Anda di halaman 1dari 12

Ar kel Asli

PREVALENSI TINEA KRURIS PADA PEKERJA USAHA MAKANAN SEAFOOD KAKI


LIMA DAN BERBAGAI FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA
Endang Basuki*, Suriadi**, Kusmarinah Bramono***
* Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI
**Program Studi Kedokteran Kerja, Pascasarjana FKUI
***Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN-CM/FKUI

ABSTRAK

Latar belakang: Tinea kruris adalah suatu infeksi jamur dermatota pada, sela paha, pubis,
genital, perianal, dan bokong yang disebabkan oleh spesies dermatota. Dalam melakukan
ak vitas kerja pada usaha makanan seafood kaki lima, pekerja terpajan oleh berbagai faktor
risiko nea kruris.
Tujuan: Peneli an ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi nea kruris serta berbagai faktor
risikonya pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima di Kecamatan Taman Sari, Jakarta
Barat. Metode: Peneli an ini menggunakan desain potong lintang dengan jumlah sampel
sebanyak 87 orang.
Hasil: Hasil peneli an mendapatkan prevalensi nea kruris pada pekerja makanan seafood
kaki lima di Kecamatan Taman Sari sebesar 33,3%. Umur, jenis kelamin, pendidikan,
kebersihan diri, dan status gizi dak terbuk merupakan faktor risiko terhadap kejadian nea
kruris. Walaupun demikian, kebersihan diri cenderung memiliki hubungan yang cukup kuat
dengan nea kruris (p=0,052).
Kesimpulan: Prevalensi nea kruris pada pekerja makanan seafood kaki lima ternyata cukup
nggi bila dibandingkan dengan komunitas pekerja lainnya.
Kata kunci: pekerja seafood kaki lima, nea kruris, prevalensi, faktor risiko.

ABSTRACT
Background: Tinea cruris is a dermatophyte infec on of the groin, pubic area, genital,
perianal and glutea. The informal sector seafood stall workers are suscep ble to this disease.

Purpose: The objec ve of this study was to inves gate the prevalence of nea cruris among
the informal sector seafood stall workers and its risk factors.

Method: The design of this study was cross-sec onal, with a total sample of 87.
Result: This study showed that the prevalence of nea cruris among the informal sector
seafood stall workers in Kecamatan Taman Sari was 33.3%. Age, sex, educa on, personal
hygiene, and nutri onal status were not proved as the risk factors of nea cruris among
informal sector seafood workers. Personal hygiene tended to have a strong rela onship with
the occurrence of nea cruris (p=0.052).

Conclusion: The result of this research demonstrated that the prevalence of nea cruris
among the informal sector seafood stall workers in Kecamatan Taman Sari is apparently higher
than other worker groups.

Key Words: informal sector seafood stall workers, nea cruris, prevalence, risk factors.

PENDAHULUAN
Tinea kruris adalah suatu infeksi jamur pada daerah pubis, sela paha, bokong, dan
kadang sampai perut bagian bawah, yang disebabkan oleh spesies dermatota.1,2 Penularan

nea kruris terjadi melalui beberapa cara, antara lain melalui kontak langsung dari pasien ke
orang lain, dan penyebaran dak langsung melalui kontak dengan benda-benda pribadi yang
dipakai oleh pasien seper handuk, perlengkapan dur, pakaian dalam dan kain sarung.1,3,4
Spesies ini mudah berkembang bila terdapat faktor pencetus, misalnya suhu panas dan
lembab, kebersihan diri yang kurang baik, serta faktor predisposisi yang berasal dari tubuh
pejamu, antara lain hiperhidrosis, obesitas, diabetes melitus, dan gangguan imunitas.1,3,5,6
Dalam melakukan ak vitas kerja pada usaha makanan seafood kaki lima, pekerja
biasanya nggal di rumah majikan, dur bersama-sama sehingga memungkinkan terjadinya
kontak dengan pasien nea kruris di antara pekerja. Pada umumnya kebersihan diri mereka
juga kurang.7 Tinea kruris merupakan dermatotosis yang sering terjadi.1-3 Hamzah pada
peneli an di RSU dr. Abdul Moeloek Lampung terhadap 7611 pasien yang datang berobat ke
Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin, menemukan 1173 menderita dermatotosis. Lima
puluh dua persen di antaranya menderita

nea kruris.8 Prevalensi

nea kruris pada

komunitas umum di Jakarta sebesar 3,45%.7 Prevalensi nea kruris pada komunitas pekerja
lainnya juga cukup

nggi, seper

yang didapatkan Athuf dan Siregar pada peneli an

terhadap pekerja penebangan kayu di Sumatera Selatan, yakni 5% dari jumlah subyek
sebanyak 60 orang.9 Astono dan Sudarja pada peneli an terhadap 2000 pekerja industri

plywood di Provinsi Kalimantan Selatan, menemukan 696 orang menderita penyakit kulit,
11% di antaranya menderita

nea kruris.10 Aquariah yang meneli

lembab terhadap prevalensi

nea kruris pada pabrik sepatu S di Tangerang dengan

hubungan panas dan

responden sebanyak 130 orang, mendapatkan prevalensi nea kruris sebanyak 20,7% pada
bagian hot press line 9, sedangkan pada bagian sewing lantai II hanya 5,38%.11
Peneli an oleh Hermia di Jakarta menunjukkan

nea kruris banyak terdapat pada

golongan umur 25-44 tahun, yakni sebesar 31,6%, pasien laki-laki 71,1%, dan berpendidikan
rendah 78,9%.7 Peneli an tersebut juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara
kejadian nea kruris dengan frekuensi gan pakaian; persentase nea kruris pada subyek
yang bergan pakaian 1x sehari 0,14%, sedangkan pada subyek yang bergan pakaian 2x
sehari hanya 0,01%.7 Satu peneli an di pabrik teks l mendapatkan hubungan dak bermakna
(p=0,200; OR=2,3 95% CI= 0,8-7,0) antara kejadian

nea kruris dan kandidosis ku s

intertriginosa dengan status gizi (obesitas dan kelebihan berat badan) 12


Tinea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima dapat menimbulkan
kerugian bagi usaha tersebut, baik langsung maupun dak langsung. Pekerja yang menderita
nea kruris akan terdorong sering menggaruk kulit sebagai respons terhadap rasa gatal, yang
dapat mempengaruhi produk vitas kerja. Dampak lain adalah kemungkinan berkurangnya
para pelanggan disebabkan kesan makanan yang kurang memenuhi syarat este ka. Kesan ini
dapat terjadi mengingat tata letak usaha tersebut yang terbuka sehingga memungkinkan
pelanggan melihat langsung pekerja yang tanpa sadar melakukan penggarukan.
Tujuan peneli an ini adalah untuk mengetahui prevalensi

nea kruris dan

hubungannya dengan umur, jenis kelamin, pendidikan, kebersihan diri, dan status gizi pada
pekerja makanan seafood kaki lima di Kecamatan Taman Sari, Jakarta. Dengan mengetahui
prevalensi

nea kruris pada pekerja makanan seafood kaki lima, dan faktor yang

berpengaruh terhadap kejadian nea kruris, diharapkan dapat dilakukan upaya pencegahan
yang tepat.

BAHAN DAN CARA


Peneli an ini telah disetujui oleh Komisi E ka Peneli an FKUI. Peneli an dilakukan di

Kecamatan Taman Sari Kota Madya Jakarta Barat, dengan disain potong lintang. Populasi
peneli an adalah pekerja makanan seafood kaki lima yang terdapat di Kecamatan Taman
Sari, terdiri dari kasir, pelayan, tukang masak, asisten masak, tukang bakar, tukang potong
dan tukang cuci. Besar populasi terjangkau adalah 87 orang dan diambil seluruhnya sebagai
sampel. Diagnosis nea kruris ditegakkan bila terdapat keluhan gatal, lokasi yang sesuai, dan
ditemukan 1-3 tanda klinis, yaitu: 1) tepi lesi berbatas tegas, berbentuk polisiklik, 2) terdapat
tanda peradangan polimork, 3) tanda radang tersebut lebih jelas pada bagian tepi, atau
adanya central healing. Bila

dak ditemukan keluhan subyek f berupa gatal dan tanda

obyek f kurang dari 3, maka dilakukan pemeriksaan penunjang sediaan langsung KOH.
Ditemukannya hifa panjang atau artrospora pada pemeriksaan KOH memas kan diagnosis
nea kruris.
Faktor risiko yang diteli adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, kebersihan diri, dan
status gizi. Pendidikan yang dimaksudkan adalah pendidikan formal ter nggi yang dicapai
responden, dibagi atas 2 kategori yaitu pendidikan rendah melipu SD sampai tamat SMP,
dan pendidikan

nggi melipu

SMA sampai sarjana. Konsep kebersihan diri yang dinilai

adalah kebiasaan mandi dan menggan pakaian. Jawaban dikategorikan atas baik bila mandi
2-3 kali/hari dengan menggunakan sabun, dan menggan pakaian bersih 2-3 kali/hari yang
sudah diseterika, dan dak bertukar-tukar handuk maupun pakaian luar atau dalam dengan
orang lain. Jawaban dikategorikan kurang bila salah satu dari kategori baik dak terpenuhi.
Status gizi yang dinilai adalah indeks masa tubuh (IMT) responden, yaitu perbandingan
berat badan dalam kilogram (Kg) dengan kuadrat nggi badan dalam meter (M) Status gizi
dikatakan kurang bila IMT < 18,5, normal bila IMT 18,5-25, berat badan lebih (overweight)
bila IMT antara > 25 sampai 30, dan kegemukan (obese) bila IMT > 30. Tinggi badan diukur

dalam keadaan berdiri tanpa alas kaki, ukuran dalam sen meter. Berat badan diukur tanpa
alas kaki, menggunakan

mbangan berdiri dan ukuran dalam kilogram. Jawaban

dikategorikan berat badan lebih bila dengan IMT > 25.


Pengumpulan data dilakukan dari tanggal 18 November 2004 sampai 22 Desember
2004. Sebelum dilakukan pengumpulan data, kepada responden diberikan penjelasan
tertulis dan lisan tentang peneli an yang akan dilaksanakan hingga responden memahami
maksud peneli an. Responden yang setuju diminta membubuhkan tanda tangan pada
lembar informed consent. Data merupakan data primer yang diperoleh langsung dari
responden, antara lain dengan melakukan wawancara di tempat kerja, pemeriksaan sik di
Puskesmas Kecamatan Taman Sari atau di Klinik Spesialis Budi Lestari, serta pemeriksaan
sediaan langsung KOH yang dikerjakan di Laboratorium Jamur Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUPN-CM/FKUI.

Dilakukan analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan komputer dan


program SPSS 11 for Windows. Batas kemaknaan pada peneli an ini ditetapkan 0,05.
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui rerata dan frekuensi distribusi dari
variabel umur, pendidikan, jenis kelamin, kebersihan diri, dan status gizi (IMT). Analisis
bivariat yang dipakai adalah uji kemaknaan Chi-square. Analisis ini dimaksudkan untuk
melihat hubungan antara masing-masing faktor risiko dengan kejadian nea kruris.

HASIL PENELITIAN
Tabel 1 memperlihatkan karakteris k demograk pekerja usaha makanan seafood kaki
lima berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, dan pendidikan. Pada tabel tersebut tampak
bahwa sebagian besar pekerja usaha makanan seafood kaki lima adalah laki-laki, berumur

antara 20-29 tahun dan berpendidikan rela f rendah.


Tabel 1. Karakteris k demogra pekerja makanan seafood kaki lima,Kecamatan Taman Sari, 2004
Jumlah
Persentase
Kelompok Usia
< 20 thn
20 29 thn
30 +
thn

19
59
9

21,8
67,9
10,3

Laki-laki
Perempuan

81
6

93,1
6,9

Rendah
Tinggi

76
11

87,4
12,6

Jenis kelamin

Pendidikan

Tabel 2 memperlihatkan prevalensi nea kruris berdasarkan pemeriksaan klinis dan KOH.
Tampak bahwa prevalensi nea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima sebesar
33,3%.

Tabel 2. Prevalensi nea kruris pada pekerja makanan seafood kaki lima, Kecamatan Taman Sari, 2004
Tinea kruris
Pemeriksaan klinis + KOH
Posi f
Nega f

Jumlah

Persen

29
58

33,3
66,7

Pada tabel 3 disajikan sebaran responden menurut faktor risiko nea kruris, antara lain
umur, jenis kelamin, pendidikan, kebersihan diri, serta status gizi. Untuk melihat faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap nea kruris, dilakukan analisis bivariat antara faktor risiko dengan
kejadian nea kruris.

Tabel 3. Hubungan antara berbagai faktor risiko dengan kejadian nea kruris pada
pekerja makanan seafood kaki lima, Kecamatan Taman Sari, 2004
Faktor risiko
Tinea kruris
P
Posi f
Nega f
Kelompok usia
> 20 tahun
23
45
0,929
< 20 tahun
6
13
Jenis kelamin *)
Laki-laki
28
53
0,659
Perempuan
1
5

OR

95% CI

Low

High

1,11

0,33

3,79

0,38

0,02

3,64

Pendidikan *)
Rendah
Tinggi
Kebersihan diri*)
Kurang baik
Baik

Status gizi *)
Berat badan lebih
Normal/kurang
Ket : *) Uji mutlak Fisher

28
1

48
10

0,891

5,83

0,70

128,2

28
1

46
12

0,052

7,30

0,90

158,4

4
25

5
53

0,474

1,70

0,34

8,18

PEMBAHASAN
Pada peneli an ini diperoleh prevalensi

nea kruris pada pekerja usaha makanan

seafood kaki lima di Kecamatan Taman Sari adalah sebesar 33,3%. Hasil ini menunjukkan
ngginya prevalensi

nea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima

dibandingkan dengan prevalensi pada komunitas umum atau pekerja lainnya. Peneli an
Hermia di satu RW di Jakarta, memperoleh prevalensi nea kruris pada komunitas umum
sebesar 3,45%.7 Angka pada peneli an ini juga lebih nggi bila dibandingkan dengan hasil
peneli an pada komunitas pekerja lainnya, misalnya pekerja industri plywood sebesar 11%,8
dan pekerja penebangan kayu sebesar 5%.9 Panas dan lembab mungkin merupakan faktor
risiko untuk kejadian nea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima. Peneli an
yang dilakukan oleh Aquariah di pabrik sepatu S di Tangerang menunjukkan bahwa
prevalensi nea kruris pada pekerja yang terpajan panas dan lembab ternyata nggi. Untuk
peneli an berikutnya perlu dikaji lebih lanjut tentang faktor panas dan lembab sebagai faktor
risiko

nea kruris. Populasi yang dipilih adalah populasi dengan pajanan panas yang

berbeda, atau dengan menggunakan analisis tugas (job analysis) pada 2 kelompok yang iklim
kerjanya dak berbeda, dengan desain kasus-kontrol. Pada iklim kerja yang sama, kelompok
pekerja dengan beban kerja berat akan mendapat heat stress yang lebih besar daripada

pekerja dengan beban kerja ringan.


Berdasarkan hasil analisis bivariat dak ditemukan hubungan yang bermakna antara
berbagai faktor risiko yang diteli dengan kejadian nea kruris, walaupun, kebersihan diri
memperlihatkan kecenderungan hubungan yang cukup kuat. Kusmayoni mendapatkan
kebersihan diri sebagai faktor risiko terhadap kejadian nea kruris (p<0,001; OR= 8,6; 95% CI
= 4,2-17,6).12 Demikian pula Hermia menemukan faktor gan pakaian merupakan faktor risiko
terhadap kejadian nea kruris.7
Kontak erat dengan pasien

nea kruris sebagai faktor risiko

dak menunjukkan

hubungan yang bermakna secara sta s k. Hasil ini sesuai dengan peneli an Budimulja yang
menunjukkan bahwa dari 1000 pasien dermatotosis yang diperiksa, 74,6% diantaranya dak
jelas sumber infeksinya.13 Peneli an ini juga mendukung pendapat Hay yang mengatakan
bahwa penularan

nea kruris

dak perlu melalui kontak langsung antara pasien

dermatotosis dengan individu sehat.14


Pada analisis bivariat status gizi

dak menunjukkan hubungan bermakna secara

stas s k dengan kejadian nea kruris. Tidak bermaknanya status gizi sebagai faktor risiko
terhadap kejadian nea kruris, disebabkan pekerja pada umumnya memiliki berat badan
normal, dak ada pekerja dengan obesitas, hanya 10,3% pekerja dengan berat badan lebih.
Hasil ini sesuai dengan peneli an Aquariah dan peneli an Kusmayoni.11,12
Walaupun pada beberapa peneli an sebelumnya ditemukan nea kruris lebih banyak
pada laki-laki,10,15-18 namun pada peneli an ini faktor jenis kelamin sebagai faktor risiko dak
menunjukkan hubungan yang bermakna secara sta s k. Hal ini mungkin karena

dak

seimbangnya komposisi jenis kelamin responden.


Faktor pendidikan pada analisis bivariat juga

dak menunjukkan hubungan yang

bermakna secara sta s k dengan kejadian nea kruris, walaupun proporsi nea kruris pada
kelompok berpendidikan rendah lebih nggi daripada kelompok yang berpendidikan nggi.
Hasil ini sesuai dengan peneli an Aquariah yang juga menemukan variabel pendidikan dak
mempunyai hubungan (p =0,246) dengan kejadian

nea kruris. Proporsi pekerja yang

menderita nea kruris pada kelompok yang berpendidikan rendah sebesar 46,7% dan pada
kelompok yang berpendidikan sedang sebesar 35,7%.11 Sedangkan hasil peneli an Hermia
menunjukkan bahwa faktor pendidikan berhubungan bermakna dengan kejadian
kruris (p<0,05); proporsi

nea

nea kruris pada kelompok yang berpendidikan rendah 78,9%

sedangkan pada kelompok berpendidikan nggi 12,1%.7 Tampaknya perlu peneli an lebih
lanjut dengan disain kasus-kontrol mengenai hubungan antara variabel pendidikan dengan
kejadian nea kruris,.
Terhadap variabel umur sebagai faktor risiko dilakukan pengelompokan usia yaitu > 20
tahun dan < 20 tahun. Hasil analisis bivariat menunjukkan dak terdapat hubungan yang
bermakna antara usia dengan kejadian nea kruris. Pada peneli an ini, kelompok usia yang
banyak menderita

nea kruris adalah usia > 20 tahun sebesar 26,4%. Hermia juga

menemukan prevalensi nea kruris terbanyak pada golongan umur 25-44 tahun sebesar
44,7%.7 Aquariah menemukan prevalensi nea kruris terbanyak pada golongan umur 20-30
tahun sebesar 35,7%.11,12,22 Sedangkan Budimulja menemukan yang banyak menderita nea
kruris kelompok umur 10-30 tahun.13 Keadaan tersebut sesuai dengan teori yang
menyatakan kelompok dewasa muda lebih banyak menderita nea kruris; diduga karena
kelompok tersebut lebih ak f bergerak sehingga lebih banyak berkeringat.1,2 Meskipun
demikian, dermatotosis dapat menginfeksi semua usia, walaupun lebih jarang pada
anak-anak.1,14,15,19-22

KESIMPULAN
Peneli an ini mendapatkan prevalensi nea kruris pada pekerja usaha makanan seafood
kaki lima di Kecamatan Taman Sari-Kotamadya Jakarta Barat sebesar 33,3%. Walaupun pada
peneli an ini dak dijumpai hubungan yang bermakna antara berbagai faktor risiko yang
diteli dengan kejadian

nea kruris, namun ditemukan faktor kebersihan diri cenderung

memiliki hubungan yang cukup kuat dengan kejadian nea kruris.

SARAN
Diperlukan beberapa peneli an lanjutan agar faktor risiko

nea kruris pada pekerja

makanan seafood kaki lima dapat diketahui. Untuk mengetahui pengaruh panas dan lembab
terhadap kejadian nea kruris di antara pekerja, diperlukan pengelompokan populasi yang
jelas berada pada dua tempat yang iklim kerjanya berbeda atau dengan melakukan analisis
tugas (job analysis) pada 2 kelompok yang iklim kerjanya dak berbeda. Untuk mengetahui
apakah kebersihan diri merupakan faktor risiko terhadap nea kruris, diperlukan peneli an
dengan disain kasus-kontrol.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rippon JW. Medical mycology the pathogenic fungi and the pathogenic ac nomycetes. 3rd ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Co; 1988: 207-10.
2. Goedadi H, Suwito PS. Tinea korporis dan nea kruris. Dalam: Budimulja, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,
Dwihastu P, Widaty S, editor. Dermatomikosis supercialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2004. 31-5.
3. Mar n Ann G, Kobayashi GS. Fungal diseases with cutaneous involment. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wol

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

K,Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, Fitzpatrick TB, editor. Dermatology in general medicine. 5th ed. New York:
McGraw-Hill; 1999: 2337-55.
Hernandez AD. Dermatophytosis and other supercial myco c infec ons. Dalam: Roeningk HH, editor. Oce
dermatology. Bal more: Willliams & Wilkins; 1982: 107-13.
Stewart WD, Danto JL, Maddin S. Dermatology diagnosis and treatment of cutaneous disorders. 4th ed. Saint louis:
The C.V.Mosby Company;1978: 272-4.
Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, editor. Textbook of dermatology. 5th ed. Oxford: Blackwell Scien c
Publica on; 1992.
M Hermia T. Peneli an nea kruris di satu rukun warga di Jakarta [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.
Hamzah MS. Insiden dermatomikosis selama periode Januari 1996- Desember 1998 di RSU Dr. Abdul Moeloek
Bandar Lampung. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 2000; 1: 5-7.
Athuf MT, Siregar RS. Dermatosis akibat kerja karyawan penebangan kayu di sumatera selatan. MDVI; 1995. 22:
19-22.
Astono S, Sudarja H. Penyakit kulit di kalangan tenaga kerja industri plywood di Propinsi Kalimantan selatan. CDK
2002; 136: 43-4.
Aquariah L. Hubungan panas dan lembab terhadap prevalensi nea kruris pada pekerja hot press dan sewing
pabrik sepatu [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia, 2004.
Kusmayoni NWM. Prevalensi nea kruris dan kandidosis ku s intertriginosa di lingkungan kerja panas dan lembab
pada pekerja wanita pabrik teks l S di Tangerang [Tesis]. Jakarta. Universitas Indonesia, 2005.
Budimulja U. Penyelidikan dermatotosis di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo [tesis]. Jakarta: Universitas
Indonesia, 1980.
Hay RJ. Dermatophytosis and other supercial mycoses. In:Mandel GL, Douglas RG, John EB, editors. Principles
and prac ce of infec ous diseases. 3rd ed.New York: Churchill Livington Inc; 1990. p.20-5.
Wiederkehr M. Tinea cruris. Diunduh dari : URL:
h p://www.emedicine.com/derm/topic471htm. Last
Updated: April29,2003.
Elgart ML, Warren NG. The supercial and subcutaneous mycoses. Dalam: Moschella SL, Hurley HJ, editors.
Dermatology. 3rd ed. New York: W.B. Saunders Co;1992: 869-86.
Odom RB, James WD, Berger TG. Andrew diseases of the skin: clinical dermatology. 9th ed. New York: W.B.
Saunders Co, 2000: 370-2.
Pendit BU. Perbandingan evaluasi viabilitas dermatota dengan pewarna merah netral terhadap biakan agar
mycobio c pada pasien nea kruris dan/atau korporis [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia, 1997.
Rook, Wilkinson, Ebling. Textbook of dermatology. 6th ed. Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM,
editors. London: Blackwell Science; 1998: 1311-2.
Hakim Z. Insiden dermatomikosis di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Dr. M.Jamil,Padang. Jurnal Mikologi
Kedokteran Indonesia 2000; 1: 1-3.
Zaias N, Berman B, Cordero CN, Hernandez A, Jacobson C, Millikan L, et al. Ecacy of a 1 week, once-daily
regimen of terbinane 1% cream in the treatment of nea cruris and nea corporis. J Am Acad Dermatol 1993; 29:
646-8.
Werdani S, Ramali LM. Pengobatan nea kruris secara topikal dengan krim terbinan 1% selama 1 minggu
dibandingkan dengan krim bifonazol 1% selama 3 minggu di RSUP. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Dokter Keluarga
1995; 2: 27-31.

Anda mungkin juga menyukai