Anda di halaman 1dari 52

REFERAT

HIV/AIDS

Oleh :

Randi Agustian Sitorus

H1AP09036

Konsulen :

dr. Galuh, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD Dr. M. YUNUS BENGKULU
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Randi Agustian Sitorus

NPM : H1AP09036

Fakultas : Kedokteran

Judul : HIV/AIDS

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing : dr. Galuh, Sp.PD

Bengkulu, 5 Januari 2018


Konsulen

dr. Galuh, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.

Tinjauan pustaka ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen


penilaian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M.
Yunus, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.

Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Galuh, Sp.PD, FINASIM sebagai konsulen yang


telah bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan masukan – masukan,
petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman – teman yang telah memberikan bantuan
baik material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun tugas referat
ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis sangat
berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, 5 Januari 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................................ii

KATA PENGANTAR...........................................................................................iii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iv

TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................1

1. LATAR BELAKANG.......................................................................................1

2. HIV/AIDS.........................................................................................................3

2.1 Definisi .......................................................................................................3

2.2 Epidemiologi...............................................................................................3

2.3 Etiologi........................................................................................................5

2.4 Patogenesis..................................................................................................6

2.5 Faktor Resiko..............................................................................................9

2.6 Manifestasi Klinis........................................................................................10

2.7 Diagnosis.....................................................................................................13

2.8 Pemeriksaan dan Tata Laksana...................................................................19

2.9 Pencegahan..................................................................................................46

2.10 Prognosis...................................................................................................46

KESIMPULAN.....................................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49

iv
v
TINJAUAN PUSTAKA

1. LATAR BELAKANG
Infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune
Deficiency Syndrome) merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi
prioritas dunia untuk segera diselesaikan. Berdasarkan laporan UNAIDS tahun 2010
dengan menggunakan data 2009, mengestimasikan bahwa sekitar 33.000.000 orang
hidup dengan HIV. Dengan angka tertinggi di region Sub Sahara Afrika dengan
jumlah penderita sebanyak 22.500.000, kemudian setelah itu disusul oleh region
Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan jumlah penderita sebanyak 4.100.000. Di
region Asia Selatan dan Asia Tenggara, urutan kelima besar negara dengan angka
penderita tertinggi yaitu, India (2.400.000), Thailand (530.000), Indonesia
(310.000), Vietnam (280.000), dan terakhir Myanmar (240.000).1
Di Indonesia jika dibandingkan antara laporan UNAIDS pada tahun 2008
dengan 2010, mengalami peningkatan kasus dari 270.000 pada tahun 2008 menjadi
310.000 kasus pada tahun 2010. Perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk
yang tercepat di kawasan Asia meskipun secara nasional angka prevalensinya masih
termasuk rendah. Angka kejadian kasus AIDS di Indonesia, setiap tahun hampir
selalu mengalami peningkatan. Dalam triwulan Oktober - Desember 2012
dilaporkan tambahan kasus AIDS sebanyak 2.145 sehingga total jumlah AIDS di
Indonesia dari tahun 1987 – 2012 sebanyak 45.499 dengan kematian 8.235. Jika di
analisis berdasarkan jumlah kasus perprovinsi, jumlah kasus AIDS tertinggi pada
terdapat di Papua sebanyak 7.795, sedangkan Kalimantan Selatan diurutan ke 27
dengan 192 kasus HIV dan 134 kasus AIDS.1.2
HIV menyerang limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit
CD4. Fungsi CD4 ini sangat penting dalam menjaga imunitas tubuh, yaitu untuk
mengatur dan bekerja sama dengan komponen sistem kekebalan yang lain sehingga,
jika tubuh terserang virus HIV, maka akan mudah sekali terinfeksi penyakit karena
rusaknya sistem pertahanan tubuh. Sistem pertahanan rusak secara perlahan lahan,
dari tidak ada gejala sampai terjadi gejala ringan seperti; (diare, pembesaran kelenjar

1
getah bening, penurunan berat badan sampai sariawan), sampai terjadi gejala berat
(AIDS). Dari semua orang yang terinfeksi HIV, menunjukkan gejala AIDS pada 3
tahun pertama infeksi hanya sedikit jumlahnya, 50% terjadi setelah 10 tahun infeksi,
dan setelah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala AIDS
dan kemudian meninggal. Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di
Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan
terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-
laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20 – 29
tahun.3

1. HIV/AIDS

2
2.1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia yang kemudian dapat menimbulkan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi HIV yang ditandai
dengan adanya infeksi oportunistik dan berakibat fatal. Prosesnya tidaklah terjadi
seketika melainkan sekitar 5 – 10 tahun setelah seseorang terinfeksi oleh HIV.

Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam


2 kategori yaitu :

1. Penderita yang mengidap HIV tetapi belum menunjukkan gejala klinis


(penderita HIV).
2. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis
(penderita AIDS).

2.2. Epidemiologi

Laporan UNAIDS - WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih


dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009,
jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar
penderitanya adalah usia produktif 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5
juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari
jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-anak.
Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun
1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini,
jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67%
diantaranya disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika.1
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan
tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat

3
penularan melalui narkotika suntik. Saat ini, perkembangan epidemi HIV di
Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan
terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti
pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di
beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah
tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level
of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas
(generalized epidemic). Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju
peningkatan kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir
dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan
pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi
laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat
352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110
kasus.4,5
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember
2008, sekitar 74,9 % adalah laki-laki dan 24,6 % adalah perempuan. Berdasarkan
cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual, 42,3% pada pengguna narkotika
suntik, 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini
menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir
tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada
kelompok usia 20 – 29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30 – 39 tahun. Dari
33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif
kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI
Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali
dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382
kasus, dan 1.177 kasus AIDS. Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000
penduduk hingga akhir Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk
(dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun
2005). Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi
oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare

4
kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata
1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus.5

2.3. Etiologi

HIV merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang
utama. (Human T-cell leukemia virus HTCLV adalah retrovirus utama lainnya).
Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2
yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Virus tersebut
akan menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4) dan menyebabkan host
kehilangan imunitas seluler dan memiliki probabilitas yang besar untuk terjadinya
infeksi oportunistik. Sel – sel lain seperti makrofag dan monosit, yang memiliki
protein CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV.6

HIV termasuk dalam golongan retrovirus dengan subgroup lentivirus, yang dapat
menyebabkan infeksi secara “lambat” dengan masa inkubasi yang panjang. Gen gag
mengkode protein “inti” bagian dalam, yang merupakan protein terpenting yaitu
p24, yang juga merupakan suatu antigen dalam tes serologik HIV.6

2.4. Patogenesis

HIV merupakan retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom, untuk


dapat masuk ke dalam sel virus HIV berikatan dengan receptor (CD4) yang ada di

5
permukaan sel. Virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4
pada permukaannya, maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel limfosit T yang
mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4 + T cell). Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang
progresif.6
Setelah transmisi HIV, sel dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa
akan menangkap HIV. Sel dendrit bertindak sebagai antigen presenting cell (APC)
dan mempresentasikan HIV ke sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit
T naive. Setelah HIV tertangkap, DC akan menuju kelenjar limfoid dan
mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Di samping mengangkut HIV ke
kelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4, dengan demikian akan
meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel limfosit Th.6

Replikasi virus HIV yang terjadi secara cepat berkaitan dengan mutasi yang
berkontribusi dalam ketidakmampuan antibodi tubuh untuk menetralisasi virus
dalam satu waktu secara bersamaan. Selain itu, kloning sel limfosit T sitotoksik yang
memperbanyak diri selama infeksi primer HIV, yang diperkirakan menjadi respon
imun yang sangat efektif dalam mengeliminasi virus HIV ternyata tidak dapat

6
dideteksi lagi setelah ekspansinya yang pertama disebabkan oleh replikasi virus yang
persisten dan kelelahan respon sel limfosit T sitotoksik.6,7

Replikasi HIV mengikuti siklus retroviral pada umumnya, langkah awal dari
masuknya virus HIV ke dalam sel host adalah pentautan gp120 dari protein selubung
virion dengan protein CD4 pada permukaan sel host. Kemudian protein gp120 virion
berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel, suatu reseptor kemokin.
Reseptor kemokin seperti protein CXCR4 dan CCR5 dibutuhkan dalam proses
masuknya HIV ke dalam sel yang memiliki protein CD4. Virus HIV dengan strain
yang sel T tropik bertautan dengan reseptor CXCR4, sedangkan HIV dengan strain
yang makrofag-tropik bertautan dengan reseptor CCR5. Mutasi pada pengkodean
gen CCR5 dapat menyebabkan seorang individu memiliki proteksi tersendiri
terhadap infeksi HIV.6,7
Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan
kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami
proses reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini
dilakukan oleh enzim reverse transcriptase. Proses sampai step ini hampir sama
dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini
adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang
diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses ini dilakukan oleh
enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi ke
dalam genom sel dinamakan provirus. Dalam kondisi provirus, genom virus akan
stabil dan mengalami proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya,
setiap DNA sel menjalankan proses replikasi secara otomatis genom virus akan ikut
bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari serangan sistem imun
tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus seumur hidup (a life
long infection).

7
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan
sebagai vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien
HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk
ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri. Limfosit
CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan
sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan
gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari
pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus ( SIV ). SIV dapat
menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina.6,7

2.5. Faktor Resiko

HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam


darah, dan transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara oral,
vaginal, dan anal, sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui transfusi darah,
kecelakaan jarum suntik, serta pemakaian jarum suntik secara bergantian, untuk
transmisi maternal dapat terjadi melalui plasenta, saat proses kelahiran, atau melalui
ASI. Telah diperkirakan 50% dari infeksi neonatal timbul saat proses kelahiran, dan
sisanya tidak jauh berbeda antara transmisi transplasental maupun melalui ASI.4
Infeksi dapat terjadi baik akibat transfer sel yang terinfeksi HIV maupun virus
HIV yang bebas. Walaupun ditemukan virus HIV dalam jumlah yang sedikit dalam
cairan tubuh yang lain, seperti air liur dan air mata, tidak ada bukti bahwa hal
tersebut berperan dalam infeksi. Secara umum, transmisi mengikuti pola infeksi
hepatitis B, kecuali bahwa infeksi HIV kurang efisien dalam hal transfer, misalnya
dosis yang dibutuhkan untuk terjadinya infeksi HIV lebih banyak dibandingkan
untuk infeksi hepatitis B. Infeksi mikroorganisme seperti Treponema pallidum and
herpes simplex virus merupaka ulserasi genital yang penting terkait transmisi virus
HIV. Selain itu, patogen yang bertanggung jawab sebagai PMS yang nonulseratif
seperti Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan Trichomonas vaginalis
juga terkait dengan risiko yang meningkat dalam transmisi infeksi HIV. Vaginosis

8
bakterial, suatu infeksi yang terkait perlakuan seksual, namun bukan suatu PMS,
juga dapat dihubungkan dengan risiko yang meningkat dalam risiko terjadinya
infeksi HIV. Infeksi HIV tidak menular melalui kontak kasual seperti berpelukan,
gigitan nyamuk, participasi dalam olahraga, barang-barang yang telah disentuh oleh
individu yang telah terinfeksi HIV. Laki-laki yang tidak disunat memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terinfeksi.6,7
Cara penularan yang jarang namun dapat terjadi termasuk melalui luka akibat
tusukan jarum yang tidak disengaja, inseminasi artifisial dengan semen yang
terinfeksi HIV, transplantasi organ dengan organ yang terinfeksi HIV. Bank darah
dan program donor organ akan menskrining pendonor, baik darah, maupun jaringan
untuk mencegah risiko terjadinya infeksi. Transmisi HIV melalui transfusi darah
telah menurun secara drastis dengan adanya skrining darah yang akan didonasi akan
adanya antibodi terhadap HIV. Di lain pihak, terdapat periode jendela (window
period) pada saat infeksi awal HIV dimana darah dari orang yang terinfeksi telah
mengandung virus HIV namun tidak dapat terdeteksi dengan tes antibodi. Bank
darah kini melakukan tes antigen p24 untuk mendeteksi darah yang mengandung
HIV.8

2.6. Manifestasi Klinis

Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar
dapat dibagi menjadi empat fase: (a) infeksi HIV primer, (b) infeksi asimtomatik, (c)
infeksi simtomatik, dengan ekslusi AIDS, dan (d) AIDS. Kecepatan progresi dari
penyakit ini bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain,
tergantung pada faktor virus dan faktor host.

9
Fase Infeksi Primer
Fase pertama dari penyakit ini terjadi secara singkat. Fase ini terjadi selama 1
sampai 4 minggu setelah transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala
seperti demam, berkeringat, letargi, malaise, myalgia, arthralgia, sakit kepala,
photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi mucopapular pada ekstremitas.
Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang dalam waktu 3 sampai 14
hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-14 infeksi, dan
kebanyakan akan mengalami serokonversi setelah infeksi minggu ke 3 sampai 4.
Perhatikan ketidakmampuan untuk deteksi antibodi saat waktu tersebut bisa
menyebabkan tes serologik yang "false-negative". Hal tersebut memiliki implikasi
yang penting karena HIV bisa bertransmisi selama periode ini.7,8

Fase Seropositif yang Asimtomatik


Fase kedua dari infeksi HIV ini merupakan fase yang paling lama terjadi
dibandingkan dengan 4 fase lainnya, dan paling bervariasi antar masing-masing
individu. Tanpa pengobatan, fase ini biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun.
Walaupun pasien dalam keadaan asimtomatik dan viremia terjadi dalam tingkat
rendah atau hampir tidak ada, jumlah yang besar dari HIV telah diproduksi di limfe

10
nodus, namun tetap berada di dalam limfe nodus. Hal ini mengindikasikan bahwa
selama periode laten secara klinis ini, virus HIV sendiri tidak memasuki fase laten.7,8

Fase Seropositive yang Simtomatik


Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik pertama dari
disfungsi sistem imun. Limfadenopati persisten generalisata kadang merupakan
tanda awal fase ini. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari – jari dan mulut
sering kali muncul. Pada wanita, sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi
trikomonas. Oral hairy leukoplakia merupakan gejala yang paling sering terlewatkan
pada infeksi HIV dan sering ditemukan pada lidah. Gejala konstusional seperti
keringat malam, penurunan berat badan dan diare sering terjadi. Tanpa pengobatan,
durasi dari fase ini berkisar antara 1 sampai 3 tahun.8

Fase Acquired Immunodeficiency Syndrome - AIDS

11
Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Supresi ini memicu
perkembangan infeksi oportunistik dan keganasan yang tidak biasa. Gejala
pulmoner, gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan gejala yang biasa
terjadi.

2.7. Diagnosis

A. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali faktor resiko
HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan
tersangaka ODHA (tabel 1 dan tabel 2).

Tabel 1. Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan


- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan
transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

12
Tabel 2. Daftar tilik riwayat pasien

B. Pemeriksaan Fisik

13
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV
dapat dilihat pada (tabel 3)

Tabel 3. Daftar tilik pemeriksaan fisik

14
C. Pemeriksaan Penunjang
Memastikan diagnosis terinfeksi HIV dilakukan juga dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (tabel 4).

Tabel 4. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha

- Tes antibodi terhadap HIV (AI);


- Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
- HIV RNA plasma (viral load) (AI);
- Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan
kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-
Toxoplasma gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
- Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan
risiko penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi
kombinasi terapi (AIII);

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan


biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang
tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan
pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif,
serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada

15
akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi,
pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential
(rahasia) yang disertai dengan counselling (konseling) dan hanya dilakukan dengan
informed consent.4

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki


sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat
ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat
disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik
pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum
tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah
ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu
diulang pada usia anak > 18 bulan.4
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin
dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan
kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB
sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak
sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-
reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka
keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki
riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat
pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan
sebagai non-reaktif.4

16
Alogaritma pemeriksaan HIV

D. Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi.4

2.8. Pemeriksaan dan Tata Laksana

Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan PDP
untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis,
penilaian imunologis dan penilaian virologi.
Hal tersebut dilakukan adalah untuk sebagai berikut :

17
a) menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral
b) menilai status supresi imun pasien
c) menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi
d) menentukan paduan obat ARV yang sesuai

1. Penilaian untuk Mengidentifikasi Infeksi Opurtunistik (IO)


Infeksi Oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan
kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus)
yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun
dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Infeksi oportunistik dapat
dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang ditandai dengan jumlah CD4 dan
dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/L ataupun > 200 sel/L. Sebagian besar
infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka
infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik
yang lain. Pada umumnya kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik
sehingga infeksi ini perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV
peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi
oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi
oportunistik seperti terlihat pada (tabel 5).
Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam
pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium
atas indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan
toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV. Apabila sumberdaya
memungkinkan maka dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien
tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan
imunologis.

Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening


CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu

18
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh
penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Tabel 5. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS

19
Bagian Alur Layanan HIV

Darah lengkap* Tes Kehamilan (perempuan usia


Jumlah CD4* reprodukstif dan perlu anamnesis
SGOT / SGPT* mens terakhir)
Kreatinin Serum* PAP smear / IFA-IMS untuk
Urinalisa* menyingkirkan adanya Ca Cervix
HbsAg* yang pada ODHA bisa bersifat
Anti-HCV (untuk ODHA IDU progresif)

20
atau dengan riwayat IDU) Jumlah virus / Viral Load RNA
Profil lipid serum HIV** dalam plasma (bila tersedia
Gula darah dan bila pasien mampu)
VDRL/TPHA/PRP
Ronsen dada (utamanya bila

curiga ada infeksi paru)


* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV
karena berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu
mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.
** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk
dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien
punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan menentukan
suatu keadaan gagal terapi.
Dibawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai
ART apabila sumber daya memungkinkan :

2. Penentuan Stadium Klinis


Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali
kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
3. Skrining TB
4. Skrining IMS, Sifilis, Malaria untuk BUMIL
5. Pemeriksaan CD4
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang
dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4
di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol (1 × 960
mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan
untuk mengkaji kepatuhan pasien minum obat dan menyingkirkan kemungkinan
efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa
banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
kotrimoksasol.

21
Stadium Klinis HIV/AIDS menurut WHO 11

6. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (PPK)


Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan
pemberian pengobatan profilaksis. Kotrimoksazole untuk pencegahan sekunder
diberikan setelah terapi PCP atau toksoplasmosis selesai dan diberikan selama 1
tahun. PPK dianjurkan adalah sebagai berikut :
 ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan
hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa
pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis

22
supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan
kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis
kotrimoksasol.
 ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4).

7. Indentifikasi solusi terkait adherence (kepatuhan)


8. Konseling positive prevention
9. Konseling KB

A. TATALAKSANA PEMBERIAN ARV (ANTIRETROVIRAL)

Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis. Mulai terapi ARV pada semua pasien
dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi

23
ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.3

Secara umum obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu :4
 Kelompok Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) seperti;
zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok Non – Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) seperti;
evafirens dan nevirapin
 Kelompok Protease Inhibitors (PI) seperti; sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan
atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

24
1. Anjuran Pemilihan obat ARV lini Pertama
2NRTI + 1NNRTI

Keterangan : AZT (Zinovudin), TDF (Tenofovir), 3TC (Lamivudin), FTC


(Emtricitabine) EFV (Efavirenz), NVP (Nevirapine), PI (Lopinevir)

2. Pilihan pemberian tripel NRTI


Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan
obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan seperti berikut:
 Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
 Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
 Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI

Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah


AZT (Zinovudin) + 3TC (Lamivudin) + TDF (Tenofovir)
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat.

25
Dosis Pemberian ARV (Antiretroviral) Lini Pertama10

No. Nama generik Formulasi Data farmakokinetik Dosis menurut umur.

111Zinovudin Tablet: Semua umur  < 4 minggu: 4


(NRTIs) 300mg mg/kg/dosis, 2x/hari
(profilaksis)
 minggu – 13 tahun: 180 –
240 mg/m2/dosis, 2x/hari
 dosis maksimal:
> 13 tahun,
300 mg/dosis, 2x/hari.
2. Lamivudin Tablet: 150 Semua umur  < 30 hari : < 2
(NRTIs) mg mg/kg/dosis, 2x/hari
(profilaksis)
 > 30 hari atau < 60 kg:
4 mg/kg/dosis. 2x/hari.
 Dosis maksimal:
150 mg/dosis, 2x/hari.
3. Kombinasi Tablet: 300 Remaja dan dewasa Dosis maksimal: < 13 tahun
tetap Zinovudin mg (AZT) atau > 60 kg: 1 tablet/dosis,
plus Lamivudin plus 150mg 2x/hari (tidak untuk berat badan
(3TC) 30 kg)

4. Nevirapin Tablet: 200 Semua umur  < 8 tahun: 200 mg/m2


(NNRTIs) mg Dua minggu pertama
1x/hari. Selanjutnya
2x/hari.
 > 8 tahun: 120-150 mg/m2,
Dua minggu pertama,
1x/hari Selanjutnya
2x/hari.

5. Efavirenz 600mg Hanya untuk anak > 3  10-15 kg: 200 mg


(NNRTIs) tahun dan berat > 10 1x/sehari.

26
kg  15 - <20 kg: 250 mg
1x/sehari.
 20 - <25 kg: 300 mg
1x/hari
 25 - <33 kg: 350 mg
1x/hari
 33 - <40 kg: 400 mg
1x/hari
 Dosis maksimal: > 40
kg: 600 mg 1x/hari
6 Stavudin, d4T 30 mg Semua umur  < 30 kg: 1 mg/kg/dosis,
(NRTIs) 2x/hari
 30 kg atau lebih : 30
mg/dosis, 2x/hari
7. Abacavir 300 mg Umur > 3 bulan  < 16 tahun atau < 37.5
(NRTIs) kg: 8 mg/kg.dosis,
2x/hari
 Dosis maksimal: >16
tahun atau > 37.5 kg
300 mg/dosis, 2x/hari

8. Tenofovir Tablet: 300 Diberikan setiap 24 jam.


disoproxil mg Interaksi obat dengan ddl, tidak
fumarat lagi dipadukan dengan ddl.
(NRTIs)

9. Tenofovir + tablet 200


emtricitabin mg/ 300
mg

Dosis Pemberian ARV (Antiretroviral) Lini Kedua10

.No Nama generik Formulasi Data Dosis


farmakokinetik

27
1. Lopinavir/ Tablet tahan suhu 6 bulan  400 mg/100 mg setiap 12
ritonavir (PI) panas, 200 mg jam untuk pasien naïf baik
Lopinavir + 50 mg dengan atau tanpa kombinasi
ritonavir EFV atau NVP.
 600 mg/ 150 mg setiap 12
jam bila dikombinasi dengan
EFV atau NVP untum pasien
yag pernah mendapat terapi
ARV
 2 minggu- 6 bulan: 16 mg/4
mg/kg BB, 2x/hari
 6 bulan – 18 bulan: 10
mg/lgBB/dosis lopinavir
2. Tenofovir Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam interaksi
disoproxil obat dengan ddl, tidak lagi
fumarat dipadukan dengan ddl.
(NRTIs)

3. Sindrom Pulih Imun (SPI - Immune Reconstitution Syndrom = IRIS)


Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory
Syndrome (IRIS) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi
berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral.
Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun
non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa inflamasi dari
penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan sebagai timbulnya
manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons
imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV.
Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan
respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen
tertentu setelah pemberian ARV. Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan
berdasarkan meta analisis adalah 16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap
tempat, tergantung pada rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi

28
oportunistik dan koinfeksi dengan patogen lain. Pada saat ini dikenal dua jenis SPI
yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom pulih imun unmasking (unmasking IRD)
dan sindrom pulih imun paradoksikal. Jenis unmasking terjadi pada pasien yang
tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi untuk infeksi oportunistiknya dan
langsung mendapatkan terapi ARV-nya. Pada jenis paradoksikal, pasien telah
mendapatkan pengobatan untuk infeksi oportunistiknya. Setelah mendapatkan ARV,
terjadi perburukan klinis dari penyakit infeksinya tersebut.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan
infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Pada
waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau non
infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis).
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus
untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut.
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan
inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil
disembuhkan (Expected clinical course of a previously recognized and
successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat memulai
terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi ARV,
banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA HIV yang
cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis
infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi
oportunistik dan memulai terapi ARV. Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen

29
penyebab untuk menurunkan jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV.
Terapi antiinflamasi seperti obat antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan.

Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5 – 1
mg/kg/hari prednisolon.3

30
Pedoman Tatalaksana IRIS

4. Terapi Retroviral Pada Populasi Khusus

 ARV PADA WANITA HAMIL


Terapi ARV dimulai pada semua perempuan hamil dengan hiv. Regimen yang
digunakan adalah sama dengan regimen terapi antiretroviral dewasa lainnya, yaitu:
AZT + 3TC + EFV
AZT _ 3TC _ NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Efavirenz sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester pertama

 ARV Pada Koinfeksi HIV


Semua individu dengan koinfeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi untuk infeksi
HBVnya (Hepatitis kronik aktif) terlepas dari jumlah CD4 atau stadium klinis WHO
harus memulai terapi ARV. Regimen terapi yang mengandungi aktivitas terhadap

31
HBV, yaitu TDF + 3TC atau FTC digunakan untuk peningkatan respoon VL HBV
dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat.

 ARV Pada Koinfeksi HCV


Terapi infeksi hep C pada koinfeksi dengan HIV tidak berbeda dengan monoinfeksi
hep C, yaitu menggunakan kombinasi pegylated interferon alpha dan ribaviri (rbv).
Hanya saja pemberian obat ini harganya masih cukup mahal. Terapi untuk hepatitis
C ini sebaiknya diberikan pada saat CD4+ sudah tinggi, lebih dari 350 sel/mm3
untuk mendapatkan respon pengobatan yang lebih baik.
Regimen ART pada keadaan koinfeksi HIV/HCV seperti biasa, dengan perhatian
khusus pada interaksi antara obat ARV dan ribaviri atau interferon sebagai berikut.
1. Ribaviri dan AZT
Kombinasi obat ini dapat menyebabkan anemia sehingga dalam penggunaan
keduanya perlu pengawasan ketat.
2. Interferon dan EFV
Kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan depresi berat sehingga dalam
penggunaannya perlu pengawasan ketat.

 ARV Pada Koinfeksi HIV/Tuberkulosis


Semua ODHA dengan tbc aktif merupakan indikasi memulai terapi ARV berapapun jumlah
CD4. Terapi tb dooberikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan terapi ARV sesegera
setelahnya (dalam delapan minggu pertama). EFV merupakan NNRTI pilihan pada pasien
yang akan memulai terpai ARV selama dalam terapi TB.

Lini Regimen Pilihan

Lini 2 NRTI + EFV Lanjutkan dengan 2 NNRTI + EFV


pertama 2 NRTI + NVP Ganti NVP ke EFV atau
Ganti ke regimen 3 NRTI atau
Lanjutkan dengan 2NNRTI + NVP

Lini 2 NRTI + PI Ganti kea tau lanjutkan (bila sudah mulai


kedua regimen yang berisi LPV/r dengan dosis ganda.

32
5. Kriteria Gagal Terapi ARV
Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria yaitu criteria klinis,
imunologis dan virologist. Viral load yang menetap di atas 5000 kopi/ml
mengkonfirmasi gagal terapi. Bila pemeriksaan VL tidak tersedia, untuk
menentukan gagal terap menggunakan criteria imunologis untuk memastikan gagal
klinis.

Kriteria Gagal Terapi

Kegagalan Komentar
Gagal klinis Kondisi stadium 4 WHO baru atau Kondisi harus dibedakan dari
berulang SPI. Kondisi WHO stadium 3
tertentu (TB paru, infeksi
bacteria berat) dapat
merupakan tanda kegagalan
pengobatan.
Imunologis Penurunan CD4 kembali seperti Tanpa infeksi penyerta lain

33
awal sebelum pengobatan (atau yang menyebabkan penurunan
lebih rendah) atau CD4 sementara.
Penurunan sebesar 50% dari nilai
tertinggi CD4 yang pernah dicapai
ketika pengobatan atau
Jumlah CD4 tetap < 100 sel/m3
Virologis Viral load plasma > 5000 kopi/ml Ambang batas viral
load optimal untuk
mendefinisikan kegagalan
virologist belum ditentukan
VL>5000 kopi/ml berhubungan
dengan perkembangan klinis
dan penurunan CD4

Alur pemindahan lini pertama ke lini kedua

Dicurigai kegagalan klinis atau


imunologis

Pemeriksaan viral load

VL > 5000 kopi/ml

Penatalaksanaan kepatuhan

Pemeriksaan ulang VL

VL <5000 kopi/ml VL <5000 kopi/ml

Jangan pindah ke Pindah ke lini


lini kedua kedua

34
6. Regimen Terapi ARV Lini Kedua

Rekomendasi regimen lini kedua adalah 2NRTI + boosted- PI (Bpi). Regimen


lini kedua direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah dalah
TDF/AZT + 3TC + lopinavir/ritonavir (LPV/RTV). Apabila pada lini pertama
menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar
NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini pertama menggunakan TDF makan
gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua.

Panduan penggunaan regimen lini-2

Regimen lini 1 Regimen lini 2

Berbasis AZT/d4T AZT/d4T + 3TC + NVP/EFV TDF +3TC/FTC + LPV/r

Berbasis TDF TDF + 3TC/FTV + NVP/EFV AZT + 3TC + LPV/r

Hepatitis B TDF + 3TC/FTC + NVP/EFV AZT + TDF + 3TC/FTC +


LPV/r

7. Monitoring Pasien

 Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral


Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV perlu dimonitor
perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4 nya setiap 6 bulan seklai. Evaluasi
klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termausk pemantauan berat
badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV.
Parameter klinis dan CD4 ini digunakan untuk mencatat perkembangan stadium
klinis WHO pada setiap kunjungan dan menentukan apakah pasien mulai
memenuhi syarta untuk terapi profilaksis kotrimoksasol atau terapi ARV.

35
Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai
mendekato ambang dan syarat memulai terapi ARV.

 Pasien dalam terapi ARV


Monitoring Klinis :
Frekuensi monitoring klinis tergantung dari respons dari terapi ARV.
Monitoring klinis perlu dilakukan pada minggu 2,3,8,12,24 minggu sejak
memulai terapi ARV. Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk
tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekunsi ( infeksi
bacterial, kandidiansis dan atau infeksi oportunistik lainya) ditambah konseling
untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhannya.
Rekomendasi pemeriksaan laboratoriun untuk memonitor pasien dalam terapi
ARV.3,5

Tahap terapi ARV Tes yang Tes yang dianjurkan


direkomendasikan

Pada saat diagnosis HIV CD4 HbsAG

Sebelum memulai ARV CD4

Pada saat memulai ARV CD4 Hb untuk AZT, keratinin


klirens untuk TDF, SGPT
untuk NVP

Pada saat menjalani ARV CD4 Hb untuk AZT, keratinin


klirens untuk TDF, SGPT
untuk NVP

Pada saat kegagalan klinis CD4 Viral load

Pada saat kegagalan Viral load


imunologis

Wanita yang menjalani Viral load enam bulan


PMTCT dengan NVP setelah memulai terapi
dosis tunggal dengan ARV

36
lanjutan dalam 12 bulan

Monitoring lain :

Monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada
indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte count) tidak
direkomendasikan untuk digunakan memonitor terapi karena perubahan nilai TLC
tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi.

Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis dan
penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan klinis dan
imonologi kea rah yang lebih baik, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi dan atau
terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi suatu sindrom pulih imun dimana
pasien sepertinya mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu
keadaan pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan)

8. Efek Samping Terapi Arv 3,5

Obat Efek samping Substitusi

Zidovudin Supressi sum sum tulang Jika digunakan pada terapi lini
Anemia makrositi atau pertama, TDF (atau d4T jika tidka ada
neutropenia pilihan lain)
Intoleransi gastrointertinal, Jika digunakan pada terapi lini kedua,
d4T
sakit kepala,
insomnia,asthenia
Pigmentasi kulit dan kuku
Asidosis laktat dengan
steatosis hepatic

Stavudin Pancreatitis, neuropati perifer, AZT dan TDF


asidosis laktat denga steatosis
hepatitis (jarang), lipotrofi

Lamivudin Toksisitas renda


Asidosis laktat dengan

37
steatoses hepatitis (jarang)

Abacavir Reaksi hipersensitivitas (dapat AZT atau TDF


fatal), Demam, ruam
kelelahan, mul muntah, tidak
napsu makan
Gangguan pernapasan (sakit
tenggorok, batuk)
Asidosis laktat dengan
steatosis hepatitis (jarang)

Tenofovir Asthenia, sakit kepala, diare, Jika digunakan pada lini pertama AZR
mual muntah, sering buang (atau d4t jika tiada pilihan)
angin, insufisiensi ginjal, Jika digunakan pada lini kedua,
sindroma fanconi Secara pendekatan kesehatan
masyarakat, makan tidak ada pilihan
Osteomalasia
lain jika pasien telah gagal
Penurunan densittas tulang
AZT/d4t pada terapi lini pertama,
Hepatitis eksaserbasi akut Jika kemungkinan dipertimbangkan
berat pada pasein HIV dengan merujuk ke tingkat perawatan yang
koinfeksi lebih tinggi dimana terapi individual
Hepatitis B yang tersedia.
menghentikan TDF

Emtricitabine Ditoleransi dengan baik -

Nevarapin Reaksi hipersensitivitas EFV


Sindroma steven-johnson Bpi jika tidak toleransi terhadap kedua
Ruam NNRTI
Toksisitas hepar Tiga NNRTI jika tidak ada pilihan
lain.
hiperlipidemia

Ritonavir Hiperlipidemia Jika digunakan pada lini kedua.

Lopinavir Intoleransi gastrointertinal, Jika digunakan pada lini kedua.


mual, pancreatitis,
hiperglikemial, pemindahan
lemak dan abnormalitas lipid

Efavirenz Reaksi hipersensitivitas NVP


sindroma steven-johnson jika tidak toleran terhadap kedia NRTI
Ruam Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain.
Toksisitas hepar

38
Toksisitas sisterm saraf pusat
yang berat dan persisten
(depresi dan pusing)
Hiperlipidemia
Ginekomastia (pada laki-laki)
Kemungkinan efek teratogenik
(pada kehamilan trimester
pertama atau wanita yang
tidak mengganggu kontrasepsi
yang adekuat)

9. Terapi Gen
Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya, pengobatan
dilakukan dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi
HIV. Gen ini bisa berupa antisense dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk
replikasi virus tersebut atau ribozyme yang berupa antisense RNA dengan
kemampuan untuk menguraikan RNA target.
Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses
transkripsi menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah
itu, RNA antisense ini akan berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan
mengganggu translasi mRNA sehingga tidak menjadi protein. Karena enzim yang
diperlukan untuk replikasi tidak berhasil diproduksi, otomatis HIV tidak akan
berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan antisense, ribozyme juga
menghalangi produksi suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya
Pendekatan yang dilakukan dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi
imunologi karena tidak mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini
berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya respons
imun di dalam tubuh. Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan sistem
pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah
dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen yang
dimasukkan (gen asing) dan tidak mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu

39
sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. HIV
sebagai vector. Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam
proses transfer gen asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh
Poznansky dan kawan-kawan dari Dana-Farber Cancer Institute Amerika. Setelah itu
penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk terapi gen berkembang
pesat. Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerja sama dengan
Julianna Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi
HIV di dalam sel dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim
yang esensial untuk replikasi HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil
menghambat perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme.
Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil.
Dari hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vector yang
bisa mengekspresikan gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada
organ, seperti otak, retina, hati, dan otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi
secara klinis, aplikasi vektor HIV untuk terapi gen bisa diharapkan. Hal ini lebih
didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang berfungsi
menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan
ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair)
sehingga lebih mudah digunakan. Baru-baru ini David Baltimore dari University of
California Los Angeles (UCLA) berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T
cell dengan menggunakan siRNA terhadap protein CCR5 yang merupakan co-
receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem pengiriman gen.
Semoga metode ini dapat segera digunakan untuk pengobatan AIDS di seluruh
dunia.

10. Penatalaksanaan Stadium Lanjut(

40
Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan
banyak komplikasi dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang
mengancam jiwa penderita.

Pemberian Zidovudin (ZDV)


Pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak memberikan manfaat. Pada
keadaan penyakit yang berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat
menembus ke susunan syaraf pusat (SSP). Dosis dan pemberian belum ada
kesepakatan, tetapi sebagai dosis awal pada penderita dengan berat badan 70 Kg,
diberikan ZDV 1000mg, dalam 4-5 kali pemberian.
Pengobatan infeksi oportunistik Infeksi HIV merupakan infeksi kronis yang
kompleks sehingga memerlukan perawatan multidisipliner, para spesialis, konselor
dan kelompok-kelompok pendukung lainnya. Umumnya pada stadium yang lebih
lanjut lanjut, bila sekali muncul infeksi maka jarang bersifat tunggal tetapi beberapa
macam infeksi bersamaan. Keadaan ini memerlukan pengobatan yang rumit. Bila
sudah timbul keadaan yang demikian maka sebaiknya penanganan penderita
dilakukan oleh sebuah tim.3

11. Perawatan Fase Terminal


Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum
dapat disembuhkan. Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai
pada fase terminal sebelum datangnya kematian. Pada fase terminal, dimana
penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanyalah bersifat
simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari rasa mual,
sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.

Tabel beberapa jenis infeksi oportunistik dan keganasan serta obat-obatannya.


Infeksi oportunistik dan keganasan Obat yang dipakai

41
Pneumocystis carinii (PCP) Trimethoprim+sulfamethoksasol+dapson
Toxoplasma gondii Pyrimetamin+sulfadiazine
Candidiasis Flukonazol atau Amphotericine B IV
Cryptococcus Amphotericine B IV
Neoformans Amphotericine B
Histoplasmosis Amphotericine B
Coccidioidomycosis Triple drug sekurangnya 9 bulan. Bila dengan
Mycobacterium tuberculosis double drug (tanpa isoniazid atau rifampisin)
Herpes virus pengobatan harus diberikan minimal 18 bulan.
Cytomegalo virus Aksiklovir
Cryptoccocc sporidiosis Ganciclovir, Foscarnet
Isosporiasis Somastitatin analogues
Multifocl leukoenselopati progresif Trimethoprim+Sulfamethoksazol.
Kanker oportunistik: Aksiklovir, Sitarabin
Kaposi Limfoma Non Hodgkin Sitostatik sistemik/lokal, radio terapi
Sitostatik dalam regimen CHOP

2.9. Pencegahan
Terdapat cara – cara yang efektif untuk motivasikan masyarakat dalam
mengamalkan hubungan seks aman termasuk pemasaran sosial, pendidikan dan
konseling kelompok kecil. Pendidikan seks untuk remaja dapat mengajarkan mereka
tentang hubungan seksual yang aman, dan seks aman. Pemakaian kondom yang
konsisten dan betul dapat mencegah transmisi HIV.

42
Bagi penggina narkoba harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk
mengurangi risiko tertular HIV, yaitu beralih dari NAPZA yang disuntikkan ke yang
dapat diminum secara oral, jangan gunakan atau secara bergantian menggunakan
semprit, air atau alat untuk menyiapkan NAPZA, selalu gunakan jarum suntik atau
semprit baru yang sekali pakai atau jarum yang secara tepat disterilkan sebelum
digunakan kembali, ketika mempersiapkan NAPZA, gunakan air yang steril atau air
bersih dan gunakan kapas pembersih beralkohol untuk bersihkan tempat suntik
sebelum disuntik.
Bagi seorang ibu yang terinfeksi HIV bisa menularkan virus tersebut kepada
bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. Seorang ibu
dapat mengambil pengobatan antiviral ketika trimester III yang dapat menghambat
transmisi virus dari ibu ke bayi. Seterusnya ketika melahirkan, obat antiviral diberi
kepada ibu dan anak untuk mengurangkan risiko transmisi HIV yang
bisa berlaku ketika proses partus. Selain itu, seorang ibu dengan HIV akan
direkomendasikan untuk memberi susu formula karena virus ini dapat ditransmisi
melalui ASI ( The Nemours Foundation, 1995).
Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal
(Universal Precaution) yang meliputi, cara penanganan dan pembuangan barang-
barang tajam, mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
dilakukannya semua prosedur, menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan,
celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat harus bersentuhan
langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya, melakukan desinfeksi instrumen
kerja dan peralatan yang terkontaminasi dan penanganan seprei kotor/bernoda secara
tepat.Selain itu, darah dan cairan tubuh lain dari semua orang harus dianggap telah
terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang apakah status orang tersebut baru diduga
atau sudah diketahui status HIV-nya.1

2.10. Prognosis
Para peneliti telah mengamati dua pola umum penyakit pada anak yang
terinfeksi HIV. Sekitar 20 % dari anak anak menggembangkan penyakit serius pada
tahun pertama kehidupan, sebagian besar meninggal pada usia 4 tahun. Perempuan
yang terinfeksi HIV dan terdeteksi dini serta menerima pengobatan yang tepat,

43
bertahan lebih alam daripada pria. Orang tua yang di diagnosis HIV tidak hidup
selama orang muda yang terinveksi HIV. Meskipun ada upaya yang signifikan,
namu tidak ada vaksin yang efektif terhadap HIV, oleh karena itu hal ini dapat
berakibat fatal jika tidak ada pengobatan.1

KESIMPULAN

AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena


penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency
Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari
infeksi HIV. Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang

44
terbebas dari HIV. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta
orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan epidemi
HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Limfosit CD4+ (sel T helper
atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan
sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi
tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. Dalam tubuh
odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang
terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah
10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko
pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu
dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai
pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi
HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Penatalaksanaan odha terdiri
atas beberapa jenis, yaitu: Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan
obat antiretroviral (ARV), Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi
dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks Pengobatan suportif, yaitu
makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain
seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan
perlu menjaga kebersihan.

45
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI). Di Indonesia, pilihan
utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC + NVP

DAFTAR PUSTAKA

1. UNAIDS. Global report UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2010.
Geneva, 2010.

2. Ditjen P2PL. Statistik Kasus HIV/AIDS Di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI,


2012

46
3. Ditjen P2PL. Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi
antiretroviral pada orang dewasa. Kemenkes RI. Jakarta, 2011.

4. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2009

5. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,


Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in
infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009.

6. Levinson W. Human Immunodeficiency Virus. In: Review of Medical


Microbiology and Immunology. 11th Ed. Philadelphia: McGraw Hill. 2010.
p299-308.

7. Fauci A, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related
Disorders. In : Longo D, Fauci A, Fauci A, Kasper D, Braunwald E, Hause S,
Jameson J Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th Ed. United
States of America: McGraw-Hill. 2011 p241-50.

8. Boswell SL. Approach to the Patient with Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Infection. In: Goroll AH, Mulley AG. Primary Care Medicine: Office Evaluation
and Management of the Adult Patient. 6th Ed. 2009. p87-101.

9. WHO. WHO chase definition of HIV for surveillance and revised clinical staging
and immunological classification of HIV-related disease in adults and children.
Geneva: WHO Departement of HIV/AIDS, 2007.

10. Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman nasional pelayanan

kedokteran. Tatalaksanan hiv/aids. 2011. Hal 47-67.

47

Anda mungkin juga menyukai