Anda di halaman 1dari 27

Case Report Session

HERPES ZOSTER

Oleh:

Ledira Dara Ismi 1840312240

Reno Hulandari 1840312244

Widiya Tussakinah 1840312312

Preseptor:

dr. Gardenia Akhyar, Sp.KK

dr. Rina Gustia, Sp.KK, FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP. Dr. M. DJAMIL PADANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Herpes Zoster (HZ) biasa disebut shingles, merupakan penyakit kulit


infeksi akibat reaktivasi virus varisela zoster (VVZ) setelah infeksi primer yang
bermanifestasi pada kulit dan mukosa.1 Hampir satu dari tiga orang di Amerika
Serikat akan mengalami herpes zoster selama masa hidup mereka.2 Angka
kejadian di Amerika Serikat setiap tahunnya diperkirakan sebanyak satu juta
kasus, dengan rata-rata 3-4 kasus per 1000 penduduk.3 Estimasi kejadian herpes
zoster di Eropa sekitar 3,4 - 4,82 per 1000 penduduk per tahun dan meningkat
menjadi lebih dari 11 per 1000 penduduk per tahun pada usia minimal 80 tahun.4

Insiden herpes zoster meningkat seiring bertambahnya usia dan berkaitan


dengan menurunnya sistem imunitas tubuh pada seseorang.5 Penyakit ini lebih
sering menyerang pasien dewasa dibandingkan anak-anak.6 Puncak kasus herpes
zoster terjadi pada usia 45-64 tahun berdasarkan data pada 13 rumah sakit
pendidikan di Indonesia pada tahun 2011-2013.1 Kejadian herpes zoster pada
usia lebih dari 50 tahun dapat mencapai 66%.7 Selain pada peningkatan usia,
juga dapat terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien HIV-AIDS,
pasien dengan keganasan, dan pasien yang mendapat obat imunosupresi atau
transplantasi organ.5

Herpes zoster muncul dengan tampilan erupsi pada kulit yang biasanya
gatal, nyeri (pada satu dermatom), makula kemerahan hingga vesikel yang jika
pecah menjadi krusta.8Pada saat sistem imun seseorang menurun maka akan
terjadi reaktivasi VVZ.9 Infeksi VVZ pada ganglia radiks dorsalis akan
menimbulkan nyeri disepanjang dermatom sesuai tempat persarafan yang
terinfeksi.10Dermatom yang sering dikenai adalah daerah dada (torakal) sekitar
T5 hingga T12, diikuti area nervus trigeminal yang menyebabkan herpes zoster
oftalmikus, daerah saraf kranial, dan daerah dermatom lumbosakral.11
Komplikasi tersering herpes zoster adalah neuralgia paska herpes (NPH).
Neuralgia pasca herpes merupakan nyeri yang timbul lebih dari 90 hari setelah
penyakit sembuh pada tempat bekas penyembuhan.7 Neuralgia paska herpes dan
berbagai komplikasi lainnya sebagian besar diakibatkan karena keterlambatan
diagnosis. Hal ini dikarenakan lebih dari 53% dokter mendapat kesulitan dalam
mendiagnosis herpes zoster sebelum muncul ruam kulit.1

Peningkatan kejadian Herpes Zoster seperti yang telah diuraikan diatas


menunjukkan bahwa penatalaksanaan terhadap herpes zoster belum dilakukan
dengan baik, untuk itu penulis tertarik untuk membahasa mengenai Herpes
Zoster dan kaitannya dengan pasien yang ada di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

1.2 Rumusan Masalah

Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis,


dan tatalaksana herpes zoster dan kaitannya dengan salah satu pasien herpes
zoster di RSUP Dr. M. Djamil Padang

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman


tentang herpes zoster.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang


merujuk dari berbagai literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi


virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa.6 Infeksi virus varicella-
zoster (VVZ) yang menyebabkan varisela atau cacar air dapat menyerang
hampir setiap individu di seluruh dunia. Setelah sembuh dari varisela, virus
menetap laten pada ganglia radiks dorsalis yang dapat mengalami reaktivasi
menjadi herpes zoster (HZ), atau yang lebih dikenal dengan nama shingles atau
dampa atau cacar ular. Herpes zoster merupakan penyakit kulit yang bercirikan
timbulnya ruam kulit dengan distribusi dermatomal dan disertai rasa nyeri yang
hebat.12

2.2 Epidemiologi

Penyebaran herpes zoster sama seperti varisela. Penyakit ini, seperti yang
diterangkan dalam definisi, merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
penderita mendapat varisela.8

Kejadian Herpes Zoster di Eropa dan Amerika Utara berkisar 1,5 - 3,0
per 1000 penduduk pertahun. Insidennya meningkat seiring dengan peningkatan
usia sekitar 7 - 11 per 1000 penduduk pertahun pada usia 60 tahun. Diperkirakan
lebih dari satu juta kasus baru herpes zoster terjadi tiap tahunnya dan lebih dari
satu setengahnya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun.9Sementara itu pada
penelitian yang dilakukan pada RSUP Sanglah Denpasar periode April 2015
hingga Maret 2016, ditemukan 28 pasien Herpes Zoster dengan angka kejadian
laki-laki 60,7% dan perempuan 39,3% dengan usia terbanyak 45-64 tahun.13

2.3 Etiopatogenesis

Varicella zoster virus (VZV) adalah penyebab diantara varicella (cacar


air) dan zoster (shingles). Tiga genotipe dari α-herpesvirus telah diidentifikasi
dan terbukti memiliki variasi geografis.14
Perjalanan awal dari penyakit herpes zoster adalah infeksi primer dari
virus varisela zoster (VVZ) yang menyebabkan varisela atau cacar air. Virus ini
masuk melalui saluran pernapasan, menyebar dengan cepat dan menginfeksi sel
epitel dan limfosit T di orofaring serta saluran nafas atas atau konjungtiva,
kemudian menyebar ke seluruh tubuh.15 Ketika infeksi VVZ telah teratasi
sewaktu anak-anak, partikel virus akan berjalan dari ujung-ujung saraf sensorik
diangkut secara sentripetal menuju ganglia dorsalis atau kranial.9 Partikel virus
akan menetap di inti sel dan tidak bermultiplikasi, dimana virus tersebut akan
terlindung dari antibodi yang terbentuk sewaktu infeksi primer.11,16

Reaktivasi VVZ terjadi ketika sistem imun seseorang menurun, terutama


penurunan kekebalan seluler VVZ spesifik yang terjadi seiring bertambahnya
usia.9 Sel T akan membawa virus sepanjang ganglia dorsalis atau kranialis,
kemudian bereplikasi dan berproliferasi disana. Proliferasi tersebut merusak
fungsi dan anatomi dari saraf dan menimbulkan rasa nyeri dan kebas. Pada tahap
ini mungkin belum ditemukan tanda ruam kulit. Setelah itu virus bermigrasi
hingga saraf sensorik perifer lalu menyebar ke tempat yang berdekatan dengan
ganglia dorsalis tersebut dan medula spinalis.11,17

VVZ merambat secara sentrifugal disepanjang percabangan saraf


menuju dermatom tertentu.18 Dermatom yang paling sering dikenai pada herpes
zoster yaitu dermatom di tempat ruam varisela terbanyak, yang diinervasi oleh
saraf oftalmikus dari ganglia sensorik trigeminal dan T1 ke L2.6 Inflamasi pada
kulit mucul ketika virus tersebut mencapai lapisan dermis dan epidermis sesuai
dermatom yang dikenai. Proses kerusakan saraf dan inflamasi berlanjut sampai
ke bagian atas dermis dan epidermis sehingga menimbulkan lesi makulopapular
yang menyebar. Lesi-lesi tersebut berubah dengan cepat menjadi vesikel yang
berisi cairan dan VVZ di dalamnya.18,19

2.4 Gejala klinis

Terbagi menjadi tiga stadium antara lain :8,20


 Stadium prodromal :
Biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena
disertai dengan panas, malaise dan nyeri kepala.
 Stadium erupsi :
Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2
hari akan timbul gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan
kulit diantara gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain
adalah sama sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama.
Lokasi lesi sesuai dermatom, unilateral dan biasanya tidak melewati garis tengah
dari tubuh.
 Stadium krustasi :
Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2
minggu. Sering terjadi neuralgia pasca herpetica terutama pada orang tua yang
dapat berlangsung berbulan-bulan parestesi yang bersifat sementara.
Masa inkubasinya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi – lesi
baru yang tetap timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi
berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Disamping gejala kulit dapat juga dijumpai
pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah
unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persarafan. Pada
susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf
pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan
hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas.
Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus
trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari
ganglion genikulatum).
Gambar 1. Varicella dan herpes zoster A. Selama infeksi (varicella dan
cacar air) primer varicella-zoster virus (VZV) virus menginfeksi ganglia
sensoris. B. VZV tetap dalam fase laten dalam ganglia untuk kehidupan C.
Indiviual dengan fungsi kekebalan tubuh berkurang, VZV aktif kembali
dalam ganglia sensoris, turun melalui saraf sensorik, dan direplikasi di
kulit.21

Gambar 2. Lesi Herpes Zoster


Beberapa variasi klinis herpes zoster :8,20
1. Zoster sine herpete
Nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi kulit. Hanya
ditemukan pada beberapa kasus
2. Herpes zoster abortivum
Herpes zoster ringan dengan waktu yang singkat dan berupa beberapa
papula, vesikel dan eritem
3. Herpes zoster oftalmikus
Reaktivasi VVZ pada cabang pertama nervus trigeminus dapat
menimbulkan kelainan pada mata. Erupsi kulit hanya mengenai mata
hingga verteks, tetapi tidak mengenai garis tengah dahi. Tanda awal
dari keterlibatan mata yaitu ditemukannya tanda Hutchinson (ruam
atau vesikel pada puncak hidung) dan harus diwaspadai kemungkinan
terjadinya komplikasi pada mata (keratitis, skleritis, uveitis dan
nekrosis retina akut). Terdapat 30-40% pasien mengalami herpes
zoster oftalmikus. Selain itu infeksi pada cabang kedua dan ketiganya
menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya.
4. Sindrom Ramsay Hunt
Gangguan pada nervus fasialis dan otikus (auditorius) akibat infeksi
VVZ dapat mengenai liang telinga luar atau membran timpani.
Kelainan tersebut dapat menyebabkan paralisis otot muka (Paralisis
Bell) yang nyeri, kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat
persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus,
nausea, gangguan pengecapan di 2/3 bagian depan lidah dan
gangguan lakrimasi.
5. Herpes zoster generalisata
Kelainan kulit unilateral dan segmental disertai vesikel yang
menyebar secara generalisata. Vesikel tersebut berbentuk soliter dan
ada umbilikasi. Sering terjadi pada orang tua atau orang dengan
disfungsi sistem imun, seperti penderita limfoma maligna
6. Herpes zoster aberans
Herpes zoster disertai minimal sepuluh vesikel yang melewati garis
tengah
7. Herpes zoster pada imunokompromais
Insiden herpes zoster pada populasi yan terinfeksi HIV/AIDS 4-11
kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak
terinfeksi. Manifestasinya cenderung lebih berat, kronik persisten,
lebih lama (> 6 minggu), tidak spesifik dan dapat menyebar ke alat
dalam (paru, otak dan hati). Erupsi kulit muncul lebih berat (bula
hemoragik, hiperkeratotik, nekrotik), lebih luas
(aberans/multidermatom/diseminata), lebih nyeri dan komplikasi
sering terjadi.

2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien merasakan nyeri radikular dan gatal sebelum muncul erupsi kulit.
Keluhan biasanya diawali dengan gejala prodomal yang berlangsung selama 1–
4 hari seperti demam, pusing, malaise. Setelah itu muncul lesi kemerahan di
kulit dan kemudian berubah dengan cepat menjadi vesikel berkelompok dengan
dasar eritema dan edema.1,9

2. Pemeriksaan Fisik
Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul–
papul dan dalam waktu 12–24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari
ketiga vesikel berubah menjadi pustul yang akan mengering dan menjadi krusta
dalam 7– 10 hari. Krusta dapat bertahan sampai 2– 3 minggu kemudian
mengelupas. Lesi yang tersebar hanya menyerang dermatom spesifik sesuai
dengan saraf yang dikenai dan unilateral. Erupsi juga terjadi pada dermatom di
dekatnya tetapi jarang ditemui lesi bilateral.1

3. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)


Pemeriksaan laboratorium diperlukan jika terdapat klinis yang
meragukan.
a. Tes Tzanck
Preparat diambil dari kerokan vesikel yang masih baru dan difiksasi
dengan hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou atau toluidineblue seperti
yang terlihat pada gambar 2.3. Tampak adanya multinucleated giant cell dan sel
epitel yang terdiri dari acidophilic intranuclear inclusion bodies dari cairan
vesikel.9

Gambar 3. Histopatologi herpes zoster. A. Intraepidermal vesicle


B.Multinucleated giant cells
b. Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA VVZ pada cairan dan jaringan.
Teknik ini memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.9 Spesimen

dapat berasal dari cairan vesikel, lesi kornea atau darah.5


c. Direct Immunofluorescene Assay.
Spesimen berasal dari cairan vesikel atau lesi kornea. Uji ini menjadi
pilihan karena dapat mengidentifikasi virus lebih cepat dan akurat daripada
kultur virus.9 Hasil direct immunofluorescene assay dapat terlihat pada gambar
di bawah.

Gambar 4. Direct Immunofluorescene Assay


2.6 Diagnosis Banding
Pada stadium praerupsi, nyeri akut segmental sulit dibedakan dengan
nyeri yang timbul akibat penyakit sistemik sesuai dengan lokasi anatomik.
Sedangkan stadium erupsi didiagnosis banding dengan herpes simpleks
zosteriformis,dermatitis kontak iritan, dermatitis venenata, penyakit Duhring,
luka bakar, autoinokulasi vaksinia, infeksi bacterial setempat.9

2.7 Tatalaksana
Tujuan terapi herpes zoster adalah mengurangi nyeri, menghentikan
replikasi virus, dan mencegah terjadinya komplikasi. Pilihan terapi dapat berupa
pemberian anti virus, kortikosteroid, dan analgetik.22,24 Analgetik diberikan
sebagai terapi sistemik simptomatik untuk mengurangi nyeri dan jika terjadi
infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik. Vitamin B1, B6 dan B12 dapat
ditambahkan untuk memperbaiki fungsi saraf.23
1. Non medikamentosa
Pengobatan nonfarmakologi menurut Fleckenstein sebagai berikut :
a. Edukasi mengenai penyakit herpes zoster
b. Istirahat cukup
c. Jaga luka agar tetap bersih, kering dan tidak menggaruknya karena
dapat menimbulkan infeksi sekunder
d. Dianjurkan memakai pakaian yang longgar dari bahan yang menyerap
keringat
e. Menjaga badan tetap bersih
f. Menjaga imun tubuh dengan makanan bergizi.
g. Pasien perlu diingatkan untuk tidak berkontak dengan orang lain untuk
mencegah penularan virus.
2. Medikamentosa
a. Antivirus
Antivirus yang dapat diberikan pada pasien herpes zoster yaitu asiklovir
5 x 800 mg/hari peroral untuk dewasa sedangkan untuk anak 4 x 20 mg/kgBB
(dosis maksimal 800 mg). Valasiklovir dapat juga diberikan selain asiklovir.
Pemberian valasiklovir diberikan dengan dosis 3 x 1000 mg/hari. Obat tersebut
digunakan selama 7-10 hari, jika lesi baru masih muncul obat dapat diteruskan
dan dihentikan setelah 2 hari sejak lesi baru tidak muncul lagi.1,25,26

b. Analgesik
Nyeri pada pasien herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian
analgetik, seperti asam mefenamat 3 x 500 mg. Pengobatan topikal untuk
stadium vesikel yaitu bedak salisil 2% atau bedak kocok kalamin agar vesikel
tidak pecah. Jika terjadi erupsi kulit diberikan kompres terbuka sedangkan
ulserasi dapat dipertimbangkan salep antibiotik.25,26

c. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan secara kombinasi dengan antivirus pada herpes
zoster yang disertai sindrom Ramsay Hunt, polineuritis, dan keterlibatan SSP.
Obat yang biasa diberikan adalah prednison 3 x 20 mg/hari, dosis diturunkan
bertahap seminggu kemudian. Kortikosteroid ini diberikan sedini mungkin agar
tidak terjadi paralisis.1,25
2.8 Komplikasi
1. Komplikasi kutaneus
a. Infeksi sekunder
Komplikasi jarang terjadi pada penderita herpes zoster yang tidak disertai
defisiensi sistem imun. Sedangkan pada yang disertai penurunan sistem imun,
infeksi HIV/AIDS, keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi.
Vesikel sering berkembang menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik dan
menyebabkan infeksi sekunder. Infeksi tersebut dapat menghambat
penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.25

b. Gangren superfisialis
Gangren superfisialis muncul saat ruam dermatomal sudah menyebar
luas terutama pada pasien imunokompromais berat. Hal ini mengakibatkan
hambatan penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.9

2. Komplikasi neurologis
a. Neuralgia Paska Herpes (NPH)
Komplikasi tersering herpes zoster adalah neuralgia paska herpes.
Neuralgia paska herpes merupakan nyeri yang timbul lebih dari 90 hari setelah
penyakit sembuh pada tempat bekas penyembuhan. Nyeri tersebut dapat
bertahan selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Hal ini dapat
mengganggu kualitas hidup pasien.7 Prevalensi NPH meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, persentasenya 10-15%. Penyakit ini cenderung timbul pada
usia di atas 40 tahun.25

Nyeri paska herpes terjadi akibat cedera saraf perifer yang dapat memicu
sinyal rasa nyeri pada saraf di ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu
sinyal nosiseptif sehingga lebih terasa nyeri di kulit. Pengeluaran asam amino
dan neuropeptida yang berlebihan disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari
impuls aferen selama fase akut pada herpes zoster. Hal ini menyebabkan
kerusakan neuron di sumsum tulang belakang, ganglion, dan saraf perifer yang
berperan penting dalam pathogenesis NPH.9
b. Ensefalitis

Ensefalitis merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada herpes zoster


yang muncul beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum atau
sesudahmunculnya erupsi kulit. Pasien imunokompromais berisiko lebih tinggi
menderita herpes zoster yang disertai ensefalitis.24

c. Paralisis motorik

Penjalaran VVZ secara per kontinuitatum dari ganglion sensorik ke


sistem saraf yang berdekatan dapat menyebabkan paralisis motorik. Paralisis
dapat terjadi di muka, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urianaria,
dan anus. Hal ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak timbulnya lesi pada 1-
5% kasus.25

3. Komplikasi mata
a. Herpes zoster oftalmikus
Infeksi saraf trigeminal cabang pertama terjadi pada 10-25% dari kasus
herpes zoster. Keterlibatan saraf tersebut dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan, nyeri menetap lama, dan atau jaringan parut. Herpes zoster
oftalmikus dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti keratitis, skleritis,
uveitis, dan nekrosis retina akut.1,3

4. Komplikasi THT
a. Sindrom Ramsay Hunt
Gangguan pada nervus fasialis dan otikus (auditorius) akibat infeksi
VVZ dapat mengenai liang telinga luar atau membran timpani. Kelainan tersebut
dapat menyebabkan paralisis otot muka (paralisis Bell) yang nyeri, kelainan kulit
yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,
nistagmus, nausea, gangguan pengecapan di 2/3 bagian depan lidah dan
gangguan lakrimasi. Komplikasi ini jarang terjadi namun cukup serius.1,9,25

5. Komplikasi viseral
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu hepatitis, miokarditis, dan
perikarditis. Perlu dipertimbangkan jika terdapat nyeri abdomen dan distensi
abdomen. Hal ini jarang terjadi pada herpes zoster.1
2.9 Prognosis

Lesi yang terbentuk hanya akan bertahan sekitar 10-15 hari. Prognosis
pada pasien yang masih muda dan sehat dengan sistem imun yang adekuat
adalah bonam. Sedangkan orang dengan usia lebih lanjut maupun pasien dengan
imunokompromais memiliki prognosis lebih buruk dan memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami komplikasi seperti neuralgia post herpetik, infeksi
bakteri, dan scarring.9
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. IA
Usia : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Dusun Baru Korong Kasai Batang Anai, Padang
Pariaman
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang
Negeri Asal : Padang

ANAMNESA
Seorang pasien laki-laki, berusia 37 tahun datang ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUP. Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 10 Desember 2018, dengan:

Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan adanya gelembung-gelembung berisi cairan jernih
yang berkelompok diatas bercak merah yang terasa nyeri pada punggung bawah
sebelah kanan dan makin meluas sejak 4 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


- Awalnya muncul kemerahan pada punggung kanan pasien sejak 4 hari
yang lalu, terasa nyeri, kemudian kulit kemerahan tersebut berubah
menjadi gelembung-gelembung kecil berkelompok berisi cairan, lalu
gelembung-gelembung tersebut bertambah banyak dan makin menyebar
ke daerah paha kanan.
- Badan terasa lemah sejak 1 minggu yang lalu
- Demam dirasakan sejak 1 minggu yang lalu
- Sakit kepala, mual, dan muntah sejak 1 minggu yang lalu
- 1 hari yang lalu pasien berobat ke puskesmas mendapat 4 macam obat,
pasien lupa nama obatnya (tablet putih 3x1, 2 macam tablet merah 2x1,
dan tablet coklat 1x1). Kemudian pasien disarankan untuk berobat ke
RSUP dr. M. Djamil Padang.
- Riwayat menderita cacar air sebelumnya tidak ada
- Pasien telah didiagnosa menderita SIDA sejak 4 bulan yang lalu dan
mendapat terapi ARV sejak 4 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami penyakit berupa gelembung-gelembung


kecil seperti ini sebelumnya.

Riwayat Keluarga/Atopi/ Alergi :

 Tidak ada riwayat bersin-bersin di pagi hari


 Tidak ada riwayat kaligata
 Tidak ada riwayat asma
 Tidak ada riwayat alergi obat
 Tidak ada riwayat alergi makanan
 Tidak ada riwayat alergi terhadap serbuk sari

Riwayat Pengobatan
 Pasien belum pernah mengobati gelembung- gelembung berisi cairan
yang nyeri tersebut.

Riwayat Sosial Ekonomi


 Pasien merupakan seorang pegawai swasta
 Pasien berdomisili di Batang Anai, Padang Pariaman

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran umum : Komposmentis Kooperatif.
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
 Nadi : 87x/i
 Nafas : 20x/i
 Suhu : 37,8ºC
 Berat badan : 60 kg
 Tinggi badan : 170 cm
 IMT : 20,2 kg/m2
 Status Gizi : Normoweight
Status Dermatologikus
 Lokasi : Punggung kanan dan paha kanan
 Distribusi : Unilateral terlokalisir.
 Bentuk : Bulat-tidak khas.
 Susunan : Herpetiformis
 Batas : Tidak tegas
 Ukuran : Miliar sampai Lentikular
 Efloresensi : Vesikel-vesikel berkelompok dan bula
hemoragik diatas plak eritem, disertai
erosi, ekskoriasi, krusta merah kehitaman
 Status Venerologikus : tidak dilakukan pemeriksaan
 Kelainan selaput : dalam batas normal
 Kelainan kuku : dalam batas normal
 Kelainan rambut : dalam batas normal
 Kelainan kelenjar limfe : dalam batas normal
Resume :

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki berusia 37 tahun di Poliklinik


Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 10 desember 2018
dengan keluhan:

 Awalnya muncul kemerahan pada punggung kanan pasien sejak 4 hari


yang lalu, terasa nyeri, kemudian kulit kemerahan tersebut berubah
menjadi gelembung-gelembung kecil berkelompok berisi cairan, lalu
gelembung-gelembung tersebut bertambah banyak dan makin menyebar
ke daerah paha kanan.
 Badan terasa lemah sejak 1 minggu yang lalu
 Demam dirasakan sejak 1 minggu yang lalu
 Sakit kepala, mual, dan muntah sejak 1 minggu yang lalu
 1 hari yang lalu pasien berobat ke puskesmas mendapat 4 macam obat,
pasien lupa nama obatnya (tablet putih 3x1, 2 macam tablet merah 2x1,
dan tablet coklat 1x1). Kemudian pasien disarankan untuk berobat ke
RSUP dr. M. Djamil Padang
 Riwayat menderita cacar air sebelumnyatidak ada
 Pasien telah didiagnosa menderita SIDA sejak 4 bulan yang lalu dan
mendapat terapi ARV sejak 4 bulan yang lalu.
 Pada pemeriksaan status dermatologikus didapatkan lesi dengan lokasi di
punggung kanan dan paha kanan, distribusi unilateral terlokalisir, bentuk
bulat-tidak khas, susunan herpetiformis, batas tidak tegas, ukuran miliar
sampai lentikular dengan efloresensi berupa vesikel-vesikel berkelompok
dan bula hemoragik diatas plakeritem, disertai erosi, ekskoriasi, krusta
merah kehitaman.

DIAGNOSIS KERJA
 Herpes Zoster Thorakolumbal setinggi T12, L1-L3 Dextra
 SIDA dalam pengobatan

DIAGNOSIS BANDING
 Varisella
 Dermatitis Kontak Iritan
 Dermatitis Venenata
 Dermatitis Herpetiformis

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN


Pemeriksaaan Tzank Test: tidak ditemukan sel datia berinti banyak

PEMERIKSAAN LABORATORIUM ANJURAN


Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction), jika tidak tersedia dapat
dilakukan Pemeriksaan Direct Immunofluorecent Antigen-Staining

DIAGNOSIS
 Herpes Zooster Thorakolumbal setinggi T12, L1-L3 Dextra Diseminata
 SIDA dalam pengobatan

PENATALAKSANAAN

UMUM

 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan penyebabnya


 Menganjurkan pasien untuk beristirahat selama lesi masih aktif hingga
kering atau menjadi krusta
 Menjelaskan kepada pasien untuk tidak menggunakan barang atau
pakaian secara bersamaan untuk mencegah penyebaran
 Luka dijaga agar tetap bersih dan kering jangan sampai pecah karena
ditakutkan dapat menyebar ke daerah lain
 Memakai pakaian yang longgar atau menghindari gesekan pada lesi
 Pasien tetap disarankan untuk tetap menjaga kebersihan badan
 Menganjurkan kepada pasien agar mendapatkan nutrisi yang cukup dan
hindari stres.
 Konsumsi obat ARV teratur

KHUSUS

 Topikal :
Bedak kocok 2x sehari pada gelembung-gelembung berkelompok
 Sistemik :
Acyclovir 5 x 800 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Ranitidin 2 x 150 mg

PROGNOSIS

Quo Ad Sanam : dubia adbonam.


Quo Ad Vitam : bonam.
Quo Ad Kosmetikum : bonam
Quo Ad Functionam : bonam
FOTO KLINIS
RESEP

dr. Muda Kulit


Praktik Umum
SIP: 10061407
Hari:Senin-Jumat
Jam 19.00-21.00
Alamat: Jalan Jati V no. 2
No Telp 081267477157

Padang, 10 Desember 2018

R/ Acid Salicyl 2%
Menthol 0,5%
Talcum Venetum ad 100 gr
mf la powder da in Sacch I
Sue
R/ Acyclovir tab 800 mg No. XXXV
S5dd tab I
R/ Paracetamol tab 500 mg No. XXI
S3dd tab I

Pro : Tn. IA
Usia : 37 tahun
Alamat : Batang Anai, Padang Pariaman
BAB IV

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki usia 37 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan


Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 10 Desember 2018 dengan
keluhan mucul gelembung-gelembung berisi cairan jernih yang berkelompok
diatas bercak merah yang terasa nyeri pada punggung bawah sebelah kanan dan
makin meluas ke paha kanan sejak 4 hari yang lalu. Awalnya sejak 1 minggu
yang lalu muncul kemerahan pada punggung kanan pasien yang terasa nyeri
kemudian kulit kemerahan tersebut berubah menjadi gelembung-gelembung
kecil berkelompok berisi cairan, lalu gelembung-gelembung tersebut bertambah
banyak dan makin menyebar. Badan terasa lemah sejak 1 minggu yang lalu.
Demam dirasakan 1 minggu yang lalu. Riwayat menderita cacar air sebelumnya
tidak ada. Pasien telah didiagnosa menderita SIDA sejak 4 bulan yang lalu dan
mendapat terapi ARV sejak 4 bulan yang lalu.

Pada pemeriksaaan fisik, didapatkan kondisi pasien tampak sakit sedang,


kesadaran komposmentis kooperatif dan tanda vital yang lain dalam batas
normal. Pada pemeriksaan status dermatologikus didapatkan lesi dengan lokasi
di punggung bawah kanan dan paha, distribusi unilateral terlokalisir, bentuk
bulat-tidak khas, susunan herpetiformis, batas tidak tegas, ukuran miliar sampai
lentikular dengan efloresensi berupa vesikel-vesikel berkelompok dan bula
hemoragik diatas plak eritem disertai erosi, ekskoriasi, krusta merah kehitaman

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dicurigai menderita


herpes zoster yang merupakan penyakit neurokutan dengan menifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom akibat reaktivasi infeksi
laten virus varisela zoster.8,20

Nyeri yang sudah dirasakan pasien selama 1 minggu yang hanya terbatas
ditempat lesi merupakan suatu keluhan tersering apada kasus herpes zoster.
Onset penyakit ini dapat berupa nyeri pada dermatom yang terkena dalam 48-72
jam. Nyeri ini terjadi karena neuritis akut yang berhubungan dengan replikasi
virus, proses inflamasi dan produksi sitokin-sitokin sebagai respon terhadap
kerusakan saraf dan terjadinya peningkatan sensitivitas reseptor nyeri.21

Pada pasien didapatkan keluhan badan terasa letih yang dapat merupakan
tanda prodromal yang mengawali penyakit ini. Gejala prodromal dapat juga
berupa sensasi abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia
sepanjang dermatom, gatal, rasa menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark, atau
gejala konstitusi seperti demam, malaise dan nyeri kepala. Gejala prodromal
dapat berlangsung beberapa hari (1-10 hari, rata-rata 2 hari).8

Pada kasus ini, pasien telah didiagnosa menderita SIDA sejak 4 bulan
yang lalu dan mendapat terapi ARV sejak 4 bulan yang lalu. Hal ini dapat
menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya herpes zoster pada usia dewasa
karena kondisi pasien imunokompromais (infeksi HIV), juga kondisi lain yang
dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya herpes zoster seperti pada
transplantasi organ, keganasan, pasien yang mendapatkan radioterapi maupun
kemoterapi dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.14 Individu yang
mengalami imunokompromais memiliki risiko 20 hingga 100 kali lebih tinggi
untuk menderita herpes zoster dibandingkan individu normal.13 Pasien yang
mendapat terapi dengan obat yang imunosupresif memiliki resiko lebih tinggi
menderita hespes zoster.14

Berdasarkan bentuk lesi awal herpes zoster dapat didiagnosis banding


dengan dermatitis kontak atau dermatitis venenata (akibat bulu serangga), yang
gejala awalnya juga berupa eritema kemudian menjadi vesikel atau bahkan
nekrosis. Perjalanan penyakit pada dermatitis kontak dapat berlangsung akut
maupun kronik. Pada dermatitis kontak dengan iritan yang kuat dapat juga
menimbulkan keluhan nyeri.8 Dari anamnesis pada pasien, tidak ditemukan
adanya riwayat alergi maupun riwayat kontak dengan bahan iritan sebelumnya,
riwayat atopi yang dapat mempermudah terjadinya dermatitis kontak juga
disangkal, gejala prodromal juga jarang pada dermatitis kontak, sehingga
diagnosis cenderung lebih berat ke herpes zoster dengan gambaran lesi yang
khas berupa veseikel berkelompok terbatas di satu dermatom, unilateral dan
terasa nyeri. Ditambah berdasarkan data, pasien merupakan penderita SIDA.
Diagnosis herepes zoster sebagian besar dapat dilihat dari klinis, namun
untuk kasus yang meragukan dapat dilakukan Tzanck Test dari kerokan dasar
vesikel yang memberikan hasil adanya giant cell yang berinti banyak dengan
mikroskop, pemeriksaan titer antibodi maupun kultur.20 Pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan Tzanck Test dari kerokan dasar vesikel yang diberi
pewarnaan Giemsa lalu diperiksa di bawah mikroskop, didapatkan hasil berupa
tidak ditemukannya sel datia berinti banyak. Hasil ini didapatkan bisa karena
tidak tepatnya dalam pengambilan sampel. Untuk itu diperlukan pemeriksaan
lanjutan berupa pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction), jika tidak
tersedia dapat dilakukan Pemeriksaan Direct Immunofluorecent Antigen-
Staining.

Penegakan diagnosis herpes zoster dibuat sesuai dengan dermatom yang


terkena. Pada pasien ini lesi yang terdapat pada punggung bawah kanan berada
pada dermatom torakal 12 hingga lumbal 1 dan lumbal 3 sehingga diagnosis
pasien ini adalah herpes zoster setinggi torakal 12, lumbal 1- lumbal 3 dekstra
diseminata.

Pengobatan pada pasien berupa terapi umum dan khusus. Terapi umum
meliputi edukasi kepada pasien untuk beristirahat selama lesi masih aktif hingga
kering atau menjadi krusta. Selain itu, luka dijaga agar tetap bersih dan kering
jangan sampai pecah karena ditakutkan dapat menyebar ke daerah lain. Pasien
dianjurkan untuk memakai pakaian yang longgar atau menghindari gesekan pada
lesi. Pasien tetap disarankan untuk tetap menjaga kebersihan badan.
Menganjurkan kepada pasien agar mendapatkan nutrisi yang cukup dan hindari
stres. Pasien juga diingatkan untuk mengkonsumsi ARV secara teratur.
Sedangkan untuk terapi khusus yaitu pengobatan topikal berupa bedak kocok 2x
sehari pada gelembung-gelembung berkelompok dan sistemik dengan acyclovir
5 x 800 mg serta paracetamol 3 x 500 mg, ranitidine 150 mg, karena pengobatan
herpes zoster adalah menghilangkan nyeri secepat mungkin dengan cara
membatasi replikasi virus, sehingga mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut.14

Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam karena pasien yang


imunokompromais lebih sering mengalami rekurensi penyakit.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusponegoro EHD, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF, Djauzi


S, editors. Buku panduan herpes zoster di Indonesia 2014. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.

2. United States Centers for Disease Control and Prevention. Shingles


Surveillance.http://www.cdc.gov/shingles/surveillance.html - Diakses 14
Desember 2017.

3. Jeffrey I, Cohen MD. Herpes zoster. NEJM. 2013;369:255-63.

4. Johnson RW, Alvarez-Pasquin MJ, Bijl M, Franco E, Gaillat J, Clara JG, et


al. Herpes zoster epidemiology, management, and disease and economic
burden in Europe: a multidiciplinary perspective. 2015;3(4):109-120.
Janniger CK. Herpes zoster. https://emedicine.medscape.com/1132465-
Diakses Desember 2018.

5. Janniger CK. Herpes zoster. https://emedicine.medscape.com/1132465-


Diakses Desember 2018. Handoko RP. Penyakit virus. In : Djuanda A,
Hamzah M, Aisah S,editors.

6. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010.p.110-1.

7. Johnson RW. The impact of herpes zoster and post- herpetic-neuralgia on


quality of life. BMC Medicine Journal. 2010;8:37-42.

8. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W. Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta : Badang Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2016.

9. Schmader KE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS. Leffell DJ, Wolff K, Schmader KE,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine7th ed. United
States: McGraw-Hill; 2008.p.1885-194.
10. Duus P, Baehr M, Frotscher M. Duu’s topical diagnosis in neurology. 4 th
ed. Germany: Georg Thieme Verlag; 2005.p.71-72.

11. Mueller NH, Gilden DH, Cohrs RJ. Varicella zoster virus
infection: Clinical features, molecular pathogenesis of disease, and latency.
Neurol Clin. 2008;26:675-97.

12. Christo PJ, Hobelmann G, Maine DN. Post-herpetic neuralgia in older


adults. Drugs Aging Journal. 2007;24(1):1-19.

13. Sinta S. Prevalensi dan profil herpes zoster di rumah sakit umum pusat
Sanglah Denpasar periode April 2015 sampai Maret 2016 (tesis).
Universitas Udayana.2017

14. Burns, Tony, Breathnach, Cox. Rook’s textbook of Dermatology. 8nd ed.
Wiley Blackwell. 2010; 332-33.

15. Gershon AA, Gershon MD, Breuer J. Advances in the understanding of the
pathogenesis and epidemiology of herpes zoster. J Clin Virol 2010;48:S2-
S7.

16. Weinberg JM. Herpes Zoster: Epidemiology, natural history, and common
complications. J Am Acad Dermatol. 2007;57:S130-5.

17. Johnson RW, Whitton TL. Management of herpes zoster (shingles) and
post herpetic neuralgia. Exp Opin Pharmacother. 2004;5:551-9.

18. Costache C, Costache D. A study of the dermatomers in herpes zoster.


Bulletin of Transilvania University of Brasov. 2009;2(51):19-24.

19. Bennet GH, Watson CPN. Herpes zoster and postherpetic neuralgia: Past,
present, and future. Pain Res Manag. 2009;14:275-82.

20. Harpaz R, Leung JW.The Epidemiology of Herpes Zoster in the United


States During the Era of Varicella and Herpes Zoster Vaccines. Clin Infect
Dis.2018.3-5.
21. Vora RV, Kota RKS, Jivani NB. A Clinicomorphological study of
childhood herpes zoster at a rural based tertiary center, Gujarat, India.
Indian Journal of Pediatric Dermatology. 2016; 17(4) :273-276.
22. Sampathkumar P, Drage LA, Martin DP. Herpes zoster (shingles) and
postherpetic neuralgia. Mayo Clin Proc. 2009;84(3):274-80.
23. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi virus. In: Harahap M, Rachmah L,Cahanar
P,editor. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2015.p.92-4.
24. Dworkin RH, Johnson RW, Bruer J, JW, Levin MJ, Backonja M, et al.
Recommendations for the management of herpes zoster. CID 2007;44:S1-
26.
25. Handoko RP. Penyakit virus. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisah
S,editors.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.p.110-1.
26. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.

Anda mungkin juga menyukai