Oleh :
Nama : Khalisa Rifda Sumayyah, S.Ked.
Disusun Oleh :
Khalisa Rifda Sumayyah, S.Ked.
G1A219022
Dosen Pembimbing
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session
(CRS) yang berjudul “SYOK SEPSIS E.C BRONKOPNEUMONIA +
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) STADIUM IV” sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti Program Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Monalisa,Sp.PD, yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Program Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Laporan Kasus
ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan kasus ini. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas yang semakin memberat sejak ± 1 hari
SMRS.
Vital Sign
Tekanan Darah : 80/60 mmHg
Nadi : 130x/menit, reguler
Respirasi : 40x
Suhu : 38,30C
Saturasi Oksigen : 80%
Kulit
Warna : sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan Parut : (-)
Turgor : Normal, < 2 detik
Paru-Paru
Inspeksi : Simetris, penggunaan otot-otot bantu pernapasan (-), jaringan
parut (-), spider naevi (-), bekas operasi (-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri normal, nyeri tekan(-)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicularis sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, jaringan sikatrik (-)
Palpasi : Distensi (+), nyeri tekan seluruh perut (+), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba ballotement
Perkusi : hipertimpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan genitalia.
Ekstremitas
Superior : Akral dingin, tremor (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-),
palmar eritema (-/-), deformitas (-), CRT <2 detik
Inferior : Akral dingin, sianosis (-/-), edema (-/-), deformitas (-), CRT
<2 detik
2.9 Tatalaksana
Non Farmakologi
Tirah baring
O2 NRM 15 L/menit
NGT : diet cair 6 x 200 mg
Pasang kateter
Monitoring keluhan dan tanda vital
Edukasi :
Penjelasan mengenai penyakit yang diderita.
Penjelasan mengenai factor resiko dari penyakit yang diderita
Konsumsi makanan sesuai takaran gizi yang telah diberikan rumah
sakit
Memberikan konseling kepada pasien dan keluarga
Hindari stress dengan suami, anak maupun keluarga lainnya
Hindari depresi dan selalu berfikir positif
Farmakologi
IVFD NaCl 0,9% 30 gtt
Drip Dobutamin mulai dari 0,5 mcg
Drip Norepinefrin mulai dari 0,1 mcg
Inj. Ceftriaxon vial 2 x 2 gr dalam Dextrose 5% 500 cc → 4 jam
Inj. Gentamisin amp 2 x 1 gr
PO Lansoprazol 1 x 40 mg
PO Pct tab 3 x 500 mg
Transfusi PRC
Pct infus jika suhu ≥ 38,5 oC
2.10 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
2.11 Follow Up
Tanggal Perkembangan
11/10/19 S :
muntah hijau (+), sesak (+), badan lemas (+), demam (+), batuk (+), nyeri
tenggorokan (+), nyeri ulu hati (+), mual (+)
O:
Kesadaran : compos mentis (GCS : E4 M6 V5)
TD : 80/40 mmHg
Nadi : 137x/menit
Pernapasan : 40 x/menit
Temperature : 38,1oC
SpO2 : 98%
Mata : CA (+/+)
Mulut : Cheilitis angularis (+), oral thrush (+)
Pulmo : Simetris, vesikuler (+/+), ronkhi (+/+),
Abdomen : Distensi (+), nyeri tekan seluruh perut (+), hipertimpani
Ekstremitas : Akral dingin
GDS : 91 mg/dL
Elektrolit
Natrium (Na) : 130,75
Kalium (K) : 4,31
Chlorida (Cl) : 94,00
Calcium (Ca) : 1,12
Kesan : hiponatremia, hipoklorida, hipokalsemia
Faal Hati
Protein total : 5,3 g/dL (6,4 – 8,4)
Albumin : 2,2 g/dL (3,5 – 5,0)
Globulin : 2,1 g/dL (3,0 – 3,6)
SGOT : 134 U/L (< 40)
SGPT : 29 U/L (<41)
A:
Syok Sepsis ec Bronkopneumonia
HIV Stadium IV dengan Infeksi Oportunistik Candidiasis Oral
Anemia mikrositik hipokromik ec penyakit kronik
Susp. Ileus obstruksi
Ketidakseimbangan elektrolit
P:
O2 NRM 15 L/menit
Pasang NGT → spooling 2x/hari → jika jernih → diet cair 6 x 200 cc
Pasang kateter : menolak
IVFD NaCl 0,9% 1200 ml 30 gtt
Drip Dobutamin 10 mcg
Drip Norepinefrin 0,1 mcg titrasi naik
Inj. Ceftriaxon vial 2 x 2 gr dalam Dextrose 5% 500 cc → 4 jam
Inj. Gentamisin amp 2 x 1 gr
PO Lansoprazol 1 x 40 mg
PO Pct tab 3 x 500 mg
Pct infus jika suhu ≥ 38,5 oC
Rencana kultur darah
Rencana BNO 3 posisi jika k/u baik
12/10/19 S:
sesak (+), badan lemas (+), demam (+), batuk (+), nyeri tenggorokan (+),
nyeri ulu hati (+), mual (+)
O:
Kesadaran : compos mentis (GCS : E4 M6 V5)
TD : 70/40 mmHg
Nadi : 104x/menit
Pernapasan : 36 x/menit
Temperature : 37,7oC
Mata : CA (+/+)
Mulut : Cheilitis angularis (+), oral thrush (+)
Pulmo : Simetris, vesikuler (+/+), ronkhi (+/+),
Abdomen : Distensi (+), nyeri tekan seluruh perut (+), hipertimpani
Ekstremitas : Akral dingin
GDS : 88 mg/dL
A:
Syok Sepsis ec Bronkopneumonia
HIV Stadium IV dengan Infeksi Oportunistik Candidiasis Oral
Anemia mikrositik hipokromik ec penyakit kronik
Susp. Ileus obstruksi
Ketidakseimbangan elektrolit
P:
O2 NRM 15 L/menit
NGT → hijau → puasa
Pasang kateter
IVFD NaCl 0,9% 1200 ml 30 gtt
Drip Dobutamin 15 mcg
Drip Norepinefrin 1 mcg
Inj. Ceftriaxon vial 2 x 2 gr dalam Dextrose 5% 500 cc → 4 jam
Inj. Gentamisin amp 2 x 1 gr
PO Lansoprazol 1 x 40 mg
PO Pct tab 3 x 500 mg
Pct infus jika suhu ≥ 38,5 oC
Pro kultur darah
Rencana BNO 3 posisi jika k/u baik
Rencana kultur sputum
Rencana cek CD4 → 14 Oktober 2019
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. HIV/AIDS
3.2.1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang
termasuk ke dalam famili Retrovirus subfamili Lentivirus. HIV akan
menyerang salah satu jenis sel darah putih, yaitu sel limfosit T-CD4,
sehingga nilai CD4 semakin lama semakin menurun. Selama infeksi HIV
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan lebih rentan
mengalami infeksi lain.1
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.1
3.2.2. Etiologi
HIV merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi
sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel
darah putih spesifik yang disebut limfosit T CD4. Virus ini
diklasifikasikan ke dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae,
genus Lentivirus.6
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara
darah, semen dan sekret vagina. Setelah memasuki tubuh manusia, maka
target utama HIV adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan mengubah informasi
genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik
dari sel yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid)
menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse
transcriptase. DNA pro-virus tersebut kemudian diintregasikan ke dalam
sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus.
Setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik
virus juga ikut diturunkan. Human Immunodeficiency Virus menyerang
CD4 baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung,
sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T.
Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul
gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4 yang kemudian akan
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen. Hilangnya
fungsi CD4 menyebabkan gangguan imunologis yang progresif.6
3.2.3. Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang
mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual
maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi
komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang
dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggiterhadap HIV/AIDS
misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya,
serta narapidana.1
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang
ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari
kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin
meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan
tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
Sampai dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya.
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai
130.000 orang.1
Sebuah survey yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun
menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang
terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari
8,38% pada tahun 2000. Sementara itu survey yang dilakukan pada tahun
2000 menunjukkan angka infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan
PSK di Merauke, yaitu 5-26,5%, 3,36% di Jakarta Utara, dan 5,5% di Jawa
Barat.1
3.2.4. Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang
progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit
CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-
presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus
dideteksi pada kelenjar getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi.
Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat
dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampi 14 hari setelah
inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah
sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan
dengan puncak anti genemiap 26 SIV.
Jumlah sel yang mengekspresikan virus dijaringan limfoid kemudian
menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan
responsimun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah
peningkatan sel limfosit CDS. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan
bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap
replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan 'steady-state' beberapa
bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa
tahun, namun lamanya sangat bervariasi.
Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan
demikan juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu adalah heterogenitas
kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu. Antibodi
muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara
umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun
sampai ke level 'steady- state'. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki
aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksivirus, namun ternyata tidak
dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh
antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk
kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3
dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak
dapat terjadi.
3.2.5. Patofisiologi
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis,
sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV
akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam,
nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau
batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat
cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya
lambat (non-progressor).
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, yaitu
secara vertikal, horizontal, dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai
sirkulasi sistemik secara langsung dengan di perantarai benda tajam yang
mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung
melalui kulit dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjadi pada kontak
seksual. Begitu mencapai atau berada kala sirkulasi sistemik, 4-11 hari
sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam
sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi
virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri
otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk pilek dan lain-lain. Keadaan ini
disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini mulai terjadi penurunan CD4
dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load akan meningkat dengan
cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai pada suatu titik
tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan
cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan
hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju
penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum
akhirnya jatuh ke stadium AIDS.
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel
yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan
reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke dalam sel target, gp120 HIV perlu
berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada
permukaan limfosit T, monosit-makrofag, Langerhan’s, sel dendrit,
astrosit, mikroglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan
chemokine receptor yaitu CXCR4 dan CCR5, beberapa reseptor lain yang
memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Intensitas ikatan gp120 HIV
dengan reseptor CD4 ditentukan melalui peran regio V terutama V3.
Stabilitas dan potensi ikatan di perkuat oleh ko-reseptor CCR5 dan
CXCR4. Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan
diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membran HIV
dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi
kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse
transcriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk
dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA).
Enzim reverse transkriptase akan menggunakan RNA sebagai
template untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA di pindahkan oleh
ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi
sehingga menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus.
Provirus masuk ke dalam nukleus, menyatu dengan kromosom sel host
dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan
provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi.
Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk
mengaktifkan provirus dari keadaan laten tersebut memerlukan proses
aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi oleh induktor seperti
antigen, sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor kB
(NF-kB) sehingga menjadi aktif dan berikatan 5’LTR (long terminal
repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen
pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NFxB menginduksi replikasi
DNA. Induktor nulear factor kB (NF-kB) sehingga cepat memicu replikasi
HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang
memicu infeksi sekunder dan memperngaruhi jalannya replikasi adalah
bakteri, jamur, virus maupun protozoa. Dari keempat golongan
mikroorganisme tersebut yang paling besar pengaruhnya terhadap
percepatan replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama adalah virus
DNA.
Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara
struktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari
nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida.
Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti
beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada
permukaan sel host, kemudian polipeptida di pecah oleh enzim protease
menjadi protein dan enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh
kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus
baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar dari
sel, akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari, HIV mampu
melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.
Gambar 1. Siklus hidup HIV
3.2.6. Diagnosis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap
odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar
mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien
memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana
selanjutnya.
Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi
oportunistik atau kanker yang terkait dengan AIDS, seperti sarkoma
Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma serviks invasif. Di RS Dr.
Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan
pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat
badan, sariawan, dan diare.
Pemeriksaan Fisik
3.2.11. Tatalaksana
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu
a) pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV), b) pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit
infeksi dan kanker yang menyertai, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, c) terapi suportif,
yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dna
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama
karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV
direkomendasikan pada semua pasien yang memiliki HIV +, telah
menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau
menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit
CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien dengan limfosit CD4
kurang dari 350 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+
200-350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV
dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan
dimulai pada pasien dengan CD4+ lebih dari 350 sel/mm 3 dan viral load
kurang dari 100.000 kopi/ml.
Obat ARV yang beredar di Indonesia, yaitu:
Nama Nama
Gol. Sediaan Dosis (per hari)
Dagang Generik
Duviral Tablet : zidovudin 2x1 tablet
300mg, lamivudin
150 mg
Stavir Stavudin NsRTI Kapsul : 30 mg, > 60 kg 2x40 mg
Zerit (d4T) 40 mg < 60 kg 2x30 mg
Hiviral Lamivudin NsRTI Tablet 150 mg, 2x150 mg
3TC (3TC) larutan oral 10 < 50 kg: 2mg/kg,
mg/ml 2x/hari
Viramune Nevirapin NsRTI Tablet 200 mg 1x200 mg selama 14
Neviral (NVP) hari, dilanjutkan
2x200 mg
Retrovir Zidovudin NsRTI Kapsul 100 mg 2x300 mg, atau
Adovi (ZDV, 2x250 mg
Avirzid AZT) (alternatif)
Videx Didanosin NsRTI Tablet kunyah : > 60 kg: 2x200 mg
(ddl) 100 mg atau 1x400 mg
< 60 kg: 2x125 mg
atau 1x250 mg
Stocrin Efavirenz NNRTI Kapsul 200 mg 1x600 mg, malam
(EFV,
EFZ)
Viracept Nelfinavir PI Tablet 250 mg 2x1250 mg
Monitoring Pasien
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV perlu dimonitor
perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4 nya setiap 6 bulan sekali.
Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termausk
pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis
perkembangan infeksi HIV. Parameter klinis dan CD4 ini digunakan
untuk mencatat perkembangan stadium klinis WHO pada setiap
kunjungan dan menentukan apakah pasien mulai memenuhi syarta untuk
terapi profilaksis kotrimoksasol atau terapi ARV. Evaluasi klinis dan
jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekato ambang
dan syarta memulai terapi ARV.
Monitoring lain
Monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau lebih
sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC= total
lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk digunakan memonitor
terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk
memprediksi keberhasilan terapi.
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis
dan penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan
klinis dan imonologi kea rah yang lebih baik, akan tetapi hal tersebut
tidak terjadi dan atau terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi
suatu sindrom pulih imun dimana pasien sepertinya mengalami
perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu keadaan pemulihan
respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan)
PNEUMOCYSITS PNEUMONIA
Pendekatan Diagnosis
Anamnesis : demam tidak tinggi, batuk kering, nyeri dada retrosternal
(tajam atau seperti terbakar) yang memburuk saat inspirasi, sesak napas
subakut (2 minggu atau lebih).
Pemeriksaan fisik : takipnea, takikardi, sianosis akral, sentral, dan
membran mukosa. Tidak ditemukan ronki pada auskultasi paru.
Pemeriksaan penunjang :
Rontgen dada : infiltrat interstitial bilateral di daerah perihiler yang
kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan
perjalanan penyakit. Kadang ditemui nodul soliter atau multipel,
infiltrat di lobus bawah, abses, pneumatokel, pneumotoraks .
CT-Scan : gambaran "ground glass" atau lesi kistik. Peningkatan
LDH (umumnya>220 IU/L).
Peningkatan gradient oksigen alveolar-arterial (AaDO), pO <70
mmHg padaanalisis gas darah.
Peningkatan LED >50 mm/jam
Leukositosis ringan
Serum (1-3) beta-D-glukan positif
Pemeriksaan mikroskopik sputum, lavase bronkoalveolar atau
jaringan paru menunjukkan adanya kista Pneumocystis jiroveci.
Diagnosis Banding
Pneumonia bakterialis, pneumonitis interstitial non spesifik
Tatalaksana
Derajat sedang - berat (sesak napas saat istirahat / PaO <70mmHg
dalam udarakamar atau AaDO2 >3SmmHg):
Rawat inap, oksigen, ventilator bila perlu.
Kotrimoksazol iv atau trimetoprim oral 15 - 20 mg/kgBB/hari dan 75
– 100mg/kgBB/hari sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari.
Prednison oral 2x40 mg 5 hari pertama, 1x40 mg 5 hari berikutnya
dilanjurkan 20 mg/hari hingga terapi selesai atau metilprednisolon iv
dosis 75% dosisprednison atau hidrokortison iv dosis awal 4x100mg.
Alternatif: primakuin 30mg/hari + klindamisin 3x600 mg atau
pentamidin 4mg/kgBB/hari.
Derajat ringan - sedang (sesak napas pada latihan, PaO >70 mmHg
dalam udara kamar AaDO >35mmHg):
Trimetoprim oral 15 - 20 mg/ kgBB/hari dan 75 - 100 mg/ kgBB/hari
sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21hari.
Alternatif:
primakuin pral 30mg/ hari + klindamisin 3x600mg/hari atau atovaquone
2x750 mg selama 2l hari.
Repons pengobatan dapat dilihat setelah hari ke-5 sampai ke-7.
KRIPTOKOKOSIS
(Infeksi Oleh CRYPTOCOCCUS NEOFORMANS)
Pendekatan Diagnosis
Anamnesis
Meningitis kriptokokus: gejala prodromal 2 - 4 minggu, mual,
muntah,gangguan kesadaran dan perilaku, sakit kepala.
Kriptokokosis paru: Demam, batuk dengan sputum tidak terlalu
produktif.
Pemeriksaan Fisik
Meningitis kriptokokus: kaku kuduk, edema papil, parese.
Pada infeksi C.neoformans juga dapat ditemukan lesi kulit yaitu
kelainan serupa akne, papul, vesikel, nodul, tumor, abses, ulkus dan
granuloma.
Kriptokokosis juga dapat terjadi pada mata dan menimbulkan
konjungtivitis, korioretinitis, endoftalmitis, kebutaan.
Pemeriksaan penunjang
CT scan /MRI otak : hidrosefalus, edema difus, atrofi, penyangatan
meningen dan pleksus koroideus.
Isolasi jamur (pewarnaan tinta India) dari darah, cairan
serebrospinal, urin, cairan pleura, sputum, bilasan bronkus, lesi kulit.
Histopatologi.
Serologi antigen C.neoformans.
Diagnosis Banding
Tuberkulosis, tuberkuloma, sifilis sistem saraf pusat
Tatalaksana
Meningitis kriptokokus
Menurunkan tekanan intrakranial/ TIK hingga <200mmHg dengan :
punksi lumbal bila TIK >250 mmHg), pemasangan drain lumbal
(bila TIK > 400mmHg), VP shunt (bila kedua terapi di atas gagal).
Anti jamur pilihan pertama:
Induksi : amfoterisin B iv 0,7 - 1mg/kgBB/hari dan S-
fluorositosin oral100 mg/ kgBB/hari selama 2 minggu.
Konsolidasi : flukonazol oral 400 mg/hari selama 8 minggu
atau hingga cairan serebrospinal steril.
Pilihan kedua:
Induksi: amfoterisin B iv 0,7 - 1mg/kgBB/hari selama 2
minggu.
Konsolidasi: flukonazol oral400 mg/hariselama 10 minggu
atau hingga cairan serebrospinal steril.
Pilihan ketiga : Flukonazol oral 400 - 800mg/ hari dan fluorositosin
oral 100 mg/kgBB/hari selama 6-10minggu
Kriptokokosis paru, kriptokokosis diseminata dan antigenemia :
Flukonazol 200-400mg/hari secara oral hingga nilai CD4 >200 sel/pL.
Komplikasi
Kematian, komplikasi sesuai organ yang terlibat, komplikasi akibat
pengobatan.
Prognosis
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, namun jika kekebalan
tubuhtetap rendah, infeksi oportunistik dapat kambuh kembali atau juga
timbul infeksi oportunistik yang lain.
3.2. Sepsis
3.2.1. Definisi
Sepsis adalah sebuah keadaan yang mengancam jiwa karena adanya
disfungsi organ yang disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap
infeksi. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan pada
pedoman sepsis tahun 2012 yang merupakan sebuah sindroma respons
inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome) ditambah
tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif dari
tempat tersebut). Definisi baru ini menitik beratkan pada 3 komponen
penting pada sepsis, yaitu adanya infeksi, adanya regulasi abnormal respon
host terhadap infeksi, dan menghasilkan disfungsi sistem organ sebagai
hasil dari respon host.3
Perubahan yang paling signifikan pada definisi baru ini adalah
hilangnya kondisi yang mendefinisikan adanya systemic inflammatory
response system (SIRS). Kriteria SIRS termasuk suhu tubuh >38 oC atau
<36oC ; denyut jantung > 90 denyut/menit, respirasi >20/menit atau Pa
CO2 <32mmHg, dan jumlah hitung leukosit > 12.000/mm 3 atau > 10% sel
imatur (band). Perubahan definisi ini dipertimbangkan karena 2 kriteria
SIRS dainggap tidak memberikan penilian yang tepat antara mereka yang
menderita sepsis dan respon fisiologis yang tepat untuk unfeksi. Namuan,
banyak pasien dengan 2 atau lebih kriteria SIRS tidak pernah berkembang
menjadi sebuah infeksi maupun sepsis. Oleh karena itu adanya kriteria
SIRS telah dihapus dari definisi. Dan sebagai tambahan sepsis para (yang
sebelumnya didefinisikan sebagai sepsis yang bersamaan dengan sepsis
yang berhubungan dengan disfungsi organ) telah dihapus dari pedoman,
dan berlaku pada definisi sepsis mulai tahun 2016. Perubahan ini
memfokuskan pada disfungsi organ sebagai komponen penting pada
diagnosis sepis.3,4
3.2.2. Epidemiologi
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di
Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis.
Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika
Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk
untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir
empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240
kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika
Serikat.8
Di Amerika Serikat dilaporkan 1.500.000 orang terkena sepsis tiap
tahun dan sekitar 250.000 orang meninggal karena sepsis tiap tahunnya.
Dilaporkan 1 dari 3 pasien yang meninggal di rumah sakit disebabkan oleh
sepsis.
Di benua Asia, penelitian pada tahun 2009 di 150 ruang perawatan
intensif pada 16 negara (termasuk Indonesia) menunjukkan sepsis berat
dan renjatan sepsis merupakan 10,9% diagnosis perawatan intensif dengan
angka kematian mencapai 44,5%. Pengamatan 1 bulan pada tahun 2012 di
ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
menunjukkan sepsis berat dan renjatan sepsis ditemukan pada 23 dari 84
kasus perawatan intensif, dengan angka kematian dalam perawatan
mencapai 47,8% dan angka kematian pada fase dini mencapai 34,7%. Data
Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSCM menunjukkan jumlah pasien yang dirawat dengan diagnosis sepsis
sebesar 10,3 % dari keseluruhan pasien yang dirawat di ruang rawat
penyakit dalam. Renjatan sepsis merupakan penyebab kematian tertinggi
selama 3 tahun berturut-turut (2009-2011), yaitu pada 49% kasus kematian
pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 55% pada tahun 2011.
3.2.3. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa
adalah bakteri gram (-) dengan persentase 60-70%. Bakteri seperti
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia.
Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks
antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus
syok sepsis. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat
hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif
atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme
campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal,
atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah
infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses
oleh kultur.
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya
populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat
bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di
antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid
atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan
ventilasi mekanis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan
sepsis yaitu:
Infeksi paru-paru (pneumonia)
Flu (influenza)
Appendiksitis
Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus
urinarius)
Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
Infeksi pasca operasi
Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi.
Faktor risiko lain diantaranya, bertambahnya usia berkaitan dengan usia
pasien yang lebuh tua atau lebih dari 65 tahun memiliki kemungkinan 13
kali lebih besar berkembang menjadi sepsis dan dua kali lipat lebih tinggi
terjadinya kematian karena adanya sepsis olah karena ras, jenis kelamin,
adanya kondisi komorbid, dan keparahan penyakit. Tambahan lainnya
berupa malnutrisi, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, operasi terakhir
atau perawatan di rumah sakit, dan pemakaian kateter atau alat bantu
lainnya.
1. Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih
baik dibandingkan usia tua. Orang kulit hitam memiliki kemungkinan
peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif
mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45
sampai 54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian
Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang
Asia lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan dengan
sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa
dewasa dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin
dibandingkan kulit putih untuk meninggal karena penyebab yang
berhubungan dengan sepsis di semua kelompok umur.
2. Jenis kelamin
Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang
berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua
kelompok ras / etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami
kematian terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali
lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska
Pribumi kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan
sepsis hanya 7%.
3. Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit
hitam dan terendah di antara orang Asia.
4. Penyakit komorbid
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan
tubuh (gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan
alkohol) lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih, dan
komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang
lebih berat.
5. Genetik
Polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding
protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki
berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis
dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak
menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran imunomodulator
penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes
genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang
tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif.
6. Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan
kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi
berhubungan dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri
piogenik merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid
kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti
Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang
dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi
mengakibatkan sepsis.
7. Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat
membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh
cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima
kemoterapi 17 beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah
putih mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh
terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum
setelah menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap
infeksi dapat menjadi serius dengan cepat.
8. Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang,
Russell Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap
stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian sepsis di
masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa
depan yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian
Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif pada
mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini
berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan
diabetes.
3.2.4. Patogenesis
Sepsis memiliki patogenesis yang rumit. Pada sebuah seminar pada
1986 dimana menunjukkan sitokin tumour necrosis factor (TNF) dapat
menggantikan banyak keadaan patologis dan temuan klinis pada sepses.
Diketahui bahwa banyak bakteri dan produk patogen dapat mempengaruhi
produksi TNF, hal itu membuktikan bahwa respon host pda infeksi
berperan sebagai peran penting dalam patogenesis pada kondisi ini, seperti
yang telah diamati oleh Lewis Thomas pada 1972. Sejak itu, beberapa
penelitian lain telah menunjukkan hubungan yang kompleks dari sitokin
yang berperan penting dalam memediasi banyak dampak sepsis. Lebih
lanjut, meskipun jalur proinflamatori awal sangat pentung, jalur anti-
inflamatori juga diaktifkan dan dapat menurunkan regulasi respon korektif
selanjutnya pada keadaan sepsis. Sebagai tambahan pada protein dan
mediator peptida, ada juga sejumlah mediator lain yang berperan,
termasuk prostanoid, platelete activating factor, dan endogenous damage-
associated molecular patterns (DAMPS) yang dihasilkan dari sel yang
terluka, seperti ATP dan kelompok protein mobilitas tinggi. Untuk
menyederhanakan, diketahui ada 4 hal penting yang terjadi pada sepsis.
1. Disfungsi endotelial
aktivasi endotelial secara umum meningkatkan ekspresi adhesin
leukosit, dengan peningkatan leukosit yang berpindah ke jaringan.
Permeabilitas endotelium juga meningkat, pada paru dapat
memunculkan adanya edema pulomonal interstitial dan pada usus
menungkatkan translokasi bakterial, yang berpotensi memperburuk
kaskade inflamasi yang telah dimulai oleh produk mikrobial.
2. Koagulopati
Perubahan koagulopati merupakan keadaan umum pada sepsis.
Kerusakan endotelial mengubah fungsi protektif jalur antikoagulan
protein C alami dan mengubah endotelium pada permukaan
prothrombotik. Sebagai tambahan, produk bakteri dan sitokin
inflamasi mengaktifkan faktor jaringan, pemulai utama pada jalur
ekstrinsik koagulasi darah. Protrombotik ini dapat mengawali adanya
hambatan mikrovaskulatur, serta meningkatkan konsumsi koagulopati
(koagulasi yang disebarkan intravaskular). Produk gram positif juga
dapat secara langsung mengaktifkan sistem pembekuan.
3. Disfungsi seluler
Salah satu teka-teki di lapangan adalah bahwa bahkan dalam kasus
sepsis mematikan yang paling parah, penelitian otopsi menunjukkan
sedikit bukti kematian sel, meskipun disfungsi organ meluas. Dasar
molekuler ini masih belum jelas, meskipun pengurangan umum dalam
pengeluaran energi oleh sel menunjukkan beberapa jenis proses
seperti hibernasi. Seiring dengan perubahan dalam fungsi seluler
banyak perubahan metabolik, terutama peningkatan katabolisme,
resistensi insulin dan hiperglikemia
4. Disfungsi kardiovaskular
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan sepsis
mengalami penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (SVR)
dengan keluaran jantung yang normal atau meningkat, yang disebut
sebagai 'hyperdynamic' kondisi sepsis. Curah jantung dipertahankan
dengan mengorbankan pelebaran ventrikel kiri, dengan pengurangan
fraksi ejeksi dan indeks kerja stroke ventrikel kiri sebagai respons
terhadap peningkatan volume diastolik akhir ventrikel kiri. Perubahan
ini dapat menyebabkan hipotensi yang menjadi ciri syok sepsis.
Perubahan SVR mungkin sebagian besar dimediasi oleh kelebihan
produksi oksida nitrat vasodilator dalam pembuluh darah, yang dapat
sulit untuk dikoreksi dengan vasopressor. Perfusi jaringan yang buruk
juga kemungkinan mendasari peningkatan laktat yang terlihat pada
syok sepsis, meskipun mekanisme lain dimungkinkan.
3.2.6. Diagnosis
Diagnosis syok sepsis meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram
dari buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme.
Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain,
abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan
apus untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung
trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen
serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion
harus dilakukan. Anak yang menderita harus dirawat di ruang rawat
intensif yang mampu melakukan pemantauan secara intensif serta kontinu
diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac output. pada tahun
2016 the European Society of Intensive Care Medicine dan SCCM
merumuskan kriteria baru diagnosis sepsis yang didasarkan pada
perubahan definisi sepsis yang menekankan pada terjadinya disfungsi
organ pada seorang yang terinfeksi. Sistem skor Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) digunakan sebagai cara penilaian disfungsi organ.
Penambahan akut dua atau lebih nilai SOFA sebagai akibat infeksi
digunakan sebagai dasar diagnosis sepsis. Kelompok ahli juga mengajukan
kriteria baru yang dapat digunakan sebagai penapis pasien sepsis yang
dikenal dengan istilah quick SOFA (qSOFA). Tiga kriteria qSOFA adalah
laju napas lebih dari sama dengan 22 napas/menit, perubahan kesadaran,
tekanan darah sistolik kurang dari sama dengan 100 mmHg.
Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk
mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau
hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda-
tanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak
dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok
sepsis, yaitu curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik
yang rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium,
faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis.
3.2.7. Laboratorium
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik,
trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin
parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin
split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan
morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan
leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle
cenderung menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda
kurang baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan
serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal
meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum
terjadi suatu respons inflamasi.
3.2.11. Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan atau inflamasi parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Sebagian besar disebabkan oleh
mikroorganisme (virus, bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal
lain (aspirasi, radiasi, dll).
Berbagai infeksi dapat menyebabkan sepsis, namun infeksi pada
saluran respirasi merupakan kondisi yang paling sering menyebabkan
syok sepsis. Mortalitas pneumonia meningkat hingga 40% pada kasus
yang disertai bakteremia dan sepsis. Meskipun belum diteliti lebih jauh,
syok sepsis yang diakibatkan oleh pneumonia memiliki prognosis yang
lebih buruk.5
Penegakan Diagnosis pada Pasien Dewasa
Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan :
Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C
Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai
darah
Sesak napas
Nyeri dada
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru.
Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas
Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit
Perkusi : redup di bagian yang sakit
Auskultasi : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial
yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi
ronki basah kasar pada stadium resolusi.
Pemeriksaan Penunjang
Pewarnaan gram
Pemeriksaan laboratorium : leukositosis
Pemeriksaan foto toraks
Kultur sputum
Kultur darah
Komplikasi
Efusi pleura, Empiema, Abses paru, Pneumotoraks, gagal napas, sepsis.
3.2.12. Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi
komplikasi yang mungkin terjadi meliputi :
1. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome)
Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama
pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu
pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan
menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi
dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus
sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya
mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral
yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang sepsis yang pada
mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin
memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi
cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi
diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat
yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk
mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai
spiral umpan balik dimana kedua sistem 25 diaktifkan secara konstan
dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar
faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan
seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi
akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis
berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
3. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok sepsis,
dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja
langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri
koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan,
yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark
miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan
demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering
menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati
bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus
kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali
fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien
mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang
lama.
5. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan
sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika
gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi
yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal
(misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6. Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan
untuk mempertahankan homeostasis.
- Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh
infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan
fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
- Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh
respons peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal,
ALI atau ARDS pada keadaan urosepsis.
3.2.13. Prognosis
Pasien yang bertahan sepsis, terlepas dari tingkat keparahannya,
memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi setelah dipulangkan. Angka
kematian satu tahun dari sepsis berat setelah keluar dari rumah sakit
berkisar antara 7% hingga 43%. Korban sepsis juga memiliki
peningkatan insidensi gangguan stres pascatrauma, disfungsi kognitif,
cacat fisik, dan disfungsi paru persisten.9
BAB IV
ANALISA KASUS
Kasus Teori
Keluhan demam naik turun dan batuk Pada teori dari hasil anamnesis pada HIV
terus menerus selama ± 3 minggu. didapatkan gejala yang tidak khas, secara umum
Tenggorokan terasa kering dan nyeri gejala klinis dapat berupa :
dan ada nyeri menelan selama ± 1 1. Demam terus menerus yang tidak diketahui
minggu. penyebab
Nafsu makan dan berat badan 2. Nyeri menelan
menurun. 3. Pembekakan kelenjar getah bening
4. Diare kronik
5. Batuk
6. Penurunan berat badan > 10%
Keluhan sesak napas yang semakin Pada teori dari hasil anamnesis pada syok sepsis
memberat sejak ± 1 hari. didapatkan gejala sepsis dengan hipotensi yang
Tekanan Darah: 80/60 mmHg menetap meskipun telah diberikan vasopressor.
Respirasi: 40x/menit Gejala klinis pada syok sepsis, yaitu :
Saturasi Oksigen: 80% 1. Takipneu
Hasil lab: WBC 3,38 10^9/L 2. Takikardi
(leukopenia) 3. Hipotensi
4. Tanda infeksi : demam, leukositosis atau
leukopenia, infeksi yang diketahui hasil
mikrobiologis positif.
Ekstremitas
Superior : Akral dingin, tremor (+/+)
Inferior : Akral dingin
Badan terasa lemah. Pada teori anemia akibat penyakit kronik
Pemeriksaan fisik mata : Konjungtiva didapatkan :
anemis (+/+) 1. Anamnesis : badan lemah, lesu, cepat lelah.
2. Pemeriksaan fisik : umumnya hanya dijumpai
Pemeriksaan darah rutin : konjungtiva anemis
HGB : 7,6 g/dL 3. Pemeriksaan laboratorium: kadar Hb
MCV : 79,2 fl menurun, MCV dan MCH dapat menurun atau
MCH : 25,6 pg normal; SI menurun < 50 , TIBC menurun <300.
MCHC : 323 g/L
BAB V
KESIMPULAN