Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS ICU

Sepsis dan Perhatian Tindakan Anastesi

Disusun untuk memenuhi tugas


Kepaniteraan Klinik Lab/SMF Anestesi di RSD dr.Soebandi Jember

Oleh :
Rina Andriani 20710118
I Gede Arya Widya Kesuma 20710205

Pembimbing:
dr. Suparno Adi Santika, Sp. An

SMF/LAB ANESTESI
RSD dr. SOEBANDI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA
KUSUMA SURABAYA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk dan
pertama kali dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18 SM).
Kemudian pada tahun 1914 Hugo Schottmuller secara formal mendefinisikan
“septicaemia” sebagai penyakit yang disebabkan oleh invasi mikroba ke dalam aliran
darah. Walaupun dengan adanya penjelasan tersebut, istilah seperti “septicaemia:,
sepsis, toksemia dan bakteremia sering digunakan saling tumpang tindih. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu standar untuk istilah tersebut dan pada tahun 1991,
American College of Chest Physicians (ACCP) dan Society of Critical Care
Medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus mengenai Systemic Inflammatory
Response Syndrome(SIRS), sepsis, dan sepsis berat. Sindrom ini merupakan suatu
kelanjutan dari inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS menjadi sepsis, sepsis
berat dan septik syok.

Sepsis dan syok septik adalah salah satu penyebab utama mortalitas pada
pasien dengan kondisi kritis. Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang
melibatkan aktivasi awal dari respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh.
Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas sirkular seperti penurunan volume
intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan
peningkatan metabolisme akan menyebabkan ketidakseimbangan antara
penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan
menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok.

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebab


perforasi gastrointestinal paling sering adalah ulkus peptikum, lalu bisa juga disebabkan
karena kerusakan akibat trauma, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, perubahan pada
kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal.
Perforasi terjadi apabila isi dari kantung masuk ke dalam kavum abdomen, sehingga
menyebabkan terjadinya peritonitis

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik
pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difus dan riwayat akut atau kronik. Peritonitis juga menjadi salah satu
penyebab tersering dari akut abdomen. Akut abdomen adalah suatu kegawatan
abdomen yang dapat terjadi karena masalah bedah dan non bedah. Peritonitis secara
umum adalah penyebab kegawatan abdomen yang disebabkan oleh bedah. Peritonitis
tersebut disebabkan akibat suatu proses dari luar maupun dalam abdomen. Proses dari
luar misalnya karena suatu trauma, sedangkan proses dari dalam missal karena
apendisitis perforasi. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya
disertai dengan bakteremia atau sepsis. Kejadian peritonitis akut sering dikaitkan
dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber
infeksi pada intra abdominal, peritonitis dikategorikan sebagai primary peritonitis.

Keamanan dalam tindakan anestesia (anaesthesia safety) merupakan suatu


masalah penting yang harus diperhatikan secara serius sejak saat pra operatif hingga
pasca operatif. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi bahaya atau risiko buruk yang
dapat terjadi pada saat pasca anestesia. Dengan mengutamakan keamanan dalam
tindakan anestesia berarti keselamatan pasien (patient safety) juga turut diutamakan.
Menurut Institute of Medicine, keselamatan pasien didefinisikan sebagai freedom from
accidental injury.

Secara umum, accidental injury disebabkan karena kesalahan yang meliputi


kegagalan suatu perencanaan atau menggunakan rencana yang salah untuk mencapai
tujuan. Accidental injury juga merupakan akibat dari melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Tujuan patient safety ialah untuk
mengurangi risiko cedera pada pasien akibat struktur dan proses pelayanan kesehatan.
Risiko dari kurangnya perhatian terhadap anaesthesia safety pada suatu tindakan
operatif dapat menimbulkan masalah antara lain kesalahan memilih obat yang tepat,
kesalahan memilih sirkuit anestesia, tidak terdeteksinya gangguan koneksi alat-alat,
kesalahan dalam intubasi esofagus dan intubasi bronkial, ekstubasi terlalu dini, ventilasi
buatan kurang adekuat, dan sebagainya.
BAB II

LAPORAN KASUS

Pasien laki-laki usia 56 tahun dengan berat badan 85 kg datang ke RSDS pada tanggal
25 maret 2021 pada jam 23.00 WIB didapatkan riwayat pasien perut membesar kurang lebih
1 minggu yang lalu dan disertai sesak dan merupakan pasien rujukan dari RS DKT dengan
diagnosa medis peritonitis generalisata dengan suspect perforasi gaster + sepsis dengan
kesadaran composmentis GCS 4-5-6, TD 120/80 mmHg, Nadi 94x/menit, suhu 36,5 0C,
pernafasan 28x/menit, SpO2 98%, Riwayat pengobatan telah diberi inj cefotaxime 3x1
(14.00), inj. Ketorolac 3x1 (14.00), inj Ranitidin2x50 g (18.00), Inf RL 20 tpm (18.00),
Nebul Combivent/8 jam(16.00), Nebul Pulmicort/12 jam (16.00), inj MP 2x62,5 g (18.00),
O2 nasal 4 lpm (19.00), tidak ada Riwayat alergi.

Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat (UGD) :

Dari hasil pemeriksaan UGD keluhan utama pasien nyeri perut di seluruh lapang,
skala nyeri 7, dengan sakit yang terus menerus, nyeri dirasa tumpul, tidak ada Riwayat alergi,
Riwayat penyakit DM dan Hipertensi tidak ada, kondisi umum cukup GCS 4-5-6, TD 143/82
mmHg, Nadi 113x/menit, frekuensi nafas 28x/menit, suhu 36,8 0C, pemeriksaan fisik
didapatkan kepala A/I/C/D (-/-/-/+), paru vesikuler (+/+), ronchi (-), wheezing (-), abdomen
distanded (+), pemeriksaan lab DL, Klinik, TR, pasang infus RL 1000+500 ml/20 tpm

Follow up :

S : nyeri perut

O:

B1 : RR 24x/menit, nafas spontan

B2 : Nadi 90x/menit, TD 150/80 mmHg, suhu 36.5oC, CRT < 2 detik

B3 : GCS 4-5-6

B4 : Bak via DC UP

B5 : BAB (-) ± 5 Hari, Makan minum via NGT

B6 : Fraktur (-)

Assesment : Nyeri akut, Intoleransi aktivitas


Planning : masalah keperawatan teratasi Sebagian setelah dilakukan tinkep

Diagnosa : peritonitis generalisata , Bronkitis, Hipoalbumin

Pemeriksaan Penunjang

Gambar 1. Hasil pemeriksaan Radiologi AP

Bayangan gas usus normal bercampur fecal material dengan distribusi hingga cavum
pelvis, tak tampak abnormal dilatasi gas bowel, step ladder pattern, colled spring maupun
herring bone sign, bayangan hepar lien tak tampak membesar, contour ginjal kanan kiri
normal, tak tampak bayangan radioopaque di sepanjang tractus urinarius, psoas shadow
kanan kiri simetris, corpus, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik, LLD, tak
tampak step ladder patologis, tak tampak luscent area di luar contour bowel.
Kesimpulan : saat ini tak tampak gambaran ileus obstructive maupun paralitik, tak
tampak pneumoperitoneum,tak tampak batu opaque sepanjang tractus urinarius

Gambar 2. Hasil USG


Upper and lower abd :

Hepar : besar normal, permukaan rata tepi tajam, intensitas echo-parenkhim homogen iso-
echoik, system vaskuler/porta/billier baik, nodul/kiste/abses (-)

Pancreas/Lien : besar normal, intensitas echo-parenkhim homogen, kalsifikasi/nodul/kiste


(-)

Ren dextra/sinistra : besar normal, intensitas echo-cortex tak meningkat, calyceal system
tak melebar, batu (-)

Gall bladder : besar normal, dinding tak menebal, batu/sludge (-) intra hepatal bile duct
dan common bile duct tak melebar

Buli-buli : dinding tak menebal, batu (-), prostat normal

Cairan bebas intra abdominal (-)

Pembesaran kelenjar getah bening para aorta (-)

USG abdomen dalam batas normal

1.1 Tabel Pemeriksaan Darah dan lab PK

Pemeriksaan darah (24-03-2021)

Hemoglobin 12.8
Lekosit (WBC) 18.92
LED -
Hitung Jenis -
Eos
Baso -
Stab -
Seg 72.4
Lymp 20.8
Mono 6.8
Hematokrit 41.1
Trombosit 139
(PLT)
Eritrosit (RBC) 4.85
MCV 84.7
MCH 26.4
MCHC 31.1
RDW-SD 46.2
RDW-CV 16
MPV 11.3

Riwayat lab PK (25-03-2021)

Elektrolit
Natrium 134.8
Kalium 3.60
Chloride 98.5
Faal Hati
Albumin 2.2
Lain-lain
Suhu 37,2
FiO2 0.21
Ca 1.15
pH 7.36
pCO2 31
PO2 64
BE -6.9
tCO2 18.5
HCO3 17.5
tHB 12.1
SO2 91
AaDO2 47
Na 132
K 3.1

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien merupakan pasien MRS yang dirujuk dari Rumah Sakit DKT
dengan hasil anamnesis pasien didapatkan keluhan nyeri perut sejak 1 minggu lalu dengan
dan hasil diagnosis pasien adalah peritonitis generalisata suspect perforasi gaster + sepsis.
Peritonitis adalah inflamasi terlokalisasi atau generalisata di dalam kavum peritonium yang
umumnya disebabkan oleh bakteri atau jamur, namun dapat juga disebabkan oleh zat
noninfeksi seperti kandungan gaster atau isi empedu. Perforasi gaster adalah penyebab umum
dari akut abdomen, penyebab perforasi umumnya adalah ulkus peptikum, trauma abdomen,
inflamasi diverticulum kolon sigmoid, penyakit chorn, colitis ulserasi dan tumor ganas.
Faktor lain yang dapat menyebabkan perforasi gaster adalah kebiasaan merokok dan minum
alkohol karena merokok akan menghambat sekresi bikarbonat dan kandungan nikotin dalam
rokok akan menstimulasi sekresi asam begitu pula dengan alkohol yang dapat menyebabkan
kerusakan mukosa lambung, menstimulasi asam lambung dan meningkatkan kadar gastrin
serum. Mengkonsumsi obat OAINS dapat merusak barrier lambung, karena kerjanya yaitu
menghambat sintesis prostaglandin yang meningkatkan produksi asam lambung dan
mengurangi sekresi mucus.

Peritonitis sampai saat ini merupakan masalah infeksi yang sangat serius, walaupun
perkembangan antimikroba dan penanganan intensif sangat pesat. Peritonitis terjadi setelah
kontak fisik pertama bakteri dengan peritoneum dimana akan terjadi cedera pada sel-sel
mesotelium yang disusul oleh aktivasi mediator inflamasi yang akan mengaktivasi respons
imunologi seluler dan humoral. Respons awal peritoneum melawan bakteri ditandai oleh
hiperemia dan eksudasi cairan meningkat bersamaan dengan fagosit di dalam kavum
peritoneum. Pada tahap awal ini yang predominan adalah makrofag. Neutrofil muncul setelah
2–4 jam dan menjadi sel predominan dalam kavum peritoneum dalam 48–72 jam. Sel-sel
tersebut melepaskan sitokin dalam jumlah besar seperti interleukin (IL)-1, IL-6, dan tumor
necrosis factor (TNF), leukotriens, platelet activating factor, C3A dan C5A yang
menginduksi inflamasi lokal yang lebih berat. Efek kombinasi mediator tersebut ditemukan
selama respons inflamasi pada peritonitis. Sebagai konsekuensi inflamasi ini terjadi produksi
fibrinogen pada fokus septik. Akibat pembentukan fibrin yang cepat, tumpukan fibrin
tersebut akan mengurangi dan menyumbat reabsorpsi cairan dari kavitas peritonium sehingga
bakteri terperangkap di dalamnya. Fenomena inilah yang menyebabkan abses. Pada penilaian
awal pasien masuk dengan sesak adalah diakibatkan delivery oksigen ke seluruh jaringan
termasuk jaringan alveolus paru tidak sampai optimal (secara mikro mengalami hipoksia).
Begitu juga dengan jaringan otot otot pernapasan juga tidak mendapatkan asupan oksigen
yang optimal dan sentral drive respirasi ekspirasi juga terganggu sehingga terjadi gagal
oksigenasi dan ventilasi. Hipoksia pada kasus ini dapat diakibatkan oleh hambatan difusi
akibat cairan (udema paru minimal), atau kerusakan mikrojaringan alveolar.

Infeksi pada pasien diatasi dengan pemberian antibiotik yang sesuai pada kasus
tertentu, ciprofloxacyn dan cephalosporins generasi ketiga atau keempat (ceftriaxone atau
cefotaxime). Terapi antibiotik sebaiknya dimulai secepat-cepatnya. Terapi inisial diberikan
secara empirik. Pemilihan antibiotik sebaiknya berdasar atas mikro-organisme yang dicurigai
dan kapasitas antibiotik untuk mencapai kadar yang adekuat dalam kavitas peritoneum.
Perforasi pada saluran cerna bagian atas umumnya berhubungan dengan bakteri grampositif,
yang sensitif terhadap cephalosporin dan penicillin.
Manajemen peritonitis umumnya kompleks dan memerlukan pendekatan
multidisipliner. Ahli bedah dan intensivis harus bekerja sama dengan praktisi penunjang
nutrisi, terapi respirasi, penyakit infeksi, dan radiologi. Penggunaan protokol standar untuk
resusitasi dan tunjangan hemodinamik/ventilator untuk fasilitasi seluruh tata laksana akan
berdampak positif terhadap luaran pasien. Keseimbangan cairan sebaiknya dicapai dengan
cepat melalui pergantian setiap kekurangan cairan. Zat vasoaktif dapat saja diperlukan untuk
membantu restorasi cairan. Faktor utama yang terpenting pada tata laksana infeksi abdominal
adalah diagnosis yang cepat dan tepat, resusitasi yang adekuat, inisiasi terapi antibiotik yang
tepat, source control yang cepat dan tepat, rumatan nutrisi, dan penilaian ulang respons klinik
serta strategi tata laksana yang tepat.

laparotomy eksplorasi adalah laparotomy yang dilakukan dengan tujuan memperoleh


informasi yang tidak tersedia melalui metode diagnostik klinis. Hal ini biasanya dilakukan
pada pasien dengan sakit perut akut. Setelah patologi yang mendasari ditemukan, laparotomy
eksplorasi dapat dijadikan prosedur terapi. Salah satu fungsi tindakan anestesia adalah untuk
menunjang tindakan operasi eksplorasi rongga abdomen (laparotomy eksplorasi).

Gambar 3. Tabel SOFA (Sequental Organ Failure Assesment)


Tabel 1.2 Skor SOFA (Sequental Organ Failure Assesment)

Skor sofa pasien


PaO2 4
Koagulasi platelet 1
Bilirubin -
Kardiovaskular 0
GCS 0
Kreatinin -
Total 5

Peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis. Skor SOFA dapat
membantu untuk melihat disfungsi organ atau gagal organ selama perawatan dan dapat
digunakan untuk memprediksikan prognosis dari pasien yang dirawat di ICU.

Assesmen Pra Anastesi

Anamnesa dari : Tn. Sujarno

Riwayat anestesi : Tidak ada

Komplikasi : Tidak ada

Riwayat alergi : Tidak ada

Obat-obatan yang sedang dikonsumsi: -

Berat badan : 85 kg

Tinggi badan : 160 cm

Tekanan Darah : 150/80 mmHg

Nadi : 125 x/ menit

Respiratory rate : 20 x/menit

Temperatur : 37ºC

Skor Nyeri :-

Fungsi Sistem Organ

Pernapasan : Dalam Batas Normal


Kardiovaskular : Dalam Batas Normal

Neuro/ Muskuloskeletal : Dalam Batas Normal

Evaluasi Jalan Napas

Bebas : Ya

Buka mulut : Maksimal

Profasi mandibula : Tidak

Leher pendek : Tidak

Gerak leher : Bebas

Malampathy : Grade I

Massa : Tidak ada

Pemeriksaan Laboratorium

Hb : 12,8

HCT : 41,1

Trombosit : 139

Leukosit : 18,92

SGOT : 42

SGPT : 85

Albumin : 2,2

KESIMPULAN ASSESMEN PRA ANESTESI : PS ASA II

Rencana Anestasi

General Anestesi : Intubasi

Sedatif :

1. Midazolam, Dosis 0,1 – 0,4 mg/ KgBB, IV


2. Propofol , Dosis 1-2,5 mg/KgBB/, IV

Analgetik :
1. Fentanyl, 2 – 150 mcg/ KgBB, IV

Pelumpuh Otot :

1. Atracurium, Dosis 0,5mg/KgBB, IV


2. Rocuronium, Dosis 0,6-1,2 mg /KgBB,IV

Maintanance :

Inhalasi :

1. O2
2. Air
3. Sevofluran, 1 MAC = 2%

Induksi

Teknik induksi : Intra Vena

Teknik intubasi : Apnea

1.3 Tabel Grafik Monitoring Intra Anestesi

Monitoring Intra Anestesi


140

120
Sistolik
100
Diastolik
80 RR
SpO2
60 Suhu

40

20

0
10.00 11.00
Keterangan :

Cairan Pra-Anestesi :

Cairan Masuk : RL 1000 cc

Cairan Intra Anestesi :

Cairan Masuk : Kristaloid RL 1000 cc

Cairan Keluar : Darah ± 50 cc

Pemantauan intra operatif

 Pemantauan jalan napas : bertujuan untuk mempertahankan keutuhan jalan


napas. Jalan napas selama anastesia baik dengan teknik sungkup maupun
intubasi trakea dipantau secara ketat dan kontinu. Pada napas spontan,
pemantauan dilakukan melalui gejala/tanda : terdengar suara napas patologis,
Gerakan kantong reservoir terhenti atau menurun, tampak Gerakan dada
parodoksal. Pada napas kendali : tekanan inflasi terasa berat, tekanan positif
inspirasi meningkat, dll
 Oksigenasi : bertujuan untuk memastikan kadar zat asam di dalam udara/gas
inspirasi dan di dalam darah. Hal ini terutama dilakukan pada anestesia umum
inhalasi. Dilakukan dengan cara memeriksa kadar oksigen inspirasi, dilakukan
dengan menggunakan alat pulse oximeter. Lalu oksigenasi darah diperiksa
secara klinis dengan melihat waarna darah luka operasi dan permukaan
mukosa. secara kualitatif dengan alat pulse oximeter dan pemeriksaan analisis
gas darah
 Ventilasi : bertujuan untuk memantau keadekuatan ventilasi. Dilakukan
dengan cara diagnostic fisik yaitu mengawasi gerak naik turunnya dada,
kembang kempisnya kantong reservoiratau auskultasi suara napas, memantau
end tidal CO2 terutama pada operasi lama, jika ventilasi dengan alat bantu
napas mekanik => gunakan system alarm yang memberikan tanda bila nilai
ambang tekanan terlampaui, Analisis gas darah untuk melihat tekanan parsial
CO2
 Sirkulasi : bertujuan untuk memastikan fungsi sirkulasi adekuat dilakukan
dengan cara menghitung denyut nadi, mengukur tekanan darah secara nonvasif
(dengan tensimeter), mengukur tekanan darah secara invasive, EKG, dan
disertai oksimetri denyut, menilai produksi urin, mengukur tekanan vena
sentral dengan kanulasi vena sentral
 Suhu tubuh : bertujuan untuk mempertahankan suhu tubuh, lakukan penilaian
suhu tubuh dengan menggunakan thermometer

1.4 Tabel Grafik Monitoring Pasca Anestesi

Monitoring Pasca Anestesi


140

120

100 Sistolik
Diastolik
80 RR
Nadi
60

40

20

0
11.30 12.00 13.00
1.5 Tabel Skor Aldrete Pasca Anestesi

Skor Aldrete Pasca Anestesi

Kriteria Nilai 0” 5” 15” 30” 45” 60” 90” 120” keluar


Tekanan TTD ± 20mmHg dari normal 2 2 2 2 2
Darah TTD ± 20-50 mmHg dari normal 1
TTD ± > 50 mmHg dari normal 0

Kesadaran Sadar Penuh 2 0 0 0 0


Respon terhadap panggilan 1
Tidak ada respon 0
Oksigenasi SpO2 > 92% (dengan udara bebas) 2 1 1 1 1
SpO2 > 90% (dengan suplemen O2) 1
SpO2 < 90% (dengan suplemen O2) 0
Pernapasan Bisa menarik nafas dan batuk bebas 2 0 0 0 0
Dispneu atau limitasi bernafas 1
Apnea/ tidak bernapas 0
Aktifitas Menggerakan 4 ekstremitas 2 0 0 0 0
Mengerakan 2 ekstremitas 1
Tidak mampu menggerakan 0
ekstremitas
TOTAL 3

Pasien akan dinilai saat masuk ke Recovery Room setelah itu dinilai kembali
setiap 15 menit sekali secara berkala selama 4 kali kemudian skor total akan dihitung
dan dicatat pada catatan penilaian . Pasien dengan skor kurang dari 7 harus tetap berada
di Recovery Room sampai kondisi membaik atau bisa juga dipindahkan ke bagian
perawatan intensif, tergantung pada nilai dasar pra-operasi pasien (Brunner et al., 2010).
International Anestesia Research Society (2010) menyebutkan apabila pasien yang
mendapatkan nilai skor 8 atau lebih dapat dibawa pulang ke rumah. Lamanya pasien
tinggal di Recovery Room tergantung dari teknik anestesi yang digunakan (Karjadi
W,2000).
Assesment Pasca Laparatomy : Peritonitis Generalisata ec DD Hepatitis

Planning Terapi :
Farmakologi

Ceftriaxone 2x1gr

Ranitidin 2x50 mg

SNMC 2x1

Meroclopamide 3x1

Antrain 3x1

Lasix 20 mg 1-0-0

Pro UDCA 3x1

Curcuma 3x1

Aminefron 3x1

Non farmakologi

Status gizi

Obsevasi GCS

Observasi tanda-tanda vital


BAB III

KESIMPULAN

1. Pasien mengalami sepsis berdasarkan skoring SOFA (Sequental Organ Failure


Assasment) yang merupakan skoring untuk menilai kriteria diagnosis untuk sepsis.
Pasien atas nama Tn. Sujarno mendapatkan skor 5 yang artinya lebih dari ≥2
mendadakan pasien ini sepsis.
2. Usaha pembedahan laparotomy eksplorasi dan anastesi yang dilakukan adalah untuk
menemukan sumber infeksi
3. Setelah di laparotomy ditemukan hasil Peritonitis Generalisata ec DD Hepatitis
4. pemberian antibiotik spektrum luas serta di evaluasi tanda-tanda vital
5. keterlambatan pengenalan terhadap konsis sepsis akan menyebabkan pasien jatuh
dalam kondisi syok septik
DAFTAR PUSTAKA

Tewuh, Tifany, Diana Lalenoh, Lucky Kumaat. 2014. Hubungan Skor Sofa Dengan
Lama Rawat Inappasien Sepsis Pasca Laparatomi Di ICU Periode Juli 2012 –September
2013. Jurnal e-CliniC (eCl),Volume 2, Nomor 2.

Irvan, Febyan, Suparto. 2018. Sepsis dan Tata Laksana Berdasar GuidelineTerbaru.
Jurnal Anestesiologi Indonesia. Volume X, Nomor 1, Hal 62-73

Japanesa, Aiwi, Asril Zahari, Selfi Renita Rusjdi. 2016. Pola Kasus dan
Penatalaksanaan Peritonitis Akut di Bangsal .Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. Volume 5, Nomor 1, Hal 209-214

Sakliressy, Magdalena F, Lucky T. Kumaat, Antje A. Wuwungan. 2012. Keamanan


Dalam Tindakan Anestesia. Jurnal Biomedik, Volume 4, Nomor 3, hlm. 200-202

Aditya, Yan, Reno Rudiman, Tommy Ruchima. 2019. Perbandingan Nilai Prediktif
Mannheim Peritonitis Index (Mpi) Dengan Acute Physiology And Chronic Heath Evaluation
(Apache) Ii Dalam Memprediksi Mortalitas Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi Organ
Berongga. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Medika Kartika, Volume 3, Nomor 1, Hal 1-12

Masriani, Haizah Nurdin, Faisal Muchtar. 2020. Penatalaksanaan Syok Sepsis dengan
Penyulit Cedera Ginjal Akut pada Pasien Peritonitis Sekunder. Jurnal Anestesi Perioperatif, ,
Volume 8 Nomor 3, hal 194-205

Anda mungkin juga menyukai