HERPES ZOSTER
Diajukan kepada :
dr. Nunik Sriwahyuni, Sp.KK
Disusun oleh :
Reza Setyono Ashari
20184010032
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Usia : 71 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Penyembelih Kambing
Alamat : Magelang
II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Muncul gelembung berisi cairan pada daerah wajah kanan sejak 4 hari yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Tidar Magelang dengan
keluhan muncul plenting berair pada daerah wajah kanan sejak 4 hari yang lalu
disertai sedikit bengkak. Sekitar 2 hari sebelum muncul gelembung berair, pasien
merasakan nyeri disekitar rahang kanan seperti terbakar dan bertambah nyeri bila
tersentuh. Sehari sebelum datang ke poli, pasien merasakan telinga kanannya
kadang berdenging dan sedikit pusing. Saat datang ke poli, sebagian besar
gelembung sudah pecah dan meninggalkan bekas seperti koreng merah kehitaman.
Sebelumnya pasien juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi.
STDV : Pada daerah wajah kanan hingga sekitar liang telinga kanan tampak pustul,
multiple, susunan herpetiformis, penyebaran dermatomal nervus trigeminus cabang
mandibula, dasar eritem, berisi cairan kekuningan, dinding tegang. Sebagian pustul
sudah pecah meninggalkan krusta berwarna merah kehitaman. Tampak adanya
edema wajah kanan bagian bawah
IV. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
V. Diagnosis
a. Diagnosis Banding
Herpes Zoster
Impetigo
Dermatitis Herpetiformis
b. Diagnosis Kerja
Herpes Zoster
VI. Terapi
Acyclovir 400mg 5x2 tab
Asam mefenamat 500 mg 3x1 tab
Alpentin 100 mg 2x1 tab
Methylprednisolone 16 mg 1-½-0 tab
Kompres NaCl 0.9% 2x1 selama 10 menit
Bactoderm 10 gr ointment 2x1 post kompres
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Herpes zoster, atau dikenal juga sebagai cacar ular dan shingles, adalah
penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten varicella-zoster virus (VZV).
Penyakit ini lebih sering mengenai pasien lanjut usia dan pasien dengan kondisi
immunocompromised. Herpes zoster ditandai dengan nyeri dan vesikel bergerombol
yang tersebar sesuai dermatom, serta seringkali bersifat unilateral. Diagnosis umumnya
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, namun pemeriksaan
penunjang berupa apusan Tzanck juga dapat membantu (Cohen, 2013).
B. Epidemiologi
Global
Terdapat 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat setiap tahunnya dengan
rata-rata 3-4 kasus per 1.000 orang. Orang tua yang berusia 85 tahun yang tidak
divaksinasi memiliki risiko 50% lebih besar untuk terkena herpes zoster (Johnson.
2015).
Studi sistematik yang dilakukan pada tahun 2014 melaporkan bahwa insidensi
penyakit herpes zoster di Amerika Utara, Eropa, dan Asia-Pasifik sebesar 3-5 per 1.000
orang per tahun, dengan peningkatan insidensi sebesar 6-8 per 1.000 orang per tahun
untuk kelompok usia 60 tahun, dan 8-12 per 1.000 orang per tahun pada usia 80 tahun
ke atas (Kawai, 2014). Sebesar 10-20% pasien mengalami herpes oftalmikus, dengan
risiko komplikasi kebutaan sekitar 1% (Liesegang, 2008).
Indonesia
Jumlah insidensi dan prevalensi infeksi herpes zoster di Indonesia masih belum
diketahui secara pasti. Pada tahun 2011-2013, terdapat 2.232 pasien herpes zoster pada
13 Rumah Sakit pendidikan di Indonesia, dengan usia terbanyak antara 45 – 64 tahun
(37,95%). Dilaporkan bahwa wanita cenderung memiliki insidensi yang lebih tinggi.
Total kasus post herpetik neuralgia (PHN) adalah 593 kasus (26,5%) dengan usia
terbanyak adalah 45 – 64 tahun (42%) (KSHI, 2014).
C. Etiologi
Etiologi herpes zoster adalah infeksi varicella-zoster virus (VZV). Virus ini
dapat menyebabkan dua jenis penyakit yang berbeda yaitu varicella (cacar air) dan
herpes zoster (cacar ular).
Genom virus sebesar 125.000 bp, memiliki selubung dan berdiameter 80 -120
nm. VZV dapat mengkode 70 -80 protein. VZV menginfeksi sel limfosit T teraktivasi,
sel epitel, sel epidermal, dan sel neuron. VZV juga dapat membentuk sel sinsitia dan
menyerang secara langsung dari sel ke sel (KSHI, 2014).
Infeksi VZV primer menyebabkan varicella atau cacar air (chickenpox) yang
ditandai dengan ruam kulit dan vesikel, yang umumnya bersifat ringan dan self limiting
(Cohen, 2013). VZV ditularkan melalui droplet (airborne) atau kontak langsung dengan
lesi (Gabutti, 2015).
Virus menginfeksi sel epitel dan limfosit di orofaring dan saluran napas atas
serta konjungtiva. Virus kemudian masuk ke kulit melalui darah dan menyebar ke sel
epitel untuk membentuk ruam dan vesikel. Lesi vesikuler akan berubah menjadi pustular
setelah infiltrasi sel radang, kemudian lesi dapat terbuka, kering dan menjadi krusta.
Masa inkubasi VZV adalah 10-20 hari (dengan rata-rata waktu 14 hari) (KSHI, 2014).
Setelah terjadi infeksi primer, VZV dapat hidup secara laten di ganglion
dorsalis nervus atau di nervus kranialis dengan penyebaran virus sesuai dengan
dermatom (Cohen, 2013). Reaktivasi VZV di ganglion yang laten dapat turun ke sel
epitel kulit melalui akson saraf dan bereplikasi sehingga menyebabkan herpes zoster
dermatomal (KSHI, 2014).
Seiring bertambah usia, maka risiko terkena herpes zoster semakin tinggi
karena adanya penurunan imunitas seluler limfosit T terhadap VZV. Selain usia tua,
faktor lain yang menyebabkan risiko terjadinya reaktivasi VZV adalah stress, defisiensi
imun (immunocompromised) misalnya pada pasien HIV dan penggunaan obat-obatan
imunosupresan (Brisson, 2002).
Gambar 2. Patofisiologi Herpes Zoster
E. Diagnosis
Anamnesis
Penyakit herpes zoster dapat memberikan gejala prodromal dan gejala erupsi kulit.
Gejala Prodromal
Gejala prodromal dapat berlangsung selama 1-5 hari. Keluhan biasanya diawali
dengan nyeri pada dermatom sebelum timbul lesi. Karakteristik nyeri pada herpes zoster
bermacam-macam diantaranya parestesia (rasa terbakar atau kesemutan), disestesia
(nyeri bila disentuh), alodinia (nyeri yang berhubungan dengan stimulasi), atau
hiperestesia (nyeri yang berat dan terjadi terus menerus) (Cohen, 2013).
Selain nyeri, dapat timbul gejala lain seperti cegukan dan sendawa. Dapat pula
timbul gejala konstitusi seperti malaise, sakit kepala, gejala flu, dan pembesaran kelenjar
getah bening regional. Gejala sistemik dapat hilang setelah lesi kulit muncul (KSHI,
2014).
Gejala Erupsi Kulit
Lesi kulit diawali dengan ruam merah disertai dengan makula dan papula, yang
kemudian menjadi vesikel dan pustula. Lesi bisa timbul dalam waktu 3 sampai 5 hari.
Lesi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya secara jelas terbatas pada satu daerah
yang dipersarafi ganglion sensorik. Lesi paling sering terjadi pada daerah dermatom
ganglion torakalis. Erupsi kulit yang berat dapat menimbulkan gejala sisa berupa makula
hiperpigmentasi dan jaringan parut (KSHI, 2014).
Faktor Risiko
Faktor risiko harus digali dalam anamnesis seperti usia, riwayat vaksinasi
sebelumnya, penyakit kronis seperti kanker, kondisi immunocompromised seperti infeksi
HIV, dan konsumsi obat-obatan imunosupresan seperti steroid dalam jangka panjang
(Brisson, 2002).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan gambaran berupa lesi pada kulit yang
mungkin timbul dalam bentuk eritema, makula, dan papula, yang dapat berubah menjadi
vesikel dan pustula. Lesi umumnya bergerombol sesuai dengan dermatom dan hampir
selalu unilateral.
Diagnosis Banding
Impetigo : pada impetigo, lesi tidak menyebar sesuai dermatom. Karena disebabkan
oleh Staphylococcus, biasanya pasien memiliki riwayat infeksi sebelumnya,
misalnya ISPA atau infeksi kulit primer.
Dermatitis herpetiformis : lesi timbul pada pasien dengan celiac disease, lesi sangat
mirip dengan herpes zoster, tapi bisa saja tidak tersebar sesuai dermatom.
Dermatitis kontak : lesi timbul saat terjadi kontak dengan bahan iritan atau alergen
yang menimbulkan reaksi lokal pada area kulit yang terpapar saja.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan bila gejala klinis meragukan diantaranya:
Tes Tzanck yaitu pemeriksaan sitologi sel epitel dimana terdapat sel datia yang
memiliki inti multipel.
• Gambar 4. Sel datia yang memiliki inti multipe
Tes PCR untuk mengetahui antigen atau asam nukleat VZV. Sensitivitas
pemeriksaan DNA VZV dengan PCR adalah 95% dengan spesifisitas 100% (Cohen,
2013).
Variasi Klinis
Pada beberapa kasus herpes zoster, nyeri segmental tidak diikuti adanya erupsi kulit.
Kondisi ini disebut sebagai zoster sine herpete. Beberapa variasi klinis lain yang dapat
timbul adalah (KSHI, 2014):
Herpes zoster abortif : bila perjalanan penyakit berlangsung singkat dan erupsi kulit
hanya berupa vesikel dan eritema
Herpes zoster aberans : herpes zoster yang disertai vesikel minimal 10 yang
melewati garis tengah tubuh
Herpes zoster pada neonatus : jarang ditemukan, biasanya ringan, dapat sembuh
tanpa antivirus, dan dapat sembuh tanpa gejala sisa
Herpes zoster pada anak : manifestasi umumnya ringan, banyak menyerak area
servikal bawah, dan tidak membutuhkan antivirus
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan herpes zoster adalah menggunakan antiviral disertai terapi untuk nyeri
akut dan post herpetik neuralgia.
Strategi tatalaksana menggunakan strategi 6A yaitu attract patient early, assess patient
fully, antiviral therapy, analgetic, antidepressant/anticonvulsant, dan allay anxiety-
counselling (KSHI, 2014).
Attract patient early: Untuk mendapatkan pengobatan yang optimal, sebaiknya
terapi dilakukan sedini mungkin dalam waktu 72 jam setelah erupsi kulit muncul.
Asses patient fully: Perhatikan kondisi pasien dan lakukan pemeriksaan dengan
seksama untuk menilai komplikasi yang dapat terjadi.
Analgetic: diberikan karena herpes zoster sering kali disertai keluhan nyeri.
Antivirus
Herpes zoster oftalmikus, sindrom Ramsay-Hunt, herpes zoster servikal, dan herpes
zoster sakral
Untuk dewasa diberikan acyclovir 5 x 800 mg /hari per oral selama 7-10 hari,
penyesuaian dosis dilakukan pada pasien gangguan ginjal
Untuk anak < 12 tahun diberikan acyclovir dosis 30 mg/kgBB selama 7 hari
Untuk anak > 12 tahun diberikan acyclovir dosis 60 mg/kgBB selama 7 hari
Antivirus masih dapat diberikan setelah 72 jam bila masih timbul lesi baru atau ada
vesikel yang timbul <3 hari.
Acyclovir intravena diberikan apabila herpes zoster disertai keterlibatan organ viseral.
Cara penggunaannya adalah dengan melarutkan sediaan injeksi dalam vial dengan 100
cc NaCl 0,9%, kemudian diberikan dalam 1 jam (KSHI, 2014).
Pasien Immunocompromised
Dosis antivirus yang diberikan pada pasien herpes zoster yang immunocompromised
adalah acyclovir intravena 10 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7-10 hari.
Pada kasus yang berat, selain acyclovir intravena dapat ditambahkan interferon alfa 2a.
Pengobatan dapat dilanjutkan dengan terapi supresi terutama bila gejala klinis belum
menghilang, dengan memberikan acyclovir 2 x 400 mg per hari atau valacyclovir 500
mg per hari (Cohen, 2013).
Untuk penatalaksanaan nyeri yang ringan dapat digunakan paracetamol dan obat
antiinflamasi non steroid (OAINS) seperti ibuprofen.
Apabila nyeri derajat sedang-berat, maka dapat ditambahkan analgesik golongan opioid
seperti tramadol dan kodein (KSHI, 2014).
Non Opioid
Obat analgesik non opioid biasanya digunakan pada nyeri ringan. Contohnya adalah
Paracetamol 500-1000 mg setiap 6 jam atau Ibuprofen 400-800 mg setiap 6 jam.
Opioid
Tramadol 50 mg sekali atau dua kali per hari, dapat ditingkatkan sesuai respon
tetapi tidak melebihi 400 mg per hari
Kortikosteroid
Pilihan yang dapat diberikan adalah prednisone 60 mg/hari selama 7 hari, kemudian
dikurangi menjadi 30 mg/hari selama 7 hari, dan 15 mg/hari selama 7 hari.
Antikonvulsan
Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien dengan nyeri berat atau post herpetik
neuralgia.
Gabapentin 300 mg sebelum tidur atau 100-300 mg tiga kali sehari, dapat
ditingkatkan setiap 2 hari sesuai respon pasien dengan dosis maksimal 3600 mg per
hari.
Antidepresan dapat diberikan pada pasien dengan nyeri berat atau post herpetik
neuralgia. Yang biasa digunakan adalah nortriptyline 25 mg sebelum tidur, dapat
ditingkatkan setiap 2-3 hari sesuai respons pasien, dosis maksimal 150 mg per hari
(Cohen, 2013).
Modalitas tatalaksana post herpetik neuralgia mirip dengan penatalaksanaan nyeri akut.
Tujuan tatalaksana adalah agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari-hari.
Lini Kedua : Tramadol 50 mg per hari dapat ditingkatkan setiap 3-4 hari hingga
100-400 mg perhari dalam dosis terbagi.
Prognosis herpes zoster pada pasien dengan usia lebih muda dan
imunokompeten umumnya baik. Komplikasi yang dapat terjadi adalah post herpetik
neuralgia, namun dapat juga terjadi komplikasi pada mata dan neurologi.
Komplikasi
Prognosis
Prognosis pada pasien dengan usia lebih muda dan imunokompeten umumnya
baik. Pada lesi yang menyerang organ internal terutama pada pasien yang sedang
kemoterapi maka mortalitas mencapai 30% (KSHI, 2014).
Edukasi dan promosi kesehatan pada herpes zoster yang dapat dilakukan diantaranya:
Menyarankan pasien untuk menjaga lesi kulit untuk tetap bersih, mandi 2 x sehari,
hindari menggaruk di bagian lesi, gunakan pakaian yang longgar
Kompres basah dingin steril untuk mengurangi nyeri atau rasa tidak nyaman
Hindari penggunaan antibiotik topikal kecuali bila ada indikasi infeksi sekunder
Bila erupsi kulit tidak kunjung sembuh walaupun diterapi acyclovir, maka pasien
sebaiknya dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi karena kemungkinan
adanya resistensi acyclovir.
Merujuk ke dokter spesialis mata bila ada komplikasi pada mata.
Merujuk ke dokter spesialis THT-KL bila ada gejala yang mengarah ke sindrom
Ramsay-Hunt. (KSHI, 2014)
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster
yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi
setelah infeksi primer.
Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes zoster oftalmikus,
fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis, dan sakralis. Manifestasi klinis herpes zoster dapat
berupa kelompok-kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi
yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang
terinfeksi virus.
Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana,
yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti banyak.
Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting
disease), tetapi pada beberapa kasus dapat timbul komplikasi. Semakin lanjut usia,
semakin tinggi frekuensi timbulnya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Brisson M, Gay NJ, Edmunds WJ, Andrews NJ. Exposure to varicella boosts immunity to
herpes-zoster: Implications for mass vaccination against chickenpox. Vaccine
2002;20:2500-7
Gilden D, Cohrs RJ, Mahalingam R, Nagel MA. Varicella zoster virus vasculopathies:
diverse clinical manifestations, laboratory features, pathogenesis, and treatment.
Lancet Neurol 2009;8:731-40.
Johnson RW, Alvarez-Pasquin MJ, Bijl M, Franco E, Gaillat J, Clara JG, et al. Herpes
zoster epidemiology, management, and disease and economic burden in europe: A
multidisciplinary perspective. Ther Adv Vaccines 2015;3:109-20
de Jong MD, Weel JF, van Oers MH, Boom R, Wertheim-van Dillen PM. Molecular
diagnosis of visceral herpes zoster. Lancet 2001;357:2101-2.
Kawai K, Gebremeskel BG, Acosta CJ. Systematic review of incidence and complications
of herpes zoster: Towards a global perspective. BMJ Open 2014;4:e004833
Kelompok Studi Herpes Indonesia. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2014.
Liesegang TJ. Herpes zoster ophthalmicus natural history, risk factors, clinical
presentation, and morbidity. Ophthalmology 2008;115:S3-12.
Oxman MN, Levin MJ, Johnson GR, et al. A vaccine to prevent herpes zoster and
postherpetic neuralgia in older adults. N Engl J Med 2005;352:2271-84.