Anda di halaman 1dari 17

Clinical Science Session

KORIOAMNIONITIS

Alvin Alkhaliq 1840312289

Reno Hulandari 1840312244

Pembimbing :

dr. Hj. Desmiwarti, Sp.OG-K

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M DJAMIL PADANG

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi bakteri pada rongga amnion adalah salah satu penyebab terpenting

terjadinya peningkatan mortalitas perinatal dan morbiditas maternal.1

Korioamnionitis merupakan infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan selaput

korioamnion yang disebabkan terutama oleh bakteri. Pada kehamilan cukup

bulan, korioamnionitis didiagnosa pada sekitar 5-7% kehamilan. Korioamnionitis

dihubungkan dengan ketuban pecah dini dan persalinan lama. Periode ketuban

pecah yang lama merupakan faktor risiko yang paling tinggi peranannya dalam

patogenesis korioamnionitis. Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan

persalinan, makin tinggi pula risiko morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. 2,3

Bakteri penyebabnya biasanya polimikrobial dan biasanya mencakup bakteri

fakultatif dan anaerob.4

Risiko yang dapat terjadi pada janin akibat infeksi ini adalah sepsis,

respiratory distress, kejang, perdarahan intraventrikular dan cedera neurologis

lainnya. Pada ibu, risiko yang dapat terjadi adalah sepsis, endometritis paska

persalinan, dan pelvic thrombophlebitis septic.5

Faktor ras secara tunggal tidak menjadi faktor resiko terjadinya

korioamnionitis. Usia ibu lebih memiliki peranan penting sebagai faktor resiko.

Ibu yang hamil di usia muda memiliki perilaku yang relatif kurang baik dalam

menjaga higiene urogenitalnya, sehingga meningkatkan risiko bakterial

vaginosis, infeksi saluran kemih, dan infeksi asendens.6

2
Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, saat

ini mencapai 5-25% terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Walaupun

mortalitas maternal jarang terjadi, namun korioamnionitis merupakan penyebab

signifikan terjadinya morbiditas maternal. Oleh karena itu penatalaksanan

koriamnionitis berupa pemberian antibiotik dan pengakhiran kehamilan harus

dipertimbangkan sebaik mungkin.4,6,7

1.2 Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,

etiologi, faktor risiko, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan

prognosis korioamnionitis.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan pembaca dan

penulis mengenai korioamnionitis.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang


merujuk dari berbagai literatur.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi dan Epidemiologi

Korioamnionitis merupakan infeksi jaringan membarana fetalis beserta

cairan amnion yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. 2 Bakteri

dapat ditemukan melalui amniosintesis transabdominal sebanyak 20% pada

wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi.8

Penelitian membuktikan bahwa insiden korioamnionitis adalah 0,5-2%

dari semua persalinan.9 Infeksi ini berhubungan dengan ketuban pecah dini dan

persalinan lama. Sekitar 25% infeksi intrauterin disebabkan oleh ketuban pecah

dini. Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi

pula risiko morbiditas dan mortalitas ibu dan janin.2,3

Insidensi dari korioamnionitis adalah 5-7% dari kehamilam aterm dan

sekitar 25% dari partus preterm.2 Korioamnionitis tersamar (“silent”), yang

disebabkan oleh beragam mikroorganisme, baru-baru ini muncul sebagai salah

satu penjelasan kasus-kasus pecah ketuban, persalinan prematur, atau keduanya.

Korioamnionitis meningkatkan morbiditas janin dan neonatus secara bermakna.3

2.2 Etiologi

Korioamnionitis dapat terjadi akibat invasi mikroba ke cairan amnion

dimana bakteri yang mencapai rongga amnion menyebabkan terjadinya infeksi

serta inflamasi di membran plasenta dan umbilical cord.4,9 Infeksi amnion dapat

terjadi baik pada membran yang masih utuh maupun pada membran yang telah

ruptur dan lamanya ruptur dari membran secara langsung berhubungan dengan

perkembangan korioamnionitis.9 Korioamnionitis dapat menyebabkan

4
bakteremia pada ibu, menyebabkan kelahiran prematur dan infeksi yang serius

pada bayi.6 Penyebab tersering infeksi intrauterin adalah bakteri yang

ascending dari saluran kemih ataupun genital bagian bawah atau vaginitis. 4

Organisme penyebab terjadinya korioamnionitis adalah organisme normal di

vagina, termasuk Eschericia coli, selain itu Streptokokus grup B juga sering

berperan sebagai penyebab infeksi.4 Chlamydia trachomatis sebagai salah satu

bakteri penyebab cervicitis juga berperan sebagai bakteri penyebab infeksi

intrauterin dan berhasil diisolasi dari cairan amnion. Peran virus sebagai

penyebab korioamnionitis sampai dengan saat ini belum jelas diketahui.10

2.3 Faktor Risiko

Faktor ras secara tunggal tidak menjadi faktor resiko terjadinya

korioamnionitis. Usia ibu lebih memiliki peranan penting sebagai faktor resiko.

Ibu yang hamil di usia muda memiliki perilaku yang relatif kurang baik dalam

menjaga higiene urogenitalnya, sehingga meningkatkan risiko bakterial

vaginosis, infeksi saluran kemih, dan infeksi asendens.6

Semua faktor yang meningkatkan risiko pajanan berkepanjangan ketuban

janin dan/atau rongga uterus terhadap mikroba dari vagina akan meningkatkan

risiko korioamnionitis. Faktor-faktor ini meliputi nuliparitas (karena nuliparitas

akan meningkatkan lama waktu persalinan), persalinan prematur, ketuban pecah

dini, pemeriksaan vagina dengan jari, kateter intrauterin, dan infeksi urogenital

(terutama infeksi vagina atau serviks, termasuk infeksi menular seksual (IMS). 12

Terdapat faktor risiko tambahan seperti penyakit kronis ibu, status nutrisi

ibu, merokok, alkohol, dan stres emosional, semua hal tersebut bisa

meningkatkan kerentanan wanita terhadap infeksi dengan cara mempengaruhi

5
fungsi sistem imun. Hubungan pasti antara faktor-faktor risiko tersebut, imunitas

ibu, dan korioamnionitis, merupakan hal yang kompleks dan masih diteliti.12

2.4 Patofisiologi

Korioamnionitis terjadi akibat infeksi asenden mikroorganisme dari

serviks dan vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan. 8,10 Selain itu

dapat pula akibat infeksi transplasental yang merupakan penyebaran hematogen

dan bakteremia maternal dan induksi bakteri pada cairan amnion akibat

iatrogenik pada pemeriksaan amniosintesis, pasca transfusi intrauterin dan

kordosintesis. Faktor risiko terjadinya korioamnionitis adalah waktu antara

ketuban pecah dan persalinan, penggunaan monitor fetal internal, jumlah

pemeriksaan dalam selama persalinan, nulipara, dan adanya bakterial

vaginosis.4,13

Gambar 1. Tempat potensial infeksi bakteri di uterus.10

6
Korioamnionitis terjadi paling sering saat persalinan sesudah pecahnya

selaput ketuban. Walaupun sangat jarang, korioamnionitis dapat juga terjadi pada

keadaan dimana selaput ketuban masih intak11.

Sebanyak 3% dari neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis

dengan pecahnya selaput ketuban < 24 jam sebelum persalinan, akan menderita

bakteremia. Bila pecahnya selaput ketuban terjadi >24 jam maka sebanyak 17%

neonatus akan mengalami bakteremia10.

Organisme penyebab infeksi menyebar pertama kali ke dalam ruang korio

desidua, dan pada beberapa kasus dapat melintas melalui membran korioamnion

yang masih utuh dan masuk ke dalam cairan amnion, sehingga menyebabkan

infeksi pada janin11.

Setiap kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko

penyebab prematuritas dan ketuban pecah dini. Banyak penelitian yang

menghubungkan antara korioamnionitis dengan persalinan prematur. Teori yang

paling banyak dipergunakan saat ini adalah teori invasi bakteri dari ruang

koriodesidua, yang memulai terjadinya proses persalinan preterm. Hal ini

dikarenakan pelepasan endotoksin dan eksotoksin oleh bakteri akan

mengakitivasi desidua dan membran fetus untuk memproduksi beberapa sitokin,

yang diantaranya tumor nekrosis factor-α (TNF- α), interleukin-1α, interleukin-

1β, interleukin-6, interleukin-8, dan granulosite coloni stimulating factor (GCsF).

Kemudian seluruh sitokin, endotoksin dan eksotoksin akan menstimulasi sintesis

prostaglandin yang akan terakumulasi dengan sintesis dan pelepasan

metaloprotease dan komponen bioaktif lainnya. Prostaglandin akan menstimulasi

kontraksi uterus sementara metaloprotease akan menyerang membran

7
korioamnion yang akan menyebabkan pecahnya membran. Metaloprotease akan

membentuk kolagen di serviks yang menyebabkan terjadinya perlunakan

serviks11.

Persalinan prematur disebabkan akibat janin itu sendiri. Pada janin yang

terinfeksi terjadi peningkatan kadar sekresi kortikotropin akibat peningkatan dari

corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan juga produksi

CRH dari plasenta. Hal ini akan meningkatkan kadar produksi adrenal janin

berupa peningkatan kortisol yang berhubungan dengan peningkatan kadar

prostaglandin11.

Gambar 2. Kolonisasi bakteri koriodesidua dapat menyebabkan persalinan

prematur11

8
2.5 Diagnosis

Diagnosis klinis ditegakkan apabila ditemukan demam > 37,8˚ C dengan

dua atau lebih tanda berikut11 :

1. Leukositosis ibu (leukosit >15.000 sel/mm3)

2. Takikardia janin (>160x/menit)

3. Takikardia ibu (>100x/menit)

4. Nyeri tekan fundus saat tidak berkontraksi

5. Cairan ketuban berbau atau tampak purulen

Gibbs, dkk mengemukakan gejala dan tanda infeksi intrapartum yaitu

suhu ibu ≥ 37,8˚C dan 2 atau lebih dari kondisi dibawah ini: takikardia ibu (>100

x/menit), takikardia janin (>160 x/menit), nyeri uterus, cairan amnion berbau dan

leukositosis ibu (>15.000 sel/mm3).8

Korioamnionitis seringkali bukan suatu gejala akut, namun merupakan

suatu proses kronis dan tidak menunjukkan gejala sampai persalinan dimulai atau

terjadi ketuban pecah dini. Bahkan sampai setelah persalinan sekalipun pada

wanita yang terbukti memiliki korioamnionitis (melalui pemeriksaan histologis

atau kultur) dapat tidak ditemukan tanda klasik diatas selain tanda-tanda

prematuritas.11

Terdapat beberapa metode laboratorium lain yang diharapkan dapat

membantu penegakkan diagnosis, beberapa diantaranya seperti pemeriksaan

serum CRP (C-reative protein) maternal, pemeriksaan esterase leukosit cairan

amnion, dan deteksi asam organik bakterial dengan kromatografi gas-cairan.11

Peningkatan kadar CRP memiliki spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis

9
korioamnionitis. Kadar CRP rata-rata pada kehamilan adalah 0,7-0,9 mg/dl.

Terdapat peningkatan sedikit selama persalinan.4,13

Pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang

lebih pasti dari korioamnionitis. Kombinasi pewarnaan Gram dan kultur dari hasil

amniosintesis merupakan metode diagnostik terbaik.8

Hasil pemeriksaan mikroskopik yang menunjang diagnosis

korioamnionitis adalah ketika terlihat set leukosit mononuclear dan

polimonorfonuklear menginfiltrasi selaput korion. Sebelum 20 minggu hampir

semua sel leukosit polimorfonuklear adalah sel yang berasal dari ibu, sedangkan

selanjutnya merupakan respon inflamasi dari janin9.

Dari pemeriksaan-pemeriksaan diatas tidak satupun yang cukup sensitif

dan spesifik digunakan secara tersendiri terlepas dari gejala dan tanda klinis

untuk mendiagnosis korioamnionitis.

2.6 Tatalaksana

Wanita dengan korioamnionitis sebaiknya mendapat terapi antimikroba

dan janin dilahirkan tanpa memandang usia gestasi.3,4 Mengingat bahwa

penyebabnya adalah polimikrobial, sebaiknya digunakan antibiotika intravena

berspektrum luas. Untuk kasus yang lebih serius misalnya sepsis atau infeksi

anaerob serius dengan adanya cairan amnion berbau busuk, terapi kombinasi

yang terdiri dari penisilin atau ampisilin, aminoglikosida dan agen anaerob

seperti klindamisin (3x900gr) sebaiknya digunakan. 4 Dosis ampisilin yang

digunakan adalah 2 gr IV tiap 4 atau 6 jam, ditambah gentamisin 5mg/kgBB IV

tiap 24 jam.14

10
Antibiotika seharusnya diberikan secepatnya setelah diagnosis

korioamnionitis ditegakkan. Sebab dari penelitian telah dibuktikan bahwa

pemberian terapi intrapartum dibandingkan dengan postpartum akan menurunkan

kejadian sepsis & pneumonia neonatal dan morbiditas postpartum ibu. 4

Pemberian antibiotika sesegera mungkin (tanpa menunggu bayi lahir) memberi

dampak pada terapi antibiotika pada janin. Jika antibiotika diberikan intrapartum,

maka pemberian antibiotika untuk bayi diberikan terus menerus selama 7 hari.

Namun jika antibiotika ibu diberikan setelah kelahiran bayi, maka dapat diperiksa

kultur darah bayi dan antibiotika dapat dihentikan pada hari ke-3 jika kultur tidak

tumbuh.4

Persalinan sebaiknya pervaginam4. Jika persalinan tidak timbul spontan,

maka dilakukan induksi persalinan.2 Induksi persalinan dapat dilakukan dengan

medikamentosa dan dapat pula dengan cara mekanik. Pemberian medikamentosa

dilakukan dengan pemberian prostaglandin E2 ( Dinoproston ), prostaglandin E1

(Misoprostol) dan Oksitosin.

Persalinan perabdominam meningkatkan resiko demam postpartum akibat

infeksi (endometritis) pada ibu. Seksio sesarea sendiri meningkatkan resiko

endometritis dari 10% (pada persalinan pervaginam) menjadi 30%, dan

kejadiannya semakin meningkat dengan adanya korioamnionitis pada saat

dilakukan seksio.11 Terjadi peningkatan morbiditas ibu 5 kali lipat jika

dibandingkan dengan persalinan pervaginam.3

Seksio sesarea dapat pula dipertimbangkan bila diperkirakan persalinan

belum selesai dalam interval 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Hal ini

didasarkan dari suatu penelitian yang mengemukakan tidak terdapatnya

11
peningkatan infeksi neonatus jika interval antar diagnosis dan persalinan kurang

dari 12 jam, namun peningkatan kejadian infeksi neonatus setelah interval 12 jam

belum dapat dipastikan. Sehingga, jika interval antara diagnosis dengan

persalinan diperkirakan lebih dari 12 jam, persalinan perabdominam bijaksana

untuk dipertimbangkan.4

Durasi pemberian antibiotika setelah persalinan belum dapat dipastikan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu literatur menyarankan

pemberian terapi parenteral hingga 1-2 hari postpartum, tanpa tambahan

antibiotika oral sesudahnya.4

2.7 Komplikasi

2.7.1 Komplikasi Maternal

Korioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara

perabdominan dan 2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan,

abses pelvik, bakteremia, dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya

post partum hemorrage kelihatannya disebabkan oleh kontraksi uterus yang

disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis memiliki

hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan

E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian

maternal jarang terjadi.8

2.7.2 Komplikasi Fetus

Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis

neonatus, dan beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap

infeksi yang disebut Fetal Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat

12
menyebabkan komplikasi berikut ini. FIRS merupakan kebalikan proses dari

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Karena parameternya

hampir sama dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan yang terjadi

pada fetus, FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada

darah umbilical (tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm

dan PPROM namun kadang dapat muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk

histopatologik dari FIRS adalah funisitis dan korionik vaskulitis. FIRS sekarang

dikenal sebagai representasi respon pertahanan fetus terhadap infeksi atau

mediasi perlukaan yang dapat melepas sitokin dan chemokines seperti

interleukins, TNF-alpha, C-reactive protein, dan matriks melloproteinases. FIRS

juga dihubungkan dengan persalinan preterm yang dapat menimbulkan kematian

dan berhubungan pada neonatus preterm dengan kegagalan multi organ, termasuk

penyakit paru kronis, leukomalasia periventrikular dan cerebral palsy. Meski

FIRS dapat ditimbulkan oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya

biasanya lebih terlihat pada proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus

pada mycoplasma genital ( U. Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan

dengan sindrom respon sistem inflamasi, pneumonia.8

2.7.3 Komplikasi jangka panjang untuk neonatus

Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat

menampakkan efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang

muncul termasuk kematian perinatal, asfiksia, sepsis neonatus dini, septic shock,

pneumonia, intraventrikular hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white

matter, dan kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy.8

2.8 Prognosis

13
Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan,

terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Secara umum terjadi

peningkatan 3-4 kali lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir

rendah yang dilahirkan oleh ibu dengan korioamnionitis. 4 Selain itu terjadi juga

peningkatan kejadian respiratory distress syndrome (RDS), hemoragia

intraventrikular, dan sepsis neonatal.

Berlawanan dengan kejadian pada bayi dengan berat lahir rendah, di

negara maju neonatus cukup bulan yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis

dapat bertahan dengan baik. Hanya sedikit bahkan tidak terjadi peningkatan

mortalitas perinatal, risiko sepsis dan pneumonitis juga jarang terjadi pada

neonatus cukup bulan. Namun pada negara berkembang, dilaporkan pneumonia

kongenital akibat infeksi intraamnion merupakan salah satu penyebab tersering

kematian pada neonatus cukup bulan.4

Korioamnionitis jarang mengakibatkan mortalitas maternal, namun

merupakan penyebab signifikan terjadinya morbiditas maternal. Bakteremia

terjadi pada 2-5% kasus dan terjadi peningkatan kejadian infeksi postpartum.4

Korioamnionitis intrapartum meningkatkan resiko infeksi purpuralis setelah

persalinan pervaginam menjadi 13%, dibandingkan dengan 6% jika tidak ada

korioamnionitis intrapartum.7

BAB 3
KESIMPULAN

14
Korioamnionitis atau infeksi intra uterin merupakan infeksi akut pada

cairan ketuban, janin dan selaput korioamnion yang disebabkan oleh bakteri.

Bakteri penyebabnya biasanya polimikrobial. Semua faktor yang meningkatkan

risiko pajanan berkepanjangan ketuban janin dan/atau rongga uterus terhadap

mikroba dari vagina akan meningkatkan risiko korioamnionitis. Periode ketuban

pecah yang lama merupakan faktor risiko yang paling tinggi peranannya dalam

patogenesis korioamnionitis.

Korioamnionitis terjadi akibat infeksi asenden mikroorganisme dari

serviks dan vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan.

Korioamnionitis seringkali bukan suatu gejala akut, namun merupakan suatu

proses kronis dan tidak menunjukkan gejala sampai persalinan dimulai atau

terjadi ketuban pecah dini. Bahkan sampai setelah persalinan sekalipun pada

wanita yang terbukti memiliki korioamnionitis (melalui pemeriksaan histologis

atau kultur) dapat tidak ditemukan tanda klasik diatas selain tanda-tanda

prematuritas. Namun secara umum gejala dan tanda infeksi intrapartum yaitu

suhu ibu ≥ 37,8˚C dan 2 atau lebih dari kondisi dibawah ini: takikardia ibu (>100

x/menit), takikardia janin (>160 x/menit), nyeri uterus, cairan amnion berbau dan

leukositosis ibu (>15.000 sel/mm3) .

Tatalaksana pada wanita dengan korioamnionitis biasanya dengan terapi

antimikroba dan janin dilahirkan tanpa memandang usia gestasi. Korioamnionitis

jarang mengakibatkan mortalitas maternal, namun merupakan penyebab

signifikan terjadinya morbiditas maternal.

DAFTAR PUSTAKA

15
1. Huleihel M, Golan H, Hallak M. Intra uterine infection/inflammation during
pregnancy and offspring brain damage : Possible mechanisms involved.
Reproductive biology and endrocrinology. BioMed Central; 2004.

2. Infeksi dalam persalinan. Dalam: Saifudin AB ed. Buku Acuan Nasional


Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2001: 255-8.

3. Abnormalitis of the placenta, umbilical cord and membranes. In:


Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al eds. Williams
Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005: 625.

4. Bracci R, Buonocore G. Chorioamnionitis: a risk factor for fetal and neonatal


morbidity. Biol Neonate 2003;83:85-96.

5. Leveno KJ et al. Chorioamnionitis. Williams Manual of Obstetrics, 21st ed


Boston McGraw-Hill; 2003.

6. Sherman MP, Otsuki K. Maternal Chorioamnionitis. E-Medicine 2003.


http://www.emedicine.com/specialties/neonatology.

7. Pueperal infection. In: Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et
al eds Williams Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005:712.

8. Tita, Alan T.N. Diagnosis and Management of Chorioamnionitis.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/.

9. Stoll BJ. Infections of the neonatal infant. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia: Saunders, 2004.h.623-5.

10. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infection and preterm
delivery. New England Journal Of Medicine; 2000.

11. Gibbs RS, Sweet RL, Duf FWP. Maternal and Fetal Infectious Disorder. In :
Creasy RK, Resnik R, eds. Matemal-Fetal Medicine. 5th ed. Philladelphia :
WB Saunders.2004 .p.741-99.

12. Sumber: Fahey JO. Clinical management of intra-amniotic infection and


chorioamnionitis: a review of literature. J Midwifery Womens
Health. 2008;53(3):227-235.

13. Romero R. Preterm Labor, intrauterine infection, and the fetal inflammatory
respons syndrome. NeoReviews.2002;3:e73-84.
14. Gardner K. Emergency delivery, preterm labor and postpartum hemorrage.
In: Pearlman MD, Tintinalli JE, Dyne PL. Obstetric & Gynecologic
Emergencies Diagnosis & Management. New York: McGraw-Hill; 2004:
320.

16
17

Anda mungkin juga menyukai