Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

INFEKSI INTRAKRANIAL PADA PASIEN HIV

DISUSUN OLEH
Ancilla Agra Y.N
030.13.183

PEMBIMBING
dr.Dian Cahyani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 15 JULI – 17 AGUSTUS 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas anugerah keselamatan dan rahmat-Nya yang telah
memampukan penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah Presentasi Kasus dengan
judul “INFEKSI INTRAKRANIAL PADA PENDERITA HIV”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Penyakit saraf Rumah
Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta.
Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. Dian
Cahyani Sp.S selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf. Kepada para dokter dan staff Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih, serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Saraf.
Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap orang yang
membacanya. Tuhan memberkati kita semua.

Jakarta, Agustus 2019

Penulis

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ancilla Agra Y.N


NIM : 03015018
Universitas : Trisakti
Judul : INFEKSI INTRAKRANIAL PADA PASIEN HIV
Bagian : Ilmu Penyakit Saraf
Pembimbing : dr.Dian Cahyani, Sp.S

Diajukan Umtuk Memenuhi Tugas Kepanitraan Klinik Dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian
Ilmu Penyakit Saraf

Di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih


Jakarta, Agustus 2019

Pembimbing
dr.Dian Cahyani, Sp.S

iii
PENDAHULUAN

Penyakit infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune


Deficiency Syndrome (AIDS) hingga kini masih merupakan masalah kesehatan global dengan
tingginya angka kejadian dan kematian.1 HIV termasuk dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS yaitu suatu penyakit retrovirus
yang ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma
sekunder, dan manifestasi neurologis.2,3
Pada tahun 2007, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
33.200.000 orang hidup dengan HIV/AIDS. Diperkirakan pada akhir tahun 2009, sudah
333.200 orang yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia. Di provinsi Sulawesi Utara, kasus
HIV/AIDS yang pertama kali dilaporkan pada tahun 1997 di Rumah Sakit Bethesda. Selang
empat tahun terakhir terjadi peningkatan kasus yang cukup bermakna. Total kasus HIV/AIDS
di provinsi Sulawesi Utara sampai akhir tahun 2008 adalah 456 kasus. Khusus untuk kota
Manado 74 kasus HIV dan 103 kasus untuk penderita AIDS. Sebagian besar dari penderita
HIV merupakan pemakai obat terlarang dengan jarum suntik.4,5
Keterlibatan sistem saraf pada infeksi HIV dapat terjadi secara langsung karena virus
tersebut dan tidak langsung akibat infeksi oportunistik akibat imunokompromis. Studi di
negara Barat melaporkan komplikasi sistem saraf terjadi pada 30% - 70% penderita HIV.
HIV/AIDS dapat menyebabkan komplikasi intrakranial seperti Toksoplasmosis Otak (TO),
Meningitis Tuberkulosis, Meningitis Kriptokokus, Demensia HIV, Leukoensefalopati
multifokal progresif.5,6 Menurut data WHO diketahui sekitar 300 juta orang menderita
toksoplasmosis. Penyakit ini dapat menyerang manusia dan berbagai jenismamalia dan juga
merupakan penyakit infeksi parasit yang paling sering terjadi pada manusia.
Di Indonesia hampir 50% kasus dalam stadium AIDS menderita tuberkulosis paru.
Karena itu Meningitis TB selalu ada dalam diferensial diagnosis pasien AIDS dengan simptom
susunan saraf pusat. Menurut WHO, data tahun 1997, diperkirakan TBC menyebabkan
kematian lebih dari 1 juta penduduk di negara-negara Asia. Meningitis TBC lebih sering pada
anak usia 0- 4 tahun yang tinggal di daerah dengan prevalensi TBC tinggi. Sebaliknya di daerah
dengan prevalensi TBC rendah, meningitis TBC lebih sering di jumpai pada orang dewasa.5

1
Meningkatnya masalah pada sistem saraf yang terkait infeksi HIV/AIDS di negara
berkembang termasuk Indonesia, mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai
angka kejadian komplikasi intrakranial pada penderita HIV.

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. L
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 37 Tahun
Agama : Islam
Status Pernikahan : Belum menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Nomor RM : 01.10.20.85
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 15 Juli 2019

II. ANAMNESIS
Dilakukan anamnesis secara aloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 25 Juli 2019,
pada pukul 13.15 WIB di Edelweis timur kamar 506 RSUD Budhi Asih.

Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan tidak nyambung bila diajak bicara sejak 2
minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih pada tanggal 14 juli 2019 pukul 13.20 yang
diantar oleh ibunya dengan keluhaan tidak nyambung bila diajak bicara sejak 2 minggu
SMRS. Keluhan juga disertai demam naik turun, tanpa disertai menggigil. Keluarga
mengeluh pasien tampak sulit menelan dan mengunyah makanan, tangan pasien juga sering
gemetar saat memegang barang namun hilang saat istirahat. Sejak 2 bulan SMRS pasien
mengalami penurunan nafsu makan dan disertai dengan diare yang menetap, pasien juga
mengalami penurunan berat badan. Menurut ibu pasien, kondisi pasien juga semakin
melemah, cara jalan pasien juga menjadi lebih lambat dengan cara jalan menyeret dan
miring, wajah pasien terlihat lebih pucat, serta pasien batuk berdahak. Kejang dan sakit
kepala disangkal.

3
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
Pasien didiagnosa HIV sejak 12 tahun lalu akibat penggunaan narkoba dengan jarum
suntik yang saling bergantian. Pasien aktif mengkonsumsi ARV (FDC 1x1), namun pada
tahun 2013 pasien berhenti minum obat. Pasien kembali aktif minum obat ARV (FDC 1x1)
pada tahun 2017, namun menurut keterangan ibu pasien, pasien kembali berhenti minum
obat sekitar 3 bulan SMRS.
Pasien memiliki riwayat TB kelenjar, didiagnosis pada bulan maret 2017. Pasien
mengkonsumsi OAT secara tuntas dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter.
Pasien tidak memiliki riwayat infeksi telinga, maupun infeksi gigi.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit dengan keluhan yang sama pada keluarga pasien. Tidak ada
riwayat stroke, hipertensi , TB, dan diabetes mellitus dalam keluarga.
Riwayat Kebiasaan
Pasien aktif menggunakan narkoba suntik saat pasien berada di bangku SMA, menurut
keterangan ibu pasien jarum yang digunakan untuk menyuntik digunakan secara bergantian
dengan teman-teman pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan di ruang rawat inap:


Tanggal : 17 Juli 2019
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Apatis
Tanda Vital :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Suhu : 36.3 o C
- Nadi : 80 x / menit
- Pernapasan : 20 x / menit
Antropometri
 Berat badan : 58 kg
 Tinggi badan : 165 cm

4
 Indeks massa tubuh : 22 kg/m2 (Gizi baik)

Status Generalis
Kepala : Normocephali, distribusi rambut merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-)
Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm
Refleks cahaya langung (+/+)
Refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-), oedem (-)
Mulut : terdapat bercak putih pada lidah, stomatitis pada lidah dan bibir , tonsil
dan arkus faring tidak dapat dinilai karena pasien tidak mau membuka mulut saat diperiksa
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)
pembesaran tiroid (-)
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus kordis
Palpasi : Teraba iktus cordis pada sela iga V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-) gallop (-)
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris
Palpasi : Gerak napas simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang paru, rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+), 8x/menit (normal)
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+) oedem (-/-) deformitas (-/-)
Bawah : Akral hangat (+/+) oedem (-/-) deformitas (-/-)
Genitalia : Tidak dilakukan

5
Status Neurologi
GCS : E4M5V3
Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk : negatif
Brudzinki I : negatif
Brudzinki II : negatif
Laseque : negatif
Kernig : negatif

Nervus Kranialis

Nervus Hasil Pemeriksaan


Pemeriksaan
Kranialis Kanan Kiri
NI Tes penghidu Tidak dilakukan karena pasien tidak kooperatif
berkomunikasi
Ukuran pupil Bulat, Bulat,
diameter 3mm diameter 3mm
Tajam penglihatan
N II
Lapang pandang Tidak dilakukan karena pasien tidak kooperatif
Buta warna berkomunikasi
Funduskopi
Kedudukan bola Kedua bola mata terletak di tengah
mata (ortoforia)

N III, N Gerak bola mata Tidak ada hambatan gerak bola mata
IV, N VI Nistagmus - -
Diplopia - -
Refleks cahaya RCL (+) RCL (+)
RCTL (+) RCTL (+)
Motorik

Tidak dilakukan karena pasien tidak mau


NV membuka mulut.
Sensorik Pasien tidak dapat memahami instruksi.

N VII Motorik Paresis nervus VII dextra sentral

Tes pendengaran Tidak dilakulan karena pasien tidak memahami


N VIII
Tes keseimbangan instruksi

6
Pengecapan lidah ⅓
posterior Tidak dilakukan karena pasien tidak mau
N IX, N X
Refleks menelan membuka mulut
Refleks muntah
Mengangkat bahu Tidak dilakukan karena pasien tidak mau
N XI
Menoleh mengikuti perintah
Pergerakan lidah Paresis nervus XII dextra sentral
N XII
Disartria -
Pemeriksaan motorik
Pemeriksaan Extremitas atas Extremitas bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Atrofi - - - -
Tonus Hipotonus Normotonus Hipotonus Normotonus

Gerakan - - - -
involunter

Kekuatan Hemiparesis dextra


motorik
Refleks Bicep & tricep Patella & Achilles
fisiologis ++ ++ ++ ++

Refleks Babinski - -
patologis Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -

Pemeriksaan sensorik : Hipestesi (-) Hiperestesi (-)


Tes Keseimbangan dan Koordinasi : Tidak dilakukan karena pasien tidak kooperatif
berkomunikasi dan mengikuti perintah
Tes Fungsi Luhur : Tidak dilakukan karena pasien tidak kooperatif
berkomunikasi dan mengikuti perintah. Terdapat keterbatasan
alat di ruang rawat.

7
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pada tanggal 14 Juli 2019
Darah Rutin
Hemoglobin : 12,2 g / dL ()
Hematokrit : 32 % ()
Leukosit : 4,7 / μL
Eritrosit : 3,8 juta / μL ()
Trombosit : 95.000 / μL ()
RDW-CV : 13,5 %

Kimia
Ureum : 19
Creatinin : 0,79

Elektrolit
Natrium : 131 ()
Kalium : 3,5 ()
Clorida : 98

GDS CITO : 114

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 15 Juli 2019


Hitung Jenis:
Basofil :0%
Eosinofil : 0 % ()
Netrofil Batang : 2 % ()
Netrofil Segmen : 82% ()
Limfosit : 7% ()
Monosit : 9 % ()

8
Imunoserologi
Imunodeficiency profile
CD 4 absolut : 23 ()

Anti HIV : Reaktif

Dilakukan pada tanggal 20 Juli 2019


Darah Rutin
Hemoglobin : 11,9 g / dL ()
Hematokrit : 31 % ()
Leukosit : 3,8 / μL
Eritrosit : 3,7 juta / μL ()
Trombosit : 118.000 / μL ()
RDW-CV : 13,5 %

Kimia
Ureum : 19
Creatinin : 0,79

Elektrolit
Natrium : 131 ()
Kalium : 4,2
Clorida : 104

9
b. Pemeriksaan Radiologis
Foto thorax AP tanggal 14 Juli 2019

Jenis foto : Thorax AP


Deskripsi : Terdapat infiltrate luas di kedua lapang paru, sudut kostofrenikus tumpul pada
paru kanan

10
Hasil pemeriksaan Brain CT-Scan tanggal 16 Juli 2019

Ekspertise
Jenis Foto : Brain CT-Scan non contras dan contras
Deskripsi :
 Tampak beberapa lesi hipodens dengan batas kurang jelas pada hemisfer cerebri
bilateral terutama kiri, pons, dan cerebellum yang sedikit menyengat heterogen post
kontras, menyempitkan ventrikel lateralis kiri
 Sulci dan gyri dalam batas normal
 Tidak tampak midline shift
 Tampak kalsifikasi pada regio temporal kanan
 Tulang intak
Kesan : Sangat mungkin Cerebritis ec susp TORCH/ Toxoplasmosis

11
V. RESUME
Seorang laki-laki 37 tahun datang ke IGD RSUD Budhi Asih pada tanggal 14 Juli 2019
jam 13.20 dengan keluhan pasien tidak nyambung bila diajak berbicara sejak 2 minggu
SMRS, pasien mengeluh demam naik turun. Keluarga pasien mengeluh pasien tampak sulit
mengunyah dan menelan makanan. Tangan pasien sering gemetar saat memegang barang
dan hilang saat istirahat. Sejak 2 bulan SMRS pasien mengalami penurunan nafsu makan
disertai dengan diare menetap.
Pasien didiagnosa HIV 12 tahun yang lalu dan berhenti minum obat untuk kedua kali
kurang lebih 3 bulan SMRS. Pada tahun 2017 pasien juga di diagnosis mengalami TB
kelenjar dan pasien aktif meminum obat OAT hingga pengobatan tuntas.
Pada pemeriksaan fisik kesadaran pasien apatis, status generalis pasien dalam batas
normal. Pada pemeriksaan GCS didapatkan E4M5V3 nervus cranialis pasien ditemukan
paresis nervus VII dextra sentral dan paresis nervus XII dextra sentral. Pemeriksaan
kekuatan motorik didapatkan terdapat hemiparesis dextra.
Pemeriksaan darah rutin dan elektrolit yang dilakukan pada tanggal 14 Juli 2019
ditemukan penurunan Hemoglobin, Hematokrit, Eritrosit, dan Trombosit. Pemeriksaan
elektrolit pasien ditemukan penurunan natrium dan kalium.
Pemeriksaan hitung yang dilakukan pada tanggal 15 juli 2019 ditemukan hasil
penurunan Eosinofil, Neutrofil batang, dan limfosit, serta peningkatan Neutrofil segmen dan
monosit. Sedangkan untuk hasil pemeriksaan imunoserologi didapatan penurunan CD4 dan
anti HIV reaktif
Pemeriksaan darah rutin dan elektrolit yang dilakukan pada tanggal 20 Juli 2019
memiliki hasil yang sama dengan tanggal 14 juli 2019 namun kadar kalium pasien sudah
normal.
Pemeriksaan rontgen thorax AP didapatkan hasil infiltrate luas di kedua lapang paru
Pemeriksaan CT Scan kepala didapatkan lesi soliter dengan gambaran ring enhancement di
bagian parietal kiri.

12
DIAGNOSIS KERJA
- Diagnosis Klinis : Afasia Wernick, Hemiparesis dextra, penurunan kesadaran,
candidiasis, AIDS, TB Relaps paresis n VII central sinistral, paresis n XII central
sinistra, hiponatremi, hipokalemi.
- Diagnosis Topis : Korteks serebri sinistra
- Diagnosis Etiologi : Infeksi
- Diagnosis Patologi : Inflamasi

13
VI. FOLLOW UP

17 Juli 2019 18 Juli 2019 19 Juli 2019 20 Juli 2019 22 Juli 2019 25 Juli 2019
OS sulit diajak OS sulit diajak OS sulit diajak OS sulit diajak OS sulit diajak
OS sulit diajak
S komunikasi komunikasi komunikasi komunikasi komunikasi
komunikasi
Pasien tidak bisa BAB
Kes : Apatis Kes: Apatis Kes: Apatis Kes: Apatis Kes: Apatis Kes: Apatis
TD : 120/80 mmHg TD : 120/70 mmHg TD : 120/80 mmHg TD : 110/70 mmHg TD : 110/70 mmHg TD : 120/70 mmHg
RR : 20 x/menit HR : 80 x / menit HR : 71 x / menit HR : 75 x / menit HR : 75 x / menit HR : 80 x / menit
SpO2 : 98 % RR : 17 x/menit RR : 16 x/menit RR : 17 x/menit RR : 17 x/menit RR : 17 x/menit
Status generalis : S : 37,2 0C S : 37,2 0C S : 37,2 0C S : 37,2 0C S : 37,2 0C
 Kepala SpO2 : 94 % SpO2 : 94 % SpO2 : 94 % SpO2 : 93 % SpO2 : 94 %
CA (+/+), SI (-/-)
O  Leher St neurologis St neurologis St neurologis St neurologis St neurologis
KGB dbn, thyroid GCS: E4M5V3 GCS: E4M5V3 GCS: E4M6V3 GCS: E4M6V3 GCS: E4M6V3
dbn, JVP dbn Pupil: isokor diameter Pupil: isokor diameter Pupil: isokor diameter Pupil: isokor diameter Pupil: isokor diameter
 Thorax 3mm/3mm 3mm/3mm 3mm/3mm 3mm/3mm 3mm/3mm
Bentuk thorax TRM: KK (-) L TRM: KK (-) L TRM: KK (-) L TRM: KK (-) L TRM: KK (-) L
fusiformis, >70/>70 K >135/>135 >70/>70 K >135/>135 >70/>70 K >135/>135 >70/>70 K >135/>135 >70/>70 K >135/>135
pergerakan dinding N. Cranialis: Paresis N N. Cranialis: Paresis N N. Cranialis: Paresis N. Cranialis: Paresis N. Cranialis: Paresis
VII Dextra Sentral VII Dextra Sentral N VII Dextra Sentral N VII Dextra Sentral N VII Dextra Sentral

14
dada simetris, Paresis N XII Dextra Paresis N XII Dextra Paresis N XII Dextra Paresis N XII Dextra Paresis N XII Dextra
perkusi Sentral Sentral Sentral Sentral Sentral
(sonor/sonor) , Pemeriksaan motorik: Pemeriksaan motorik: Pemeriksaan motorik: Pemeriksaan motorik: Pemeriksaan motorik:
SNV (N/N), rhonki hemiparesis dextra hemiparesis dextra hemiparesis dextra hemiparesis dextra hemiparesis dextra
(-/-), wheezing (-/-) Reflex fisiologis: Reflex fisiologis: Reflex fisiologis: Reflex fisiologis: Reflex fisiologis:
Batas jantung dbn, BT ++/++ BT ++/++ BT ++/++ BT ++/++ BT ++/++
murmur (-), gallop PA ++/++ PA ++/++ PA ++/++ PA ++/++ PA ++/++
(-), BJ I-II reguler Reflex patologis Reflex patologis Reflex patologis Reflex patologis Reflex patologis
 Abdomen B -/- C-/- S-/- G-/- B -/- C-/- S-/- G-/- B -/- C-/- S-/- G-/- B -/- C-/- S-/- G-/- B -/- C-/- S-/- G-/-
Bising usus (+)
normal frek. 2-3x /
menit.
 Extremitas
AH
+ +
+ +

OE
- -
- -

15
CRT < 2 detik
St neurologis
GCS: E4M5V3
Pupil: isokor diameter
3mm/3mm
TRM: KK (-) L
>70/>70 K
>135/>135
N. Cranialis: Paresis
N VII Dextra Sentral
Paresis N XII Dextra
Sentral
Pemeriksaan motorik:
hemiparesis dextra
Reflex fisiologis:
BT ++/++
PA ++/++
Reflex patologis
B -/- C-/- S-/- G-/-
+ +
+ +

16
SOL IK ec susp SOL IK ec susp SOL IK ec susp SOL IK ec susp SOL IK ec susp SOL IK ec susp
Toxoplasmosis dd Toxoplasmosis dd Toxoplasmosis dd Toxoplasmosis dd Toxoplasmosis dd Toxoplasmosis dd
tuberkuloma tuberkuloma tuberkuloma tuberkel tuberkel tuberkel
Ensefalopati HIV Ensefalopati HIV Ensefalopati HIV Ensefalopati HIV Ensefalopati HIV Ensefalopati HIV
A
SIDA putus ARV SIDA putus ARV SIDA putus ARV SIDA putus ARV SIDA putus ARV SIDA putus ARV
Efusi Pleura dextra Efusi Pleura dextra Efusi Pleura dextra Efusi Pleura dextra Efusi Pleura dextra Efusi Pleura dextra
Candidiasis oral Candidiasis oral Candidiasis oral Candidiasis oral Candidiasis oral Candidiasis oral
TB paru relaps TB paru relaps TB paru relaps TB paru relaps TB paru relaps TB paru relaps
IVFD D5% / 24 jam IVFD D5% / 24 jam IVFD D5% / 24 jam IVFD D5% / 24 jam IVFD D5% / 24 jam IVFD D5% / 24 jam
IVFD NaCl 0,9% / 12 IVFD NaCl 0,9% / 12 IVFD NaCl 0,9% / 12 IVFD NaCl 0,9% / 12 IVFD NaCl 0,9% / 12 IVFD NaCl 0,9% / 12
jam jam jam jam jam jam
Inj Omeprazole 1x 40 Inj Ceftriaxone drip 1x Inj Omeprazole 1x 40 Inj Omeprazole 1x 40 Inj Omeprazole 1x 40 Inj Omeprazole 1x 40
mg 24 jam mg mg mg mg
Inj Ceftriaxone drip Candistin 2x1 Inj Ceftriaxone drip 1x Inj Ceftriaxone drip 1x Inj Ceftriaxone drip 1x Inj Ceftriaxone drip 1x
P 1x 24 jam Cotrimoxazole 2x 960 24 jam 24 jam 24 jam 24 jam
Candistin 2x1 PCT 3x 500 k/p Candistin 2x1 Candistin 2x1 Candistin 2x1 Candistin 2x1
Cotrimoxazole 2x 960 Rifampicin 1x 450 Cotrimoxazole 2x 960 Cotrimoxazole 2x 960 Cotrimoxazole 2x 960 Cotrimoxazole 2x 960
PCT 3x 500 k/p Isoniazid 1 x 300 PCT 3x 500 k/p PCT 3x 500 k/p PCT 3x 500 k/p PCT 3x 500 k/p
Rifampicin 1x 450 Pyrazinamide 1x 1000 Rifampicin 1x 450 Rifampicin 1x 450 Rifampicin 1x 450 Rifampicin 1x 450
Isoniazid 1 x 300 Etambutol 1x 750 Isoniazid 1 x 300 Isoniazid 1 x 300 Isoniazid 1 x 300 Isoniazid 1 x 300
Pyrazinamide 1x 1000 Curcuma 3x1 Pyrazinamide 1x 1000 Pyrazinamide 1x 1000 Pyrazinamide 1x 1000 Pyrazinamide 1x 1000

17
Etambutol 1x 750 B Complex 3x1 Etambutol 1x 750 Etambutol 1x 750 Etambutol 1x 750 Etambutol 1x 750
Curcuma 3x1 FDC ARV 1x1 (tunda) Curcuma 3x1 Curcuma 3x1 Curcuma 3x1 Curcuma 3x1
B Complex 3x1 B Complex 3x1 B Complex 3x1 B Complex 3x1 B Complex 3x1
FDC ARV 1x1 Laxadin syr 3x 100cc Laxadin syr 3x 100cc Laxadin syr 3x 100cc Laxadin syr 3x 100cc
(Tunda) Microlac Susp extra Microlac Susp extra FDC ARV 1x1 FDC ARV 1x1
FDC ARV 1x1 (tunda) FDC ARV 1x1 (tunda)
(tunda) Neuro rencana rawat
Pirimetamin diberikan jalan bila IPD rawat
bila hemiparesis tidak jalan
ada perbaikan Visit per 3 hari
Visit per 3 hari (25/7/19)

VII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanatioanm : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

18
ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki 37 tahun datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan pasien
tidak nyambung bila diajak berbicara sejak 2 minggu SMRS. Kemungkinan keluhan pasien
ini disebabkan karena afasia. Afasia dapat didefinisikan sebagai kehilangan atau kerusakan
bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak. Terdapat beberapa jenis afasia pada pasien
kemungkinan terdapat afasia wenicke’s atau afasia sensorik. Afasia Wernick’s adalah
ketidakmampuan untuk mengerti dari suatu kata atau menyuarakannya menjadi ucapan
yang utuh pada pasien ditandai dengan keluhan keluarga pasien dimana pasien “tidak
nyambung” saat diajak bicara. Kemudian ditandai juga dengan pasien sering berbicara
melantur atau dapat disebut word salad. Melihat kondisi klinis pasien kemungkinan
terdapat lesi pada area Wernick’s pasien di bagian posterior lobus temporal sinistra. 7

Gambar 1
Anatomi otak

Keluhan juga disertai demam naik turun disertai diare menetap Menurut
WHO Pengertian diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair (mencret)
sebanyak 3 kali atau lebih dalam satu hari (24 jam). Pada pasien diare sudah
berlangsung selama 2 bulan (>3 minggu) maka dapat disebut sebagai diare kronik.
Diare kronik paling banyak disebabkan karena inflamasi pada saluran cerna
(Inflammatory Bowel disease), keganasan, maupun immunocompromised. Pada pasien
penyebab diare dan demam naik turun adalah immunocompromised kemungkinan

19
disebabkan oleh infeksi oportunistik yang disebabkan karena rendahnya imun pasien
sehingga infeksi mudah terjadi.
Ditemukan bercak putih pada lidah, stomatitis pada lidah dan mulut, sulit
Menelan, sulit mengunyah makanan, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bercak putih di sekitar lidah dan ditemukan
sariawan, kemungkinan pasien mengalami candidiasis. Candidiasis dapat timbul karena
imun pasien yang rendah kemungkinan terjadi infeksi oportunistik. Candidiasis tidak
hanya dapat di jumpai pada lidah namun juga dapat ditemukan pada orofaring.
Ditambah karena sariawan yang di derita pasien, hal ini dapat menyebabkan keluhan
tambahan berupa pasien sulit menelan dan sulit mengunyah. Sehingga nafsu makan
pasien dapat turun dan apabila terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama akan
menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan pada pasien. Selain itu penurunan
berat badan pada pasien dapat disebabkan karena keluhan pasien yang lain dimana
pasien mengalami diare kronik. 8
Cara jalan pasien juga menjadi lebih lambat dengan cara jalan menyeret dan
miring, wajah pasien terlihat lebih pucat keluhan ini mungkin disebabkan karena
terdapat deficit neurologi berupa hemiparesis dextra dan paresis nervus VII dextra
sentral. Kemungkinan terapat lesi di hemisfer cerebri. Wajah terlihat pucat dapat
disebabkan karena intake makanan yang berkurang pada pasien.
Pasien merupakan penderita HIV sejak 12 tahun SMRS. Sebelumnya pasien
merupakan pengguna narkoba suntik dimana pasien menggunakan jarum suntik secara
bergantian dengan teman pasien yang lain. Hal itu diduga menjadi awal proses
penularan HIV pada pasien. Pasien aktif mengkonsumsi obat ARV namun pada tahun
2013 Pasien berhenti minum obat dan aktif meminum kembali pada tahun 2017. 3 bulan
SMRS pasien kembali berhenti minum obat. Pada tahun 2017 juga pasien pernah di
diagnosis mengalami TB kelenjar dan melakukan pengobatan dengan OAT sampai
tuntas. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan tanggal 17 juli 2019 di ruang rawat
didapatkan hasil kesadaran pasien dinilai apatis dan dari pemeriksaan GCS ditemukan
hasil E4M5V3. Akibat riwayat putus obat dan riwayat TB kelenjar, serta didukung dari
tanda tanda infeksi yang ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ,curiga
keluhan pada pasien disebabkan karena infeksi intracranial akibat kelainan imun yang
diderita pasien. Untuk memastikan etiologi dari keluhan klinis pasien dilakukan
beberapa pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan lab, foto rontgen, dan CT scan
dengan maupun tanpa kontras.

20
Berdasarkan peraturan kementrian kesehatan no 87 tahun 2014 terdapat
beberapa pemeriksaan untuk menunjang diagnosis HIV pada pasien. 10

Gambar 2
Alur pemeriksaan diagnosis HIV

Berdasarkan algoritma diatas dilakukan pemeriksaan tes antibody HIV A1 A2


dan A3 pada pasien dan didapatkan hasil reaktif pada ketiga tes tersebut. Maka dapat
dipastikan pasien merupaka pasien HIV (+). Namun karena pasien memiliki jumlah
CD4 <200 pasien dapat di diagnosis sebagai pasien AIDS.

Dari hasil pemeriksaan foto thorax ditemukan infiltrate luas di kedua lapang
paru dimana dicurigai terdapat infeksi. Berdasarkan kriteria kaji status TBC yang
dikeluarkan oleh mentri kesehatan pasien dapat diduga TBC bila memenuhi minimal
1 gejala dari:

21
- Batuk
- Demam
- Keringat malam tanpa aktivitas
- Berat badan turun tanpa sebab yang jelas
- Memiiki gejala TBC ekstra paru (misal pembesaran kelenjar getah bening
di leher)

Pada pasien ini ditemukan 3 dari 5 gejala dimana pasien mengalami batuk,
demam dan penurunan berat badan tanpa senan yang jelas. Diperkuat oleh riwayat
penyakit pasien dimana pasien pernah menderita TBC kelenjar pada tahun 2013.

22
Berdasarkan algoritma tatalaksana komplikasi oportunistik intracranial Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta apabila pasien dengan HIV disertai gejala berupa
demam, sefalgia, penurunan kesadaran, klinis infeksi/ SOL intracranial, manifestasi
klinis suatu proses intracranial yang progresif diindikasikan dilakukan foto CT scan
kepala. Apabila terdapat lesi di otak berupa lesi fokal dapat dicurigai pasien
mengalami infeksi intracranial yang disebabkan toxoplasmosis, TBC, atau abses
intracranial. Toxoplasmosis dan infeksi TBC adalah penyebab tersering infeksi
intracranial pada pasien HIV/AIDS. Hal ini dibuktikan melalu penelitian yang
dilakukan di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado periode juli 2012-2013 didapatkan
jenis komplikasi intracranial akibat HIV/AIDS tertinggi adalah Meningitis
Tuberkulosis (51,9%), Toxoplasmosis Otak (37%), dan Meningitis kriptokokus
(11,1%).

Pada kasus ini, pasien merupakan pasien HIV disertai dengan demam,
penurunan kesadaran yang ditandai dengan GCS E4M5V3 dan tidak nyambung bila
diajak bicara, memiliki klinis infeki/SOL intracranial berupa hemiparesis dextra.
Sehingga dilakukan CT scan kepala pada pasien ini. Hasil CT Scan kepala
menunjukan terdapat lesi fokal. Sehingga dapat dicurigai pasien mengalami infeksi
intracranial yang disebabkan toxoplasmosis, TBC, atau abses intracranial.

23
PENYAKIT ETIOLOGI GEJALA KLINIS PP FOTO CT SCAN
MENINGITIS TB Mycobacterium - Limfadenopati, - CT Scan kontras
tuberculosis - Papilledema, dan menunjukan
tuberculomas pada hydrocephalus dan
pemeriksaan meningeal
funduscopy, enhancement.
- Meningismus (tanda - Tuberculin test positif
rangsang meningeal) - Pungsi lumbar: protein
- Movement disorder meningkat, kadar
(tremor) glukosa pada CNF
- dapat disertai menurun.
gangguan kekuatan
otot
- Riwayat TB
sebelumnya
- Tanda TB
TOXOPLASMOSIS Toxoplasma - Focal neurologic - Gambaran masa, lesi di
gondii deficits basal ganglia atau cortex,
- Confusion
- occasional fever or - Ring enhancement
headache terdapat sel target
- Seizure or coma with didalamnya
progressive disease
-Positive anti-toxoplasma
serum and CSF IgG, CSF
Toxoplasma gondii DNA
by PCR

24
MENINGITIS Cryptococcus - Tanda rangsang - MRI dan CT scan
sp. meningeal menunjukan gelatinous
KRIPTOKOKUS
- Headache, pseudocysts di basal
- fever, ganglia, thamalus atau
- confusion, periventricular areas,
- altered mental status
- tidak ada enhancement
tidak ada efek masa

- Serum cryptococcal
antigen is almost always
positive

- CSF antigen may be


elevated

25
LIMPOMA Epstein – Barr -Focal neurologic - lesi soliter
deficits - ring enhancement
INTRAKRANIAL Virus
-headache dikelilingi edema
-blurred vision - pada penderita HIV
-seizure sering dijumpai gambaran
-motor difficulty ring enhancement seperti
-personality or cognitive pada gambaran CT scan
changes Toxoplasmosis
-confusion

- sakit kepala Gambaran CT/ MRI


- perubahan status - gambaran ring
mental enhancement bagian
ABSES INTRAKRANIAL Bakteri
- deficit neurologi tepi cicin tebal
- demam
- kejang
- mual muntah
- rigiditas
- papiledema

26
TUBERCULOMA Mycobacterium - Sakit kepala - MRI dan CT scan
tuberculosis - Kejang menunjukan gambaran
- Deficit neurologi masa dengan pola
fokal multiple yang menyengat
- Papiledema kontrasdan memberi
gambar ring enhancement
- Diameter 1mm- 2cm
- Namun pada pemeriksaan
MRI dapat juga
ditemukan lesi soliter
luas
- positive CSF M.
tuberculosis culture,
positive CSF M.
tuberculosis DNA
dengan PCR

Tabel . Diagnosis Banding Infeksi Intracranial akibat HIV

27
Setelah dilakukan scaning, dapat diberikan terapi empiric berupa OAT dan
dipantau selama 2 minggu. OAT yang digunakan pada pasien ini adalah Rifampicin
1x 450 Isoniazid 1 x 300 Pyrazinamide 1x 1000 Etambutol 1x 750. Berikut adalah
cara kerja, dana efek samping OAT yang digunakan.

OAT Rimfapicin Isoniazid Pyrazinamide Etambutol


Mekanisme Menghambat Menghambat Konversi obat Antimicobacterial,
inisiasi sintesis asam menjadi asam menghambat
pembentukan mikoloat pada pirazinoat yang sintesis bakteri,
rantai sintesis bakteri, menurunkan pH menghambat
RNA pada menyebabnya dibawah pH metabolisme
bakteri dimana hilangnya optimal selular dan
berikatan pada tahanan asam pertubuhan multifikasi.
subunit beta dan gangguan bakteri
dari DNA- dinding sel
dependent RNA bakteri
polymerase,
blokade
transkripsi
RNA
Farmakokinetik Absorbsi: cepat Absorbsi: Absorbsi: Absorbsi: diserap
di absorbs di mudah di mudah di absobs dari GIT
GIT, terhambat absorbs di GIT di GIT Distribusi: ke
oleh makanan dan otot setelah Distribusi: semua jaringan
Distribusi: injeksi IM, jaringan tubuh, termasuk ginjal,
jaringan tubuh, berkurang cairan termasuk paru, dan eritrosit.
cairan termasuk dengan adanya CSF, dapat Bisa masuk
CSF, dapat makanan. masuk ke kedalam plasenta
masuk ke Distribusi: plasenta dan air dan air susu
plasenta dan air jaringan tubuh, susu Metabolisme: di
susu cairan termasuk Metabolisme: di hati
Metabolisme: CSF, dapat hati Eksresi: urin dan
di hati masuk ke Ekskresi: urin feses

28
Ekskresi: feses plasenta dan air
dan urin susu
Metabolisme: di
hati dan di usus
halus
Eksresi: feses
dan urin

Dosis PO: 8-12 PO/IM: 5mg/kg PO sebagai salah PO kombinasi


mg/kgbb/hari sampai dengan satu multidrugs dengan OAT yang
Infus: max 300mg/hari regimen lain.
600mg/hari single dose atau <50kg: 1.5 g Profilaksis dan
15 mg.kg sampai sehari atau 2-3x/ terapi primer:
900mg/hari 2-3 minggu 15mg/kgBB/hari
kali seminggu >50kg: 2g sehari Retreatment:
atau 2,5 gram 3x 25mg/kgBB/hari
seminggu selama 60 hari
selanjutnya
dilanjutkan
dengan dosis
15mg/kgBB/hari
Efek samping - Urin berwarna Neuropati, Hiperurisemia,
kemerahan Anemia, gout atritis,
- Gagal ginjal trombositopeni, anorexia, mual,
- Hepatotoksik erupsi pada kulit, muntah, demam,
demam, dysuria,
vasculitis, hepatotoksis.
vertigo,
hiperreflex,
retensi urin,

29
ginekomastia,
hepatitis

Tabel 2
Obat OAT

Setelah diberi obat OAT sebagai terapi empiric pasien, diobservasi selama 2 minggu.
Apabila pasien tidak responsif dapat dievaluasi ulang dari klinis, radiologi, atau pemeriksaan
lab ulang. Untuk memastikan etiologi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut dimana dapat
dilakukan pungsi lumbal (mendiagnosis Kriptokokus, TBC, Bakterial, PCNLS, etiologic lain).
Selain pungsi lumbal dapat juga dilakukan kraniotomi dan selanjutnya dilakukan biopi otak
untuk mengetahu pasti etiologic infeksi tersebut. Namun apa bila tidak memungkinkan untung
dilakukannya pungsi lumbal maupun biopsy otak dapat langsung diberikan tambahan berupa
obat anti toxoplasmosis, CMV, Herpes, PML, PCNLS, atau etiologi lainnya.

Prinsip Terapi Toxoplasmosis


Terapi toksoplasmosis pada pasien HIV - AIDS dibagi menjadi 2 perawatan akut dan
terapi maintenance. Terapi akut diberikan setidaknya selama 3 minggu dan dapat diberikan
selama 6 minggu jika respons lengkap tidak terjadi, selanjutnya diperlukan terapi pemeliharaan
untuk mencegah kekambuhan.11
Profilaksis primer direkomendasikan dalam AIDS seropositif HIV di mana jumlah CD4
<200 / mm3 disertai dengan infeksi oportunistik dan keganasan. Regimen yang digunakan
dapat diberikan TMP - SMX (trimethoprim - sulfamethoxazole) . Dosis TMP - SMX adalah
satu tablet kekuatan ganda (DS) (160 mg trimetoprim, 800 mg sulfamethoxazole) 2 kali / hari
(14 tablet DS / minggu). 12
Pada infeksi akut dapat diberikan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Rejimen ini
adalah rejimen standar untuk pengobatan Toxoplasmosis Ensefalitis. Pirimetamin dosis awal
200 mg / hari berikutnya 50-75 mg / hari ditambah sulfadiazin 4-8 g / hari selama 6 minggu
kemudian dirujuk ke terapi penekan seumur hidup atau untuk meningkatkan sistem kekebalan
tubuh. Dalam beberapa penelitian disebutkan kombinasi pirimetamin - klindamisin dan
trimetoprim - sulfametoksazol sama efektifnya dengan penggunaan kombinasi pirimetamin -
sulfadiazin. 13

30
Clindamycin dapat diberikan dengan dosis 600 mg PO / IV, 4 kali / hari selama 3-6
minggu. Dosis untuk terapi supresif 300-450 mg PO setiap 6-8 jam. Kombinasi atovaquone
dengan pirimetamin atau sulfadiazin juga memberikan efektivitas tinggi. Obat-obatan ini
mampu menghilangkan bradyzoite pada hewan coba. Dapat diberikan dengan dosis 750 mg (5
mL) PO ketika makan selama 21 hari. Dalam beberapa penelitian, rejimen ini memberikan
hasil yang baik pada gambaran klinis dan radiologis 77% dalam waktu 6 minggu pengobatan
dan tingkat kekambuhan 5 % dalam masa pemeliharaan.8 Terapi pemeliharaan (profilaksis
sekunder) dapat dimulai setelah terapi selesai pada fase akut diberikan, yang menggunakan
rejimen yang sama seperti pada fase akut tetapi dengan setengah dosis.
Profilaksis primer dapat dihentikan jika jumlah CD4 setelah penggunaan antiretroviral (ARV)
meningkat> 200 / mm3 diselesaikan selama kurang lebih 3 bulan, dengan pemeriksaan jumlah
virus negatif.

Profilaksis sekunder dihentikan jika pasien menjalani pengobatan akut dan menunjukkan
perbaikan klinis ditandai dengan hilangnya tanda dan gejala toksoplasmosis dan peningkatan
sistem kekebalan setelah pengobatan dengan ART ditandai dengan peningkatan CD4 +> 200
/ mm3 diselesaikan selama sekitar 6 bulan.11

31
PRINSIP TATALAKSANA HIV 14
Sebelum Memulai Terapi ARV

Pada pasien sudah dilakukan pemeriksaan darah lengkap, jumlah CD4, Kreatinin
serum, dan Urinalisa sebelum dilakukan pengobatan

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.

Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di bawah
200 sel/mm3 makadianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai
pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk:

1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat

2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan


obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan
efek samping kotrimoksasol.

32
Prinsip pemberian kotrimoksasol sebagai profilaksis primer:

Tabel 3
Prinsip pemberian kotrimoksasol sebagai profilaksis primer

Pada pasien CD4 <200 sel/mm3 maka pasien diterapi dengan kotrimoksasol dengan
dosis 960mg/hari dosis tunggal dan diberhentikan bila sel CD4 naik >200 sel/mm3 pada
pemeriksaan dua kali interval 6 bulan berturut turut jika mendapat ARV.

Saat Memulai Terapi ARV

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia)
dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah
penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah
rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.

a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah
didasarkan pada penilaian klinis.

33
b. Tersedia pemeriksaan CD4 Rekomendasi :

1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 tanpa memandang
stadium klinisnya.

2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Tabel 4
Panduan tatalaksana ARV

34
Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan

Tabel 5
Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan

Terapi ARV untuk Ko-infeksi Tuberkulosis

Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar 90% pada tingkat individu
dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, dan menurunkan rekurensi TB sebesar 50%.

Pasien yang menderita TBC paru harus menjalani pengobatan Obat anti tuberculosis (OAT).
Rejimen yang dianjurkan adalah rejimen empirik, yaitu

 Isoniazid (H),

 Rifampisin (R),

 Pirazinamid (Z), dan

 Etambutol (E)[3,4]

Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis

35
 Mulai terapi ARV pada semua individu HIV dengan TB aktif, berapapun jumlah
CD4.
 Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV selama
dalam terapi TB.
 Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi. Secepatnya 2
minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.

Table 6
Panduan pemberian ARV pada pasien TB

Pada pasien dilakukan pemberian OAT terlebih dahulu selama 1 minggu kemudian baru
diberikan obat ARV
Pemberian secara bersamaan membuat pasien menelan obat dalam jumlah yang banyak
sehingga dapat terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek samping, interaksi obat dan Immune
Reconstitution Inflamatory Syndrome (IRIS).

Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) adalah
perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan
respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral. Sindrom pulih imun mempunyai
manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun non infeksi. Manifestasi tersering pada
umumnya adalah berupa inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini
didefinisikan sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai
akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap
ARV.

36
Tabel 7
Efek Samping Obat ARV

PEMBERIAN TERAPI INFEKSI JAMUR PADA HIV

Prinsip pengobatan infeksi jamur pada HIV

Tabel 8
Pengobatan infeksi jamur pada HIV

Pada pasien diberi Candistin adalah obat anti jamur yang mengandung Nistatin diberikan untuk
mengobati candidiasis yang terapat pada daerah sekitar lidah pasien. Candistin yang diberikan
berupa suspense obat kumur yang digunakan sebanyak 2 x sehari.

37
PENGOBATAN LAINNYA

Pasien diberikan obat Curcuma 3x1selama pasien dirawat. Curcuma adalah obat yang
mengandung ekstrak curcumin yang berfungsi untuk meningkatkan nafsu makan dan menjaga
kesehatan hati. Baik diberikan pada pasien sebagai pencegahan karena pasien memiliki system
imun yang jelek sehingga kemungkinan terjadi kerusakan pada hati akibat mengkonsumsi obat
obatan khusunya yang bersifat hepatotoksik lebih besar. Selain itu baik juga untuk penambah
nafsu makan pada pasien. 15

B Complex 3x1 dapat diberikan pada pasien untuk menangani efek samping dari
pemberian obat isoniazid berupa neuropati. Laxadin syr 3x 100cc diberikan sejak tanggal 19
Juli 2019 karena pasien sulit BAB. Microlac Susp extra juga diberikan pada tanggal 19 dan 20
juli 2019 karena pasien BAB nya susah dan keras.

Sebanyak 32 pasien meninggal karena suatu kondisi yang sama-sama mungkin terkait
TB atau HIV, termasuk 6 (19%) dianggap berasal dari penyakit mikobakteri yang menyebar.
Diagnosis ini didasarkan pada beberapa spesimen yang positif untuk basil tahan asam tetapi
tidak ada konfirmasi atau identifikasi kultur mikobakteri. Akhirnya, pasien meninggal karena
non-TB, kondisi tidak terkait HIV, termasuk 11 (50%) yang meninggal karena penyakit hati.
16

Prognosis pasien ad vitam dubia ad malam karena dapat dilihat pasien merupakan
pasien HIV dengan CD4 23 dimana terjadi penurunan yang sangat signifikan yang kedepannya
dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada pasien. Ad fungsionam dubia ad malam,
walaupun kesan kekuatan motoric pasien hemiparesis dextra, namun fungsi motoric sangat
bergantung pada intensitas latihan pasien. Pasien ini tinggal berdua dengan ibunya yang sudah
tua, kemungkinan walaupun dilakukan fisioterapi tetapi karena kesulitan mobilisasi proses
pemulihan bisa terjadi lebih lambat. Ad sanationam dubia ad malam juga karena pasien ini di
diagnosis HIV pasien juga sudah putus obat selama 2 kali sehingga kemungkinan pasien tidak
patuh minum obat lagi apabila diberi obat sampai seumur hidup.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Nasronudin. Penatalaksanaan Klinis Infeksi HIV & AIDS. Barakbah J, Soewandojo


E, Suharto, Hadi S, Astuti WD. HIV & AIDS Pendekatam Biologi Molekuler, Klinis
dan Sosial. Edisi Pertama. Surabaya: Airlangga University Press: 2007. h. 31-44.
2. Mitchell RN, Kumar V. Penyakit Imunitas. Kumar V, Cotran R, Robbins S. Patologi.
Edisi Ketujuh. Jakarta: EGC; 2004. h.113-184.
3. Nasronudin. Dasar Virologi dan Infeksi HIV. Barakbah J, Soewandojo E, Suharto,
Hadi S, Astuti WD. HIV & AIDS Pendekatam Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial.
Edisi Pertama. Surabaya: Airlangga University Press: 2007. h. 1-10.
4. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara
2008. Edisi Pertama. Manado: Sulut Sehat 2010; 2009. h. 11-30.
5. Kasper LH. Toxoplasma infections. In: Fauci AS, Braunwald D, Kasper DL,
Harrison’s Principles Of Internal Medicine 17th ed New York: McGraw-Hill
Companies. Inc. 2008. P 1305-1311.
6. Imran D. NEURO-AIDS. Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi pada Sistem
Saraf. Edisi Pertama. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2011. h. 63-
74.
7. Understanding Aphasia in a Simplified Manner. Abha Gupta, Gaurav Singhal. JIACM
12(1): 32-7. 2011
8. Pinsky L, Douglas PH. The Columbia University Handbook on HIV and AIDS.
Columbia: Columbia University; 2009.)
9. Espert L, Denizot M, Grimaldi M, Hebmann VR, Gay B, Varbanov M. Autophagy and
CD4 Lymphocyte destruc- tion by HIV-1. J Clin Invest 2007; 116: 161-165.
10. Peraturan kementrian kesehatan no 87 tahun 2014
11. Buku Pentunjuk TB-HIV untuk petugas kesehatan. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. 2018
12. Djakovic OD, Milenkovic V, Nikolic A, Bobic B, Grujic J.Efficacy of atovaquone
combined with clindamycin against murine infection with a cystogenic (Me49) strain
of Toxoplasma gondii. J Antimicrob Chemother, 50: 981–987. 2002
13. Becker J, Singh D, Sinert RH (2010). Toxoplasmosis. Available at:
http://www.emedicine.medscape.com/article/787505. Accessed on October 28, 2010
14. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV

39
Dan Terapi Antiretroviral pada orang dewasa. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
2011
15. Hepatoprotective Effect Of Curcumin In Chronic Hepatitis. Marinda Ferina Dwi. J
Majority : 3 (7). 2014
16. Causes of Death in HIV-infected Persons Who Have Tuberculosis, Thailand, Kevin P.
Cain, Thanomsak Anekthananon,etc. EID Journal 15(2). 2009

40

Anda mungkin juga menyukai