Anda di halaman 1dari 77

CASE REPORT SESSION (CRS)

SYOK SEPSIS E.C BRONKOPNEUMONIA +


HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) STADIUM IV

Oleh :
Nama : Khalisa Rifda Sumayyah, S.Ked.

Dosen Pembimbing : dr. Monalisa, Sp.PD.

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)


SYOK SEPSIS E.C BRONKOPNEUMONIA +
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) STADIUM IV

Disusun Oleh :
Khalisa Rifda Sumayyah, S.Ked.
G1A219022

Program Profesi Dokter


Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada November 2019

Dosen Pembimbing

dr. Monalisa, Sp.PD.


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session
(CRS) yang berjudul “SYOK SEPSIS E.C BRONKOPNEUMONIA +
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) STADIUM IV” sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti Program Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Monalisa,Sp.PD, yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Program Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Laporan Kasus
ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan kasus ini. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, November 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah masalah besar
yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia dikarenakan
penyebarannya cepat dan luas, terutama mengenai usia muda, wanita dan
anaknya, dan berdampak besar pada sosial, ekonomi, dan psikologis. Virus
HIV merupakan virus yang menyerang sel limfosit T CD4+ yang diperlukan
untuk sistem kekebalan tubuh, dan menjadikannya tempat berkembang biak,
kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Pasien yang
terkena virus HIV, tidak langsung menderita penyakit Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS), melainkan diperlukan waktu yang
cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS
atau HIV positif yang mematikan.1
The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS)
memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia hingga Desember 2004
adalah 35,9 – 44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari
HIV/AIDS.1 Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981.
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen
Kesehatan tahun 1987, yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Saat
ini, kasus HIV/AIDS semakin meluas dan menyerang berbagai lapisan dan
strata social.1
Diagnosis penderita HIV sering terlambat dikarenakan periode
asimptomatik yang lama sehingga diagnosis klinis dini sulit ditemukan atau
pasien enggan atau takut untuk periksa ke dokter. Sering kali pasien berobat
pada stadium AIDS dengan infeksi oportunistik yang sulit didiagnosis dan
manifestasi klinis atipikal sulit dikenali serta kurangnya sarana diagnostik.
Dengan pendekatan diagnosis klinis yang tepat, penderita HIV dapat
dideteksi dan dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk menekan
angka mortilitas dan memperpanjang angka harapan hidup.1
Sepsis awalnya didefinisikan sebagai sindroma respons inflamasi
sistemik (systemic inflammatory response syndrome) ditambah tempat infeksi
yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif dari tempat tersebut). Pada
tahun 2016, The Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock telah mengeluarkan definisi terbaru untuk sepsis, yaitu suatu
keadaan yang mengancam jiwa karena adanya disfungsi organ yang
disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap infeksi. Dalam definisi
terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah dihilangkan, hal ini bertujuan agar
sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi penanganan yang tepat sesegera
mungkin. Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana
abnormalitas metabolisme seluler dan sirkulatorik yang menyertai pasien
cukup berat sehingga dapat meningkatkan mortalitas.2,3
Sepsis dan syok sepsis merupakan salah satu penyebab morbiditas dan
kematian di dunia, di mana satu dari empat orang yang dalam keadaan sepsis
akan meninggal. Angka kematian akibat sepsis jauh lebih besar dibandingkan
akibat sindrom koroner akut ataupun stroke. Mortalitas bisa mencapai 30%
pada sepsis hingga 80% pada syok sepsis. Data tersebut diperoleh dari suatu
kajian epidemiologi sepsis antara tahun 1980 hingga 2008 di empat negara -
Amerika Serikat, Brazil, Inggris Raya, dan Australia. Dari suatu studi
observasional terhadap pasien sepsis berat dan syok sepsis di RSUPN dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada tahun 2012-2013, diketahui bahwa
angka kematian pada sepsis berat dan syok sepsis berkisar 61%. Tingginya
mortalitas pada sepsis tidak lepas dari masalah keterlambatan diagnosis dan
tata laksana.4
Diagnosis syok sepsis meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi dari infeksi. Pasien dengan syok sepsis dapat
diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis dengan hipotensi menetap yang
membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan Mean Arterial Pressure
(MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun
volume resusitasi memadai. Adapun kriteria klinis pasien sepsis dapat
diketahui dengan menggunakan skor Sequential (Sepsis-Related) Organ
Failure Assessment (SOFA).4
Berbagai infeksi dapat menyebabkan sepsis, namun infeksi pada sistem
respirasi merupakan kondisi yang paling sering mendasari terjadinya sepsis.
Angka prevalensi pneumonia diperkirakan sekitar 4 juta setiap tahun di
Amerika Serikat. Mortalitas pneumonia meningkat hingga 40% pada kasus
yang disertai bakteremia dan sepsis. Meskipun belum diteliti lebih jauh, syok
sepsis yang diakibatkan oleh pneumonia memiliki prognosis yang lebih
buruk.5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. F
Umur : 28 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : RT. 30 Pulau Pandan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 10/10/2019
Masuk IGD : 10/10/2019 Pukul 20:27
Masuk Bangsal : 11/10/2019 Pukul 00:45

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas yang semakin memberat sejak ± 1 hari
SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Alloanamnesis
Pasien masuk ke IGD RSUD Raden Mattaher dengan keluhan sesak
yang semakin memberat sejak ± 1 hari SMRS.
± 3 minggu SMRS, pasien mengeluhkan demam yang dirasakan
hilang timbul, dimana menurut pasien demam tidak terlalu tinggi. Keluhan
disertai dengan batuk yang dirasakan terus menerus, dahak (-), darah (-),
keringat malam (+), dan penurunan nafsu makan. Kemudian pasien
berobat ke puskesmas, namun pasien tidak ingat nama obat yang diberikan
dan tidak rutin minum obat.
± 1 minggu SMRS, pasien kembali mengeluhkan demam yang
dirasakan naik turun terutama pada malam hari. Pasien juga mengeluhkan
tenggorokan terasa kering dan nyeri sehingga sulit untuk menelan
makanan, nyeri menelan (+), mual (+), muntah (-), batuk masih dirasakan,
dan badan terasa lemas.
± 2 hari SMRS, pasien mengeluhkan adanya bercak-bercak yang
timbul di sekitar permukaan lidah yang terasa perih, timbul sariawan, dan
bibir kering.
± 1 hari SMRS, pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin
memberat. Keluhan disertai dengan batuk, demam tinggi, menggigil dan
berkeringat. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada ulu hati, mual
(+), muntah (-), badan terasa sangat lemas dan mengalami penurunan berat
badan. BAK tidak ada keluhan, berwarna kekuningan. Tidak ada BAB
sejak 5 hari SMRS, flatus (-), perut terasa penuh. BAB berdarah (-), BAB
hitam (-), muntah darah (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat keluhan serupa (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat diabetes melitus (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat keluhan serupa (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :


 Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan riwayat
pernikahan 1 kali (anak 1 persalinan normal)
 Merokok (-)
 Status ekonomi menengah ke bawah

2.3 Pemeriksaan Fisik (12/10/2019 Pukul 14.00)


Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis (GCS : E4 M5 V6)
BB/TB : 40 kg/155 cm
IMT : 16,65 kg/m2 (underweight)

Vital Sign
Tekanan Darah : 80/60 mmHg
Nadi : 130x/menit, reguler
Respirasi : 40x
Suhu : 38,30C
Saturasi Oksigen : 80%

Kulit
Warna : sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan Parut : (-)
Turgor : Normal, < 2 detik

Kepala dan Leher


Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), pupil isokor ukuran 3mm/3mm, refleks
cahaya (+/+), kelopak mata cekung
Telinga : Sekret (+/+) minimal, nyeri tekan tragus (-)
Hidung : Sekret (-), deviasi septum(-), perdarahan (-)
Tenggorokan : Tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), uvula terletak di
tengah
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), kaku
kuduk (-), JVP 5-3 cmH2O
Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (+), cheilitis angular (+),
oral thrush (+)

Paru-Paru
Inspeksi : Simetris, penggunaan otot-otot bantu pernapasan (-), jaringan
parut (-), spider naevi (-), bekas operasi (-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri normal, nyeri tekan(-)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicularis sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, jaringan sikatrik (-)
Palpasi : Distensi (+), nyeri tekan seluruh perut (+), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba ballotement
Perkusi : hipertimpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan genitalia.

Ekstremitas
Superior : Akral dingin, tremor (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-),
palmar eritema (-/-), deformitas (-), CRT <2 detik
Inferior : Akral dingin, sianosis (-/-), edema (-/-), deformitas (-), CRT
<2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (10 Oktober 2019)
Kode Hasil Unit Nilai normal
WBC 3,38 10^9/L 4-10
RBC 2,97 10^12/L 3,5-5
HGB 7,6 g/dl 11-15
MCV 79,2 fl 80-100
MCH 25,6 pg 27-34
MCHC 323 g/L 320-360
HCT 23,5 % 35-50
PLT 186 10^9/L 100-300
LYM% 7,3 % 14-53
Kesan : Bisitopenia, anemia mikrositik hipokromik, hemodelusi,
limfositopenia
GDS : 112 mg/dL
Pemeriksaan Faal Ginjal (10 Oktober 2019)
Ureum : 15 mg/dL (15 – 39)
Kreatinin : 0,6 mg/dL (0,6 – 1,1)

Pemeriksaan Rontgen Thorax (10 Oktober 2019)

Expertise Foto Rontgen Thorax : Bronkopneumonia dd Proses Spesifik

2.5 Daftar Masalah


 Sesak napas
 Demam menggigil
 Batuk
 Lemas
 Nyeri tenggorokan
 Nyeri menelan
 Nyeri ulu hati
 Mual
 Penurunan berat badan
 Infeksi HIV
 Candidiasis oral
 Anemia mikrositik hipokromik

2.6 Diagnosa Kerja


Primer : Syok Sepsis ec Bronkopneumonia dengan HIV Stadium IV
dengan Infeksi Oportunistik Candidiasis Oral
Sekunder : Susp. Ileus obstruksi, Anemia mikrositik hipokromik ec
penyakit kronik

2.7 Diagnosis Banding


1. Acute Respiratory Distress Syndrome
2. Tuberculosis Paru
3. Penyakit imunodefisiensi primer
4. Peritonitis
5. Anemia mikrositik hipokromik ec defisiensi besi

2.8 Rencana Pemeriksaan Anjuran


 Tes antibodi HIV
 Kultur darah
 Kultur sputum
 BNO 3 posisi
 SADT
 SI, TIBC
 Cek CD4
 Cek urin rutin
 Cek elektrolit
 Cek Faal hati
 SGOT, SGPT

2.9 Tatalaksana
Non Farmakologi
Tirah baring
O2 NRM 15 L/menit
NGT : diet cair 6 x 200 mg
Pasang kateter
Monitoring keluhan dan tanda vital
Edukasi :
 Penjelasan mengenai penyakit yang diderita.
 Penjelasan mengenai factor resiko dari penyakit yang diderita
 Konsumsi makanan sesuai takaran gizi yang telah diberikan rumah
sakit
 Memberikan konseling kepada pasien dan keluarga
 Hindari stress dengan suami, anak maupun keluarga lainnya
 Hindari depresi dan selalu berfikir positif

Farmakologi
 IVFD NaCl 0,9% 30 gtt
 Drip Dobutamin mulai dari 0,5 mcg
 Drip Norepinefrin mulai dari 0,1 mcg
 Inj. Ceftriaxon vial 2 x 2 gr dalam Dextrose 5% 500 cc → 4 jam
 Inj. Gentamisin amp 2 x 1 gr
 PO Lansoprazol 1 x 40 mg
 PO Pct tab 3 x 500 mg
 Transfusi PRC
 Pct infus jika suhu ≥ 38,5 oC

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

2.11 Follow Up
Tanggal Perkembangan
11/10/19 S :
muntah hijau (+), sesak (+), badan lemas (+), demam (+), batuk (+), nyeri
tenggorokan (+), nyeri ulu hati (+), mual (+)
O:
Kesadaran : compos mentis (GCS : E4 M6 V5)
TD : 80/40 mmHg
Nadi : 137x/menit
Pernapasan : 40 x/menit
Temperature : 38,1oC
SpO2 : 98%
Mata : CA (+/+)
Mulut : Cheilitis angularis (+), oral thrush (+)
Pulmo : Simetris, vesikuler (+/+), ronkhi (+/+),
Abdomen : Distensi (+), nyeri tekan seluruh perut (+), hipertimpani
Ekstremitas : Akral dingin
GDS : 91 mg/dL

Tes antibodi HIV : reaktif (+)

Elektrolit
Natrium (Na) : 130,75
Kalium (K) : 4,31
Chlorida (Cl) : 94,00
Calcium (Ca) : 1,12
Kesan : hiponatremia, hipoklorida, hipokalsemia

Faal Hati
Protein total : 5,3 g/dL (6,4 – 8,4)
Albumin : 2,2 g/dL (3,5 – 5,0)
Globulin : 2,1 g/dL (3,0 – 3,6)
SGOT : 134 U/L (< 40)
SGPT : 29 U/L (<41)

Gambaran Darah Tepi


Eritrosit : anemia hipokrom mikrositer, anisositosis, ditemukan adanya
pencil cells dan tear drops cells
Leukosit : Kesan jumlahnya berkurang, tidak ditemukan blast cells
Trombosit : Kesan jumlahnya cukup, bentuk normal
Kesimpulan : Gambaran darah tepi memberikan kesan anemia hipokrom
mikrositer dan leukopenia (bisitopenia)

Pemeriksaan SI, TIBC


SI : 60 ug/dL (50 – 170)
TIBC : 123 ug/dL (250 – 425)

A:
Syok Sepsis ec Bronkopneumonia
HIV Stadium IV dengan Infeksi Oportunistik Candidiasis Oral
Anemia mikrositik hipokromik ec penyakit kronik
Susp. Ileus obstruksi
Ketidakseimbangan elektrolit

P:
O2 NRM 15 L/menit
Pasang NGT → spooling 2x/hari → jika jernih → diet cair 6 x 200 cc
Pasang kateter : menolak
 IVFD NaCl 0,9% 1200 ml 30 gtt
 Drip Dobutamin 10 mcg
 Drip Norepinefrin 0,1 mcg titrasi naik
 Inj. Ceftriaxon vial 2 x 2 gr dalam Dextrose 5% 500 cc → 4 jam
 Inj. Gentamisin amp 2 x 1 gr
 PO Lansoprazol 1 x 40 mg
 PO Pct tab 3 x 500 mg
 Pct infus jika suhu ≥ 38,5 oC
Rencana kultur darah
Rencana BNO 3 posisi jika k/u baik
12/10/19 S:
sesak (+), badan lemas (+), demam (+), batuk (+), nyeri tenggorokan (+),
nyeri ulu hati (+), mual (+)
O:
Kesadaran : compos mentis (GCS : E4 M6 V5)
TD : 70/40 mmHg
Nadi : 104x/menit
Pernapasan : 36 x/menit
Temperature : 37,7oC
Mata : CA (+/+)
Mulut : Cheilitis angularis (+), oral thrush (+)
Pulmo : Simetris, vesikuler (+/+), ronkhi (+/+),
Abdomen : Distensi (+), nyeri tekan seluruh perut (+), hipertimpani
Ekstremitas : Akral dingin
GDS : 88 mg/dL

A:
Syok Sepsis ec Bronkopneumonia
HIV Stadium IV dengan Infeksi Oportunistik Candidiasis Oral
Anemia mikrositik hipokromik ec penyakit kronik
Susp. Ileus obstruksi
Ketidakseimbangan elektrolit

P:
O2 NRM 15 L/menit
NGT → hijau → puasa
Pasang kateter
 IVFD NaCl 0,9% 1200 ml 30 gtt
 Drip Dobutamin 15 mcg
 Drip Norepinefrin 1 mcg
 Inj. Ceftriaxon vial 2 x 2 gr dalam Dextrose 5% 500 cc → 4 jam
 Inj. Gentamisin amp 2 x 1 gr
 PO Lansoprazol 1 x 40 mg
 PO Pct tab 3 x 500 mg
 Pct infus jika suhu ≥ 38,5 oC
Pro kultur darah
Rencana BNO 3 posisi jika k/u baik
Rencana kultur sputum
Rencana cek CD4 → 14 Oktober 2019

Pasien (+) : 12 Oktober 2019 pukul 21.00 WIB

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. HIV/AIDS
3.2.1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang
termasuk ke dalam famili Retrovirus subfamili Lentivirus. HIV akan
menyerang salah satu jenis sel darah putih, yaitu sel limfosit T-CD4,
sehingga nilai CD4 semakin lama semakin menurun. Selama infeksi HIV
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan lebih rentan
mengalami infeksi lain.1
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.1

3.2.2. Etiologi
HIV merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi
sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel
darah putih spesifik yang disebut limfosit T CD4. Virus ini
diklasifikasikan ke dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae,
genus Lentivirus.6
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara
darah, semen dan sekret vagina. Setelah memasuki tubuh manusia, maka
target utama HIV adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan mengubah informasi
genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik
dari sel yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid)
menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse
transcriptase. DNA pro-virus tersebut kemudian diintregasikan ke dalam
sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus.
Setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik
virus juga ikut diturunkan. Human Immunodeficiency Virus menyerang
CD4 baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung,
sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T.
Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul
gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4 yang kemudian akan
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen. Hilangnya
fungsi CD4 menyebabkan gangguan imunologis yang progresif.6

3.2.3. Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang
mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual
maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi
komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang
dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggiterhadap HIV/AIDS
misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya,
serta narapidana.1
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang
ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari
kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin
meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan
tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
Sampai dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya.
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai
130.000 orang.1
Sebuah survey yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun
menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang
terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari
8,38% pada tahun 2000. Sementara itu survey yang dilakukan pada tahun
2000 menunjukkan angka infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan
PSK di Merauke, yaitu 5-26,5%, 3,36% di Jakarta Utara, dan 5,5% di Jawa
Barat.1
3.2.4. Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang
progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit
CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-
presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus
dideteksi pada kelenjar getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi.
Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat
dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampi 14 hari setelah
inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah
sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan
dengan puncak anti genemiap 26 SIV.
Jumlah sel yang mengekspresikan virus dijaringan limfoid kemudian
menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan
responsimun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah
peningkatan sel limfosit CDS. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan
bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap
replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan 'steady-state' beberapa
bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa
tahun, namun lamanya sangat bervariasi.
Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan
demikan juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu adalah heterogenitas
kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu. Antibodi
muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara
umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun
sampai ke level 'steady- state'. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki
aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksivirus, namun ternyata tidak
dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh
antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk
kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3
dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak
dapat terjadi.

3.2.5. Patofisiologi
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis,
sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV
akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam,
nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau
batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat
cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya
lambat (non-progressor).
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, yaitu
secara vertikal, horizontal, dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai
sirkulasi sistemik secara langsung dengan di perantarai benda tajam yang
mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung
melalui kulit dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjadi pada kontak
seksual. Begitu mencapai atau berada kala sirkulasi sistemik, 4-11 hari
sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam
sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi
virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri
otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk pilek dan lain-lain. Keadaan ini
disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini mulai terjadi penurunan CD4
dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load akan meningkat dengan
cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai pada suatu titik
tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan
cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan
hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju
penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum
akhirnya jatuh ke stadium AIDS.
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel
yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan
reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke dalam sel target, gp120 HIV perlu
berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada
permukaan limfosit T, monosit-makrofag, Langerhan’s, sel dendrit,
astrosit, mikroglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan
chemokine receptor yaitu CXCR4 dan CCR5, beberapa reseptor lain yang
memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Intensitas ikatan gp120 HIV
dengan reseptor CD4 ditentukan melalui peran regio V terutama V3.
Stabilitas dan potensi ikatan di perkuat oleh ko-reseptor CCR5 dan
CXCR4. Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan
diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membran HIV
dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi
kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse
transcriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk
dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA).
Enzim reverse transkriptase akan menggunakan RNA sebagai
template untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA di pindahkan oleh
ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi
sehingga menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus.
Provirus masuk ke dalam nukleus, menyatu dengan kromosom sel host
dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan
provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi.
Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk
mengaktifkan provirus dari keadaan laten tersebut memerlukan proses
aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi oleh induktor seperti
antigen, sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor kB
(NF-kB) sehingga menjadi aktif dan berikatan 5’LTR (long terminal
repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen
pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NFxB menginduksi replikasi
DNA. Induktor nulear factor kB (NF-kB) sehingga cepat memicu replikasi
HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang
memicu infeksi sekunder dan memperngaruhi jalannya replikasi adalah
bakteri, jamur, virus maupun protozoa. Dari keempat golongan
mikroorganisme tersebut yang paling besar pengaruhnya terhadap
percepatan replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama adalah virus
DNA.
Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara
struktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari
nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida.
Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti
beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada
permukaan sel host, kemudian polipeptida di pecah oleh enzim protease
menjadi protein dan enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh
kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus
baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar dari
sel, akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari, HIV mampu
melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.
Gambar 1. Siklus hidup HIV

Secara perlahan tetapi pasti, limfosit T penderita akan tertekan dan


semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV
mengalami penurunan jumlah limfosit T CD4 melalui beberapa
mekanisme sebagai berikut:
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran
plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan virion, akumulasi
DNA virus yang tidak berintegritasi dengan nukleus, dan terjadinya
gangguan sintesis makromulekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadinya fusi antarmembran sel yang
terinfeksi HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.
3. Respon imun humoral dan seluler terhadap HIV ikut berperan
melenyapkan virus dan sel yang terinfeksi virus. Namun respon ini
bisa menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang
terinfeksi dan sel normal di sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang
berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi.
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis) peningkatan antara gp120
di regio V3 dengan reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal
pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis.
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperreaktivitas Hsp70 sehingga
fungsi sitoproteksif, pengaturan irama dan waktu folding protein
terganggu, terjadi missfolding dan denaturasi protein, jejas dan
kematian sel.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebu terjadi penurunan


jumlah limfosit T CD4 secara dramatis dari normal berkisar 600-
1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme
tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan
individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke
stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya
keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

3.2.6. Diagnosis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap
odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar
mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien
memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana
selanjutnya.
Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi
oportunistik atau kanker yang terkait dengan AIDS, seperti sarkoma
Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma serviks invasif. Di RS Dr.
Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan
pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat
badan, sariawan, dan diare.

3.2.7. Tes HIV


Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah
seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV
gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya.
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksan
serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan
untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam
tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen,
dan deteksi materi genetik dalam darah pasien.
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan
terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik
ELISA (enzyme linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot
immuno binding assay. Metode yang biasanya digunakandi Indonesia
adalah dengan ELISA.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan testerhadap antibodi
HIV ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak
tubuh terinfeksi HIVsampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi
dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah
infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang
sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif.
Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu
dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.
World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah
satu dari 3 strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV di bawah ini,
tergantung pada tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien.
Tujuan Pemeriksaaan Prevelansi Strategi
Infeksi Pemeriksaan
Keamanan Semua I
tranfusi/ Prevalensi
transplantasi
Surveilans ≥10% I
≤10% II
Diagnosis Terdapat gejala ≥30% I
klinis infeksi HIV ≤30% II
Tanpa gejala klinis ≥10% II
HIV ≤10% III

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya Strategi I, hanya


dilakukan 1 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka
dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-
reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV.Reagensia yang dipakai untuk
pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (>
99%).
Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada
pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan
pertama hasilnya non-reaktif, maka dilaporkan hasil tesnya negatif.
Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi
dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta
berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan
pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan
sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah
non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2 metode. Bila
hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate.
Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan
pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien
tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama,
misalnya hasil tes pertama reaktif, kedua reaktif dan ketiga nonreaktif atau
pertama reaktif, kedua dan ketiga nonreaktif,maka keadaan ini disebut
sebagai equivocal atau Indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki
riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV.
Sedangkan bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang
tanpa riwayat pemaparan terhadap HIVatau tidak berisiko tertular HIV,
maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. Perlu diperhatikan
juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal
antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifisitas yang lebih tinggi.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif,
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini
adalah tehnik Western Blot (WB). Seseorang yang ingin menjalani tes
HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan konseling pra tes. Hal
ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi yang sejelas-jelasnya
mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang
terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnyananti.
Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling pra tes karena orang
yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya. Untuk memberitahu hasil tes
juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif maupun negatif.
Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk
memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika
hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan
informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.

Tabel 1. Kriteria Interpretasi Tes Anti-HIV dan Tindak Lanjutnya


Hasil Tes Kriteria Tindak Lanjut
Positif Bila hasil A1 Rujuk ke Pengobatan HIV
reaktif, A2
reaktif dan A3
reaktif
Negatif • Bila hasil A1 • Bila tidak memiliki perilaku berisiko,
nonReaktif dianjurkan perilaku hidup sehat
• Bila hasil A1 • Bila berisiko, dianjurkan pemeriksaan
reaktif tapi pada ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan
pengulangan A1 12 bulan dari pemeriksaan pertama
dan A2 non- sampai satu tahun
reaktif
• Bila salah satu
reaktif tapi tidak
berisiko
Indeterminat • Bila dua hasil • Tes perlu diulang dengan spesimen
e tes reaktif baru minimal setelah dua minggu dari
• Bila hanya 1 pemeriksaanyang pertama.
tes reaktif tapi • Bila hasil tetap indeterminate,
mempunyai dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR.
risiko atau • Bila sarana pemeriksaan PCR tidak
pasangan memungkinkan, rapid tes diulang 3
berisiko bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari
pemeriksaan yang pertama. Bila
sampai satu tahun hasil tetap
“indeterminate” dan faktor risiko
rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai
negative

3.2.8. Klasifikasi Imunodefisiensi


CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. Jika
digunakan bersamaan dengan penilaian klinis, CD4 dapat menjadi
petunjuk dini progresivitas penyakit karena jumlah CD4 menurun lebih
dahulu dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4 dapat digunakan
untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Jumlah CD4 dapat
berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya. Bila
mungkin harus ada 2 kali hasil pemeriksaan CD4 di ambang batas sebelum
ARV dimulai.

Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4


Jumlah CD 4 menurut Umur
< 11 bulan 12-35 bulan 36-59 > 5 tahun -
Imunodefisiensi (%) (%) bulan dewasa
(%) (sel/mm3)

Tidak ada > 35 > 30 > 25 > 500


Ringan 30 – 35 25 – 30 20 – 25 350−499
Sedang 25 – 30 20−25 15−20 200−349
Berat <25 <20 <15 <200 atau
<15%

3.2.9. Stadium Klinis Menurut WHO


Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4
Berat Tidak ada Penurunan Penurunan BB Sindroma wasting
Badan penurunan BB BB 5-10% > HIV
10%
Gejala Tidak ada •Luka di •Kandidiasis •Kandidiasis
gejala sekitar oral esophageal
atau hanya : bibir (keilitis atau vaginal • Herpes simpleks
Limfadenopat angularis) • Oral hairy ulseratif lebih dari
i • Ruam kulit leukoplakia satu
generalisata yang • Diare, demam bulan
persisten gatal yang tidak • Limfoma
(seboroik diketahui • Sarkoma kaposi
atau prurigo) penyebabnya • Kanker serviks
• Herpes lebih dari satu invasif
zoster bulan • Retinitis
dalam 5 •Infeksi Cytomegalovirus
tahun bakterial •Pneumonia
terakhir yang berat pnemosistis
• ISPA (pneumoni, • TB ekstra-paru
berulang, piomiositis, dll) • Abses otak
misalnya • TB paru toksoplasmosis
sinusitis atau dalam • Meningitis
otitis satu tahun kriptokokus
• Ulkus terakhir • Encefalopati HIV
mulut • TB • Gangguan fungsi
berulang limfadenopati neurologis dan
• Gingivitis/ tidak
periodontitis oleh penyebab lain,
ulseratif sering kali
nekrotika akut membaik
dengan ART
3.2.10. Gejala Klinis Infeksi HIV
Pembesaran kelenjar getah bening Persistent generalized lymphadenopathy
Penurunan berat badan yang tidak Wasting syndrome
bisa dijelaskan
Infeksi saluran napas atas berulang Tonsilitis, sinusitis, otitis media, faringitis
Kelainan kulit Herpes zoster, papular pruritic eruptions,
dermatitis seboroik
Keluhan di rongga mulut dan saluran Angular cheilitis, sariawan atau ulserasi di
makan atas rongga mulut, adanya jamur
mulut yang menetap, oral hairy leucoplakia,
candidiasis
Keluhan di gigi geligi Ulserative stomatitis, gingivitis atau
periodontitis
Infeksi jamur di kuku
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam berkepanjangan Fever of unknown origin
Nafsu makan menurun
Gejala infeksi tuberkulosis paru dan
ekstra paru
Infeksi berat Pneumonia, empiema, meningitis, pelvic
inflammatory disease
Kelainan darah Anemia yang tidak jelas sebabnya,
trombositopenia yang bersifat kronis
Jamur paru Pneumonia jirovecii
Infeksi menular seksual Herpes simpleks, sifilis
Sarkoma kaposi
Infeksi jmur sistemik Histoplasmosis
Gangguan penglihatan Infeksi sitomegalovirus
Infeksi di intrakranial Limfoma, meningitis, toxoplasmosis,
ensefalopathy HIV
Kebas atau kesemutan pada tangan
dan kaki
Kelemahan otot

Pemeriksaan Fisik
3.2.11. Tatalaksana
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu
a) pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV), b) pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit
infeksi dan kanker yang menyertai, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, c) terapi suportif,
yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dna
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama
karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV
direkomendasikan pada semua pasien yang memiliki HIV +, telah
menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau
menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit
CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien dengan limfosit CD4
kurang dari 350 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+
200-350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV
dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan
dimulai pada pasien dengan CD4+ lebih dari 350 sel/mm 3 dan viral load
kurang dari 100.000 kopi/ml.
Obat ARV yang beredar di Indonesia, yaitu:
Nama Nama
Gol. Sediaan Dosis (per hari)
Dagang Generik
Duviral Tablet : zidovudin 2x1 tablet
300mg, lamivudin
150 mg
Stavir Stavudin NsRTI Kapsul : 30 mg, > 60 kg 2x40 mg
Zerit (d4T) 40 mg < 60 kg 2x30 mg
Hiviral Lamivudin NsRTI Tablet 150 mg, 2x150 mg
3TC (3TC) larutan oral 10 < 50 kg: 2mg/kg,
mg/ml 2x/hari
Viramune Nevirapin NsRTI Tablet 200 mg 1x200 mg selama 14
Neviral (NVP) hari, dilanjutkan
2x200 mg
Retrovir Zidovudin NsRTI Kapsul 100 mg 2x300 mg, atau
Adovi (ZDV, 2x250 mg
Avirzid AZT) (alternatif)
Videx Didanosin NsRTI Tablet kunyah : > 60 kg: 2x200 mg
(ddl) 100 mg atau 1x400 mg
< 60 kg: 2x125 mg
atau 1x250 mg
Stocrin Efavirenz NNRTI Kapsul 200 mg 1x600 mg, malam
(EFV,
EFZ)
Viracept Nelfinavir PI Tablet 250 mg 2x1250 mg

Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah


kombinasi dari 3 obat ARV.
Kolom A Kolom B
lamivudin + zidovudin Evafirenz
lamivudin + didanosin
lamivudin + stavudin
lamivudin + zidovudin Nevirapin
lamivudin + stavudin
lamivudin + didanosin
lamivudin + zidovudin Nellfinavir
lamivudin + stavudin
lamivudin + didanosin
Catatan: kombinasi yang tidak boleh sama sekali adalah
zidovudin+stavudin

Monitoring Pasien
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV perlu dimonitor
perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4 nya setiap 6 bulan sekali.
Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termausk
pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis
perkembangan infeksi HIV. Parameter klinis dan CD4 ini digunakan
untuk mencatat perkembangan stadium klinis WHO pada setiap
kunjungan dan menentukan apakah pasien mulai memenuhi syarta untuk
terapi profilaksis kotrimoksasol atau terapi ARV. Evaluasi klinis dan
jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekato ambang
dan syarta memulai terapi ARV.

Pasien dalam terapi ARV


Monitoring klinis.
Frekuensi monitoring klinis tergantung dari respons dari terapi ARV.
Monitoring klinis perlu dilakukan pada minggu 2,3,8,12,24 minggu sejak
memulai terapi ARV.
Rekomendasi pemeriksaan laboratorium untuk memonitor pasien dalam
terapi ARV
Tahap terapi ARV Tes yang Tes yang
direkomendasikan dianjurkan
Pada saat diagnosis HIV CD4 HbsAG
Sebelum memulai ARV CD4
Pada saat memulai ARV CD4 Hb untuk AZT,
keratinin klirens
untuk TDF, SGPT
untuk NVP
Pada saat menjalani ARV CD4 Hb untuk AZT,
keratinin klirens
untuk TDF, SGPT
untuk NVP
Pada saat kegagalan klinis CD4 Viral load
Pada saat kegagalan Viral load
imunologis
Wanita yang menjalani Viral load enam
PMTCT dengan NVP dosis bulan setelah
tunggal dengan lanjutan memulai terapi
dalam 12 bulan ARV

Monitoring lain
Monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau lebih
sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC= total
lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk digunakan memonitor
terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk
memprediksi keberhasilan terapi.
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis
dan penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan
klinis dan imonologi kea rah yang lebih baik, akan tetapi hal tersebut
tidak terjadi dan atau terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi
suatu sindrom pulih imun dimana pasien sepertinya mengalami
perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu keadaan pemulihan
respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan)

3.2.12. Infeksi Oportunistik HIV


Candidiasis
Anamnesis :
 Kandidiasis orofaring : rasa terbakar, gangguan mengecap, sulit
menelan.
 Kandidiasi Esofagus : disfagia, odinofagia, nyeri retrosternal, nyeri
sumbatan di kerongkongan.
 Kandidiasis vulvovagina : gatal, keputihan, kemerahan di vagina,
dispareunia, disuria, pembengkakan vulva dan labia, gejala
memburuk seminggu sebelum menstruasi.
 Kandidiasis kulit : gatal dan kemerahan.
Pemeriksaaan Fisik :
 Plak putih 1-2 cm atau lebih di mukosa mulut. Jika dilepaskan akan
meninggalkan bercak merah atau perdarahan.
 Plak kemerahan halus di palatum, mukosa bukal atau permukaan
dorsal lidah.
 Kemerahan, fisura, atau keretakan di sudut bibir.
 Inflamasi vulvolabia, dan tubuh berwarna outih kekuningan, lesi
pustulopapuler diskrit.
 Maserasi kulit, paronikia, balanitits, lesi pustular diskrit pada kulit.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan spesimen jaringan/ sekret dengan KOH, Endoskopi.
Diagnosis Banding
 Kandidiasis orofaring : liken planus, karsinoma sel squamosa,
leukoplakia, aspergilosis invasif, mukormikosis, blastomikosis,
histoplasmosis.
 Kandidiasis esofagus : esofagitis radiasi, GERD, infeksi CMV,
esofagitis herpes simpleks.
 Kandidiasi vulvovagina : tikomoniasis, vaginosis bakterialis.
 Kandidiasis kulit : eritroderma, infeksi jamur lainnya.
Tatalaksana
 Kandidiasis orofaring:
Terapi pilihan:
 Nistatin drop 4 - 5x kumur 500.000 U hingga lesi hilang (10 -
14hari)
 Flukonazol oral lx100 mg selama 10 - 14hari
Terapi alternatif:
 Itrakonazol suspensi 200mg/hari saat perut kosong
 Amfoterisin B iv 0,3mg/kgBB
 Kandidiasis esofagus:
Terapi pilihan:
 Flukonazol oral 200mg/hari hingga 800 mg/hari selama 14 -
2lhari
 Itrakonazol suspensi 200mg/hari selama 14 - 21 hari
Terapi alternatif: Amfoterisin B iv 0,3 mg/kgBB
 Kandidiasis vulvovagina:
Terapi pilihan:
 Klotrimazol krim 1% 5mg/hari selama 3 hari atau tablet
vagin
 Mikonazolkrim 20% 5mg/hari selama/hari Tiokonazol krim
0,5%5mg/hari selama 3 hari
Terapi alternatif:
 Flukonazol oral 1x150 mg tunggal
 Itrakonazol oral 1- 2x 200 mg selama 3 hari
 Ketokonazol oral 1x200 mg selama 5 -7hari atau 2x200mg
selama 3 hari
 Kandidiasis kulit: Krim atau losio klotrimazol, mikonazol, ekonazol,
ketokonazol, sulkonazol,oksikonazol.

PNEUMOCYSITS PNEUMONIA
Pendekatan Diagnosis
Anamnesis : demam tidak tinggi, batuk kering, nyeri dada retrosternal
(tajam atau seperti terbakar) yang memburuk saat inspirasi, sesak napas
subakut (2 minggu atau lebih).
Pemeriksaan fisik : takipnea, takikardi, sianosis akral, sentral, dan
membran mukosa. Tidak ditemukan ronki pada auskultasi paru.
Pemeriksaan penunjang :
 Rontgen dada : infiltrat interstitial bilateral di daerah perihiler yang
kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan
perjalanan penyakit. Kadang ditemui nodul soliter atau multipel,
infiltrat di lobus bawah, abses, pneumatokel, pneumotoraks .
 CT-Scan : gambaran "ground glass" atau lesi kistik. Peningkatan
LDH (umumnya>220 IU/L).
 Peningkatan gradient oksigen alveolar-arterial (AaDO), pO <70
mmHg padaanalisis gas darah.
 Peningkatan LED >50 mm/jam
 Leukositosis ringan
 Serum (1-3) beta-D-glukan positif
 Pemeriksaan mikroskopik sputum, lavase bronkoalveolar atau
jaringan paru menunjukkan adanya kista Pneumocystis jiroveci.
Diagnosis Banding
Pneumonia bakterialis, pneumonitis interstitial non spesifik
Tatalaksana
Derajat sedang - berat (sesak napas saat istirahat / PaO <70mmHg
dalam udarakamar atau AaDO2 >3SmmHg):
 Rawat inap, oksigen, ventilator bila perlu.
 Kotrimoksazol iv atau trimetoprim oral 15 - 20 mg/kgBB/hari dan 75
– 100mg/kgBB/hari sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari.
 Prednison oral 2x40 mg 5 hari pertama, 1x40 mg 5 hari berikutnya
dilanjurkan 20 mg/hari hingga terapi selesai atau metilprednisolon iv
dosis 75% dosisprednison atau hidrokortison iv dosis awal 4x100mg.
Alternatif: primakuin 30mg/hari + klindamisin 3x600 mg atau
pentamidin 4mg/kgBB/hari.
Derajat ringan - sedang (sesak napas pada latihan, PaO >70 mmHg
dalam udara kamar AaDO >35mmHg):
 Trimetoprim oral 15 - 20 mg/ kgBB/hari dan 75 - 100 mg/ kgBB/hari
sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21hari.
Alternatif:
primakuin pral 30mg/ hari + klindamisin 3x600mg/hari atau atovaquone
2x750 mg selama 2l hari.
Repons pengobatan dapat dilihat setelah hari ke-5 sampai ke-7.

KRIPTOKOKOSIS
(Infeksi Oleh CRYPTOCOCCUS NEOFORMANS)
Pendekatan Diagnosis
Anamnesis
 Meningitis kriptokokus: gejala prodromal 2 - 4 minggu, mual,
muntah,gangguan kesadaran dan perilaku, sakit kepala.
 Kriptokokosis paru: Demam, batuk dengan sputum tidak terlalu
produktif.
Pemeriksaan Fisik
 Meningitis kriptokokus: kaku kuduk, edema papil, parese.
 Pada infeksi C.neoformans juga dapat ditemukan lesi kulit yaitu
kelainan serupa akne, papul, vesikel, nodul, tumor, abses, ulkus dan
granuloma.
 Kriptokokosis juga dapat terjadi pada mata dan menimbulkan
konjungtivitis, korioretinitis, endoftalmitis, kebutaan.
Pemeriksaan penunjang
 CT scan /MRI otak : hidrosefalus, edema difus, atrofi, penyangatan
meningen dan pleksus koroideus.
 Isolasi jamur (pewarnaan tinta India) dari darah, cairan
serebrospinal, urin, cairan pleura, sputum, bilasan bronkus, lesi kulit.
 Histopatologi.
 Serologi antigen C.neoformans.
Diagnosis Banding
Tuberkulosis, tuberkuloma, sifilis sistem saraf pusat
Tatalaksana
Meningitis kriptokokus
 Menurunkan tekanan intrakranial/ TIK hingga <200mmHg dengan :
punksi lumbal bila TIK >250 mmHg), pemasangan drain lumbal
(bila TIK > 400mmHg), VP shunt (bila kedua terapi di atas gagal).
 Anti jamur pilihan pertama:
 Induksi : amfoterisin B iv 0,7 - 1mg/kgBB/hari dan S-
fluorositosin oral100 mg/ kgBB/hari selama 2 minggu.
 Konsolidasi : flukonazol oral 400 mg/hari selama 8 minggu
atau hingga cairan serebrospinal steril.
 Pilihan kedua:
 Induksi: amfoterisin B iv 0,7 - 1mg/kgBB/hari selama 2
minggu.
 Konsolidasi: flukonazol oral400 mg/hariselama 10 minggu
atau hingga cairan serebrospinal steril.
 Pilihan ketiga : Flukonazol oral 400 - 800mg/ hari dan fluorositosin
oral 100 mg/kgBB/hari selama 6-10minggu
Kriptokokosis paru, kriptokokosis diseminata dan antigenemia :
Flukonazol 200-400mg/hari secara oral hingga nilai CD4 >200 sel/pL.

Komplikasi
Kematian, komplikasi sesuai organ yang terlibat, komplikasi akibat
pengobatan.

Prognosis
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, namun jika kekebalan
tubuhtetap rendah, infeksi oportunistik dapat kambuh kembali atau juga
timbul infeksi oportunistik yang lain.

3.2. Sepsis
3.2.1. Definisi
Sepsis adalah sebuah keadaan yang mengancam jiwa karena adanya
disfungsi organ yang disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap
infeksi. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan pada
pedoman sepsis tahun 2012 yang merupakan sebuah sindroma respons
inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome) ditambah
tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif dari
tempat tersebut). Definisi baru ini menitik beratkan pada 3 komponen
penting pada sepsis, yaitu adanya infeksi, adanya regulasi abnormal respon
host terhadap infeksi, dan menghasilkan disfungsi sistem organ sebagai
hasil dari respon host.3
Perubahan yang paling signifikan pada definisi baru ini adalah
hilangnya kondisi yang mendefinisikan adanya systemic inflammatory
response system (SIRS). Kriteria SIRS termasuk suhu tubuh >38 oC atau
<36oC ; denyut jantung > 90 denyut/menit, respirasi >20/menit atau Pa
CO2 <32mmHg, dan jumlah hitung leukosit > 12.000/mm 3 atau > 10% sel
imatur (band). Perubahan definisi ini dipertimbangkan karena 2 kriteria
SIRS dainggap tidak memberikan penilian yang tepat antara mereka yang
menderita sepsis dan respon fisiologis yang tepat untuk unfeksi. Namuan,
banyak pasien dengan 2 atau lebih kriteria SIRS tidak pernah berkembang
menjadi sebuah infeksi maupun sepsis. Oleh karena itu adanya kriteria
SIRS telah dihapus dari definisi. Dan sebagai tambahan sepsis para (yang
sebelumnya didefinisikan sebagai sepsis yang bersamaan dengan sepsis
yang berhubungan dengan disfungsi organ) telah dihapus dari pedoman,
dan berlaku pada definisi sepsis mulai tahun 2016. Perubahan ini
memfokuskan pada disfungsi organ sebagai komponen penting pada
diagnosis sepis.3,4

3.2.2. Epidemiologi
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di
Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis.
Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika
Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk
untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir
empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240
kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika
Serikat.8
Di Amerika Serikat dilaporkan 1.500.000 orang terkena sepsis tiap
tahun dan sekitar 250.000 orang meninggal karena sepsis tiap tahunnya.
Dilaporkan 1 dari 3 pasien yang meninggal di rumah sakit disebabkan oleh
sepsis.
Di benua Asia, penelitian pada tahun 2009 di 150 ruang perawatan
intensif pada 16 negara (termasuk Indonesia) menunjukkan sepsis berat
dan renjatan sepsis merupakan 10,9% diagnosis perawatan intensif dengan
angka kematian mencapai 44,5%. Pengamatan 1 bulan pada tahun 2012 di
ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
menunjukkan sepsis berat dan renjatan sepsis ditemukan pada 23 dari 84
kasus perawatan intensif, dengan angka kematian dalam perawatan
mencapai 47,8% dan angka kematian pada fase dini mencapai 34,7%. Data
Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSCM menunjukkan jumlah pasien yang dirawat dengan diagnosis sepsis
sebesar 10,3 % dari keseluruhan pasien yang dirawat di ruang rawat
penyakit dalam. Renjatan sepsis merupakan penyebab kematian tertinggi
selama 3 tahun berturut-turut (2009-2011), yaitu pada 49% kasus kematian
pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 55% pada tahun 2011.

3.2.3. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa
adalah bakteri gram (-) dengan persentase 60-70%. Bakteri seperti
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia.
Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks
antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus
syok sepsis. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat
hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif
atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme
campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal,
atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah
infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses
oleh kultur.
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya
populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat
bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di
antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid
atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan
ventilasi mekanis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan
sepsis yaitu:
 Infeksi paru-paru (pneumonia)
 Flu (influenza)
 Appendiksitis
 Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
 Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus
urinarius)
 Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
 Infeksi pasca operasi
 Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi.
Faktor risiko lain diantaranya, bertambahnya usia berkaitan dengan usia
pasien yang lebuh tua atau lebih dari 65 tahun memiliki kemungkinan 13
kali lebih besar berkembang menjadi sepsis dan dua kali lipat lebih tinggi
terjadinya kematian karena adanya sepsis olah karena ras, jenis kelamin,
adanya kondisi komorbid, dan keparahan penyakit. Tambahan lainnya
berupa malnutrisi, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, operasi terakhir
atau perawatan di rumah sakit, dan pemakaian kateter atau alat bantu
lainnya.
1. Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih
baik dibandingkan usia tua. Orang kulit hitam memiliki kemungkinan
peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif
mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45
sampai 54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian
Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang
Asia lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan dengan
sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa
dewasa dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin
dibandingkan kulit putih untuk meninggal karena penyebab yang
berhubungan dengan sepsis di semua kelompok umur.
2. Jenis kelamin
Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang
berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua
kelompok ras / etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami
kematian terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali
lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska
Pribumi kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan
sepsis hanya 7%.
3. Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit
hitam dan terendah di antara orang Asia.
4. Penyakit komorbid
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan
tubuh (gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan
alkohol) lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih, dan
komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang
lebih berat.
5. Genetik
Polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding
protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki
berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis
dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak
menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran imunomodulator
penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes
genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang
tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif.
6. Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan
kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi
berhubungan dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri
piogenik merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid
kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti
Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang
dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi
mengakibatkan sepsis.

7. Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat
membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh
cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima
kemoterapi 17 beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah
putih mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh
terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum
setelah menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap
infeksi dapat menjadi serius dengan cepat.
8. Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang,
Russell Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap
stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian sepsis di
masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa
depan yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian
Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif pada
mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini
berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan
diabetes.

3.2.4. Patogenesis
Sepsis memiliki patogenesis yang rumit. Pada sebuah seminar pada
1986 dimana menunjukkan sitokin tumour necrosis factor (TNF) dapat
menggantikan banyak keadaan patologis dan temuan klinis pada sepses.
Diketahui bahwa banyak bakteri dan produk patogen dapat mempengaruhi
produksi TNF, hal itu membuktikan bahwa respon host pda infeksi
berperan sebagai peran penting dalam patogenesis pada kondisi ini, seperti
yang telah diamati oleh Lewis Thomas pada 1972. Sejak itu, beberapa
penelitian lain telah menunjukkan hubungan yang kompleks dari sitokin
yang berperan penting dalam memediasi banyak dampak sepsis. Lebih
lanjut, meskipun jalur proinflamatori awal sangat pentung, jalur anti-
inflamatori juga diaktifkan dan dapat menurunkan regulasi respon korektif
selanjutnya pada keadaan sepsis. Sebagai tambahan pada protein dan
mediator peptida, ada juga sejumlah mediator lain yang berperan,
termasuk prostanoid, platelete activating factor, dan endogenous damage-
associated molecular patterns (DAMPS) yang dihasilkan dari sel yang
terluka, seperti ATP dan kelompok protein mobilitas tinggi. Untuk
menyederhanakan, diketahui ada 4 hal penting yang terjadi pada sepsis.
1. Disfungsi endotelial
aktivasi endotelial secara umum meningkatkan ekspresi adhesin
leukosit, dengan peningkatan leukosit yang berpindah ke jaringan.
Permeabilitas endotelium juga meningkat, pada paru dapat
memunculkan adanya edema pulomonal interstitial dan pada usus
menungkatkan translokasi bakterial, yang berpotensi memperburuk
kaskade inflamasi yang telah dimulai oleh produk mikrobial.
2. Koagulopati
Perubahan koagulopati merupakan keadaan umum pada sepsis.
Kerusakan endotelial mengubah fungsi protektif jalur antikoagulan
protein C alami dan mengubah endotelium pada permukaan
prothrombotik. Sebagai tambahan, produk bakteri dan sitokin
inflamasi mengaktifkan faktor jaringan, pemulai utama pada jalur
ekstrinsik koagulasi darah. Protrombotik ini dapat mengawali adanya
hambatan mikrovaskulatur, serta meningkatkan konsumsi koagulopati
(koagulasi yang disebarkan intravaskular). Produk gram positif juga
dapat secara langsung mengaktifkan sistem pembekuan.
3. Disfungsi seluler
Salah satu teka-teki di lapangan adalah bahwa bahkan dalam kasus
sepsis mematikan yang paling parah, penelitian otopsi menunjukkan
sedikit bukti kematian sel, meskipun disfungsi organ meluas. Dasar
molekuler ini masih belum jelas, meskipun pengurangan umum dalam
pengeluaran energi oleh sel menunjukkan beberapa jenis proses
seperti hibernasi. Seiring dengan perubahan dalam fungsi seluler
banyak perubahan metabolik, terutama peningkatan katabolisme,
resistensi insulin dan hiperglikemia
4. Disfungsi kardiovaskular
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan sepsis
mengalami penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (SVR)
dengan keluaran jantung yang normal atau meningkat, yang disebut
sebagai 'hyperdynamic' kondisi sepsis. Curah jantung dipertahankan
dengan mengorbankan pelebaran ventrikel kiri, dengan pengurangan
fraksi ejeksi dan indeks kerja stroke ventrikel kiri sebagai respons
terhadap peningkatan volume diastolik akhir ventrikel kiri. Perubahan
ini dapat menyebabkan hipotensi yang menjadi ciri syok sepsis.
Perubahan SVR mungkin sebagian besar dimediasi oleh kelebihan
produksi oksida nitrat vasodilator dalam pembuluh darah, yang dapat
sulit untuk dikoreksi dengan vasopressor. Perfusi jaringan yang buruk
juga kemungkinan mendasari peningkatan laktat yang terlihat pada
syok sepsis, meskipun mekanisme lain dimungkinkan.

3.2.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pada sepsis tidak didefinisikan oleh sebuah
alogaritma yang dapat diterima secara luas. Kemudahan akses untuk
membedakan data klinis, temuan pada pasien, dan pengalaman menangani
pasien sepsis diperlukan untuk memastikan bahwa sepsis tersebut.
Terdapat kurangnya spesifitas pada beberapa variabel dan variabel waktu
selama proses minculnya kriteria klinis.

Berikut ini adalah variabel klinis yang berhubungan terhadap keadaan


dan diagnosis sepsis :
Variabel klinis Penanda
Tanda infeksi Suhu : demam atau hipertermia
WBC : leukositosis atau leukopenia atau
bandemia
Peningkatan CRP
Penilaian sugestif adanya infeksi
Hasil radiografi yang menandakan adanya infeksi
Infeksi yang diketahui ataupun hasil
mikrobiologis positif
Penanda adanya Takikardi
stress fisiologis Takipneu atau respirasi alkalosis
atau disfungsi Hipotensi
organ Acute Lung Injury: hipoksemi arterial
Hiperglikemia atau hipogikemia
Perubahan status mental
Koagulopati : peningkatan PT atau PTT atau
trombositopeni
Ileus
Disfungsi hepatis : hiperbilirubinemia,
transaminitsi
Asidosis metabolik
Hiperlaktasemia
Pengurangan CRT atau mottling

3.2.6. Diagnosis
Diagnosis syok sepsis meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram
dari buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme.
Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain,
abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan
apus untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung
trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen
serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion
harus dilakukan. Anak yang menderita harus dirawat di ruang rawat
intensif yang mampu melakukan pemantauan secara intensif serta kontinu
diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac output. pada tahun
2016 the European Society of Intensive Care Medicine dan SCCM
merumuskan kriteria baru diagnosis sepsis yang didasarkan pada
perubahan definisi sepsis yang menekankan pada terjadinya disfungsi
organ pada seorang yang terinfeksi. Sistem skor Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) digunakan sebagai cara penilaian disfungsi organ.
Penambahan akut dua atau lebih nilai SOFA sebagai akibat infeksi
digunakan sebagai dasar diagnosis sepsis. Kelompok ahli juga mengajukan
kriteria baru yang dapat digunakan sebagai penapis pasien sepsis yang
dikenal dengan istilah quick SOFA (qSOFA). Tiga kriteria qSOFA adalah
laju napas lebih dari sama dengan 22 napas/menit, perubahan kesadaran,
tekanan darah sistolik kurang dari sama dengan 100 mmHg.
Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk
mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau
hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda-
tanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak
dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok
sepsis, yaitu curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik
yang rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium,
faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis.

Gambar 2. SOFA Score

3.2.7. Laboratorium
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik,
trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin
parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin
split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan
morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan
leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle
cenderung menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda
kurang baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan
serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal
meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum
terjadi suatu respons inflamasi.

Tabel 3. Hasil temuan pemeriksaan laboratorium pada pasien sepsis


Tes laboratorium Temuan Keterangan
Hitung sel darah Leukositosis atau Endotoksemia dapat
putih leukopenia menyebabkan early
leukopenia
Hitung platelet Trombositosis atau Nilai tinggi awal dapat
trombositopenia dilihat sebagai respon
fase akut, jumlah
trombosit yang rendah
terlihat pada DIC
Coagulation Defisiensi Protein C; Kelainan dapat diamati
cascade defisiensi antitrombin; sebelum timbulnya
level D-dimer kegagalan organ dan
meningkat; PT tanpa perdarahan yang
(Prothrombin Time) jelas.
dan PTT (Partial
Thromboplastin Time)
memanjang
Level kreatinin Meningkat Doubling-menandakan
cedera ginjal akut
Level asam laktat Lactic acid > 4 mmol/L Mengindikasikan
(36 mg/dL) hipoksia jaringan
Level enzim hepar Level alkaline Mengindikasikan cedera
phosphatase, AST, hepatoseluler akut yang
ALT, bilirubin disebabkan hipoperfusi
meningkat
Level serum fosfat Hipofosfatemia Berkorelasi terbalik
dengan tingkat sitokin
proinflamasi
Level C-reactive Meningkat Respons fase akut
protein (CRP)
Level Meningkat Membedakan SIRS
prokalsitonin yang infeksius dari
SIRS yang non-
infeksius

3.2.8. Target Terapi Dini (Early Goal Therapy)


Sepsis berat dapat muncul dengan kegagalan multi-organ dan kolaps
pernapasan. Prioritas pertama pada setiap pasien dengan suspek sepsis
berat adalah penilaian jalan nafas dan kecukupan pernapasan mereka,
diikuti dengan evaluasi perfusi ujung-organ.
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman
oksigen jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar
laktat arteri. Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan
hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan
darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi
sebagai berikut :
 Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
 Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
 Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
 Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik,
dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).

3.2.9. Terapi Hemodinamik Sepsis


1. Terapi cairan
Resusitasi cairan intravena (20-40 ml / kg) umumnya dianjurkan
pada setiap pasien dengan kecurigaan sepsis yang menyebabkan
hipotensi atau peningkatan laktat serum. Pemilihan komposisi kristaloid
atau koloid telah menjadi kontroversi. Sementara analisis subkelompok
dari Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE) studi
menyarankan bahwa resusitasi dengan 4% albumin (koloid) dapat
mengurangi kematian pada pasien dengan sepsis berat, penelitian lebih
lanjut termasuk meta-analisis baru-baru ini belum mendukung temuan
ini. Koloid hidroksietil pati (HES) meningkatkan tingkat cedera ginjal
akut bila dibandingkan dengan salin normal dan meningkatkan
mortalitas bila dibandingkan dengan kristaloid seimbang, 6 dan
Administrasi Makanan dan Obat AS menyarankan bahwa solusi HES
tidak boleh digunakan pada pasien sakit kritis. Koloid berbasis gelatin
belum dievaluasi secara ketat dalam uji multisenter acak terkontrol.
2. Terapi vasopressor
Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure
dan organ perfusion adekuat). Vasopressor sering digunakan untuk
mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP) minimal 65 mmHg
pada pasien hipotensi terus menerus setelah resusitasi intravena.
Meskipun agen yang berbeda memiliki keuntungan teoritis, tidak ada
bukti bahwa salah satu agen vasoaktif memberikan manfaat
kelangsungan hidup di atas yang lain.
Lebih lanjut, tampaknya tidak ada manfaat dari target MAP yang
lebih tinggi (80-85 mmHg), kecuali di antara pasien dengan hipertensi
kronis. Noradrenalin (norepinefrin) secara luas digunakan dalam syok
sepsis distributif karena sebagian besar lphadadrenoseptornya agonis
dan efek vasokonstriksi. Defisiensi vasopresin relatif telah diusulkan
dalam mediasi sepsis syok; Namun, penambahan vasopresin belum
terbukti untuk meningkatkan hasil. Sepsis dapat menyebabkan disfungsi
miokard dan mengurangi kontraktilitas, dalam hal ini agen inotropik
seperti dobutamine, adrenalin atau dopamine mungkin tepat, meskipun
ini dapat dikaitkan dengan risiko aritmia jantung yang lebih besar.
3. Terapi inotropik
Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok sepsis
mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai
dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien
mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic:
dobutamine, dopamine, dan epinephrine.

3.2.10. Tatalaksana Infeksi


Terapi antimikroba empiris spektrum luas harus dimulai setelah
mendapatkan spesimen untuk mikroskopi dan kultur termasuk kultur
darah tetapi tanpa menunggu hasil. Studi retrospektif dan observational
menunjukkan perbaikan signifikan dalam mortalitas dengan pengenalan
antibiotik empiris sebelumnya, dan dianjurkan untuk mengatur
setidaknya dalam 1 jam pengakuan sepsis dan hipotensi. Pemilihan agen
antimikroba, termasuk pertimbangan anti jamur, anti agen-virus atau
anti-parasit, harus diarahkan oleh :
 Temuan klinis dengan penambahan pencitraan yang tersedia dengan
cepat, misalnya rontgen dada atau ultrasound perut
 Pengetahuan tentang patogen lokal umum dan profil resistensi
antibiotik mereka
 Pertimbangan kecenderungan potensial pasien terhadap infeksi
tertentu, misalnya paparan organisme multi-resistan, imunosupresi,
operasi baru-baru ini atau perangkat yang tinggal di dalam
Seringkali, lokasi infeksi dan patogen penyebab tidak pasti. Dalam situasi
ini cakupan antibakteri empiris harus mencakup salah satu dari:
 Cephalosporin (generasi ke-3 atau ke-4)
 Gabungan beta-laktam/beta-laktamase (misalnya piperacillin
etazobactam, ticarcillineclavulanate)
 Golongan carbapenem
Pertimbangan khusus harus diberikan untuk paparan atau kolonisasi
Staphylococcus aureus resisten methicillin (MRSA), di mana kasus
vankomisin harus ditambahkan. Dalam kasus dugaan influenza yang
menyebabkan sepsis berat, terapi anti-virus umumnya dimulai secara
empiris sambil menunggu hasil diagnostik, meskipun bukti manfaat
terbatas. Di daerah endemik, infeksi parasit, terutama malaria, juga harus
diobati secara empiris. Pada pasien dengan risiko tinggi untuk penyakit
jamur invasif (misalnya kolonisasi jamur yang diketahui, operasi usus,
kehadiran perangkat invasif, nutrisi parenteral, terapi penggantian ginjal,
ventilasi mekanis, diabetes) harus dipertimbangkan untuk melembagakan
terapi anti-jamur empiris. Triazole (misalnya flukonazol, vorikonazol)
dan echinocandins (misalnya caspofungin, anidulofungin) digunakan
tetapi pemilihan agen akan tergantung pada kemungkinan organisme,
keparahan penyakit dan pola resistensi lokal. Konsultasi dini dengan
dokter penyakit menular disarankan

Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis, antara lain :


1. Pneumonia komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat, yaitu
sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim)
diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).
2. Pneumonia nosokomial : sefipim atau iminemsilastatin dan
aminoglikosida.
3. Infeksi abdomen : imipenem-silastatin atau pipersilintazobaktam
dengan aminoglikosida.
4. Kulit atau jaringa lunak : vankomisin dan imipenemsilastatin atau
piperasilin-tazobaktam.
5. Infeksi traktus urinarius : siprofloksasin dan aminoglikosida.
6. Infeksi CNS : vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau
meropenem.

Penatalaksanaan Syok Sepsis


Penatalaksanaan hipotensi dan syok sepsis merupakan tindakan resusitasi
yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara
intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat
darurat. Tindakan mencakup airway, breathing, circulation, oksigenasi,
terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk
mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-
rata (MAP) >65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai
akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan
ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat
terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard
menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang
rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit
menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh
gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan
gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami
iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya
meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor
oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian
cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan
perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih.
Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari
peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan
isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan
membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda
kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki,
gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai
tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi
albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan
pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada
keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan sepsis.
Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10
g/dl.
3. Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik
teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih
mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis
rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan
sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin
dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit,
fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit.
Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5
mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau
serum bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk
memperbaiki keadaan hemodinamik.
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous
hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan
osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi
digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan
kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat
dilakukan hemodialisis.
6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam
lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin,
diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan
beru diberikan secara parenteral.
7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi
insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat
dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus
intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan sepsis
menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.

3.2.11. Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan atau inflamasi parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Sebagian besar disebabkan oleh
mikroorganisme (virus, bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal
lain (aspirasi, radiasi, dll).
Berbagai infeksi dapat menyebabkan sepsis, namun infeksi pada
saluran respirasi merupakan kondisi yang paling sering menyebabkan
syok sepsis. Mortalitas pneumonia meningkat hingga 40% pada kasus
yang disertai bakteremia dan sepsis. Meskipun belum diteliti lebih jauh,
syok sepsis yang diakibatkan oleh pneumonia memiliki prognosis yang
lebih buruk.5
Penegakan Diagnosis pada Pasien Dewasa
Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan :
 Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C
 Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai
darah
 Sesak napas
 Nyeri dada
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru.
 Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas
 Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit
 Perkusi : redup di bagian yang sakit
 Auskultasi : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial
yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi
ronki basah kasar pada stadium resolusi.
Pemeriksaan Penunjang
 Pewarnaan gram
 Pemeriksaan laboratorium : leukositosis
 Pemeriksaan foto toraks
 Kultur sputum
 Kultur darah
Komplikasi
Efusi pleura, Empiema, Abses paru, Pneumotoraks, gagal napas, sepsis.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat
diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu
keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme
patogen yang spesifik.
1. Pengobatan suportif / simptomatik
o Istirahat di tempat tidur
o Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
o Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun
panas
o Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik yang harus diberikan
kurang dari 8 jam.
Pasien Rawat Jalan
 Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak ada risiko kebal obat ;
o Makrolid: azitromisin, klaritromisin atau eritromisin
(rekomendasi kuat)
o Doksisiklin (rekomendasi lemah)
 Terdapat komorbid seperti penyakit jantung kronik, paru, hati atau
penyakit ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan, kondisi
imunosupresif atau penggunaan obat imunosupresif, antibiotik lebih
dari 3 bulan atau faktor risiko lain infeksi pneumonia :
o Florokuinolon respirasi : moksifloksasisn, gemfloksasin
atau levofloksasin (750 mg) (rekomendasi kuat)
o β-lactam + makrolid : Amoksisilin dosis tinggi (1 gram,
3x1/hari) atau amoksisilin-klavulanat (2 gram, 2x1/hari)
(rekomendasi kuat)
Alternatif obat lainnya termasuk ceftriakson, cefpodoxime dan
cefuroxime (500 mg, 2x1/hari), doksisiklin.
Pasien perawatan, tanpa rawat ICU
 Florokuinolon respirasi (rekomendasi kuat)
 β-laktam+makrolid (rekomendasi kuat)
Agen β-laktam termasuk sefotaksim, seftriakson, dan ampisilin;
ertapenem untuk pasien tertentu; dengan doksisiklin sebagai alternatif
untuk makrolid.
Florokuinolon respirasi sebaiknya digunakan untuk pasien alergi
penisilin.
Pneumonia Berat
Menurut ATS (American Thoracic Society) kriteria pneumonia berat bila
dijumpai salah satu atau lebih kriteria di bawah ini :
a. Kriteria minor:
o Frekuensi napas > 30/menit
o Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
o Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
o Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
o Tekanan sistolik < 90 mmHg
o Tekanan diastolik < 60 mmHg
b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
o Membutuhkan ventilasi mekanik
o Infiltrat bertambah > 50%
o Membutuhkan vasopresor > 4 jam (sepsis syok)
o Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada
penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang
membutuhkan dialisis
Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah
penderita yang mempunyai :
1. Satu dari dua gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi
mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam / syok sepsis) atau
2. Dua dari tiga gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250
mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan
tekanan sistolik < 90 mmHg).

3.2.12. Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi
komplikasi yang mungkin terjadi meliputi :
1. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome)
Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama
pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu
pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan
menurunkan komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi
dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus
sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya
mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral
yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang sepsis yang pada
mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin
memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi
cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi
diaktivasi secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat
yang sama, sistem fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk
mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai
spiral umpan balik dimana kedua sistem 25 diaktifkan secara konstan
dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar
faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan
seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi
akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis
berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
3. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok sepsis,
dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja
langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri
koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan,
yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark
miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan
demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering
menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati
bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus
kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali
fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien
mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang
lama.
5. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama
terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan
sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika
gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi
yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal
(misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6. Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan
untuk mempertahankan homeostasis.
- Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh
infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan
fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
- Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh
respons peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal,
ALI atau ARDS pada keadaan urosepsis.

3.2.13. Prognosis
Pasien yang bertahan sepsis, terlepas dari tingkat keparahannya,
memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi setelah dipulangkan. Angka
kematian satu tahun dari sepsis berat setelah keluar dari rumah sakit
berkisar antara 7% hingga 43%. Korban sepsis juga memiliki
peningkatan insidensi gangguan stres pascatrauma, disfungsi kognitif,
cacat fisik, dan disfungsi paru persisten.9
BAB IV
ANALISA KASUS

Kasus Teori
Keluhan demam naik turun dan batuk Pada teori dari hasil anamnesis pada HIV
terus menerus selama ± 3 minggu. didapatkan gejala yang tidak khas, secara umum
Tenggorokan terasa kering dan nyeri gejala klinis dapat berupa :
dan ada nyeri menelan selama ± 1 1. Demam terus menerus yang tidak diketahui
minggu. penyebab
Nafsu makan dan berat badan 2. Nyeri menelan
menurun. 3. Pembekakan kelenjar getah bening
4. Diare kronik
5. Batuk
6. Penurunan berat badan > 10%
Keluhan sesak napas yang semakin Pada teori dari hasil anamnesis pada syok sepsis
memberat sejak ± 1 hari. didapatkan gejala sepsis dengan hipotensi yang
Tekanan Darah: 80/60 mmHg menetap meskipun telah diberikan vasopressor.
Respirasi: 40x/menit Gejala klinis pada syok sepsis, yaitu :
Saturasi Oksigen: 80% 1. Takipneu
Hasil lab: WBC 3,38 10^9/L 2. Takikardi
(leukopenia) 3. Hipotensi
4. Tanda infeksi : demam, leukositosis atau
leukopenia, infeksi yang diketahui hasil
mikrobiologis positif.

Syok sepsis ditegakkan jika memenuhi skor


qSOFA ≥ 2 dan skor SOFA ≥ 2.
Keluhan batuk terus menerus, dahak Pada teori dari hasil anamnesis berhubungan
(-), darah (-). dengan pneumonia, yaitu :
Demam disertai menggigil. 1. Anamnesis : demam, mengigil, batuk, sesak
Sesak napas napas, nyeri dada.
Auskultasi paru : rhonki (+/+) 2. Pemeriksaan fisik : perkusi redup di bagian
yang sakit, auskultasi suara bronkovesikular
sampai bronkial yang dapat disertai ronki basah
halus dan ronki basah kasar pada stadium
resolusi.
3. Pemeriksaan penunjang : penemuan
mikroorganisme penyebab (pewarnaan gram,
kultur darah, kultur sputum, foto thoraks).
Keluhan tenggorokan terasa kering, Pada teori dari candidiasis oral didapatkan :
nyeri menelan (+). 1. Anamnesis : rasa terbakar, gangguang
Bercak-bercak kemerahan pada mengecap, sulit menelan.
permukaan lidah yang terasa perih, 2. Pemeriksaan fisik :
timbul sariawan, dan bibir kering.  Plak putih 1-2 cm atau lebih di mukosa
mulut.
Pemeriksaan fisik pada mulut : bibir  Plak kemerahan halus di palatum, mukosa
kering (+), cheilitis angular (+), bukal atau permukaan dorsal lidah.
oral thrush (+).  Kemerahan, fisura, atau keretakan pada
sudut bibir.
Keluhan adanya nyeri pada ulu hati, Pada teori dari ileus obstruksi didapatkan :
mual (+), muntah (-) 1. Anamnesis : nyeri abdomen, mual, muntah,
badan terasa lemas. distensi abdomen, obstipasi disertai tidak adanya
Tidak ada BAB sejak 5 hari SMRS, flatus, muntah kehijauan biasanya pada ileus
flatus (-), perut terasa penuh. obstruktif usus halus dan pada ileus obstruktif
usus besar onset muntah lama.
Pemeriksaan fisik abdomen : 2. Pemeriksaan fisik : tanda dehidari seperti
Palpasi : Distensi (+), nyeri tekan mulut dan lidah kering, distensi abdomen,
seluruh perut (+) hernia, ada pembengkakan atau massa abnormal,
Perkusi : hipertimpani pada auskultasi dapat terdengan metallic’s
Elektrolit sound namun dalam perjalanan penyakit
Natrium (Na) : 130,75 aktivitas peristaltik bisa menurun atau tidak ada.
Kalium (K) : 4,31 3. Pemeriksaan lab : pada awalnya normal,
Chlorida (Cl) : 94,00 kemudian dapat terjadi gangguan elektrolit,
Calcium (Ca) : 1,12 hemokonsentrasi, dan leukositosis.
Kesan : gangguan elektrolit 3. Pemeriksaan foto polos abdomen : dilatasi
usus halus, ada air fluid level pada posisi foto
abdomen tegak, dan kurangnya gambaran udara
di kolon.
Tanda vital Pada teori dari pemeriksaan fisik didapatkan
Tekanan Darah: 80/60 mmHg tanda vital dan gejala klinis yang mengarah pada
Nadi: 130x/menit, reguler syok sepsis ditandai dengan hipotensi, takikardi,
Respirasi: 40x takipneu, dan tanda adanya sepsis.
Suhu: 38,30C
Saturasi Oksigen: 80%

Ekstremitas
Superior : Akral dingin, tremor (+/+)
Inferior : Akral dingin
Badan terasa lemah. Pada teori anemia akibat penyakit kronik
Pemeriksaan fisik mata : Konjungtiva didapatkan :
anemis (+/+) 1. Anamnesis : badan lemah, lesu, cepat lelah.
2. Pemeriksaan fisik : umumnya hanya dijumpai
Pemeriksaan darah rutin : konjungtiva anemis
HGB : 7,6 g/dL 3. Pemeriksaan laboratorium: kadar Hb
MCV : 79,2 fl menurun, MCV dan MCH dapat menurun atau
MCH : 25,6 pg normal; SI menurun < 50 , TIBC menurun <300.
MCHC : 323 g/L

Gambaran Darah Tepi


Kesan : Gambaran darah tepi
memberikan kesan anemia
hipokrom mikrositer dan
leukopenia (bisitopenia).

Pemeriksaan SI, TIBC


SI : 60 ug/dL (50 – 170)
TIBC : 123 ug/dL (250 – 425)
HIV dengan infeksi oportunistik Pada teori HIV Stadium IV didapatkan:
- Candidiasis Oral - HIV wasting syndrome
- Pneumocyctis Pneumonia - Kandidiasis esophageal
- Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
- Limfoma
- Sarkoma kaposi
- Kanker serviks invasif
- Retinitis Cytomegalovirus
- Pneumonia pnemosistis
- TB ekstra-paru
- Abses otak
- toksoplasmosis
- Meningitis kriptokokus
- Encefalopati HIV
- Gangguan fungsi neurologis dan tidak oleh
penyebab lain, sering kali membaik dengan
ART
Faal Hati Pada teori dari hasil laboratorium didapatkan :
Protein total : 5,3 g/dL (6,4 – 8,4) 1. Hipoalbuminemia umumnya disebabkan oleh
Albumin : 2,2 g/dL (3,5 – 5,0) peradangan dalam tubuh. Kondisi seperti sepsis,
Globulin : 2,1 g/dL (3,0 – 3,6) luka bakar atau pasca tindakan operasi dapat
SGOT : 134 U/L (< 40) menurunkan albumin. Gangguan pada ginjal
SGPT : 29 U/L (<41) juga dapat menyebabkan kebocoran protein.
2. Peningkatan SGOT dapat menunjukkan
adanya kerusakan pada organ hati, seperti pada
kondisi hepatitis, fatty liver, tetapi juga dapat
terjadi pada kondisi kegagalan sirkulasi (syok)
berkepanjangan.
Non Farmakologi Pada teori dari terapi nonfarmakologi :
Tirah baring - Terapi oksigen diberikan untuk mengatasi
O2 NRM 15 L/menit sesak akibat syok sepsis.
NGT : diet cair 6 x 200 mg - NGT diberikan untuk memberikan nutrisi pada
Pasang kateter pasein, dimana pasien mengalami sulit menela.
Monitoring keluhan dan tanda vital - Pasang Kateter diberikan untuk membantu
Edukasi pasien berkemih dan menilai urin output pasien
pada kondisi syok yang dialami.
Pada teori perawatan pasien rawat segera
dilakukan :
1. Tirah baring
2. Monitoring tanda-tanda vital
3. Diet sesuai kebutuhan
4. Edukasi
Farmakologi Pada teori dari terapi farmakologi :
IVFD NaCl 0,9% 1200 ml dalam 3 1. IVFD NaCl 0,9% 1200 ml dalam 3 jam
jam → IVFD NaCl 0,9% 30 gtt diberikan sebagai tatalaksana resusitasi cairan
Drip Dobutamin mulai dari 0,5 mcg pada kondisi syok sepsis, dimulai dengan
Drip Norepinefrin mulai dari 0,1 mcg pemberian kristaloid 30 ml/kgBB intravena.
Inj. Ceftriaxon vial 2 x 2 gr dalam 2. IVFD NaCl 0,9% 30 gtt diberikan untuk
Dextrose 5% 500 cc → 4 jam menjaga kebutuhan keseimbangan elektrolit
Inj. Gentamisin amp 2 x 1 gr sehingga dapat mencegah terjadinya dehidrasi.
PO Lansoprazol 1 x 40 mg 3. Drip norepinefrin diberikan sebagai lini
PO Pct tab 3 x 500 mg pertama dalam menangani hipotensi akibat syok
Transfusi PRC sepsis. Dosis mulai dari 35-90 mcg/menit untuk
Pct infus jika suhu ≥ 38,5 oC mencapai target MAP 65 mmHg.
Dosis: 0,03-1,5 mcg/kgBB/menit.
4. Drip dobutamin diberikan pada pasien yang
menunjukkan hipoperfusi menetap meskipun
sudah diberikan cairan yang adekuat dan
vasopresor.
Dosis: 2-18 mcg/kgBB/menit.
5. Injeksi Ceftriaxon dan gentamisin digunakan
pada pengobatan sumber sepsis berupa
pneumonia komunitas, dimana 2 regimen obat
antibiotik yang umumnya digunakan adalah
sefalosporin generasi ketiga atau keempat dan
aminoglikosida.
Dosis ceftriaxon : intravena 2 gr/hari untuk syok
sepsis.
Dosis gentamisin : intravena 7 mg/kgBB/8 jam
7. PO lansoprazol 1 x 40 mg diberikan untuk
untuk mengatasi gangguan pada sistem
pencernaan akibat produksi asam lambung yang
berlebihan.
8. Paracetamol diberikan untuk meredakan
demam dan dapat untuk mengobati rasa sakit
ringan hingga sedang.
9. Transfusi PRC diberikan dalam terapi anemia
terutama disertai gangguan hemodinamik. Kadar
Hb sebaiknya dipertahankan pada 10 mg/dL.

BAB V
KESIMPULAN

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan


banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang
terbebas dari HIV. Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni
transmisi melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke
peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen
darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Limfosit
CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang
progresif.
Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko
pajanan HIV, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu
dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal
ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai
pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang
infeksi HIV, dan untuk menentukan tatalaksana selanjutnya. Secara umum, obat
ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni: nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTI) , non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), dan
protease inhibitors (PI). Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini
pertama adalah AZT + 3TC + NVP.
Sepsis adalah sebuah keadaan yang mengancam jiwa karena adanya disfungsi
organ yang disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap infeksi. Definisi baru
ini menitik beratkan pada 3 komponen penting pada sepsis, yaitu adanya infeksi,
adanya regulasi abnormal respon host terhadap infeksi, dan menghasilkan
disfungsi sistem organ sebagai hasil dari respon host. Sepsis dapat dipicu oleh
infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering
menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul.
Sistem skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) digunakan sebagai
cara penilaian disfungsi organ. Penambahan akut dua atau lebih nilai SOFA
sebagai akibat infeksi digunakan sebagai dasar diagnosis sepsis. Kelompok ahli
juga mengajukan kriteria baru yang dapat digunakan sebagai penapis pasien sepsis
yang dikenal dengan istilah quick SOFA (qSOFA).
Terdapat tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis, yaitu
terapi cairan, terapi vasopressor, terapi inotropik. Terapi antimikroba empiris
spektrum luas harus dimulai setelah mendapatkan spesimen untuk mikroskopi dan
kultur termasuk kultur darah tetapi tanpa menunggu hasil.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Setiati S, Alwi I,


Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2014. 887-97.
2. Guntur A. Sepsis. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2014. 4108-14.
3. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer
M, et.al. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepsis-3). JAMA. 2016. 315(8):801-10. Diakses dari:
https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2492881
4. Arifin. Definisi dan Kriteria Diagnostik. Dalam: Pangalila FJV, Mansjoer A,
editor. Penatalaksanaan Sepsis dan Syok Sepsis Optimalisasi
FASTHUGSBID. Jakarta: PERDICI. 2017. 1-3.
5. Kim JW, Kim JJ, Yang HJ, Lim YS, Cho JS, Hwang IC, et.al. The Prognostic
Factors of Pneumonia with Septic Shock in Patient Presenting to the
Emergency Department. Korean J Crit Care Med. 2015. 30(4):258-64.
6. Nasronudin. Virologi HIV. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2014. 898-901.
7. Nelwan EJ, Wisaksana R. Gejala dan Diagnosis HIV. Dalam: Setiati S, Alwi
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2014. 910-5
8. Dahlan Z. Pneumonia. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2014. 1608-19.
9. Kementerian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor HK.01.07/Menkes/342/2017 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Sepsis. Jakarta. 2017
10. Taeb AM, Hooper MH, Marik PE. Sepsis: Current definition,
pathiphysiology, diagnosis, and management. Nutrition in Clinical Practice.
2017. 32(3). Diakses dari :
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1177/0884533617695243
11. Joana AC, Isabel P, Menezes F. Rethinking The Concept of Sepsis and Septic
Shock. European Journal of Internal Medicine. 2018. 54:1-5. Diakses dari :
https://www.ejinme.com/article/S0953-6205(18)30234-6/fulltext
12. Munford RS. Severe sepsis and septic shock. Dalam: Fauci AS, Kasper DL,
Longo DL, Loscalzo J, et.al. Harrison Manual Kedokteran Edisi 19. Jakarta:
Karisma Publishing Group. 2011. 99-104.

Anda mungkin juga menyukai