Anda di halaman 1dari 20

PRESENTASI KASUS

HERPES ZOSTER

Disusun Untuk Memenuhi Syarat


Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter
di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Kota Magelang

Diajukan kepada :
dr. Nunik Sriwahyuni, Sp.KK

Disusun oleh :
Reza Setyono Ashari
20184010032

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Usia : 71 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Penyembelih Kambing
Alamat : Magelang

II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Muncul gelembung berisi cairan pada daerah wajah kanan sejak 4 hari yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Tidar Magelang dengan
keluhan muncul plenting berair pada daerah wajah kanan sejak 4 hari yang lalu
disertai sedikit bengkak. Sekitar 2 hari sebelum muncul gelembung berair, pasien
merasakan nyeri disekitar rahang kanan seperti terbakar dan bertambah nyeri bila
tersentuh. Sehari sebelum datang ke poli, pasien merasakan telinga kanannya
kadang berdenging dan sedikit pusing. Saat datang ke poli, sebagian besar
gelembung sudah pecah dan meninggalkan bekas seperti koreng merah kehitaman.
Sebelumnya pasien juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan serupa : Pasien pernah mengalami cacar air pada saat masih kecil
Riwayat HT : (+) sejak 2016
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal


d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa : disangkal
Riwayat HT : (+)
Riwayat DM : (+)
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
e. Riwayat Personal Sosial
Pasien merupakan seorang penyembelih kambing di pasar, pasien tinggal
dilingkungan yang cukup bersih. Sehari hari pasien makan teratur 3 kali sehari.
Tidak pernah berolahraga. Pasien bukan perokok, tidak mengkonsumsi obat-
obatan terlarang, tidak menggunakan NAPZA.
III. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Baik

STDV : Pada daerah wajah kanan hingga sekitar liang telinga kanan tampak pustul,
multiple, susunan herpetiformis, penyebaran dermatomal nervus trigeminus cabang
mandibula, dasar eritem, berisi cairan kekuningan, dinding tegang. Sebagian pustul
sudah pecah meninggalkan krusta berwarna merah kehitaman. Tampak adanya
edema wajah kanan bagian bawah
IV. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

V. Diagnosis
a. Diagnosis Banding
 Herpes Zoster
 Impetigo
 Dermatitis Herpetiformis
b. Diagnosis Kerja
Herpes Zoster

VI. Terapi
 Acyclovir 400mg 5x2 tab
 Asam mefenamat 500 mg 3x1 tab
 Alpentin 100 mg 2x1 tab
 Methylprednisolone 16 mg 1-½-0 tab
 Kompres NaCl 0.9% 2x1 selama 10 menit
 Bactoderm 10 gr ointment 2x1 post kompres
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Herpes zoster, atau dikenal juga sebagai cacar ular dan shingles, adalah
penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten varicella-zoster virus (VZV).
Penyakit ini lebih sering mengenai pasien lanjut usia dan pasien dengan kondisi
immunocompromised. Herpes zoster ditandai dengan nyeri dan vesikel bergerombol
yang tersebar sesuai dermatom, serta seringkali bersifat unilateral. Diagnosis umumnya
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, namun pemeriksaan
penunjang berupa apusan Tzanck juga dapat membantu (Cohen, 2013).

B. Epidemiologi

Global

Terdapat 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat setiap tahunnya dengan
rata-rata 3-4 kasus per 1.000 orang. Orang tua yang berusia 85 tahun yang tidak
divaksinasi memiliki risiko 50% lebih besar untuk terkena herpes zoster (Johnson.
2015).

Studi sistematik yang dilakukan pada tahun 2014 melaporkan bahwa insidensi
penyakit herpes zoster di Amerika Utara, Eropa, dan Asia-Pasifik sebesar 3-5 per 1.000
orang per tahun, dengan peningkatan insidensi sebesar 6-8 per 1.000 orang per tahun
untuk kelompok usia 60 tahun, dan 8-12 per 1.000 orang per tahun pada usia 80 tahun
ke atas (Kawai, 2014). Sebesar 10-20% pasien mengalami herpes oftalmikus, dengan
risiko komplikasi kebutaan sekitar 1% (Liesegang, 2008).

Indonesia

Jumlah insidensi dan prevalensi infeksi herpes zoster di Indonesia masih belum
diketahui secara pasti. Pada tahun 2011-2013, terdapat 2.232 pasien herpes zoster pada
13 Rumah Sakit pendidikan di Indonesia, dengan usia terbanyak antara 45 – 64 tahun
(37,95%). Dilaporkan bahwa wanita cenderung memiliki insidensi yang lebih tinggi.
Total kasus post herpetik neuralgia (PHN) adalah 593 kasus (26,5%) dengan usia
terbanyak adalah 45 – 64 tahun (42%) (KSHI, 2014).

C. Etiologi

Etiologi herpes zoster adalah infeksi varicella-zoster virus (VZV). Virus ini
dapat menyebabkan dua jenis penyakit yang berbeda yaitu varicella (cacar air) dan
herpes zoster (cacar ular).

Varicella Zoster Virus

Varicella-zoster virus (VZV) merupakan virus DNA bagian dari famili


herpesviridae seperti herpes simpleks virus (HSV), Epstein Barr virus (EBV), dan
human herpes virus (HHV).

Genom virus sebesar 125.000 bp, memiliki selubung dan berdiameter 80 -120
nm. VZV dapat mengkode 70 -80 protein. VZV menginfeksi sel limfosit T teraktivasi,
sel epitel, sel epidermal, dan sel neuron. VZV juga dapat membentuk sel sinsitia dan
menyerang secara langsung dari sel ke sel (KSHI, 2014).

Gambar 1. Struktur Varicella zoster virus


D. Patofisiologi

Infeksi Primer VZV

Infeksi VZV primer menyebabkan varicella atau cacar air (chickenpox) yang
ditandai dengan ruam kulit dan vesikel, yang umumnya bersifat ringan dan self limiting
(Cohen, 2013). VZV ditularkan melalui droplet (airborne) atau kontak langsung dengan
lesi (Gabutti, 2015).

Virus menginfeksi sel epitel dan limfosit di orofaring dan saluran napas atas
serta konjungtiva. Virus kemudian masuk ke kulit melalui darah dan menyebar ke sel
epitel untuk membentuk ruam dan vesikel. Lesi vesikuler akan berubah menjadi pustular
setelah infiltrasi sel radang, kemudian lesi dapat terbuka, kering dan menjadi krusta.
Masa inkubasi VZV adalah 10-20 hari (dengan rata-rata waktu 14 hari) (KSHI, 2014).

Perkembangan Menjadi Herpes Zoster

Setelah terjadi infeksi primer, VZV dapat hidup secara laten di ganglion
dorsalis nervus atau di nervus kranialis dengan penyebaran virus sesuai dengan
dermatom (Cohen, 2013). Reaktivasi VZV di ganglion yang laten dapat turun ke sel
epitel kulit melalui akson saraf dan bereplikasi sehingga menyebabkan herpes zoster
dermatomal (KSHI, 2014).

Seiring bertambah usia, maka risiko terkena herpes zoster semakin tinggi
karena adanya penurunan imunitas seluler limfosit T terhadap VZV. Selain usia tua,
faktor lain yang menyebabkan risiko terjadinya reaktivasi VZV adalah stress, defisiensi
imun (immunocompromised) misalnya pada pasien HIV dan penggunaan obat-obatan
imunosupresan (Brisson, 2002).
Gambar 2. Patofisiologi Herpes Zoster

E. Diagnosis

Diagnosis penyakit herpes zoster utamanya dapat ditegakkan dengan anamnesis


dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang seperti tes Tzanck dan PCR dapat
membantu menegakkan diagnosis bila gejala klinis meragukan.

Anamnesis

Penyakit herpes zoster dapat memberikan gejala prodromal dan gejala erupsi kulit.

Gejala Prodromal

Gejala prodromal dapat berlangsung selama 1-5 hari. Keluhan biasanya diawali
dengan nyeri pada dermatom sebelum timbul lesi. Karakteristik nyeri pada herpes zoster
bermacam-macam diantaranya parestesia (rasa terbakar atau kesemutan), disestesia
(nyeri bila disentuh), alodinia (nyeri yang berhubungan dengan stimulasi), atau
hiperestesia (nyeri yang berat dan terjadi terus menerus) (Cohen, 2013).

Selain nyeri, dapat timbul gejala lain seperti cegukan dan sendawa. Dapat pula
timbul gejala konstitusi seperti malaise, sakit kepala, gejala flu, dan pembesaran kelenjar
getah bening regional. Gejala sistemik dapat hilang setelah lesi kulit muncul (KSHI,
2014).
Gejala Erupsi Kulit

Lesi kulit diawali dengan ruam merah disertai dengan makula dan papula, yang
kemudian menjadi vesikel dan pustula. Lesi bisa timbul dalam waktu 3 sampai 5 hari.
Lesi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya secara jelas terbatas pada satu daerah
yang dipersarafi ganglion sensorik. Lesi paling sering terjadi pada daerah dermatom
ganglion torakalis. Erupsi kulit yang berat dapat menimbulkan gejala sisa berupa makula
hiperpigmentasi dan jaringan parut (KSHI, 2014).

Faktor Risiko

Faktor risiko harus digali dalam anamnesis seperti usia, riwayat vaksinasi
sebelumnya, penyakit kronis seperti kanker, kondisi immunocompromised seperti infeksi
HIV, dan konsumsi obat-obatan imunosupresan seperti steroid dalam jangka panjang
(Brisson, 2002).

Pada pasien dengan immunocompromised, perjalanan penyakit dan manifestasi


klinis dapat atipikal, berulang, berlangsung lebih lama (6 minggu), cenderung kronik
persisten, dan dapat menyebar ke organ internal (paru, hati dan otak). Gejala prodromal
lebih hebat, erupsi kulit lebih berat, lebih nyeri dan komplikasi sering terjadi (KSHI,
2014).

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan gambaran berupa lesi pada kulit yang
mungkin timbul dalam bentuk eritema, makula, dan papula, yang dapat berubah menjadi
vesikel dan pustula. Lesi umumnya bergerombol sesuai dengan dermatom dan hampir
selalu unilateral.

Pada pasien immunocompromised, lesi kulit dapat berupa bula, hemoragik,


hiperkeratotik, dan nekrotik yang timbul multidermatomal atau diseminata. Pemeriksaan
oftalmologi diperlukan untuk mengetahui apakah ada komplikasi pada mata, terutama
bila lesi kulit terdapat di sekitar wajah. Pemeriksaan neurologis termasuk pemeriksaan
nervus kranialis, pemeriksaan sensorik dan motorik diperlukan untuk mengetahui
komplikasi pada sistem saraf.
Gambar 3. Dermatom Sensorik

Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari penyakit herpes zoster diantaranya (KSHI, 2014):

 Impetigo : pada impetigo, lesi tidak menyebar sesuai dermatom. Karena disebabkan
oleh Staphylococcus, biasanya pasien memiliki riwayat infeksi sebelumnya,
misalnya ISPA atau infeksi kulit primer.

 Dermatitis herpetiformis : lesi timbul pada pasien dengan celiac disease, lesi sangat
mirip dengan herpes zoster, tapi bisa saja tidak tersebar sesuai dermatom.

 Dermatitis kontak : lesi timbul saat terjadi kontak dengan bahan iritan atau alergen
yang menimbulkan reaksi lokal pada area kulit yang terpapar saja.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan bila gejala klinis meragukan diantaranya:

 Tes Tzanck yaitu pemeriksaan sitologi sel epitel dimana terdapat sel datia yang
memiliki inti multipel.
• Gambar 4. Sel datia yang memiliki inti multipe

 Tes PCR untuk mengetahui antigen atau asam nukleat VZV. Sensitivitas
pemeriksaan DNA VZV dengan PCR adalah 95% dengan spesifisitas 100% (Cohen,
2013).

Variasi Klinis

Pada beberapa kasus herpes zoster, nyeri segmental tidak diikuti adanya erupsi kulit.
Kondisi ini disebut sebagai zoster sine herpete. Beberapa variasi klinis lain yang dapat
timbul adalah (KSHI, 2014):

 Herpes zoster abortif : bila perjalanan penyakit berlangsung singkat dan erupsi kulit
hanya berupa vesikel dan eritema

 Herpes zoster oftalmikus : mengenai cabang pertama nervus trigeminus. Erupsi


kulit sebatas mata hingga verteks tetapi tidak melalui garis tengah dahi

Gambar 5. Herpes Zoster Oftalmika


 Sindrom Ramsay-Hunt : herpes zoster terdapat pada liang telinga atau membran
timpani, disertai paresis fasialis yang nyeri, gangguan lakrimasi, gangguan
pengecap 2/3 depan lidah, tinitus, vertigo, dan penurunan pendengaran.

Gambar 6. A. Parese nervus fasialis B. Vesikel pada liang telinga

 Herpes zoster aberans : herpes zoster yang disertai vesikel minimal 10 yang
melewati garis tengah tubuh

 Herpes zoster pada kehamilan : biasanya manifestasi klinis ringan, kemungkinan


komplikasi sangat jarang, risiko infeksi pada janin dan neonatus juga sangat kecil,
oleh karena itu jarang memerlukan antiviral

 Herpes zoster pada neonatus : jarang ditemukan, biasanya ringan, dapat sembuh
tanpa antivirus, dan dapat sembuh tanpa gejala sisa

 Herpes zoster pada anak : manifestasi umumnya ringan, banyak menyerak area
servikal bawah, dan tidak membutuhkan antivirus

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan herpes zoster adalah menggunakan antiviral disertai terapi untuk nyeri
akut dan post herpetik neuralgia.

Strategi Penatalaksanaan Herpes Zoster

Strategi tatalaksana menggunakan strategi 6A yaitu attract patient early, assess patient
fully, antiviral therapy, analgetic, antidepressant/anticonvulsant, dan allay anxiety-
counselling (KSHI, 2014).
 Attract patient early: Untuk mendapatkan pengobatan yang optimal, sebaiknya
terapi dilakukan sedini mungkin dalam waktu 72 jam setelah erupsi kulit muncul.

 Asses patient fully: Perhatikan kondisi pasien dan lakukan pemeriksaan dengan
seksama untuk menilai komplikasi yang dapat terjadi.

 Antiviral therapy: Penggunaan antiviral dilaporkan dapat menurunkan insidens,


beban penyakit, durasi penyakit, serta nyeri berkepanjangan.

 Analgetic: diberikan karena herpes zoster sering kali disertai keluhan nyeri.

 Antidepressant/anticonvulsant: dapat diberikan pada pasien dengan nyeri yang berat


atau pada post herpetik neuralgia

 Allay anxiety-counselling: Memberikan konseling kepada pasien mengenai


penyakitnya serta mempertahankan kondisi mental supaya tetap optimal

Antivirus

Indikasi pemberian antivirus pada herpes zoster adalah (Cohen, 2013):

 Pasien usia > 50 tahun

 Nyeri sedang atau berat

 Ruam yang berat

 Keterlibatan wajah atau mata

 Herpes zoster oftalmikus, sindrom Ramsay-Hunt, herpes zoster servikal, dan herpes
zoster sakral

 Pasien immunocompromised, diseminata, generalisata, atau dengan komplikasi

Antivirus yang dapat digunakan adalah :

 Untuk dewasa diberikan acyclovir 5 x 800 mg /hari per oral selama 7-10 hari,
penyesuaian dosis dilakukan pada pasien gangguan ginjal

 Untuk anak < 12 tahun diberikan acyclovir dosis 30 mg/kgBB selama 7 hari
 Untuk anak > 12 tahun diberikan acyclovir dosis 60 mg/kgBB selama 7 hari

 Valasiklovir 3 x 1 gram/hari per oral selama 7 hari

 Famsiklovir 3 x 500 mg/hari per oral selama 7 hari

Antivirus masih dapat diberikan setelah 72 jam bila masih timbul lesi baru atau ada
vesikel yang timbul <3 hari.

Acyclovir intravena diberikan apabila herpes zoster disertai keterlibatan organ viseral.
Cara penggunaannya adalah dengan melarutkan sediaan injeksi dalam vial dengan 100
cc NaCl 0,9%, kemudian diberikan dalam 1 jam (KSHI, 2014).

Pasien Immunocompromised

Dosis antivirus yang diberikan pada pasien herpes zoster yang immunocompromised
adalah acyclovir intravena 10 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7-10 hari.

Pada kasus yang berat, selain acyclovir intravena dapat ditambahkan interferon alfa 2a.

Pengobatan dapat dilanjutkan dengan terapi supresi terutama bila gejala klinis belum
menghilang, dengan memberikan acyclovir 2 x 400 mg per hari atau valacyclovir 500
mg per hari (Cohen, 2013).

Tatalaksana Nyeri Akut

Untuk penatalaksanaan nyeri yang ringan dapat digunakan paracetamol dan obat
antiinflamasi non steroid (OAINS) seperti ibuprofen.

Apabila nyeri derajat sedang-berat, maka dapat ditambahkan analgesik golongan opioid
seperti tramadol dan kodein (KSHI, 2014).

Non Opioid

Obat analgesik non opioid biasanya digunakan pada nyeri ringan. Contohnya adalah
Paracetamol 500-1000 mg setiap 6 jam atau Ibuprofen 400-800 mg setiap 6 jam.
Opioid

Analgesik opioid yang dapat digunakan adalah :

 Oxycodone 5 mg setiap 4 jam, dapat ditingkatkan sesuai respon tetapi tidak


melebihi 120 mg per hari

 Tramadol 50 mg sekali atau dua kali per hari, dapat ditingkatkan sesuai respon
tetapi tidak melebihi 400 mg per hari

Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid dalam penyakit herpes zoster sederhana masih kontroversi.


Beberapa uji klinis melaporkan bahwa penggunaan prednisone atau prednisolone dapat
mengurangi nyeri akut, meningkatkan kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari, serta mempercepat masa penyembuhan. Tetapi pemberian prednisone sebaiknya
tidak diberikan pada pasien hipertensi, diabetes mellitus, penyakit ulkus peptikum, serta
pada pasien usia tua. Prednison dan terapi antiviral biasanya digunakan pada herpes
zoster dengan komplikasi neurologis seperti Bell’s palsy, atau disebut juga sindrom
Ramsay Hunt.

Pilihan yang dapat diberikan adalah prednisone 60 mg/hari selama 7 hari, kemudian
dikurangi menjadi 30 mg/hari selama 7 hari, dan 15 mg/hari selama 7 hari.

Antikonvulsan

Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien dengan nyeri berat atau post herpetik
neuralgia.

 Gabapentin 300 mg sebelum tidur atau 100-300 mg tiga kali sehari, dapat
ditingkatkan setiap 2 hari sesuai respon pasien dengan dosis maksimal 3600 mg per
hari.

 Pregabalin 75 mg sebelum tidur atau 75 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan


setiap 3 hari sesuai respon pasien dengan dosis maksimal 600 mg per hari
Antidepresan Trisiklik

Antidepresan dapat diberikan pada pasien dengan nyeri berat atau post herpetik
neuralgia. Yang biasa digunakan adalah nortriptyline 25 mg sebelum tidur, dapat
ditingkatkan setiap 2-3 hari sesuai respons pasien, dosis maksimal 150 mg per hari
(Cohen, 2013).

Tatalaksana Post Herpetik Neuralgia

Modalitas tatalaksana post herpetik neuralgia mirip dengan penatalaksanaan nyeri akut.
Tujuan tatalaksana adalah agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari-hari.

 Lini Pertama : Gabapentin 3 x 100 mg dapat ditingkatkan setiap 5 hari, maksimal


3600 mg perhari. Atau Pregabalin 2 x 75 mg dapat ditingkatkan setiap minggu
hingga 2 x 150 mg.

 Lini Kedua : Tramadol 50 mg per hari dapat ditingkatkan setiap 3-4 hari hingga
100-400 mg perhari dalam dosis terbagi.

G. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis herpes zoster pada pasien dengan usia lebih muda dan
imunokompeten umumnya baik. Komplikasi yang dapat terjadi adalah post herpetik
neuralgia, namun dapat juga terjadi komplikasi pada mata dan neurologi.

Komplikasi

Post herpetik neuralgia atau neuralgia post herpetic (NPH), merupakan


komplikasi yang paling sering terjadi yang mana pasien merasakan nyeri terus menerus
di tempat infeksi. Nyeri ini dapat menurunkan kualitas hidup karena dapat menyebabkan
gangguan terhadap aktivitas fisik sehari-hari, berkurangnya mobilitas dan gangguan
tidur. Pada kondisi yang berat, pasien dapat mengalami anoreksia, penurunan berat
badan, dan depresi (Cohen, 2013).

Komplikasi oftalmologi di antaranya keratitis, skleritis, uveitis dan nekrosis


retinal akut (Liesegang, 2008). Komplikasi neurologi di antaranya Bell’s palsy,
paresthesia, meningitis aseptik, ensefalitis, myelitis transversa, gangguan pendengaran,
transient ischemic attack (TIA), dan stroke (Gilden, 2009). Komplikasi kutaneus di
antaranya infeksi bakteri sekunder dan gangren superfisialis (KSHI, 2014).

Pada pasien yang mengalami defisiensi imun, komplikasi penyakit herpes


zoster dapat semakin berat diantaranya penyakit kulit diseminata, nekrosis retina akut
dan progresif, lesi kulit verukosa, hepatitis, dan resistensi terhadap acyclovir (de Jong,
2001).

Komplikasi otologi di antaranya sindrom Ramsay Hunt yaitu komplikasi pada


nervus kranialis VII ganglion geniculate dengan penyebaran ke nervus kranialis VIII.
Gejalanya adalah nyeri, vesikel pada liang telinga, gangguan pengecapan pada 2/3
anterior lidah, tinnitus, vertigo, dan gangguan pendengaran (Cohen, 2013).

Prognosis

Prognosis pada pasien dengan usia lebih muda dan imunokompeten umumnya
baik. Pada lesi yang menyerang organ internal terutama pada pasien yang sedang
kemoterapi maka mortalitas mencapai 30% (KSHI, 2014).

H. Edukasi dan Promosi Kesehatan

Edukasi dan promosi kesehatan pada herpes zoster yang dapat dilakukan diantaranya:

 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya

 Menyarankan pasien untuk menjaga lesi kulit untuk tetap bersih, mandi 2 x sehari,
hindari menggaruk di bagian lesi, gunakan pakaian yang longgar

 Kompres basah dingin steril untuk mengurangi nyeri atau rasa tidak nyaman

 Hindari penggunaan antibiotik topikal kecuali bila ada indikasi infeksi sekunder

 Pasien disarankan untuk banyak istirahat, jangan stress dan mengkonsumsi


makanan yang bergizi

 Bila erupsi kulit tidak kunjung sembuh walaupun diterapi acyclovir, maka pasien
sebaiknya dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi karena kemungkinan
adanya resistensi acyclovir.
 Merujuk ke dokter spesialis mata bila ada komplikasi pada mata.

 Merujuk ke dokter spesialis THT-KL bila ada gejala yang mengarah ke sindrom
Ramsay-Hunt. (KSHI, 2014)

 Untuk pencegahan disarankan untuk melakukan vaksinasi VZV hidup yang


dilemahkan terutama pada pasien usia 60 tahun ke atas. Vaksinasi ini juga dapat
bermanfaat untuk mencegah komplikasi termasuk neuralgia post herpetic (Oxman,
2005)
BAB III
KESIMPULAN

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster
yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi
setelah infeksi primer.
Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes zoster oftalmikus,
fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis, dan sakralis. Manifestasi klinis herpes zoster dapat
berupa kelompok-kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi
yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang
terinfeksi virus.
Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana,
yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti banyak.
Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting
disease), tetapi pada beberapa kasus dapat timbul komplikasi. Semakin lanjut usia,
semakin tinggi frekuensi timbulnya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Brisson M, Gay NJ, Edmunds WJ, Andrews NJ. Exposure to varicella boosts immunity to
herpes-zoster: Implications for mass vaccination against chickenpox. Vaccine
2002;20:2500-7

Cohen JI. Herpes zoster. N Engl J Med. 2013; 369:255-63.

Gabutti G, Franco E, Bonanni P, Conversano M, Ferro A, Lazzari M, et al. Reducing the


burden of herpes zoster in italy. Hum Vaccin Immunother 2015;11:101-7

Gilden D, Cohrs RJ, Mahalingam R, Nagel MA. Varicella zoster virus vasculopathies:
diverse clinical manifestations, laboratory features, pathogenesis, and treatment.
Lancet Neurol 2009;8:731-40.

Johnson RW, Alvarez-Pasquin MJ, Bijl M, Franco E, Gaillat J, Clara JG, et al. Herpes
zoster epidemiology, management, and disease and economic burden in europe: A
multidisciplinary perspective. Ther Adv Vaccines 2015;3:109-20

de Jong MD, Weel JF, van Oers MH, Boom R, Wertheim-van Dillen PM. Molecular
diagnosis of visceral herpes zoster. Lancet 2001;357:2101-2.

Kawai K, Gebremeskel BG, Acosta CJ. Systematic review of incidence and complications
of herpes zoster: Towards a global perspective. BMJ Open 2014;4:e004833

Kelompok Studi Herpes Indonesia. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2014.

Liesegang TJ. Herpes zoster ophthalmicus natural history, risk factors, clinical
presentation, and morbidity. Ophthalmology 2008;115:S3-12.

Oxman MN, Levin MJ, Johnson GR, et al. A vaccine to prevent herpes zoster and
postherpetic neuralgia in older adults. N Engl J Med 2005;352:2271-84.

Anda mungkin juga menyukai