Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Kulit merupakan organ terluas pada tubuh manusia yang bersifat kompleks.
Kulit memiliki berbagai fungsi diantaranya sebagai pertahanan fisik dan fungsi
sistem imun tubuh terhadap lingkungan.[ CITATION Gol12 \l 1057 ] Fungsi ini
membuat kulit rentan terpajan oleh berbagai bahan fisik, kimia, serta biologis
yang dapat menimbulkan penyakit seperti eczema. Eczema yang disebabkan oleh
alergen eksogen disebut eczema kontak atau dermatitis kontak. [ CITATION Mac11 \l
1057 ] Substansi yang dapat menyebabkan dermatitis kontak adalah bahan iritan
berupa bahan kimia yang dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan (DKI) atau
berbagai agen pencetus yang dapat menyebabkan dermatitis kontak alergika
(DKA).[ CITATION Pal11 \l 1057 ]
Dermatitis kontak bersifat umum dan sering terjadi yaitu sebesar 10% kasus
kunjungan ke klinik dermatologi.[ CITATION Mac11 \l 1057 ] DKA terjadi pada
setidaknya 20% kasus baru dermatitis kontak dan selebihnya merupakan kasus
DKI yaitu sebesar 80%.[ CITATION Gol12 \l 1057 ] DKA dan DKI merupakan dua
varian utama dermatitis kontak. Meskipun mekanisme keduanya berbeda, namun
seringkali sulit membedakan gejala klinis, histologis, maupun di tingkat
molekuler. Hal tersebut menyebabkan diagnosis dermatitis kontak menjadi
masalah yang menarik dan kompleks.[ CITATION Sul11 \l 1057 ]
DKA merupakan penyakit inflamasi pada kulit akibat terjadinya kontak
dengan alergen eksogen spesifik. Terdapat lebih dari 3700 bahan kimia yang telah
teridentifikasi sebagai agen penyebab DKA pada manusia. [ CITATION Gol12 \l 1057
] Alergen yang paling sering menyebabkan DKA pada umumnya sama di setiap
negara meskipun terdapat perbedaan prevalensi. Perempuan muda biasanya lebih
sensitif terhadap produk kosmetik, nikel, dan alergen yang berhubungan dengan
pekerjaan. Sedangkan pada orang yang lebih tua terdapat prevalensi sensitivitas
yang lebih tinggi terhadap obat-obatan.[ CITATION Bec10 \l 1057 ]
Kontak dengan alergen serta reaksi imunologi akan menghasilkan gejala
klinis DKA. Berbagai gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Menghindari agen pencetus merupakan terapi utama pada DKA.
Untuk itu, edukasi pada pasien untuk menghindari alergen dan memberikan

1
2

alternatif yang sesuai dapat menghasilkan outcome yang baik.[ CITATION Gol12 \m
Mac11 \l 1057 ]
LAPORAN KASUS POLI

Identitas Pasien
Nama : Tn. J
Umur : 64 tahun
Alamat : Kuta Baro
Pekerjaan : Pensiunan
Status : Menikah
Agama : Islam
No. CM : 0-80-49-77
Tanggal Pemeriksaan : 06 Januari 2016

Anamnesis
Keluhan Utama
Rasa gatal di kedua punggung kaki

Keluhan Tambahan
Bercak kemerahan di kedua punggung kaki

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUDZA
Banda Aceh dengan keluhan rasa gatal di kedua kaki yang dirasakan sejak 2 tahun
yang lalu. Pasien sebelumnya sudah pernah berobat ke poli dan keluhan berkurang
namun muncul kembali sejak 2 bulan yang lalu. Awalnya muncul bercak
kemerahan seperti huruf V di sekitar jari kaki hingga ke punggung kaki, namun
lama-kelamaan tampak menebal akibat sering digaruk oleh pasien. Gatal
dirasakan terus-menerus dan memberat ketika terkena sandal jepit yang berbahan
karet.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku mengalami keluhan yang sama 2 tahun yang lalu namun
menghilang dan muncul lagi sejak 2 bulan yang lalu. Tidak ada riwayat bersin-
bersin di pagi hari serta tidak ada riwayat asma pada pasien.

1
4

Riwayat Penggunaan Obat


Pasien sebelumnya menggunakan obat salep yang didapat dari puskesmas.
Namun pasien tidak mengingat nama obat yang diberikan. Keluhan berkurang,
namun 2 bulan terakhir keluhan gatal dikedua kaki kembali setelah pasien
kembali menggunakan sandal jepit yang berbahan karet.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien. Tidak ada riwayat alergi dalam keluarga pasien.

Riwayat Kebiasaan Sosial


Pasien merupakan seorang pensiunan yang sehari-hari banyak
menghabiskan waktu di sekitar rumah dan lebih sering menggunakan sandal jepit
dibandingkan sepatu.

Pemeriksaan Fisik Kulit


Status Dermatologis
Regio : Dorsum pedis dextra et sinistra
Deskripsi Lesi : Tampak plak eritematous berbatas tegas, tepi ireguler, dengan
skuama kasar dan likenifikasi di atasnya, jumlah multipel,
ukuran plakat, distribusi simetris.
5

Gambar 1. Gambaran Lesi pada Kedua Kaki

Diagnosis Banding
1. Dermatitis kontak alergika e.c sandal karet
2. Dermatitis kontak iritan
3. Tinea pedis
4. Dermatitis atopik

Planning Diagnosis
- Patch test
6

Resume
Pasien laki-laki 64 tahun datang dengan keluhan rasa gatal pada kedua
punggung kaki. Awalnya muncul bercak kemerahan seperti huruf V di sekitar jari
kaki hingga ke punggung kaki yang lama-kelamaan tampak menebal akibat sering
digaruk oleh pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan plak eritematous berbatas
tegas, tepi ireguler, dengan skuama kasar dan likenifikasi di atasnya, jumlah
multipel, ukuran plakat, distribusi simetris.

Diagnosis Klinis
Dermatitis kontak alergika e.c karet sandal jepit

Penatalaksanaan
Farmakologis
a. Sistemik
- Metilprednisolon 4 mg 3 kali sehari
- Cetirizin 10 mg 2 kali sehari

b. Topikal
- Desoximetason cream (pagi-siang)
- Asam salisilat 2% + vaselin albumin + diflukortolon valerat cream (malam)

Edukasi
1. Memberikan informasi kepada pasien bahwa penyakit tersebut dapat kembali
berulang jika terpajan alergen yang sama.
2. Hindari kontak dengan alergen berbahan karet seperti sandal jepit, sarung
tangan, perhiasan, dan lain-lain.
3. Jangan menggaruk terlalu kuat pada daerah kulit yang gatal.
4. Penggunaan obat teratur sesuai instruksi dokter.

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
7

ANALISA KASUS

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki berusia 64 tahun di Poliklinik Ilmu


Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUDZA Banda Aceh pada tanggal 06 Januari
2016. Dari hasil anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan rasa gatal
pada kedua kaki yang sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan sempat
menghilang dengan pemberian obat salep namun kembali muncul sejak 2 bulan
yang lalu. Awalnya muncul bercak kemerahan seperti huruf V di sekitar jari kaki
hingga ke punggung kaki yang lama-kelamaan bertambah tebal akibat sering
digaruk oleh pasien. Pasien mengaku keluhan rasa gatal bertambah berat ketika
pasien mengenakan sandal jepit yang berbahan karet. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa gatal merupakan keluhan utama yang muncul pada
kasus alergi diikuti dengan munculnya lesi pada area kulit yang mengalami
kontak dengan alergen.[ CITATION Gol12 \l 1057 ]
Pada pemeriksaan fisik kulit ditemukan lesi pada regio dorsum pedis dextra
et sinistra berupa plak eritematous berbatas tegas, tepi irregular dengan skuama
kasar dan likenifikasi diatasnya, jumlah multipel, ukuran plakat, distribusi
simetris. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa bentuk lesi pada
DKA bervariasi berdasarkan derajat penyakit. Pada fase akut, lesi berupa edema,
eritema, dan vesikel. Papul dan plak dapat muncul ketika vesikel ruptur. Alergen
yang lebih kuat lebih sering menghasilkan bentuk vesikel, sedangkan alergen yang
lebih lemah sering menjadi bentuk lesi papul dengan eritema dan edema di
sekitarnya. Pada DKA subakut dapat menimbulkan lesi eritema dan pustul.
Sedangkan pada DKA kronik muncul lesi berupa skuama, fisura, dan likenifikasi. [
CITATION Gol12 \l 1057 ]
Etiologi DKA pada pasien ini adalah bahan karet yang berasal dari sandal
jepit yang digunakan pasien sehari-hari. Sesuai dengan teori, etiologi DKA
diantaranya adalah paparan alergen akibat pekerjaan (hairdressing, industri
konstruksi, teknisi gigi, dan lain-lain) serta bahan-bahan tertentu (karet, fragrance,
obat-obatan, dan lain-lain).[ CITATION Sim13 \l 1057 ]
Pasien berjenis kelamin laki-laki dan tergolong kelompok usia geriatri.
Menurut teori, prevalensi DKA dan DKI pada geriatri adalah berkisar 11%.
Prevalensi DKA pada populasi umum adalah sebanyak 21,8% pada perempuan
8

dan 12% pada laki-laki. Perbedaan prevalensi berdasarkan jenis kelamin


kemungkinan dipengaruhi oleh faktor sosial dan lingkungan. Perempuan memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi terhadap nikel (17,1% pada perempuan dan 3% pada
laki-laki) akibat sering memakai perhiasan berbahan nikel sementara laki-laki
lebih sensitif alergen yang berasal dari lingkungan pekerjaannya. [ CITATION
Gol12 \m Pal11 \l 1057 ]
DKA merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui pada
usia lanjut. Kulit menua akan mengalami perubahan degeneratif yang progresif
secara struktural dan fisiologis. Pada kulit yang menua akan terjadi penipisan
epidermis akibat jaringan yang mengalami retraksi dan mendatar, terjadi
penurunan regenerasi stratum korneum, dan epidermal turn-over rate yang
menurun hingga 50%. Keadaan tersebut menyebabkan stratum korneum yang
terbentuk supoptimum sehingga mudah terjadi kerusakan pada epidermis. Selain
itu, regenerasi kulit yang melambat dan masa pemulihan yang lebih panjang pada
kulit yang menua mempengaruhi manifestasi klinis dan keparahan DKA pada
geriatri [ CITATION Sul11 \l 1057 ]
Pemeriksaan penunjang pada DKA adalah uji tempel (patch test). Uji ini
bertujuan untuk mengetahui sensitivitas seseorang terhadap zat alergen tertentu.
Selama tes, pasien tidak diperbolehkan mandi dan berkeringat serta mengonsumsi
jenis obat apapun.[ CITATION Sul11 \l 1057 \m Yes11] Preparat uji tempel
ditempelkan pada kulit yang sehat, yaitu biasanya dipunggung pasien. Preparat uji
tempel dilepaskan pada jam ke-48. Pembacaan hasil pertama dapat dilakukan 15-
30 menit setelah preparat dilepaskan. Evaluasi hasil uji tempel umumnya
dilakukan setelah 48 jam, 72 jam atau hari ke-7.[ CITATION Gol12 \l 1057 ]
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan patch test karena sudah
diketahui etiologinya yaitu akibat terjadinya kontak berulang dengan sandal jepit
berbahan karet. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa indikasi
dilakukannya patch test adalah apabila tidak ada perbaikan gejala klinis setelah
menghindari alergen yang diduga menjadi penyebab DKA dan telah diberikan
terapi empiris. Selain itu, patch test juga dapat dilakukan apabila alergen
penyebab pasti DKA pada pasien tidak diketahui.[ CITATION Usa10 \l 1057 ]
9

Ada beberapa diagnosis banding pada DKA, diantaranya DKI, tinea pedis,
dan dermatitis atopik. DKI merupakan suatu reaksi inflamasi non spesifik pada
kulit setelah terpapar bahan iritan sehingga menyebabkan erupsi pada sebagian
besar orang. Reaksi dapat terjadi tanpa perlu terjadi paparan sebelumnya
sebagaimana yang terjadi pada DKA. Gejala pada DKI dapat muncul dalam
hitungan menit sampai jam setelah terpapar bahan iritan. Gejala berupa nyeri dan
rasa terbakar lebih dominan pada DKI, berbeda dengan gejala dominan pada DKA
yaitu rasa gatal.[ CITATION Jam11 \l 1057 ] Lesi yang muncul pada DKI berupa kulit
tampak kering disertai fisura dengan batas yang tidak tegas. [ CITATION Usa10 \l
1057 ]
Diagnosis banding selanjutnya adalah tinea pedis. Tinea pedis merupakan
infeksi jamur pada kaki yaitu T. rubrum (paling sering), T. interdigitale, dan E.
floccosum. Pada pemeriksaan fisik kulit biasanya ditemukan skuama, eritema,
serta maserasi pada interdigital dan subdigital kulit kaki serta pada bagian lateral
jari kaki ketiga, keempat, dan kelima.[ CITATION Gol12 \l 1057 ] Rasa gatal juga
merupakan keluhan utama pada tinea pedis terutama pada cuaca panas. Selain itu
pasien juga dapat mengeluhkan kaki berbau serta kemungkinan terjadinya infeksi
sekunder yang dapat memperburuk gejala.[ CITATION Bec10 \l 1057 ]
DKA juga dapat didiagnosis banding dengan dermatitis atopi. Dermatitis
atopi merupakan inflamasi kulit yang residif atau berulang, umunya muncul pada
masa bayi atau kanak-kanak. Dapat dikaitkan dengan gangguan pada fungsi
barrier kulit, sensitisi alergen dan infeksi kulit yang berulang serta pasien yang
memiliki riwayat alergi. Lesi pada dermatitis atopi umumnya bersifat gatal dan
pada fase akut tampak berupa papul dan vesikel eritematus yang apabila digaruk
akan membentuk krusta. Pada fase kronik akan tampak penebalan kulit atau
likenifikasi.[ CITATION Gol12 \l 1057 ]
10

Tabel 1. Diagnosis Banding DKA


No Diagnosis Definisi Deskripsi Lesi Gambar

1. DKA Suatu reaksi Pada DKA kronik


hipersensitivitas muncul lesi berupa
yang dimediasi skuama, fisura, dan
oleh sel (tipe IV), likenifikasi. Gejala
tipe lambat, atau khas untuk alergi
reaksi adalah pruritus.
hipersensitivitas [ CITATION Gol12 \l
yang diakibatkan 1057 ]
oleh terjadinya
kontak kulit dengan
alergen yang
berasal dari
lingkungan.
[ CITATION Gol12 \l
1057 ]
2. DKI Suatu reaksi Lesi yang muncul
inflamasi non pada DKI berupa
spesifik pada kulit kulit tampak kering
setelah terpapar disertai fisura dengan
bahan iritan batas yang tidak
sehingga tegas.[ CITATION
menyebabkan Usa10 \l 1057 ] Reak
erupsi pada si dapat terjadi tanpa
sebagian besar perlu terjadi paparan
orang.. sebelumnya Gejala
berupa nyeri dan rasa
terbakar lebih
dominan pada DKI
11

3. Tinea Pedis Infeksi jamur pada Lei berupa skuama,


kaki.[ CITATION eritema, serta
Gol12 \l 1057 ] Ras maserasi pada
a gataldan interdigital dan
merupakan keluhan subdigital kulit kaki
utama terutama serta pada bagian
pada cuaca panas. lateral jari kaki

[ CITATION Bec10 \l ketiga, keempat, dan


kelima. (1)
1057 ]
4. Dermatitis Suatu penyakit Padafase kronik
Atopik kulit kronik terdapat plak tepat,
berulang yang likenifikasi dan
umum terjadi bayi prurigo nodularis.
maupun anak-anak, [ CITATION Gol12 \l
berhubungan 1057 ]
dengan kelaianan
fungsi barrier pada
kulit, sensitisasi
alergen, infeksi
berulang.
[ CITATION Gol12 \l
1057 ]

Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini berupa terapi medikamentosa


dan non-medikamentosa. Terapi medikamentosa sistemik yang diberikan adalah
metilprednisolon 4 mg 3 kali sehari selama 7 hari dan cetirizin 10 mg 2 kali sehari.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kortikosteroid sistemik dapat
diberikan apabila luas lesi lebih dari 20%. Seperti pemberian prednison dengan
dosis 0,5-1 mg/kg/BB/hari dan waktu pemberiannya adalah selama 5 sampai 7
hari.[ CITATION Usa10 \l 1057 ] Sedangkan cetirizin sebagai antihistamin diberikan
untuk mengatasi rasa gatal pada pasien. Sesuai dengan teori, gatal akibat berbagai
penyebab termasuk DKA dapat berkurang akibat efek sedatif dari antihistamin.
[ CITATION Gol12 \m Usa10 \l 1057 ]
12

Pada pasien ini juga diberikan kortikosteroid topikal yaitu desoximethason


krim yang dioleskan pagi dan siang. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa kortikosteroid topikal memiliki efek antiproliferatif yaitu menghambat
terjadinya penebalan pada kulit dengan mengurangi ukuran serta proliferasi
keratinosit. Akan tetapi kortikosteroid topikal juga memiliki beberapa efek
samping yang merugikan apabila diberikan secara terus-menerus, efek tersebut
dapat berupa takifilaksis, atrofi dan striae.(1,4)
Pada pasien juga diberikan agen keratolitik yaitu asam salisilat 2% yang
dicampur dengan vaselin albumin dan diflucortolon valerat krim yang dioleskan
pada malam hari. Asam salisilat bekerja dengan menghancurkan skuama dengan
melembapkan stratum korneum.[ CITATION Gol12 \l 1057 ] Penggunaan pelembab
juga sangat membantu untuk pemulihan sawar kulit dengan meningkatkan hidrasi
kulit, mempengaruhi struktur lipid epidermis dan mencegah absorbs senyawa
eksogen.[ CITATION Sul11 \l 1057 \m Usa10]
Edukasi yang diberikan pada pasien ini adalah memberikan informasi
mengenai penyakit pasien bahwa penyakit tersebut akan kembali berulang jika
terpajan alergen yang sama, oleh karena itu pasien harus menghindari kontak
dengan berbagai benda yang berbahan karet seperti sandal, sarung tangan,
perhiasan dan lain-lain yang dapat memicu rasa gatal pada kulit. Hal ini seusai
dengan teori bahwa hal yang menjadi prioritas pada penatalaksanaan pasien
dengan dermatitis kontak adalah mengidentifikasi dan menghindari substansi
pencetus.[ CITATION Usa10 \l 1057 ]
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Dermatitis kontak alergika merupakan suatu reaksi yang dimediasi oleh sel
(tipe IV), tipe lambat, atau reaksi hipersensitivitas yang diakibatkan oleh
terjadinya kontak kulit dengan alergen yang berasal dari lingkungan. [ CITATION
Gol12 \l 1057 ]

2. Epidemiologi
Berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan pada dekade terakhir ini,
dermatitis kontak merupakan penyebab dermatitis paling penting pada anak-anak.
Selain itu, dermatitis kontak juga merupakan penyakit paling umum pada anak-
anak begitu juga pada orang dewasa. Sedangkan pada populasi geriatri, angka
kejadian berkisar 11% meliputi dermatitis kontak alergika dan dermatitis kontak
iritan. Alergen tersering yang menyebabkan dermatitis kontak biasanya berbeda
pada setiap kelompok usia.[ CITATION Gol12 \m Sul11 \l 1057 ]
Pada studi epidemiologi yang dilakukan pada populasi semua kelompok
usia di negara-negara Amerika Utara dan Eropa Barat didapatkan prevalensi
dermatitis kontak adalah sebesar 21,2%. Alergen yang paling sering adalah nikel,
thimorsal, dan mix fragrances. Namun prevalensi alergen spesifik berbeda pada
setiap negara.[ CITATION Gol12 \l 1057 ]
Prevalensi DKA pada populasi umum adalah sebanyak 21,8% pada
perempuan dan 12% pada laki-laki. Perbedaan prevalensi berdasarkan jenis
kelamin kemungkinan dipengaruhi oleh faktor sosial dan lingkungan. Perempuan
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap nikel (17,1% pada perempuan dan
3% pada laki-laki) akibat sering memakai perhiasan berbahan nikel sementara
laki-laki lebih sensitif terhadap logam akibat lingkungan pekerjaannya. [ CITATION
Gol12 \m Pal11 \l 1057 ]
Selain itu, beberapa studi juga menunjukkan bahwa ras Afrika dan Amerika
memiliki tingkat sensitisasi yang lebih rendah terhadap bahan alergen yaitu nikel
dan neomisin dibandingkan ras Kaukasian. Penilaian hasil positif terhadap patch
test sedikit lebih sulit pada kulit hitam. Eritema biasanya tidak terlihat jelas.

1
14

Sedangkan untuk lesi edema dan papul atau vesikel lebih terlihat jelas dan dapat
dipalpasi.[ CITATION Gol12 \l 1057 ]

3. Etiopatogenesis
Faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya DKA terbagi dua yaitu
faktor risiko yang didapat dan faktor yang berada pada individu itu sendiri. Faktor
yang didapat yaitu adanya penyakit inflamasi pada kulit seperti DKI, dermatitis
stasis, dan dermatitis atopik. Sedangkan faktor yang ada pada individu itu sendiri
adalah adanya pengaruh genetik.[ CITATION Pei12 \l 1057 ] DKA terjadi ketika
adanya kontak alergen dengan kulit yang telah tersensitisasi sebelumnya. Proses
ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau hipersensitivitas yang
diperantarai oleh sel atau sistem imun.[ CITATION Jam11 \l 1057 ] Terdapat 3700
substansi yang dapat mencetuskan DKA. Kejadian DKA tergantung pada
frekuensi, potensial sensitisasi, serta lama pajanan. Kondisi kulit saat terpajan juga
penting karena dapat mempengaruhi proses sensitisasi. Oklusi, kelembapan, serta
kerusakan pada kulit dapat mendukung penetrasi dan sensitisasi. [ CITATION
Mac11 \l 1057 ]
DKA terdiri dari dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. [ CITATION
Gol12 \l 1057 ]
Fase sensitisasi
Kebanyakan alergen yang berasal dari lingkungan berukuran kecil, bersifat
lipofilik, dan memiliki berat <500 dalton. Alergen yang belum diproses tersebut
disebut hapten. Setelah melakukan penetrasi ke kulit, hapten akan berikatan
dengan protein epidermis dan membentuk hapten-protein complex yang
merupakan suatu antigen komplit. Selanjutnya antigen presenting cells (APC)
pada kulit yaitu sel Langerhan dan atau sel dendritik dermal menangkap hapten-
protein complex dan mengekspresikannya ke permukaan sel Langerhan sebagai
molekul HLA-DR.[ CITATION Gol12 \l 1057 ]
Sensitisasi dapat terjadi apabila koneksi terhadap nodus limfe intak. Sel
Langerhan yang telah berikatan dengan alergen akan bermigrasi melalui
pembuluh limfe ke area parakortikal di nodus limfe regional dan akan
diperkenalkan dengan limfosit T. Proses pengikatan terjadi tidak hanya akibat
15

faktor fisik dari sel Langerhan, tetapi juga dengan bantuan specialist cellular
adhesion molecules (CAMs). CAMs bekerja pada lokasi yang berbeda untuk
membantu proses terjadinya pengikatan dengan limfosit T. Dengan pengenalan
terhadap antigen, banyak mediator inflamasi atau sitokin dihasilkan seperti IL-1
dihasilkan oleh APC dan IL-2 dihasilkan oleh limfosit T. [ CITATION Bec10 \l 1057 ]
Sitokin-sitokin ini akan menyebabkan proliferasi dan terlepasnya sel T dari
nodus limfe menjadi sel TCD8+ dan TCD4+ dan menyebar melalui pembuluh
limfe ke seluruh tubuh. Sel TCD4+ dan TCD8+ akan berperan sebagai efektor
pada sel target yang mengenali antigen spesifik di kemudian hari. Fase sensitisasi
berlangsung selama kurang lebih 10-15 hari dan sering asimptomatik. Paparan
antigen selanjutnya akan menyebabkan terjadinya fase elisitasi. [ CITATION
Gol12 \m Bec10 \l 1057 ]

Fase elisitasi
Apabila individu yang telah tersensitisasi mendapat pajanan ulang terhadap
alergen yang spesifik dengan konsentrasi yang cukup, reaksi yang terjadi akan
berlangsung lebih cepat yaitu dalam 24-48 jam namun bergantung pada derajat
sensitivitas, penetrasi, dan faktor lainnya. Proses ini dapat berlangsung dalam
hitungan jam sampai beberapa hari. Pada fase ini, APC pada sel Langerhan dan
IL-1 yang dihasilkan oleh keratinosit mengenali antigen sebagai HLA-DR.
[ CITATION Bec10 \l 1057 ]
Selanjutnya sel T menghasilkan sitokin yaitu IFN-ɣ dan TNF-α yang akan
mendatangkan sel-sel inflamasi dengan menstimulasi makrofag dan keratinosit
untuk menghasilkan lebih banyak sitokin. Respon inflamasi yang terjadi adalah
migrasi monosit ke area tempat terjadi proses inflamasi kemudian berubah
menjadi makrofag sehingga menarik lebih banyak sel T. Proses inflamasi lokal ini
menghasilkan gejala klinis klasik berupa kemerahan, edema, papul, vesikel, serta
rasa panas. [ CITATION Gol12 \l 1057 ]
16

Gambar 2. Patofisiologi DKA[ CITATION Mac11 \l 1057 ]

4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam mendiagnosis DKA adalah
menanyakan riwayat terpapar alergen lingkungan. Pertanyaan dapat difokuskan
pada onset keluhan serta penggunaan obat topikal untuk mengobati keluhan
tersebut. Riwayat penyakit kulit dahulu, riwayat atopi, serta kesehatan pasien
secara umum juga harus dikahui. Pada umumnya pasien akan mengeluhkan gatal
pada kulit dan memiliki riwayat paparan pada alergen yang sama selama
bertahun-tahun sebelum akhirnya berkembang menjadi hipersensitivitas. Selain
itu tanyakan secara menyeluruh mengenai riwayat alergi pada keluarga, riwayat
pengobatan, pekerjaan, hobi serta produk perawatan pribadi seperti sabun, sampo,
kondisioner, deodoran, lotion, krim, obat-obatan, hair styling dan lain-lain untuk
mengetahui kemungkinan paparan yang terjadi pada pasien tersebut.[ CITATION
Gol12 \m Jam11 \l 1057 ]

b. Pemeriksaan Fisik
17

Bentuk lesi pada DKA bervariasi berdasakan derajat penyakit. Pada fase
akut, lesi berupa edema, eritema, dan vesikel. Papul dan plak dapat muncul ketika
vesikel ruptur. Alergen yang lebih kuat lebih sering menghasilkan bentuk vesikel,
sedangkan alergen yang lebih lemah sering menjadi bentuk lesi papul dengan
eritema dan edema di sekitarnya. Pada DKA subakut dapat menimbulkan lesi
eritema dan pustul. Sedangkan pada DKA kronik muncul lesi berupa skuama,
fisura, dan likenifikasi. Gejala khas untuk alergi adalah pruritus.[ CITATION Gol12 \l
1057 ]
Distribusi dermatitis biasanya di satu tempat dan merupakan kunci penting
untuk penengakkan diagnosis. Area dermatitis merupakan area yang terkena
kontak dengan alergen. Berikut predileksi DKA berdasarkan alergen yang sering
terpapar:[ CITATION Gol12 \m Jam11 \l 1057 ]
- Wajah (berbagai produk kosmetik seperti: fragrance, PPD, pembersih. Dan
alkohol lanolin)
- Skalp (produk perawatan rambut serperti PPD atau glyceryl monothioglycolat)
- Kelopak mata (mascara, eyeliner, eyshadow, serta nikel atau karet pada
pengeriting bulu mata)
- Bibir (lip balm, llipstick, lipglosses, pelembap, dan produk pembersih mulut)
- Leher (penggunaan kosmetik dan parfum pada leher, serta perhiasan berbahan
nikel atau kobalt)
- Badan (fragrance, pengawet, serta bahan kimia lain yang terdapat pada produk
perawatan)
- Aksila (deodoran)
- Pergelangan tangan (perhiasan dan jam tangan berbahan nikel)
- Kaki (sepatu berbahan karet atau kulit)

c. Pemeriksaan Penunjang
Uji tempel (patch test) merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat
berguna untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak. Uji tempel menunjukkan
sensitivitas seseorang terhadap zat alergen tertentu. Uji tempel tidak dilakukan
pada pasien yang memiliki dermatitis aktif, pasien yang menggunakan
kortikosteroid topical dan sistemik dan mengonsumsi obat imunosupresif serta
pasien yang sedang hamil. Selama tes, pasien tidak diperbolehkan mandi dan
18

berkeringat serta mengonsumsi jenis obat apapun.[ CITATION Sul11 \l 1057 \m


Yes11]
Preparat uji tempel ditempelkan pada kulit yang sehat, yaitu biasanya
dipunggung pasien. Preparat uji temple dilepaskan pada jam ke 48. Pembacaan
hasil pertama dapat dilakukan 15-30 menit setelah preparat dilepaskan. Evaluasi
hasil uji tempel umumnya dilakukan setelah 48 jam, 72 jam atau hari ke-7.
Beberapa peneliti mengemukan bahwa reaksi positif uji tempel terhadap rejimen
pengobatan topikal umumnya lebih lambat. Hal tersebut menunjukkan pentingnya
pembacaan pada hari ke 7 pada pasien yang menggunakan bahan tersebut. Alergi
kortikosteroid khususnya dapat tidak terdeteksi jika pembacaan lambat tidak
dilakukan.[ CITATION Gol12 \m Sul11 \l 1057 ]

6. Penatalaksanaan
Hal yang menjadi prioritas pada penatalaksanaan pasien dengan dermatitis
kontak adalah mengidentifikasi dan menghindari substansi pencetus. Kompres
dingin, kalamin lotion, colloidal oatmeal baths dapat meringankan gejala akut
dermatitis kontak. Lesi DKA akut dapat diterapi dengan steroid topikal potensi
sedang-kuat seperti triamcinolone 0,1% atau cobetasol 0,05%. Pada area kulit
yang lebih tipis seperti fleksura, kelopak mata, wajah, dan regio anogenetalia
dapat digunakan steroid potensi lebih rendah seperti denoside ointment yang dapat
membantu dan meminimalisir risiko terjadinya skin atrophy. Steroid sistemik
dapat diberikan apabila dermatitis kontak mengenai lebih dari 20% area kulit,
seperti prednison 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 5 sampai 7 hari. Apabila pasien
nyaman dengan terapi awal ini, dosis dapat diturunkan sebesar 50% untuk 5-7 hari
selanjutnya. Pengurangan dosis tergantung pada faktor seperti tingkat keparahan
serta durasi DKA dan bagaimana alergen dapat dicegah. Pada dermatitis yang
parah, prednison oral harus diturunkan dalam 2-3 minggu karena penghentian
steroid yang cepat dapat menyebabkan dermatitis berulang. [ CITATION Usa10 \l
1057 ]
Apabila terdapat erupsi likenifikasi pada dermatitis kontak kronik dapat
diobati dengan pelembab. Penggunaan pelembab membantu pemulihan sawar
kulit dengan meningkatkan hidrasi kulit, mempengaruhi struktur lipid epidermis,
19

dan mencegah absorbsi senyawa eksogen. Pelembab yang mengandung lipid


menjadi pilihan utama. Pruritus dapat dikontrol dengan antipruritik atau
antihistamin oral. Namun antihistamin maupun zat anestesi topikal sebaiknya
dihindari karena berisiko menginduksi alergi sekunder pada kulit yang telah
mengalami dermatitis.[ CITATION Sul11 \l 1057 ]
7. Prognosis
Penilaian prognosis pada DKA sulit dilakukan karena tidak ada instrumen
standar evaluasi. Gangguan kerja, kemampuan untuk kembali bekerja, serta
perbaikan dermatitis seiring berjalannya waktu merupakan outcome yang dinilai
pada pasien DKA. Sebuah studi terbaru bertujuan untuk meningkatkan penilaian
outcome yaitu kualitas hidup (QoL) pada penderita DKA. Penggunaan QoL telah
diterapkan pada populasi pasien DKA dan didapatkan penurunan kualitas hidup
yang signifikan. Holness et al menemukan bahwa nyeri, gatal, perasaan malu,
gangguan pekerjaan dan kesulitan tidur merupakan efek yang signifikan terhadap
QoL melalui penderita DKA berdasarkan hasil patch test.[ CITATION Gol12 \l 1057 ]
20

DAFTAR PUSTAKA

1. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine United States: The McGraw-
Hill Companies,; 2012.

2. Machado Martins LEA, Reis SdVM. Immunopathology of allergic contact


dermatitis. An Bras Dermatology. 2011; 86(3): p. 419-33.

3. Palomo JJ, Ancillo AM, Bobolea ID, Carmen PB, González IC.
Epidemiology of Contact Dermatitis, Contact Dermatitis. InTech. 2011
December: p. 3-20.

4. Sulityaningrum S, Widaty S, Triestianawati W, Daili ESS. Dermatitis Kontak


Iritan dan Alergik pada Geriatri. MDVI. 2011; 38(1): p. 29-40.

5. Beck MH, Wilkinson SM. Rook's Textbook Dermatology. In Burns T,


Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Contact Dermatitis: Allergic. UK:
Blackwell; 2010. p. 26.1-26.84.

6. Simon JC. Allergic Contact Dermatitis. Journal of The German Society and
Dermatology. 2013 April;: p. 607-621.

7. Yesilova Y, Ucmak D, Sula B. Evaluation of Patch Test Result in Patients


with Contact Dermatitis. Dicle Medical Journal. 2011; 38(4): p. 471-476.

8. Usatine RP, Riojas M. Diagnosis and Management of Contact Dermatitis.


American Family Physician. 2010 August; 82(3): p. 249-255.

9. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew's Disease of The Skin Clinical
Dermatology USA: Saunders Elsevier; 2011.

10. Peiser M, Tralau T, Heidler J, Api AM. Allergic contact dermatitis:


epidemiology, molecular mechanisms, in vitro methods and regulatory
aspects. Cellular and Molecular Life Sciences. 2012 September;: p. 763-781.

x
21

Anda mungkin juga menyukai