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan EKG

Hasil Interpretasi :
1. Sinus Takikardi
2. Heart Rate 120x/menit
3. Left Axis Deviation
4. Gelombang P : (+) pada II, (-) pada aVR, P negatif
terminal force (+) di V1
5. Interval PR : 0,16 detik
6. Durasi QRS : 0,08 detik
7. Segmen ST – T changes : ST elevasi V3 , V4 (Anterior)
8. Gelombang T :-

Kesan :
 Sinus Takikardia
 ST elevasi V3 V4 (Anterior)
 Left Atrium Enlargement
 Q patologis
b) Pemeriksaan Laboratorium (29/10/2014)
Darah
Hb : 11,9 gr%
Leukosit : 12.600/mm3

Eritrosit : 4.190.000 /mm³

Trombosit : 288.000/mm3

Hematokrit : 32,9 %

Kimia Darah
Glukosa Puasa : 168 mg/dl

Cholesterol : 238 mg/dl

Triglyceride : 40 mg/dl

HDL : 28 mg/dl

LDL : 202 mg/dl


Follow UP
Tanggal Anamnesis Pemeriksaan Terapi Ket.Lain
Fisik
20/10/14 Sesak (+) Nyeri TD:150/120mmHg Bed Rest Total Cek Lab
RR : 26x/mnt Minum maks 4
Dada (+)
Fisik :
gelas
Thoraks : rh
O2 3L/m
basah halus di - IVD RL 8 tpm
kedua lapang - Inj.Furosemide
paru(+/+) 20mg/24 jam
- Lisinopril
10mg/24 jam
- ISDN 5mg/ 8
jam
- Aspilet 80 mg/
24 jam
- Spironolacton
25 mg/ 24 jam
- Alprazolam 0,5
mg (k/p)

21/11/14 Sesak (+) Nyeri TD:180/130mmHg Terapi sama, -


RR : 28x/menit
Dada (+) kecuali
Fisik :
Thoraks : rh tambahan :
basah halus di - ISDN

kedua lapang dinaikkan 10

paru(+/+) mg/ 8 jam,


ekstra ISDN 5
mg (sub.ling)
bila TD sistole
≥ 160 mmHg
- Simvastatin 20
mg/ 24 jam
(malam)
22/11/14 Sesak ↓ TD:140/90mmHg Terapi sama,
Nyeri dada ↓ RR:26x/mnt
kecuali :
Batuk (+) Fisik :
Pusing (+) Thoraks : rh - ISDN 10mg/8

basah halus di jam


kedua lapang
paru(+/+)
23/12/14 Sesak (-) TD:120/100mmHg Terapi sama,
Nyeri dada (+)↓ RR:23x/mnt
kecuali :
Pusing (+) Fisik :
Thoraks : rh (-/-) - Aff infus
- Furosemide
diganti peroral
40mg/24 jam
24/11/14 Sesak (-) TD:120/100mmHg - Furosemide
Nyeri dada (+)↓ RR:23x/mnt
Pusing (-) Fisik : 20mg/24 jam
Thoraks : rh (-/-) - Lisinopril
10mg/24 jam
- ISDN 10 mg/ 8
jam
- Aspilet 80 mg/
24 jam
- Spironolacton
25 mg/ 24 jam
- Alprazolam 0,5
mg (k/p)
Pasien pulang dengan keadaan membaik pada tanggal 24/11/14,
D. DIAGNOSIS AKHIR
 Congestive Heart Failure NYHA FC III e.c Old Miokard
Infark Anterior
 Angina Pectoris pada hipertensi
 Dislipidemia
E. PENATALAKSANAAN
a. Non-Farmakologis
Bed rest total
Minum maksimal 4 gelas/ hari
b. Farmakologis
Oksigen 3 liter/menit
IUFD RL 8 tpm
Inj. Furosemide 20 mg /12 jam
ISDN 10 mg /24 jam
Aspilet 80 mg /24 jam(siang)
Spironolactone 25 mg /24 jam (siang)
Simvastatin 20 mg /24 jam (malam)

F. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad functionam : dubia
Ad sanatioanm : dubia
TINJAUAN PUSTAKA
GAGAL JANTUNG

2.1 Definisi Gagal Jantung

Gagal Jantung merupakan suatu sindrom klinik yang komplek, merupakan


akibat dari kerusakan struktur atau fungsi pengisian ventrikel atau pompa darah.1
Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik,
gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini
dapat menyebabkan kematian pada pasien.2

Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung
kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung
kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis.2

2.2 Epidemiologi

Penyakit kardiovaskular sekarang merupakan penyebab kematian paling


umum di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular menyumbang hampir mendekati
40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang.3
Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa sekitar 1 – 2%.4
Diperkirakan bahwa 5,3 juta warga Amerika saat ini memiliki gagal jantung
kronik dan setidaknya ada 550.000 kasus gagal jantung baru didiagnosis setiap
tahunnya. Pasien dengan gagal jantung akut kira-kira mencapai 20% dari seluruh
kasus gagal jantung. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan usia, dan
mempengaruhi 6-10% individu lebih dari 65 tahun.3
Di Indonesia belum ada data epidemiologi untuk gagal jantung, namun pada
Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil
Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan
ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit
di Indonesia.4
Gambar 1. Prevalensi Gagal Jantung berdasarkan Usia

2.3 Klasifikasi Gagal Jantung

Gagal jantung dalam bahasa yunani dikenal sebagai Decompensatio


Cordis, adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa darah ke
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, dan kemampuan
tersebut hanya ada kalau disertai dengan peninggian volume diastolok secara
abnormal. Faktor predeposisis dari gagal jantung adalah : penyakit yang
menimbulkan penurunan fimgsi ventrikel ( seperti : penyakit arteri koroner,
hipertensi, kardiomiopita, penyakit pembuluh darah, atau penyakit jantung
congenital), dan keadaan yang membatasi pengisisan ventrikel ( seperti : stenosis
mitral, kardiomiopita, atau penyakit perikardial ).5

2.3.1 Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala


atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau
tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi
sistolik atau disfungsi diastolik.5
2.3.2 Gagal Jantung Kronik

Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan


jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Gagal jantung
kronis juga didefinisikan sebagai sindroma klinik yang komplek yang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak, fatigue baik dalam keadaan istirahat maupun
beraktifitas.
Gejala yang paling sering dialami adalah berupa sesak nafas, yang semula
pada waktu mengduarkan tenaga, tetapi juga pada saat istirahat (berbaring) dalam
kasus yang lebih berat. Begitu pula udema di pergelangan kaki dengan vena
memuai, karena darah-balik terhambat kembalinya ke jantung. Sering kali
perasaan sangat letih dan kurang tenaga. ( Tjay, 2000 )

2.3.3 Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung

Menurut New York Heart Association (NYHA), membagi klasifikasi


Fungsional gagal jantung dalam 4 kelas :1

Kelas 1 : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa kelahan.

Kelas 2 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari
aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.

Kelas 3 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa


keluhan.

Kelas 4 : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun
dan harus tirah baring.
Gambar 2. Klasifikasi Klinis Gagal Jantung

Secara anataomi jantung mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung


tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu :

2.3.4 Gagal Jantung Kanan

Gejala yang timbul pada gagal jantung kanan adalah : fatigue, edema, liver,
anoreksia. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan,
murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat,
peningkatan tekanan vena, edema ekstremitas.6

2.3.5 Gagal Jantung Kiri

Gejala yang timbul pada gagal jantung kiri adalah :5

 Dyspneu d 'effort yaitu, sesak nafas yang terjadi pada saat melakukan
aktivitas fisik.

 Fatigue

 Ortopnea, merupakan sesak nafas yang terjadi pada saat berbaring, dan
dapat dikurangi dengan sikap duduk atau berdiri. Hal ini disebabkan
karena pada saat berdiri terjadi penimbunan cairan di kaki dan perut. Pada
saat berbaring maka cairan ini kembali ke pembuluh darah dan menambah
darah balik, sehingga terjadi sesak nafas.

 Dispnea nokturnal paroksismal, serangan sesak nafas ini terjadi pada


malarn hari, pada saat pasien tertidur dan akan terbangun karena sesak
nafas. Faktor-faktor yang menyebabkan antara lain : menurunnya tonus
simpatis, darah balik yang bertambah, penurunan aktivitas pada saat
pernafasan di malam hari, dan edema paru. Untuk menghilangkan gejala
ini penderita memerlukan waktu lebih 30 menit.
 Pembesaran jantung
 Takikardia
 Batuk

2.3.6 Gagal Jantung Kanan dan Kiri ( kongestif )

Gagal jantung kiri dalam jangka panjang dapat diikuti dengan gagal jantung
kanan, demikian sebaliknya Bila gagal jantung kanan terjadi bersamaan dengan
gagal jantung kiri maka akan terjadi gagal jantung kongestif Secara klinis hal ini
tampak sebagai suatu keadaan dimana penderita sesak nafas disertai dengan gejala
bendungan cairan di vena jugularis, hepatomegali, edema perifer, asites. Gagal
jantung kongestif biasanya dirnulai lebih dahulu oleh gagal jantung kiri dan secara
larnbat diikuti gagal jantung kanan.5
Pada gangguan serius ini, jantung tidak mampu lagi memelihara peredaran
darah, hingga volume-menit menurun dan arteri mendapat terlalu sedikit darah.
Sebagai akibat kelemahan jantung ini, darah terbendung di vena kaki dm
paruparu, yang menimbulkan sesak dada dan udema pergelangan kaki. Pada
keadaan parah dapat terjadi udema paru yang sangat berbahaya Penyaluran darah
ke jaringan juga berkurang, sehingga ginjal mengekskresi lebih sedikit natriurn
dan air. Dalam hal akut, pasien perlu segera mungkin dirawat di rumah sakit.
Untuk penanganan penderita gagal jantung, bila keadaannya berupa insufisiensi
ini umumnya dilakukan dengan tiga tindakan untuk meniadakan cairan, yakni ;
banyak istirahat untuk meringankan beban jantung, pembatasan asupan garam ,
dan pengobatan dengan diuretika untuk memperbesar ekskresi cairan. Yang
terakhir perlu guna mengurangi pengeluaran tenaga berlebihan yang memperkuat
penyaluran darah ke otot, sehingga mengurangi filtrasi glomeruler dengan akibat
retensi natrium.6

2.4 Etiologi Gagal jantung

Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :

a. Penyakit Jantung Koroner

Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita


penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi
ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8
tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif ( Hellerman, 2003). Pada
negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal
jantung kongestif (Mann, 2008). Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami
disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner.7

b. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi


terjadinya gagal jantung. Berdasarkan studi Framingham dalam Cowie tahun 2008
didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Studi
terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik menyebutkan bahwa
66.5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi menyebabkan
gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari
ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya infark
miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal
jantung kongestif.7

c. Cardiomiopathy

Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak


disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital.
Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated
cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal
jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi
sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis.
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis cardiomiopathy yang
bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah
abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga
menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta
(aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk,
peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel. Jenis lain
yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy.8

d. Kelainan Katup Jantung

Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering


menyebabkan gagal jantun kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitas mitral
meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung
Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kua agar
darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jik berlangsung
lama menyebabkan gagal jantung kongestif. 8

e. Aritmia

Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantun tanpa perlu
adanya fakto concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi 31% dari pasien
gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilas dan ditemukan 60%
pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilas setelah dilakukan pemeriksaan
echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga
memperparah prognosis denga meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

f. Alkohol dan Obat-obatan

Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial


fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang
menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal jantung
kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu
beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah
agen kemoterapi seperti doxorubicin dan zidovudine yang merupakan antiviral.8

g. Lain-lain

Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk


menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada
wanita belum ada fakta yang konsisten. Sementara diabetes merupakan faktor
independen dalam mortalitas dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung
kongestif melalui mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium.
Selain itu, obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan
resiko penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal
jantung kongestif. Berdasarkan studi Framingham disebutkan bahwa diabetes
merupakan faktor resiko yang untuk kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang
berujung pada gagal jantung.6

Faktor pencetus dari gagal jantung seperti :6

a. Meningkatnya asupan garam.

b. Ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung.

c. Infark miokard akut.

d. Serangan hipertensi.

e. Aritrnia akut.

f. Infeksi atau demam.

g. Emboli paru.

h. Anemia.

i. Tirotoksikosis.

j. Kehamilan.

k. Endokarditis infektif.
2.4 Patoisiologi Gagal Jantung

Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak
bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan
hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung.
Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun
gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi
tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri.9

Gambar 3. Patogenesis CHF

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan


pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac
output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin
dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada
miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel,
kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel
pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal
jantung, maka banyak penelitian yang kompensasi neurohormonal, sistem Renin –
Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic
peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi
endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung.
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel
kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada
penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 %
penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang
timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

Gambar 4. Dekompensasi Kordis


2.5 Diagnosis Gagal Jantung

Kriteria Diagnosis

Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif


ditegakkan apabila diperoleh :

1 atau dua kriteria mayor + dua kriteria minor

Tabel 1. Kriteria Framingham dalam penegakan diagnosis gagal jantung kongestif

Kriteria Mayor

 Dispnea/orthopnea Nocturnal Parkosismal


 Distensi vena leher
 Ronki
 Kardiomegali
 Edema pulmonary akut
 Gallop-S3
 Peningkatan tekanan vena (>16 cmH2O)
 Waktu sirkulasi > 25 detik
 Reflex hepatojugularis

Kriteria Minor

 Edema pretibial
 Batuk malam
 Dispnea saat aktivitas
 Hepatomegali
 Efusi pleura
 Kapasitas vital paru menurun 1/3 dari maksimal
 Takikardia (>120 kali/menit)
 Kriteria Mayor atau Minor
 Penurunan berat badan > 4.5 Kg dalam 5 hari

a. Pemeriksaan Penunjang6

o Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan


kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal
jantung sudah kronis. Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi
ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi perikard. Derajat
kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
o Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada
sebaigian besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan
ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia.

Gambar 5. EKG dengan CHF

o Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan


dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel
(sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai
dan penyakit katup jantung dapat disinggirkan.

o Tes darah rutin, ureum, kreatinin, dirkomendasikan untuk


menyinggirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum terapi di
mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung sehingga
pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan.

o Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai


fungsi ventrikel dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari
ekokardiografi sulit diperoleh. Pemindahan perfusi dapat membantu
dalam menilai fungsional penyakit jantung koroner.

2.5 Penatalaksanaan Gagal Jantung

1. Terapi Umum dan Faktor Gaya Hidup

a. Aktifitas fisik harus disesuaikan dengan tingkat gejala. Aktifitas yang sesuai
menurunkan tonus simpatik, mendorong penurunan berat badan, dan memperbaiki
gejala dan toleransi aktivitas pada gagal jantung terkompensasi dan stabil.

b. Oksigen merupakan vasorelaksan paru, merupakan afterload RV, dan


memperbaiki aliran darah paru.

c. Merokok cenderung menurunkan curah jantung, meningkatkan denyut jantung,


dan meningkatkan resistensi vascular sistemik dan pulmonal dan harus dihentikan.
d. Konsumsi alkohol merubah keseimbangan cairan, inotropik negative, dan dapat
memperburuk hipertensi. Penghentian konsumsi alcohol memperlihatkan
perbaikan gejala dan hemodinamik bermakna.

2. Terapi obat-obatan

a. Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan


pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung. Diuterik yang
sering digunakan golongan diuterik loop dan thiazide. Diuretik Loop (bumetamid,
furosemid) meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja
pada ansa henle asenden, namun efeknya bila diberikan secara oral dapat
menghilangkan pada gagal jantung berat karena absorbs usus. Diuretik ini
menyebabkan hiperurisemia.
Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid, mefrusid,
metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di tubulus distal dan membantu
reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang efektif dibandingkan dengan diuretic loop
dan sangat tidak efektif bila laju filtrasi glomerulus turun dibawah 30%.
Penggunaan kombinasi diuretic loop dengan diuretic thiazude bersifat sinergis.
Tiazide memiliki efek vasodilatasi langsung pada arterior perifer dan dapat
menyebabkan intoleransi karbohidrat.10

b. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham menemukan


penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea). Glikosida seperti digoksin
meningkatkan kontraksi miokard yang menghasilkan inotropisme positif yaitu
memeperkuat kontraksi jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan
dieresis diperbesar serta jantung yang membesar menjadi mengecil. Digoksin
tidak meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek normal karena curah
jantung ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun juga oleh beban dan
denyut jantung. Pada gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas
dan menghilangkan mekanisme kompensasi sekunder yang dapat menyebabkan
gejala.9

c. Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding


ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan oksigen moikard,
menurunkan konsumsi oksigen miokard dan meningkatkan curah jantung.
Vasodilator dapat bekerja pada system vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau
memiliki efek campuran vasodilator dan dilator arteri (penghambat ACE,
antagonis reseptor angiotensin, prazosin dan nitroprusida). Vasodilator menurukan
prelod pada pasien yang memakan diuterik dosis tinggi, dapat menurunkan curah
jantung dan menyebabkan hipotensi postural. Namun pada gagal jantung kronis,
penurunan tekanan pengisian yang menguntungkan biasanya mengimbangi
penurunan curah jantung dan tekanan darah. Pada gagal jantung sedang atau berat,
vasodilator arteri juga dapat menurunkan tekanan darah.

d. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta


adrenoreseptor biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja inotropik
negatifnya. Namun, stimulasi simpatik jangka panjang yang terjadi pada gagal
jantung menyebabkan regulasi turun pada reseptor beta jantung. Dengan memblok
paling tidak beberapa aktivitas simpatik, penyekat beta dapat meningkatkan
densitas reseptor beta dan menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih tinggi
terhadap simulasi inotropik katekolamin dalam sirkulasi. Juga mengurangi aritmia
dan iskemi miokard. Penggunaan terbaru dari metoprolol dan bisoprolol adalah
sebagai obat tambahan dari diuretic dan ACE-blokers pada dekompensasi tak
berat. Obat-obatan tersebut dapat mencegah memburuknya kondisi serta
memeperbaiki gejala dan keadaan fungsional. Efek ini bertentangan dengan
khasiat inotrop negatifnya, sehingga perlu dipergunakan dengan hati-hati.
e. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan
jalan menghambat pembentukan fibrin. Antagonis vitamin K ini digunakan pada
keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk memebeku yang meningkat,
misalnya pada trombosis. Pada trobosis koroner (infark), sebagian obat jantung
menjadi mati karena penyaluran darah kebagian ini terhalang oleh tromus disalah
satu cabangnya. Obat-obatan ini sangat penting untuk meningkatkan harapan
hidup penderita.
f. Antiaritmia dapat mencegah atau meniadakan gangguan tersebut dengan jalan
menormalisasi frekuensi dan ritme pukulan jantung. Kerjanya berdasarkan
penurunan frekuensi jantung. Pada umumnya obat-obatn ini sedikit banyak juga
mengurangi daya kontraksinya. Perlu pula diperhatikan bahwa obat-obatan ini
juga dapat memeperparah atau justru menimbulkan aritmia. Obat antiaritmia
memepertahankan irama sinus pada gagal jantung memberikan keuntungan
simtomatik, dan amiodaron merupakan obat yang paling efektif dalam mencegah
AF dan memperbaiki kesempatan keberhasilan kardioversi bila AF tetap ada.9
Gambar 6. Penatalaksanaan Gagal Jantung1
Gambar 7. Dosis Obat-Obat Gagal Jantung

2.5.1. Pengobatan Gagal Jantung Akut


Terapi Medikamentosa
a. Morfin dan analog morfin diindikasikan pada stadium awal apabila pasien
gelisah dan sesak nafas (class IIb recommendation, level of evidence B). morfin
boleh diberikan bolus IV 3mg segera sesudah dipasang intravenous line.1
b. Vasodilator diindikasikan pada gagal jantung akut sebagai first line therapy,
apabila hipoperfusi padahal tekanan darah adekuat dan tanda-tanda kongesti
dengan dieresis sedikit, untuk membuka sirkulasi perifer dan mengurangi pre-
load.
c. Nitrat mengurangi kongesti paru tanpa memepengaruhi stroke volume atau
meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokard pada gagal jantung akut. Akan
lebih baik di kombinasikan dengan furosemid dengan dosis rendah (class I
recommendation, lefel of evidence B).1
2.5.2.1 Penatalaksanaan Gagal Jantung Kronik
Penatalaksanaan untuk gagal jantung didasarkan pada usaha untuk menentukan
diagnosa yang tepat, menyingkirkan kelainan yang menyerupai gagal jantung, dan
memberikan pengobatan untuk mengurangi keluhan. Secara umurn tindakan dan
pengobatan untuk gagal jantung didasarkan pada 4 aspek, yaitu:5
1. Mengurangi beban kerja.
2. Memperkuat kontraktilitas miokard.
3. Mengurangi kelebihan cairan dan gararn.
4. Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyabab, faktor-faktor
pencetus, dan kelainan yang mendasari.
Umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi
aktivitas fisik sesuai dengan berat ringannya keluhan. Pada penderita gagal
jantung ringan mungkin hanya perlu membatasi aktivitas yang lebih berat dari
biasanya, narnun untuk penderita gagal jantung berat harus di rawat di rumah
sakit untuk menjalani tirah baring. Semua penderita wajib diberi edukasi
mengenai sebab-sebab dan faktor-faktor pencetusnya agar dapat menghmdari hal-
hal yang memperberat kondisinya.

Tujuan utama pengobatan gagal jantung adalah untuk mengurangi gejala akibat
bendungan sirkulasi, memperbaiki kapasitas kerja dan kualitas hidup, serta
memperpanjang harapan hidup. Untuk gagal jantung yang tetap bergejala
walaupun penyakit yang mendasarinya telah diobati memerlukan pembatasan
aktivitas fisik, pembatasan asupan garam, dan obat.untuk itu pendekatan awal
adalah memperbaiki berbagai gangguan yang mampu pulih untuk menghilangkan
beban kardiovaskuler yang berlebihan, seperti ; mengobati hipertensi, mengobati
anemia, mengurangi berat badan, atau memperbaiki stenosis aorta. Pengobatan
gagal jantung yaitu dapat dilakukan dengan mengurangi beban awal dengan cara
pemberian diuretik, nitrat, atau vasodilator lainnya. Sedangkan untuk mengurangi
beban akhir dapat dilakukan dengan pentberim pengharnbatan ACE. Untuk
kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan obat-obat inotropik seperti digitalis,
dopamine, dan dobutamin. Kebanyakan penderita gagal jantung memperlihatkan
gangguan fungsi sistolik. Pada penderita dernikian terapi obat dimaksudkan untuk
a. Menghilangkan gejala bendungan sirkulasi dengan memperbaiki kontraktilitas
miokard.
b. Mengurangi beban pengisian ventrikel dan menurunkan tahanan perifer. Karena
penyembuhan fungsi pompa pada prinsipnya tidak bisa dicapai, maka penanganan
khususnya ditujukan pada prevensi memburuknya penyakit dan meringankan
gejalanya.
a. Diuretik (diureik loop, thiazide, metolazon) penting untukpengobatan
simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti paru dan edema
perifer.
b. Beta bloker direkomendasikan pada semua gagal jantung ringan, sedang dan
berat yang stabil baik dalam keadaan iskemi atau kardiomiopati non iskemi dalam
pengobatan standard seperti diuretic atau penyekat enzim konversi angiotensin.
c. Nitrat sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak, jangka panjang
tidak terbukti memperpanjang simptom gagal jantung.9

Anda mungkin juga menyukai