Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS

Herpes Zoster

Oleh :

Dendy Frannuzul Ramadhan I4061172074

Pembimbing
dr. Teguh Aly’ansyah, M.Ked, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD ABDUL AZIZ
SINGKAWANG
2018
Telah Disetujui Laporan Kasus Dengan Judul :
Herpes Zoster

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kulit dan Kelamin

Pontianak, November 2018


Pembimbing Disusun oleh

Dr. Teguh Aly’ansyah, M.Ked (KK), Sp. KK Dendy Frannuzul Ramadhan


BAB 1
PENDAHULUAN

Herpes Zoster merupakan infeksi akut dikarenakan reaktivasi virus Varicella-


Zoster (VZV) yang menyerang kulit dan mukosa, yang bersifat localized dan unilateral.
Sinonim dari penyakit ini adalah shingles, dampa atau cacar ular.1 Penyakit ini tersebar
merata di seluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Angka kejadian pada
pria dan wanita sama, 66% terjadi pada usia dewasa. Dengan ciri khas berupa nyeri
radikuler dan didapatkan gerombolan vesikel yang tersebar sesuai dermatom yang
diinervasi oleh suatu ganglion sensoris.
Herpes Zoster ditandai dengan gambaran vesikel yang bergerombol di atas kulit
yang eritematus, sementara kulit diantara gerombolan satu dengan yang lain normal. Juga
sering didapatkan krusta berwarana kuning kecoklatan sampai kehitaman jika perjalanan
penyakit telah sampai pada stadium krustasi.2 Lokasi lesi dari Herpes zoster sering
didapatkan pada wajah bagian dahi atau mata (herpes zoster oftalmikus), pada wajah
(herpes zoster fasialis), pada daerah dada (herpes zoster torakalis), pada daerah pundak
(herpes zoster brakialis) tergantung pada ganglion dimana virus menginfeksi secara laten.
Lokasi tersering adalah pada bagian torakal. Tersering kedua adalah pada bagian kranial
atau wajah sisi dahi yaitu Herpes zoster Oftalmikus. Pada jenis ini yang terkena adalah
ganglion gasseri.1
Penyakit ini terjadi pada individu yang telah terserang infeksi varicella sebelumnya.
Virus varisela kemudian berpindah tempat dari lesi di kulit dan permukaan mukosa ke
ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf
sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi
menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah
menjadi infeksius.3 Proses reaktivasi virus dapat dicetuskan oleh antara lain usia lanjut
dengan penurunan imunitas, keganasan, radioterapi, pengobatan imunosupresif dan
penggunaan kortikosteroid yang lama. Setelah lebih dari 1 bulan paska infeksi
postherpetik neuralgia dapat terjadi pada 13%-35% pasien yang berumur di atas 60
tahun.4
BAB II
PENYAJIAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 60 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan :
Status Pernikahan :
Nama/ Usia Ayah :
Pekerjaan Ayah :
Nama/ Usia Ibu :
Pekerjaan Ibu :
2. ANAMNESA
1. Keluhan utama :
Pasien dibawa oleh anak dan menantunya karena wajah bengkak, nyeri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :

3. Riwayat penyakit dahulu

4. Riwayat keluarga

5. Riwayat sosioekonomi

3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal
a. Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan umum :
Kesadaran :
Gizi :
TB :
BB :
b. Status Generalis
Kepala :
Mata :
Wajah :
THT :
Thoraks :
Abdomen :
KGB :
Ekstremitas Atas :
Ekstremitas Bawah :

c. Status Dermatovenerologi

d. Pemeriksaan Pencegahan Kecacatan (Prevention of Disability/POD)


- Tes Saraf Facialis =
- Tes Saraf Trigeminus =
- Tes Saraf Ulnaris:
i. Fungsi motorik:
ii. Fungsi sensorik:
- Tes Saraf Medianus:
i. Fungsi motorik:
ii. Fungsi sensorik:
- Tes Saraf Radialis:
i. Fungsi motorik:
ii. Fungsi sensorik:
- Tes Saraf Peroneus communis:
i. Fungsi motorik:
ii. Fungsi sensorik:
- Tes Saraf Tibialis posterior:
i. Fungsi motorik:
ii. Fungsi sensorik:

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

5. DIAGNOSIS

6. PENATALAKSANAAN
a. Pemberian obat
7. PROGNOSIS
Quo ad vitam :
Qua ad fungsionam :
Qua ad sanationam :
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi varicella zoster virus (VZV) laten dari
saraf tepi dan saraf pusat. varicella zoster virus merupakan patogen utama terhadap dua
infeksi klinis utama pada manusia yaitu varicella atau chickenpox (cacar air) dan herpes
zoster (cacar ular). Varicella merupakan infeksi primer yang terjadi pada individu yang
terpapar dengan varicella zoster virus. Pada 3-5 dari 1000 individu, varicella zoster virus
mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi reaktivasi yang dikenal dengan nama Herpes
zoster atau Shingles.5
Herpes zoster adalah infeksi virus akut yang memiliki karakteristik unilateral,
sebelum timbul manifestasi klinis pada kulit wajah dan mukosa mulut biasanya akan
didahului oleh gejala odontalgia. Timbulnya gejala odontalgia pada Herpes zoster belum
sepenuhnya diketahui.6

3.2 Epidemiologi
Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan
biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak
lahir sampai 9 tahun: 0,74/1000; usia 10-19 tahun: 1,38/1000; usia 20-29 tahun:
2,58/1000. Di Amerika, herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak, dimana lebih dari
66% mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia dibawah 20 tahun
dan 5% mengenai usia kurang dari 15 tahun. Walaupun herpes zoster merupakan penyakit
yang sering dijumpai pada orang dewasa, namun herpes zoster dapat juga terjadi pada
bayi yang baru lahir apabila ibunya menderita herpes zoster pada masa kehamilan. Dari
hasil penelitian, ditemukan sekitar 3% herpes zoster pada anak, biasanya ditemukan pada
anak-anak yang imunokompromis dan menderita penyakit keganasan.7
Tidak terdapat bukti yang kuat untuk menunjukan adanya hubungan genetik dengan
penyakit herpes zoster. Suatu studi pada tahun 1994 di California, Amerika Serikat
menunjukan adanya komplikasi pada 26% kasus herpes zoster, insiden 2,1 per 100.000
penduduk per tahun dan meningkat menjadi 9,3 per 100.000 penduduk per tahun pada
usia 60 tahun ke atas.8 Menurut Data Depkes pada tahun 2011-2013 Didapatkan
prevalensi herpes zoster dari 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia sepanjang 2011
hingga 2013 mencapai 2.232 kasus. Puncak kasus terjadi pada penderita berusia 45-64
tahun dengan jumlah 851 kasus atau 37,95 persen dari total kasus herpes zoster.9

3.3 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster (VVZ) dan tergolong
virus berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili alfa
herpesviridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat
sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta
dan gamma. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi
primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi
primer, infeksivoleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten didalam
neuron dari ganglion.Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan
secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif
luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk
replikasi meliputi virus spesifik DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine
(thymidine) kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi.10

3.4 Patogenesis
Patogenesis dari herpes zoster belum diketahui secara pasti. Ketika terinfeksi
varisella, Virus Varicella Zoster menyebar dari lesi di kulit dan mukosa ke saraf sensoris
akhir dan dibawa secara sentripetal dari serabut sensorik ke ganglion sensorik. Di dalam
ganglion infeksi laten terjadi di neuron sensorik dan virus bertahan dengan tenang dan
tidak merusak (tidak infeksius dan bermultiplikasi). Herpes zoster disebabkan oleh
reaktivasi virus varisela zoster, dari infeksi yang biasa terjadi pada anak – anak. Sebagian
besar anak (dan dewasa) yang pernah mengalami cacar air tidak sembuh sempurna dari
infeksi virus ini. Virus menjadi dorman, berdiam di satu atau lebih ganglion saraf dalam
tubuh. Pada banyak orang, virus tetap dorman selamanya tanpa pernah menimbulkan
masalah. Pada beberapa orang, virus mengalami reaktivasi. Pada poin ini, virus berjalan
menuju bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut. Setelah mencapai kulit, virus
menyebabkan nyeri, dan vesikel. Ciri khas penampakkan dari lesi ini adalah batas pada
area yang tegas pada kulit, berbeda dengan cacar air, yang menyebar ke seluruh kulit.
Bila proses ini terjadi pada saraf yang mengurus kulit daerah kelopak mata atas, kepala
depan, dan kulit kepala, maka kondisi ini dinamakan herpes zoster optalmika. Kadang –
kadang reaktivitas virus zoster tanpa sebab yang jelas, sementara dapat juga karena akibat
dari kondisi yang lain. Kondisi yang dapat mengakibatkan reaktivasi dari virus herpes ini
termasuk, bertambahnya usia, AIDS, atau imunosupresi karena sebab yang lain.11

3.5 Gambaran Klinis


Sebelum timbul gejala kulit, diawali dengan gejala prodormal. Tanda awal dari
herpes zoster adalah nyeri dan parestesia. Biasanya gejala ini berlangsung dalam beberapa
hari, dan bervariasi dari gatal, kesemutan atau rasa terbakar, sampai yang berat, nyeri
yang sangat dalam. Biasanya diikuti juga dengan gejala konstitusional seperti nyeri
kepala, malaise, dan demam, dan berkembang menjadi ruam dalam 5 hari. Setelah itu
timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan
dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan jernih, kemudian
menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta. Kadang – kadang vesikel mengandung
darah dan disebut dengan herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder
sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks.11
Masa tunasnya 7 – 12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi – lesi baru yang tetap
timbul berlangsung kira–kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira–kira
1–2 minggu. Di samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah
bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai
dengan tempat persarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi
pada susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis
memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang
khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus
trigeminus atau nervus fasialis dan otikus.12

3.6 Diagnosis
Diagnosa Herpes zoster biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat kasus dan
gambaran klinisnya yang khas, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Meskipun begitu, pemeriksaan laboratorium direkomendasikan jika gambaran klinis
tidak khas atau untuk menentukan status imun terhadap varicella zoster virus (VZV) pada
orang yang beresiko tinggi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi Tzank smear
dimana untuk membedakan antara herpes simplex virus (HSV) dan varicella zoster virus
(VZV). Pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa IGM antibodi spesifik yang hanya
muncul ketika seseorang mengalami cacar air atau herpes zoster dan tidak muncul ketika
virus dalam keadaan laten. Pada pemeriksaan lebih canggih, dapat dilakukan dengan
pemeriksaan DNA virus yang menggunakan mikroskop elektron untuk partikel virus.13

3.7 Tatalaksana
Episode herpes zoster sebagian besar adalah self-limited dan dapat sembuh tanpa
intervensi. Namun penyakit ini menyebabkan kesakitan yang cukup tinggi dan dapat
menyebabkan komplikasi, oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat. Penyakit
ini cenderung memberikan gejala yang lebih ringan pada anak-anak dibandingkan orang
dewasa. Terapi antiviral untuk herpes zoster dapat mengurangi waktu pembentukan
vesikel baru, jumlah hari yang diperlukan untuk menjadi krusta, dan perasaan tidak
nyaman atau nyeri akut. Semakin awal antiviral diberikan, semakin efektif untuk
mencegah postherpetic neuralgia. Idealnya, terapi dimulai dalam jangka waktu 72 jam
setelah onset, selama 7-10 hari. Antiviral oral berikut direkomendasikan:14
1) Acyclovir 800 mg PO 5 kali sehari selama 7-10 hari
2) Famciclovir 500 mg PO 3 kali sehari selama 7 hari
3) Valacyclovir 1000 mg PO 3 kali sehari selama 7 hari
Penelitian non randomised placebo controlled triali untuk pengobatan nyeri akut
herpes zoster menunjukan adanya pengaruh signifikan pemberian kombinasi antiviral dan
analgesik dalam jangka waktu 2-3 minggu onset untuk mencegah komplikasi postherpetic
neuralgia. Pengobatan primer untuk nyeri akut herpes zoster adalah:14
1) Neuroaktif agen (contoh : antidepresan tricyclic [TCAs] Amytriptiline)
2) NSAIDs
3) Opioid Analgesic
4) Antikonvulsan
Diantara analgesik tersebut, antikonvulsan memiliki efikasi yang terendah sedangkan
Amytriptilin memiliki efikasi yang tertinggi.
3.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai pada herpes zoster yaitu:15
1. Infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan bakteri
2. Posherpetic neuralgia (PHN). Insidennya meningkat dengan bertambahnya umur
dimana lebih kurang 50% penderita PHN berusia lebih dari 60 tahun dan PHN
biasanya jarang terjadi pada anak-anak
3. Pada daerah opthalmic dapat terjadi keratitis, episcleritis, iritasi, papilitis, dan
kerusakan saraf
4. Herpes zoster yang desiminata yang dapat mengenai organ tubuh seperti otak, paru
dan organ lain dan dapat berakibat fatal
5. Meningoencephalitis
6. Motor paresis
7. Terbentuk scar

3.9 Prognosis
Herpes zoster merupakan penyakit self limiting atau dapat sembuh sendiri dan
biasanya sembuh dalam waktu 10-15 hari. Prognosis untuk pasien usia muda dan sehat
sangat baik karena pada orang tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya
komplikasi herpes zoster seperti neualgia pascaherpes, infeksi sekunder dan timbulnya
jaringan parut. Herpes zoster pada anak imunokompeten tanpa disertai komplikasi
prognosis biasanya sangat baik sedangkan pada anak imunokompromais, angka
morbiditas dan mortalitasnya signifikan.11
BAB IV
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga. FK UI. Jakarta. 2005
2. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Surabaya: 2005
3. Moon, JE., Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library :
http://www.emedicine.com/med/topic1007.htm 2007
4. Melton CD, Herpes Zoster. eMedicine World Medical Library :
http://www.emedicine.com/EMERG/topic823.htm. 2007
5. Amnil,A. Postherpetic Neuralgia Setelah Menderita Herpes Zoster Oris. Universitas
Sumatera Utara (USU); 2010
6. Harpaz R, Ortega-Sanchez IR, Seward JF. Prevention of herpes zoster:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP).
MMWR - Morbidity & Mortality Weekly Report 2008;57(RR5):1-30
7. Sugito T L. Infeksi Virus Varicella-Zoster pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja S
A ediitor. Infeksi Kulit Pada Bayi & Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2003; 17-33.
8. Weinberg, JM. 2007. Herpes zoster: epidemiology, natural history, and common
complications.J Am Acad Dermatol:2004(9),543-546.
9. Ditjen PP&PL. Depkes RI. 2014. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tahun 2014.
Jakarta (pp.70-73).
10. Harahap, Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates: Jakarta; 2000.
11. Oxman,Michael N.”Varicell and Herpes Zoster dalam Dermatology “in General
Medicine” vol.1 ed.7. Vol.1. Chapter 191. USA. 2008.
12. Ronny P. Handoko. Penyakit Virus dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed.5.
Jakarta. 2009.
13. Long MD, Martin C, Sandler RS, Kappelman MD. 2013. Increased risk of herpes
zoster among 108 604 patients with inflammatory bowel disease. Aliment Pharmacol
Ther. 2013;37(4):420–429.
14. Judith M. Wilkinson. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi Nic dan
Noc. Jakarta: EGC; 2006
15. Harper J. Herpes Zoster. In: Textbook of Pediatric Dermatology, volume 1.
Blackwell Science. 2000: 339-40

Anda mungkin juga menyukai