Anda di halaman 1dari 11

REFLEKSI KASUS

“HERPES ZOSTER”

Dosen Pembimbing:

Dr. Trijanto Agoeng Noegroho, Sp. KK. M.Kes

Disusun Oleh:

Widyastuti Renaningsih 42170117

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2019
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : ny. T
Usia : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Rongkop, Gunungkidul
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Kunjungan klinik : 15 April 2019

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Plenting berair pada punggung kiri atas dan lengan kiri atas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik kulit RSUD Wonosari pada tanggal 15 April 2019
dengan keluhan muncul plenting-plenting pada punggung kiri atas dan lengan kiri atas
sejak ±1 minggu yang lalu. Awalnya pasien merasakan tidak enak badan(gregesi) dan
dan panas, lalu muncul bercak merah pada dada dan punggung. Bercak tersebut
berubah menjadi plenting-plenting. Pasien merasakan nyeri dan panas pada bagian
yang terdapat plenting-plenting. Plenting-plenting itu lama kelamaan berisi air dan
terasa nyeri terutama jika terkena pakaian atau disentuh. Pasien tidak bisa tidur karena
rasa nyeri tersebut.

C. Riwayat Penyakit Dulu


Pasien pernah mengalami cacar saat masih kecil
D. Riwayat Operasi
Tidak ada
E. Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa
G. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah berobat ke klinik dan diberikan acyclovir minum 3 x 1 tablet tetapi tidak
membaik.
H. Gaya Hidup
Pasien mandi teratur 2 kali sehari menggunakan sabun mandi. Setelah mandi
pasien mengganti pakaian. Pasien menggunakan handuk milik sendiri tetapi kadang
menggunakan handuk milik suami, serta mengganti handuk setiap 1 minggu sekali.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Lokalis
Kepala : Tidak ditemukan adanya ujud kelainan kulit
Leher : Tidak ditemukan adanya ujud kelainan kulit
Thorak : Ditemukan ujud kelainan kulit pada punggung kiri
Aksilla : Tidak ditemukan adanya ujud kelainan kulit
Abdomen : Tidak ditemukan adanya ujud kelainan kulit
Ektremitas atas : Ditemukan ujud kelainan kulit pada lengan kiri atas
Ekstrimitas bawah : Tidak ditemukan adanya ujud kelainan kulit

IV. PEMERIKSAAN DERMATOVERENOLOGI

Pada area punggung kiri atas dan lengan kiri atas terdapat lesi vesikel dengan erosi,
berdasar eritema, berbatas tegas, tepi reguler, permukaan licin, nyeri, multiple dan
distribusinya herpetiformis.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

VI. DIAGNOSIS BANDING


Herpes zoster
Herpes simplex
Dermatitis kontak iritan

VII. DIAGNOSIS
Herpes zoster cervical 5-7 sinistra

VIII. TATALAKSANA
R/ povidone iodine 1% solution 100ml lag. I
S.u.e.i.m.m

R/ Asam mefenamat tab 500 mg No XV


Sprn 3dd tab I pc (jika nyeri)

IX. EDUKASI
- Tidak menggaruk lesi dan memecah lesi
- Edukasi pasien bahwa penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus yang terjadi akibat
daya tahan tubuh yang rendah
- Edukasi tentang rasa nyeri yang masih ada walaupun luka sudah tidak ada
- Menjaga daya tahan tubuh dengan istirahat dan asupan nutrisi yang seimbang
- Menjaga kebersihan diri dengan mandi 2 kali sehari menggunakan sabun dan
dengan hati-hati pada daerah lesi (tidak mengusap dengan keras)

X. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular unilateral yang
umumnya terbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan manifestasi reaktivasi
infeksi laten endogen virus varisela zoster dip dalam neuron ganglion sensoris radiks
dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik yang menyebar ke
jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama (Djuanda et al, 2015).

B. EPIDEMIOLOGI
Herpes zoster terjadi sporadis sepanjang tahun tanpa mengenal musim.
Insidensinya 2 – 3 kasus per 1000 orang/tahun. Insiden dan keparahan penyakitnya
meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih dari setengah jumlah keseluruhan kasus
dilaporkan terjadi pada usia lebih dari 60 tahun dan komplikasi terjadi hampir 50% di
usia tua. Jarang dijumpai pada usia dini (anak dan dewasa muda), bila terjadi,
kemungkinan dihubungkan dengan varisela maternal saat kehamilan. Risiko penyakit
meningkat dengan adanya keganasan, atau dengan transplantasi sumsum tulang/ginjal
atau infeksi HIV. Tidak terdapat predileksi gender. Penyakit ini bersifat menular namun
daya tularnya kecil bila dibandingkan dengan varisela (Djuanda et al, 2015).

C. ETIOPATOGENESIS

Herpes Zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV), virus yang juga
dapat menyebabkan varisela (chickenpox). Setelah infeksi chickenpox, virus ini dapat
menetap dalam badan sel saraf tanpa menimbulkan gejala apapun. (Wolff et al, 2013).
Selama proses varisela berlangsung, VZV masuk lewat lesi pada kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan dikirim secara sentripetal, naik ke
serabut sensoris ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus membentuk infeksi laten yang
menetap selama kehidupan. Reaktivasi VZV bisa terjadi secara spontan atau mengikuti
berbagai faktor pencetus, seperti infeksi, imunosupresi, trauma, radiasi dan keganasan.
Selama fase klinis aktivasi terjadi berbagai perubahan patologik pada serabut ganglion.
Perubahan utama adalah nekrosis dari sel-sel neuron baik sebagian maupun keseluruhan
ganglion. Perubahan lain adalah infiltrasi limfosit dan hemoragik pada sel-sel neuron
(Wolff et al, 2013).
Proses patologik tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya neuralgia.
VZV kemudian menyebar secara sentrifugal ke saraf sensorik dan menyebabkan neuritis.
Virus yang terdapat pada ujung saraf sensorik menyebar di kulit menimbulkan
kelompok-kelompok vesikel herpes zoster. Biasanya keadaan ini berada pada satu
unilateral dermatom (Oxman MN, 2012).
Pada keadaan reaktivasi didahului dengan keberadaan komponen genetik virus
yang sebelumnya berada di sitoplasma neuron selama fase laten, mencapai nukleus dan
mengaktifkan proses replikasi virus, kemudian memproduksi virus yang infeksius. Virus
tersebut kemudian keluar dari sel neuron ganglion posterior ke saraf sensorik, dan
mencapai kulit menginfeksi sel- sel epitel kulit dan menimbulkan lesi herpes zoster. Pada
keadaan reaktivasi ini, VZV menstimulasi respon imun yang mampu mencegah
reaktivasi pada ganglion lainnya dan reaktivasi klinis berikutnya. Sehingga herpes zoster
hanya menyerang satu dermatom dan muncul hanya sekali seumur hidup (Wolff K et al,
2013).

D. GEJALA KLINIS
Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal berupa sensasi
abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal,
rasa terbakar dari ringan sampai berat. Nyeri dapat menyerupai sakit gigi, kolesistitis,
kolik ginjal atau empedu, apendisitis. Dapat dijumpai gejala konstitusi misalnya nyeri
kepala, malaise dan demam. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa hari (1 – 10
hari, rata-rata 2 hari) (Djuanda et al, 2015)
Setelah gejala prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau nyeri
terlokalisata (terbatas di satu dermatom) berupa makula kemerahan. Kemudian
berkembang menjadi papul, vesikel jernih berkelompok selama 3 – 5 hari. Selanjutnnya
isi vesikel menjadi keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung selama 7 – 10
hari). Erupsi kulit mengalami involusi setelah 2 – 4 minggu. Sebagian besar kasus herpes
zoster, erupsi kulitnya menyembuh secara spontan tanpa gejala sisa (Djuanda et al,
2015).
Komplikasi yang sering terjadi adalah neuralgia pasca herpes (NPH) yaitu nyeri
yang masih menetap di area yang terkena walaupun kelainan kulitnya sudah mengalami
resolusi (Djuanda et al, 2015).
Perjalanan penyakit herpes zoster pada pasien imunokompromais sering rekuren,
cenderung kronik persisten, lesi kulitnya lebih berat (terjadi bula hemoragik, nekrotik
dan sangat nyeri), tersebar diseminata dan dapat disertai dengan keterlibatam organ
dalam. Proses penyembuhannya juga berlangsung lebih lama (Djuanda et al, 2015).
Dikenal beberapa variasi klinis herpes zoster antara lain zoster sine herpete bila
terjadi nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi kulit. Herpes zoster abortif bila
erupsi kulit hanya berupa eritema dengan atau tanpa vesikel yang langsung mengalami
resolusi sehingga perjalanan penyakitnya berlangsung singkat. Disebut herpes zoster
aberans bila erupsi kulitnya melalui garis tengah. Bila virusnya menyerang nervus
fasialis dan nervus auditorius terjadi sindrom Ramsay – Hunt yaitu erupsi kulit timbul di
liang telinga luar atau membran timpani disertai paresis fasialis, gangguan lakrimasi,
gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo dan tuli (Djuanda et al,
2015).
Terjadi herpes zoster oftalmiku bila virus menyerang cabang pertama nervus
trigeminus. Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel di puncak hidung
yang dikenal sebagai tanda Hutchinson) kemungkinan besar terjadi kelainan mata.
Walaupun jarang dapat terjadi keterlibatan organ dalam (Djuanda et al, 2015).
E. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.
Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya gejala prodromal
berupa nyeri, distribusi yang khas dermatomal, vesikel berkelompok atau dalam
beberapa kasus ditemukan papul, beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama
dimana terdapat nervus sensorik, tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang
sama (menyingkirkan herpes simpleks zosteriformis), nyeri dan allodinia (nyeri yang
timbul dengan stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam
(Dworkin et al, 2007).
Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren,
dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila
lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes
simpleks. Pemeriksaaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna
pada lesi krusta, imunoflourensi direk dari spesimen lesi vesikular dan kultur virus yang
tidak efektif karena membutuhkan waktu 1 – 2 minggu (Dworkin et al, 2007).
Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan Wright terlihat sel giant multinuclear,
sedangkan pada imunofloresensi direk pendaran warna hijau mengindikasikan
terdapatnya antigen virus Varisela-zoster.

F. DIAGNOSIS BANDING

Herpes zoster Impetigo bullosa Herpes simpleks

Gambar

Etiologi Varicella zoster virus Staphylococcus aureus Herpes simplex virus 1 & 2
Tidak disertai gejala umum. Timbulnya mendadak dan
Mula-mula berupa Eritema, bula, kadang bersifat self limited. Lesi
papul/plakat urtika yg pasien datang berobat dapat Soliter atau multiple,
Gambaran
setelah 1-2 hari timbul dengan vesikel/bula telah sebelum timbul didahuli rasa
klinis
gerombolan vesikula pecah sehingga tampak gatal atau seperti terbakar
eritematosus koleret dan dasarnya yang terlokalisasi dan
eritema kemerahan.
Lokasi lesi dapat di Lesi oleh HSV I ditemukan
bagian tubuh mana pada pinggang ke atas
Lokasi lesi pada aksila,
saja sesuai dermatom, terutama daerah bibir, rongga
Predileksi dada, punggung. Terdapat
unilateral, dan mulut, tenggorokan, dan jari
pada anak dan dewasa.
biasanya tidak tangan, sering pada anak-
melewati garis tengah anak.
tubuh Lesi oleh HSV II ditemukan
di bawah pusar terutama di
sekitar alat genital, ditularkan
melalui coitus.

G. TATALAKSANA
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri secepat
mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga mengurangi kerusakan saraf
lebih lanjut. Obat antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpes zoster dan derajat
keparahan nyeri herpes zoster akut. 3 antivirus oral yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) adalah famsiklovir (Famvir), valasiklovir hidroklorida (Valtrex)
dan asiklovir (zovirax). Bioavailabilitas asiklovir hanya 15 – 20 %, lebih rendah
dibandingkan valasiklovir (65%) dan famsiklovir (77%). Antivirus famsiklovir 3 x 500
mg atau asiklovir 5x800 mg diberikan sebelum 72 jam awitan lesi selama 7 hari
(Djuanda, 2015).
Pemberian kortikostreroid ialah untuk mencegah Sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa
diberikan ialah Prednison dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan
secarabertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga
lebihbaik digabung dengan obat antivirus (Wolff K et al., 2013).
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respon baik terhadap AINS
(asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak) atau analgetik non opioid (parasetamol,
tramadol, asam mefenamat) Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan
sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul (Djuanda et al,
2015).
Pemberian kompres terbuka dengan solusio burowi dan solusio calamin (caladryl)
dapat digunakan untuk lesi akut untuk mengurangi nyeri dan pruritus. Kompres dengan
solusio burowi (alumunium asetat 5%) dilakukan 4 – 6 kali/hari selama 30 – 60 menit.
Kompres dingin atau cold pack juga sering digunakan (Djuanda et al, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda S, Pusponegoro E. 2015. “Herpes Zoster” dalam Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah
dan Siti Aisah (Ed 7). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (hal 121 – 124)

Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et al. 2007.
Recommendations for the management of herpes zoster. Clin. Infect. Dis. Off. Publ.
Infect. Dis. Soc. Am. Jan 1;44 Suppl 1:S1–26.

Oxman MN, Schmander KE. 2012. “Varicella and Hepes Zoster” in Fitzpatrick;s
Dermatology in General Medicine 8th ed. New York: Mc Graw Hill Education. (hal
2383 – 2401)

Wolff K, Johnson. RA, Saavedra AP. 2013. “VZV: Herpes Zoster” in Fitzpatrick’s Color
Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 7th ed. New York: Mc Graw Hill
Education. (hal 675 - 680)

Anda mungkin juga menyukai