HIV/AIDS
Oleh :
H1AP09036
Konsulen :
i
HALAMAN PENGESAHAN
NPM : H1AP09036
Fakultas : Kedokteran
Judul : HIV/AIDS
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................1
1. LATAR BELAKANG.......................................................................................1
2. HIV/AIDS.........................................................................................................3
2.2 Epidemiologi...............................................................................................3
2.3 Etiologi........................................................................................................5
2.4 Patogenesis..................................................................................................6
2.7 Diagnosis.....................................................................................................13
2.9 Pencegahan..................................................................................................46
2.10 Prognosis...................................................................................................46
KESIMPULAN.....................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49
iv
v
TINJAUAN PUSTAKA
1. LATAR BELAKANG
Infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune
Deficiency Syndrome) merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi
prioritas dunia untuk segera diselesaikan. Berdasarkan laporan UNAIDS tahun 2010
dengan menggunakan data 2009, mengestimasikan bahwa sekitar 33.000.000 orang
hidup dengan HIV. Dengan angka tertinggi di region Sub Sahara Afrika dengan
jumlah penderita sebanyak 22.500.000, kemudian setelah itu disusul oleh region
Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan jumlah penderita sebanyak 4.100.000. Di
region Asia Selatan dan Asia Tenggara, urutan kelima besar negara dengan angka
penderita tertinggi yaitu, India (2.400.000), Thailand (530.000), Indonesia
(310.000), Vietnam (280.000), dan terakhir Myanmar (240.000).1
Di Indonesia jika dibandingkan antara laporan UNAIDS pada tahun 2008
dengan 2010, mengalami peningkatan kasus dari 270.000 pada tahun 2008 menjadi
310.000 kasus pada tahun 2010. Perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk
yang tercepat di kawasan Asia meskipun secara nasional angka prevalensinya masih
termasuk rendah. Angka kejadian kasus AIDS di Indonesia, setiap tahun hampir
selalu mengalami peningkatan. Dalam triwulan Oktober - Desember 2012
dilaporkan tambahan kasus AIDS sebanyak 2.145 sehingga total jumlah AIDS di
Indonesia dari tahun 1987 – 2012 sebanyak 45.499 dengan kematian 8.235. Jika di
analisis berdasarkan jumlah kasus perprovinsi, jumlah kasus AIDS tertinggi pada
terdapat di Papua sebanyak 7.795, sedangkan Kalimantan Selatan diurutan ke 27
dengan 192 kasus HIV dan 134 kasus AIDS.1.2
HIV menyerang limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit
CD4. Fungsi CD4 ini sangat penting dalam menjaga imunitas tubuh, yaitu untuk
mengatur dan bekerja sama dengan komponen sistem kekebalan yang lain sehingga,
jika tubuh terserang virus HIV, maka akan mudah sekali terinfeksi penyakit karena
rusaknya sistem pertahanan tubuh. Sistem pertahanan rusak secara perlahan lahan,
dari tidak ada gejala sampai terjadi gejala ringan seperti; (diare, pembesaran kelenjar
1
getah bening, penurunan berat badan sampai sariawan), sampai terjadi gejala berat
(AIDS). Dari semua orang yang terinfeksi HIV, menunjukkan gejala AIDS pada 3
tahun pertama infeksi hanya sedikit jumlahnya, 50% terjadi setelah 10 tahun infeksi,
dan setelah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala AIDS
dan kemudian meninggal. Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di
Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan
terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-
laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20 – 29
tahun.3
1. HIV/AIDS
2
2.1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia yang kemudian dapat menimbulkan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi HIV yang ditandai
dengan adanya infeksi oportunistik dan berakibat fatal. Prosesnya tidaklah terjadi
seketika melainkan sekitar 5 – 10 tahun setelah seseorang terinfeksi oleh HIV.
2.2. Epidemiologi
3
penularan melalui narkotika suntik. Saat ini, perkembangan epidemi HIV di
Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan
terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti
pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di
beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah
tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level
of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas
(generalized epidemic). Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju
peningkatan kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir
dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan
pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi
laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat
352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110
kasus.4,5
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember
2008, sekitar 74,9 % adalah laki-laki dan 24,6 % adalah perempuan. Berdasarkan
cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual, 42,3% pada pengguna narkotika
suntik, 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini
menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir
tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada
kelompok usia 20 – 29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30 – 39 tahun. Dari
33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif
kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI
Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali
dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382
kasus, dan 1.177 kasus AIDS. Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000
penduduk hingga akhir Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk
(dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun
2005). Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi
oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare
4
kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata
1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus.5
2.3. Etiologi
HIV merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang
utama. (Human T-cell leukemia virus HTCLV adalah retrovirus utama lainnya).
Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2
yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Virus tersebut
akan menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4) dan menyebabkan host
kehilangan imunitas seluler dan memiliki probabilitas yang besar untuk terjadinya
infeksi oportunistik. Sel – sel lain seperti makrofag dan monosit, yang memiliki
protein CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV.6
HIV termasuk dalam golongan retrovirus dengan subgroup lentivirus, yang dapat
menyebabkan infeksi secara “lambat” dengan masa inkubasi yang panjang. Gen gag
mengkode protein “inti” bagian dalam, yang merupakan protein terpenting yaitu
p24, yang juga merupakan suatu antigen dalam tes serologik HIV.6
2.4. Patogenesis
5
permukaan sel. Virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4
pada permukaannya, maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel limfosit T yang
mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4 + T cell). Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang
progresif.6
Setelah transmisi HIV, sel dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa
akan menangkap HIV. Sel dendrit bertindak sebagai antigen presenting cell (APC)
dan mempresentasikan HIV ke sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit
T naive. Setelah HIV tertangkap, DC akan menuju kelenjar limfoid dan
mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Di samping mengangkut HIV ke
kelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4, dengan demikian akan
meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel limfosit Th.6
Replikasi virus HIV yang terjadi secara cepat berkaitan dengan mutasi yang
berkontribusi dalam ketidakmampuan antibodi tubuh untuk menetralisasi virus
dalam satu waktu secara bersamaan. Selain itu, kloning sel limfosit T sitotoksik yang
memperbanyak diri selama infeksi primer HIV, yang diperkirakan menjadi respon
imun yang sangat efektif dalam mengeliminasi virus HIV ternyata tidak dapat
6
dideteksi lagi setelah ekspansinya yang pertama disebabkan oleh replikasi virus yang
persisten dan kelelahan respon sel limfosit T sitotoksik.6,7
Replikasi HIV mengikuti siklus retroviral pada umumnya, langkah awal dari
masuknya virus HIV ke dalam sel host adalah pentautan gp120 dari protein selubung
virion dengan protein CD4 pada permukaan sel host. Kemudian protein gp120 virion
berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel, suatu reseptor kemokin.
Reseptor kemokin seperti protein CXCR4 dan CCR5 dibutuhkan dalam proses
masuknya HIV ke dalam sel yang memiliki protein CD4. Virus HIV dengan strain
yang sel T tropik bertautan dengan reseptor CXCR4, sedangkan HIV dengan strain
yang makrofag-tropik bertautan dengan reseptor CCR5. Mutasi pada pengkodean
gen CCR5 dapat menyebabkan seorang individu memiliki proteksi tersendiri
terhadap infeksi HIV.6,7
Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan
kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami
proses reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini
dilakukan oleh enzim reverse transcriptase. Proses sampai step ini hampir sama
dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini
adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang
diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses ini dilakukan oleh
enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi ke
dalam genom sel dinamakan provirus. Dalam kondisi provirus, genom virus akan
stabil dan mengalami proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya,
setiap DNA sel menjalankan proses replikasi secara otomatis genom virus akan ikut
bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari serangan sistem imun
tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus seumur hidup (a life
long infection).
7
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan
sebagai vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien
HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk
ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri. Limfosit
CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan
sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan
gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari
pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus ( SIV ). SIV dapat
menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina.6,7
8
bakterial, suatu infeksi yang terkait perlakuan seksual, namun bukan suatu PMS,
juga dapat dihubungkan dengan risiko yang meningkat dalam risiko terjadinya
infeksi HIV. Infeksi HIV tidak menular melalui kontak kasual seperti berpelukan,
gigitan nyamuk, participasi dalam olahraga, barang-barang yang telah disentuh oleh
individu yang telah terinfeksi HIV. Laki-laki yang tidak disunat memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terinfeksi.6,7
Cara penularan yang jarang namun dapat terjadi termasuk melalui luka akibat
tusukan jarum yang tidak disengaja, inseminasi artifisial dengan semen yang
terinfeksi HIV, transplantasi organ dengan organ yang terinfeksi HIV. Bank darah
dan program donor organ akan menskrining pendonor, baik darah, maupun jaringan
untuk mencegah risiko terjadinya infeksi. Transmisi HIV melalui transfusi darah
telah menurun secara drastis dengan adanya skrining darah yang akan didonasi akan
adanya antibodi terhadap HIV. Di lain pihak, terdapat periode jendela (window
period) pada saat infeksi awal HIV dimana darah dari orang yang terinfeksi telah
mengandung virus HIV namun tidak dapat terdeteksi dengan tes antibodi. Bank
darah kini melakukan tes antigen p24 untuk mendeteksi darah yang mengandung
HIV.8
Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar
dapat dibagi menjadi empat fase: (a) infeksi HIV primer, (b) infeksi asimtomatik, (c)
infeksi simtomatik, dengan ekslusi AIDS, dan (d) AIDS. Kecepatan progresi dari
penyakit ini bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain,
tergantung pada faktor virus dan faktor host.
9
Fase Infeksi Primer
Fase pertama dari penyakit ini terjadi secara singkat. Fase ini terjadi selama 1
sampai 4 minggu setelah transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala
seperti demam, berkeringat, letargi, malaise, myalgia, arthralgia, sakit kepala,
photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi mucopapular pada ekstremitas.
Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang dalam waktu 3 sampai 14
hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-14 infeksi, dan
kebanyakan akan mengalami serokonversi setelah infeksi minggu ke 3 sampai 4.
Perhatikan ketidakmampuan untuk deteksi antibodi saat waktu tersebut bisa
menyebabkan tes serologik yang "false-negative". Hal tersebut memiliki implikasi
yang penting karena HIV bisa bertransmisi selama periode ini.7,8
10
nodus, namun tetap berada di dalam limfe nodus. Hal ini mengindikasikan bahwa
selama periode laten secara klinis ini, virus HIV sendiri tidak memasuki fase laten.7,8
11
Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Supresi ini memicu
perkembangan infeksi oportunistik dan keganasan yang tidak biasa. Gejala
pulmoner, gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan gejala yang biasa
terjadi.
2.7. Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali faktor resiko
HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan
tersangaka ODHA (tabel 1 dan tabel 2).
12
Tabel 2. Daftar tilik riwayat pasien
B. Pemeriksaan Fisik
13
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV
dapat dilihat pada (tabel 3)
14
C. Pemeriksaan Penunjang
Memastikan diagnosis terinfeksi HIV dilakukan juga dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (tabel 4).
15
akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi,
pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential
(rahasia) yang disertai dengan counselling (konseling) dan hanya dilakukan dengan
informed consent.4
16
Alogaritma pemeriksaan HIV
D. Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi.4
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan PDP
untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis,
penilaian imunologis dan penilaian virologi.
Hal tersebut dilakukan adalah untuk sebagai berikut :
17
a) menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral
b) menilai status supresi imun pasien
c) menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi
d) menentukan paduan obat ARV yang sesuai
18
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh
penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Tabel 5. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS
19
Bagian Alur Layanan HIV
20
atau dengan riwayat IDU) Jumlah virus / Viral Load RNA
Profil lipid serum HIV** dalam plasma (bila tersedia
Gula darah dan bila pasien mampu)
VDRL/TPHA/PRP
Ronsen dada (utamanya bila
21
Stadium Klinis HIV/AIDS menurut WHO 11
22
supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan
kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis
kotrimoksasol.
ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4).
Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis. Mulai terapi ARV pada semua pasien
dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi
23
ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.3
Secara umum obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu :4
Kelompok Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) seperti;
zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
Kelompok Non – Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) seperti;
evafirens dan nevirapin
Kelompok Protease Inhibitors (PI) seperti; sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan
atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
24
1. Anjuran Pemilihan obat ARV lini Pertama
2NRTI + 1NNRTI
25
Dosis Pemberian ARV (Antiretroviral) Lini Pertama10
26
kg 15 - <20 kg: 250 mg
1x/sehari.
20 - <25 kg: 300 mg
1x/hari
25 - <33 kg: 350 mg
1x/hari
33 - <40 kg: 400 mg
1x/hari
Dosis maksimal: > 40
kg: 600 mg 1x/hari
6 Stavudin, d4T 30 mg Semua umur < 30 kg: 1 mg/kg/dosis,
(NRTIs) 2x/hari
30 kg atau lebih : 30
mg/dosis, 2x/hari
7. Abacavir 300 mg Umur > 3 bulan < 16 tahun atau < 37.5
(NRTIs) kg: 8 mg/kg.dosis,
2x/hari
Dosis maksimal: >16
tahun atau > 37.5 kg
300 mg/dosis, 2x/hari
27
1. Lopinavir/ Tablet tahan suhu 6 bulan 400 mg/100 mg setiap 12
ritonavir (PI) panas, 200 mg jam untuk pasien naïf baik
Lopinavir + 50 mg dengan atau tanpa kombinasi
ritonavir EFV atau NVP.
600 mg/ 150 mg setiap 12
jam bila dikombinasi dengan
EFV atau NVP untum pasien
yag pernah mendapat terapi
ARV
2 minggu- 6 bulan: 16 mg/4
mg/kg BB, 2x/hari
6 bulan – 18 bulan: 10
mg/lgBB/dosis lopinavir
2. Tenofovir Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam interaksi
disoproxil obat dengan ddl, tidak lagi
fumarat dipadukan dengan ddl.
(NRTIs)
28
oportunistik dan koinfeksi dengan patogen lain. Pada saat ini dikenal dua jenis SPI
yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom pulih imun unmasking (unmasking IRD)
dan sindrom pulih imun paradoksikal. Jenis unmasking terjadi pada pasien yang
tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi untuk infeksi oportunistiknya dan
langsung mendapatkan terapi ARV-nya. Pada jenis paradoksikal, pasien telah
mendapatkan pengobatan untuk infeksi oportunistiknya. Setelah mendapatkan ARV,
terjadi perburukan klinis dari penyakit infeksinya tersebut.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan
infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Pada
waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau non
infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis).
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus
untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut.
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan
inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil
disembuhkan (Expected clinical course of a previously recognized and
successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat memulai
terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi ARV,
banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA HIV yang
cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis
infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi
oportunistik dan memulai terapi ARV. Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen
29
penyebab untuk menurunkan jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV.
Terapi antiinflamasi seperti obat antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan.
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5 – 1
mg/kg/hari prednisolon.3
30
Pedoman Tatalaksana IRIS
31
HBV, yaitu TDF + 3TC atau FTC digunakan untuk peningkatan respoon VL HBV
dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat.
32
5. Kriteria Gagal Terapi ARV
Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria yaitu criteria klinis,
imunologis dan virologist. Viral load yang menetap di atas 5000 kopi/ml
mengkonfirmasi gagal terapi. Bila pemeriksaan VL tidak tersedia, untuk
menentukan gagal terap menggunakan criteria imunologis untuk memastikan gagal
klinis.
Kegagalan Komentar
Gagal klinis Kondisi stadium 4 WHO baru atau Kondisi harus dibedakan dari
berulang SPI. Kondisi WHO stadium 3
tertentu (TB paru, infeksi
bacteria berat) dapat
merupakan tanda kegagalan
pengobatan.
Imunologis Penurunan CD4 kembali seperti Tanpa infeksi penyerta lain
33
awal sebelum pengobatan (atau yang menyebabkan penurunan
lebih rendah) atau CD4 sementara.
Penurunan sebesar 50% dari nilai
tertinggi CD4 yang pernah dicapai
ketika pengobatan atau
Jumlah CD4 tetap < 100 sel/m3
Virologis Viral load plasma > 5000 kopi/ml Ambang batas viral
load optimal untuk
mendefinisikan kegagalan
virologist belum ditentukan
VL>5000 kopi/ml berhubungan
dengan perkembangan klinis
dan penurunan CD4
Penatalaksanaan kepatuhan
Pemeriksaan ulang VL
34
6. Regimen Terapi ARV Lini Kedua
7. Monitoring Pasien
35
Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai
mendekato ambang dan syarat memulai terapi ARV.
36
lanjutan dalam 12 bulan
Monitoring lain :
Monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada
indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte count) tidak
direkomendasikan untuk digunakan memonitor terapi karena perubahan nilai TLC
tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi.
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis dan
penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan klinis dan
imonologi kea rah yang lebih baik, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi dan atau
terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi suatu sindrom pulih imun dimana
pasien sepertinya mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu
keadaan pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan)
Zidovudin Supressi sum sum tulang Jika digunakan pada terapi lini
Anemia makrositi atau pertama, TDF (atau d4T jika tidka ada
neutropenia pilihan lain)
Intoleransi gastrointertinal, Jika digunakan pada terapi lini kedua,
d4T
sakit kepala,
insomnia,asthenia
Pigmentasi kulit dan kuku
Asidosis laktat dengan
steatosis hepatic
37
steatoses hepatitis (jarang)
Tenofovir Asthenia, sakit kepala, diare, Jika digunakan pada lini pertama AZR
mual muntah, sering buang (atau d4t jika tiada pilihan)
angin, insufisiensi ginjal, Jika digunakan pada lini kedua,
sindroma fanconi Secara pendekatan kesehatan
masyarakat, makan tidak ada pilihan
Osteomalasia
lain jika pasien telah gagal
Penurunan densittas tulang
AZT/d4t pada terapi lini pertama,
Hepatitis eksaserbasi akut Jika kemungkinan dipertimbangkan
berat pada pasein HIV dengan merujuk ke tingkat perawatan yang
koinfeksi lebih tinggi dimana terapi individual
Hepatitis B yang tersedia.
menghentikan TDF
38
Toksisitas sisterm saraf pusat
yang berat dan persisten
(depresi dan pusing)
Hiperlipidemia
Ginekomastia (pada laki-laki)
Kemungkinan efek teratogenik
(pada kehamilan trimester
pertama atau wanita yang
tidak mengganggu kontrasepsi
yang adekuat)
9. Terapi Gen
Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya, pengobatan
dilakukan dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi
HIV. Gen ini bisa berupa antisense dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk
replikasi virus tersebut atau ribozyme yang berupa antisense RNA dengan
kemampuan untuk menguraikan RNA target.
Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses
transkripsi menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah
itu, RNA antisense ini akan berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan
mengganggu translasi mRNA sehingga tidak menjadi protein. Karena enzim yang
diperlukan untuk replikasi tidak berhasil diproduksi, otomatis HIV tidak akan
berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan antisense, ribozyme juga
menghalangi produksi suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya
Pendekatan yang dilakukan dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi
imunologi karena tidak mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini
berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya respons
imun di dalam tubuh. Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan sistem
pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah
dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen yang
dimasukkan (gen asing) dan tidak mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu
39
sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. HIV
sebagai vector. Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam
proses transfer gen asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh
Poznansky dan kawan-kawan dari Dana-Farber Cancer Institute Amerika. Setelah itu
penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk terapi gen berkembang
pesat. Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerja sama dengan
Julianna Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi
HIV di dalam sel dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim
yang esensial untuk replikasi HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil
menghambat perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme.
Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil.
Dari hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vector yang
bisa mengekspresikan gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada
organ, seperti otak, retina, hati, dan otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi
secara klinis, aplikasi vektor HIV untuk terapi gen bisa diharapkan. Hal ini lebih
didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang berfungsi
menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan
ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair)
sehingga lebih mudah digunakan. Baru-baru ini David Baltimore dari University of
California Los Angeles (UCLA) berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T
cell dengan menggunakan siRNA terhadap protein CCR5 yang merupakan co-
receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem pengiriman gen.
Semoga metode ini dapat segera digunakan untuk pengobatan AIDS di seluruh
dunia.
40
Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan
banyak komplikasi dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang
mengancam jiwa penderita.
41
Pneumocystis carinii (PCP) Trimethoprim+sulfamethoksasol+dapson
Toxoplasma gondii Pyrimetamin+sulfadiazine
Candidiasis Flukonazol atau Amphotericine B IV
Cryptococcus Amphotericine B IV
Neoformans Amphotericine B
Histoplasmosis Amphotericine B
Coccidioidomycosis Triple drug sekurangnya 9 bulan. Bila dengan
Mycobacterium tuberculosis double drug (tanpa isoniazid atau rifampisin)
Herpes virus pengobatan harus diberikan minimal 18 bulan.
Cytomegalo virus Aksiklovir
Cryptoccocc sporidiosis Ganciclovir, Foscarnet
Isosporiasis Somastitatin analogues
Multifocl leukoenselopati progresif Trimethoprim+Sulfamethoksazol.
Kanker oportunistik: Aksiklovir, Sitarabin
Kaposi Limfoma Non Hodgkin Sitostatik sistemik/lokal, radio terapi
Sitostatik dalam regimen CHOP
2.9. Pencegahan
Terdapat cara – cara yang efektif untuk motivasikan masyarakat dalam
mengamalkan hubungan seks aman termasuk pemasaran sosial, pendidikan dan
konseling kelompok kecil. Pendidikan seks untuk remaja dapat mengajarkan mereka
tentang hubungan seksual yang aman, dan seks aman. Pemakaian kondom yang
konsisten dan betul dapat mencegah transmisi HIV.
42
Bagi penggina narkoba harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk
mengurangi risiko tertular HIV, yaitu beralih dari NAPZA yang disuntikkan ke yang
dapat diminum secara oral, jangan gunakan atau secara bergantian menggunakan
semprit, air atau alat untuk menyiapkan NAPZA, selalu gunakan jarum suntik atau
semprit baru yang sekali pakai atau jarum yang secara tepat disterilkan sebelum
digunakan kembali, ketika mempersiapkan NAPZA, gunakan air yang steril atau air
bersih dan gunakan kapas pembersih beralkohol untuk bersihkan tempat suntik
sebelum disuntik.
Bagi seorang ibu yang terinfeksi HIV bisa menularkan virus tersebut kepada
bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. Seorang ibu
dapat mengambil pengobatan antiviral ketika trimester III yang dapat menghambat
transmisi virus dari ibu ke bayi. Seterusnya ketika melahirkan, obat antiviral diberi
kepada ibu dan anak untuk mengurangkan risiko transmisi HIV yang
bisa berlaku ketika proses partus. Selain itu, seorang ibu dengan HIV akan
direkomendasikan untuk memberi susu formula karena virus ini dapat ditransmisi
melalui ASI ( The Nemours Foundation, 1995).
Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal
(Universal Precaution) yang meliputi, cara penanganan dan pembuangan barang-
barang tajam, mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
dilakukannya semua prosedur, menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan,
celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat harus bersentuhan
langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya, melakukan desinfeksi instrumen
kerja dan peralatan yang terkontaminasi dan penanganan seprei kotor/bernoda secara
tepat.Selain itu, darah dan cairan tubuh lain dari semua orang harus dianggap telah
terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang apakah status orang tersebut baru diduga
atau sudah diketahui status HIV-nya.1
2.10. Prognosis
Para peneliti telah mengamati dua pola umum penyakit pada anak yang
terinfeksi HIV. Sekitar 20 % dari anak anak menggembangkan penyakit serius pada
tahun pertama kehidupan, sebagian besar meninggal pada usia 4 tahun. Perempuan
yang terinfeksi HIV dan terdeteksi dini serta menerima pengobatan yang tepat,
43
bertahan lebih alam daripada pria. Orang tua yang di diagnosis HIV tidak hidup
selama orang muda yang terinveksi HIV. Meskipun ada upaya yang signifikan,
namu tidak ada vaksin yang efektif terhadap HIV, oleh karena itu hal ini dapat
berakibat fatal jika tidak ada pengobatan.1
KESIMPULAN
44
terbebas dari HIV. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta
orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan epidemi
HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Limfosit CD4+ (sel T helper
atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan
sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi
tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. Dalam tubuh
odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang
terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah
10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko
pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu
dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai
pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi
HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Penatalaksanaan odha terdiri
atas beberapa jenis, yaitu: Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan
obat antiretroviral (ARV), Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi
dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks Pengobatan suportif, yaitu
makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain
seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan
perlu menjaga kebersihan.
45
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI). Di Indonesia, pilihan
utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC + NVP
DAFTAR PUSTAKA
1. UNAIDS. Global report UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2010.
Geneva, 2010.
46
3. Ditjen P2PL. Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi
antiretroviral pada orang dewasa. Kemenkes RI. Jakarta, 2011.
7. Fauci A, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related
Disorders. In : Longo D, Fauci A, Fauci A, Kasper D, Braunwald E, Hause S,
Jameson J Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th Ed. United
States of America: McGraw-Hill. 2011 p241-50.
8. Boswell SL. Approach to the Patient with Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Infection. In: Goroll AH, Mulley AG. Primary Care Medicine: Office Evaluation
and Management of the Adult Patient. 6th Ed. 2009. p87-101.
9. WHO. WHO chase definition of HIV for surveillance and revised clinical staging
and immunological classification of HIV-related disease in adults and children.
Geneva: WHO Departement of HIV/AIDS, 2007.
10. Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman nasional pelayanan
47