Anda di halaman 1dari 52

Clinical Science Session

Gambaran Radiologi TB Paru

Oleh:
Dian Rahmawati 1840312215
Ghinna Pretty Wardani 1840312011

Preseptor:
dr. Sylvia Rachman, Sp.Rad(K)

BAGIAN RADIOLOGI
RSUP DR M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,

terutama paru.1 Tuberkulosis biasanya merusak paru disebut sebagai TB paru,

tetapi dapat juga merusak organ lain disebut sebagai extrapulmonary TB.2

Tuberkulosis masih menjadi masalah utama kesehatan dunia dan menduduki

peringkat kedua sebagai penyebab kematian diantara penyakit menular di seluruh

dunia.2 Pada tahun 2014, dari 9,6 juta kasus TB baru di dunia, 58% berada di Asia

Tenggara dan kawasan pasifik. India, Indonesia dan China memiliki jumlah kasus

terbesar, masing-masing 23%, 10% dan 10% dari total global.3

Menurut data kasus baru TB di Indonesia, Sumatera Barat menduduki

peringkat kelima proporsi BTA positif sebanyak 84% yakni dari 100 orang

penderita TB sebanyak 84 orang menderita BTA positif.4 Menurut data dari Dinas

Kesehatan Provinsi Sumatera Barat penemuan kasus TB mengalami peningkatan

dari tahun 2007-2010, yaitu tahun 2007 ditemukan sebanyak 3.660 kasus, tahun

2008 sebanyak 3.896 kasus, tahun 2009 ditemukan 3.914 kasus dan pada tahun

2010 ditemukan sebanyak 3.926 kasus yang tersebar dalam 16 kabupaten/kota

dalam Propinsi Sumatera Barat (Susilayanti, 2012). Lima daerah dengan TB paru

tertinggi adalah Pasaman Barat (2,2%), Tanah Datar (1,9%), Lima Puluh Kota

(1,8%), Solok (1,6%) dan Kota Bukit Tinggi (1,5%).5 Menurut Dinas Kesehatan

Kota Padang, TB termasuk kepada sepuluh penyebab kematian terbanyak di kota

Padang.6

2
Tuberkulosis lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, dan terutama

orang dewasa di kelompok usia produktif secara ekonomi. Penyakit TB ditularkan

melalui udara ketika penderita TB aktif mengeluarkan bakteri, misalnya dengan

batuk. Umumnya, hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi M. tuberculosis

yang akan berkembang menjadi penyakit TB, namun kemungkinannya akan jauh

lebih tinggi pada orang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV),

karena rendahnya daya tahan tubuh.2

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis

tentang gambaran radiologis tuberkulosis paru

1.3 Metode Penulisan

Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk kepada

beberapa literatur berupa buku teks, jurnal, dan referat ilmiah.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Toraks


Toraks merupakan rongga yang dibatasi dan dikelilingi oleh dinding

toraks yang dibentuk oleh tulang, kartilago, dan otot. Bagian kranial dibatasi

oleh tulang vertebra thorakal pertama, tulang kosta pertama, klavikula, dan tepi

atas manubrium. Batas inferior dipisahkan oleh diafragma. Organ yang terletak

didalam rongga dada yaitu esofagus, trakea, paru, hepar, jantung dan disertai

dengan pembuluh darah, pembuluh limfe serta saraf.7

Paru berada di dalam rongga thoraks, berbentuk kerucut dengan apek

paru pada tulang kosta pertama dan basal paru dibatasi oleh diafragma. Paru

terbagi menjad dua, yaitu paru kanan dan kiri sesuai dengan bronkus utama

kanan dan kiri. Cabang bronkus mengalami pengecilan dan tidak ada kartilago

yang disebut dengan bronkiolus yang nantinya akan berakhir di bronkiolus

terminal. Bronkiolus terminal akan membuka, sehingga akan terjadi pertukaran

gas di alveoli. Paru kiri dan kanan terbagi menjadi lobus, yang terdiri dari

beberapa segmen. Paru kanan dibagi menjadi 3 lobus yaitu :8

a. Lobus superior, dibagi menjadi 3 segmen yaitu : apikal posterior, dan inferior.

b. Lobus medius, dibagi menjadi segmen medial dan lateral.

c. Lobus inferior, dibagi menjadi menjadi superior, mediobasal, anterobasal,.

laterobasal, dan posterobasal.

4
Paru kiri dibagi menjadi 2 lobus, yaitu :8
a. Lobus superior dibagi menjadi apikoposterior, anterior, lingularis superior,

lingularis inferior.

b. Lobus inferior, dibagi menjadi superiorl, anterobasal, laterobasal,

dan posterobasal.

Gambar 1. Lobus dan segmentasi paru.8

2.2 Radioanatomi Thoraks


2.2.1 Rontgen Thoraks
Gambar yang dihasilkan melalui penggunaan radiasi pengion yaitu,

sinar X tanpa menambahkan kontras seperti barium atau iodium disebut

radiografi konvensional atau lebih dikenal dengan foto rontgen atau foto polos.

Keuntungan utama dari radiografi konvensional adalah pemeriksaan yang

relatif murah, dapat diperoleh hampir di mana saja dan dapat dilakukan dengan

5
menggunakan mesin portabel. Foto rontgen toraks sering dilakukan dengan 2

posisi berbeda, yaitu posteroanterior (PA) dan lateral. Namun pada pasien yang

tidak bisa berdiri atau mengalami penurunan kesadaran, foto dapat dilakukan

dengan posisi anteroposterior (AP). Keterbatasan dari radiografi konvensional

adalah pemeriksaan ini hanya dapat menunjukkan lima densitas dasar dari

densitas paling lunak hingga yang paling keras 9 :

a. Udara yang tampak paling hitam (radiolusen)

b. Lemak yang ditunjukkan dengan warna abu-abu yang lebih terang dari

udara.

c. Jaringan lunak atau cairan yang tampak semiopak atau putih homogen

maupun tidak Kalsium (biasanya terkandung dalam tulang), yang tampak

putih (radioopak)

d. Logam, yang tampak paling putih. Dalam keadaan normal, benda-benda

dengan densitas logam tidak akan tampak.

e. Media kontras radiologis dan prostetik lutut atau pinggul adalah contoh

densitas logam yang ditempatkan secara sengaja di bagian tubuh.

2.2.1.1 Rontgen Toraks Postero-anterior (PA) dan Antero-posterior (AP)

Prinsip dasar foto rontgen toraks adalah semakin jauh objek dari

permukaan film, semakin diperbesar objek yang akan muncul pada hasil foto

dan sebaliknya. Pada foto rontgen toraks PA standar, jantung menjadi struktur

anterior, lebih dekat ke permukaan film dimana sinar X masuk pada "P"

(posterior) dan keluar pada "A" (anterior) sehingga memberikan hasil yang

sesuai dengan ukuran sebenarnya. Hal ini berkebalikan dengan foto rontgen

toraks AP yang termagnifikasi sehingga menghasilkan organ terutama jantung

6
lebih besar dari ukuran sebenarnya. Oleh karena itu, posisi PA lebih baik untuk

digunakan pada pemeriksaan toraks.9

Gambar 2.1 Tampilan foto rontgen toraks normal

Biasanya foto AP di ambil jika pasien tidak bisa turun dari tempat

tidur sehingga pasien di foto di tempat tidur sambil berbaring terlentang atau

pada bayi. Karena pasien berbaring, pada foto AP kosta bagian posterior

tampak lebih mendatar, diafragma tampak lebih tinggi dan volume paru tampak

lebih kecil jika dibandingkan dengan gambaran jika pasien berdiri.10

Trakea merupakan penentu garis tengah dari foto rontgen toraks dan

harus diperiksa untuk melihat adanya penyempitan lumen maupun deviasi atau

pergeseran. Densitas trakea menurun secara kaudal. Diameter trakea

maksimum adalah 25 mm untuk laki-laki dan 21 mm untuk perempuan. Tepi

trakea kanan, di mana trakea bersentuhan dengan paru, dapat ditelusuri dari

klavikula ke bronkus utama kanan. Perbatasan ini adalah garis paratrakea yang

tepat dan terlihat pada 60% pasien. Pelebaran tepi trakea paling sering pada

7
pasien dengan limfadenopati mediastinum, keganasan di trakea, tumor

mediastinum, mediastinitis, dan efusi pleura.10

Sedangkan garis paratrakea kiri sulit dinilai karena berdekatan dengan

aorta dan tidak langsung bersinggungan dengan paru. Karina atau percabangan

bronkus dapat terlihat saat inspirasi dalam dengan sudut normal 60-75.11

Tulang belakang berada dibalik trakea dan hanya terlihat melalui bayangan

jantung. Ujung medial klavikula dikatakan simetris jika berjarak sama dari

prosesus spinosus vertebral yang terlihat sampai ke torakal 4 / 5 dengan

densitas sedang (cukup). Warna putih horizontal yang melengkung membentuk

huruf A merupakan iga posterior dan lengkungan dengan bentuk huruf V

merupakan iga anterior.11

Bagian tengah dari foto rontgen toraks PA antara lain mediastinum,

sternum, tulang belakang, dan jantung. Bagian jantung terbagi menjadi 1/3 ke

kanan dari garis tengah dan 2/3 ke kiri. Ukuran jantung normal orang dewasa

pada foto rontgen thoraks PA tergantung dari jenis kelamin, laki-laki memiliki

ukuran jantung sekitar 15,5cm sedangkan jantung perempuan berukuran sekitar

14,5 cm. Rasio normal jantung dengan toraks yaitu tidak lebih dari 50%.

Atrium kanan jantung berada pada mediastinum superior dan menjadi batas

jantung kanan, sedangkan batas jantung kiri yaitu arkus aorta yang merupakan

bagian menonjol yang bersinggungan dengan kolumna vertebralis.11

Hemidiafragma kanan lebih tinggi daripada kiri karena jantung

menekan sisi kiri dan hati mendorong hemidiafragma kanan. Pada inspirasi,

kubah diafragma berada setinggi rusuk keenam anterior dan rusuk kesepuluh

posterior. Perbedaan tinggi kubah diafragma dengan sinus kostofrenikus kanan

dan kiri yang normal yaitu 1-1,5 cm. Jika didapatkan tinggi kurang dari 1 cm

8
maka dikatakan diafragma mendatar. Pada posisi telentang, diafragma dapat

menjadi lebih tinggi. Sinus kostofrenikus dibentuk antara diafragma dengan

tulang iga yang memiliki sudut lancip dan terkadang bisa menjadi datar karena

adanya penekanan ataupun tumpukan lemak.11

Hilus terdiri dari arteri, vena, bronkus, dan limfe atau kelenjar getah

bening. Dalam 97% populasi, hilus kiri lebih tinggi daripada kanan. Dari

semua struktur di hilus, hanya arteri pulmonal dan vena lobus superior yang

berkontribusi secara signifikan pada bayangan hilus pada pemeriksaan foto

polos. Kelenjar getah bening normalnya tidak terlihat. Segmen bronkus anterior

berada di bagian lobus atas yang terlihat sebagai cincin yang terlihat di sisi

kanan dalam 45% kasus dan sisi kiri pada 50% kasus.11

Gambar 2.2 Cincin segmen anterior bronkus kiri dan struktur lobus paru11, 12

9
Hampir semua garis putih yang terlihat di bagian tengah foto rontgen

toraks adalah pembuluh darah. Pembuluh darah tersebut memiliki karakteristik

bercabang dan lancip secara bertahap dari hilus terpusat ke pinggiran tepi paru

yang normalnya tidak lebih dari 2/3 lapangan paru. Namun, arteri dan vena

pulmonal sulit dibedakan pada radiografi konvensional. Sebagian besar

bronkus juga tidak terlihat pada foto rontgen toraks normal karena bronkus

berdinding sangat tipis, mengandung udara, dan dikelilingi oleh udara. Jika

terlihat, maka akan ditemukan bahwa bronkus utama kanan lebih pendek, lebih

curam dan lebih lebar daripada kiri.11

Bronkus pada lobus atas muncul 2,5 cm di bawah karina dan lebih

tinggi dari bronkus pada lobus kiri atas yang muncul setelah 5 cm. Bronkus

tersebut bercabang sebanyak 6 sampai 20 kali sebelum menjadi bronkiolus

dengan ukuran diameter bronkiolus 0,2 mm atau lebih kecil. Corakan

bronkovaskular pada bagian bawah paru lebih banyak dibandingkan bagian

atas karena efek dari gravitasi dan ukuran pembuluh darah yang berbeda.9

Gambar 2.3 Corakan bronkovaskular9

10
Pembuluh limfe berjalan sepanjang septum interlobular hingga ke

dalam hilus, dengan arah aliran yang dikontrol oleh katup. Sistem limfatik

normal tidak terlihat, tetapi penebalan limfatik dan jaringan ikat di sekitarnya

mungkin dapat terlihat pada foto rontgen toraks.11

2.2.1.2 Rontgen Thoraks Lateral

Pemeriksaan standar pada toraks sebaiknya dilakukan dengan 2 posisi

dengan sudut pandang yang berbeda, antara lain PA/AP dan lateral. Foto

rontgen toraks lateral merupakan salah satu penentu diagnosis kelainan di

toraks, namun seringkali diabaikan karena kurang familiar dengan temuan yang

ada pada proyeksi ini.9

Gambar 2.4 Foto rontgen toraks lateral

Bagian-bagian yang dapat dilihat dari foto rontgen toraks lateral antara

lain udara kosong di belakang sternum yang tampak berwarna radiolusen pada

toraks normal. Hilus berturut-turut dari atas dibaca arkus aorta, arteri pulmonaris

kiri, bronkus kanan lobus atas paru, dan bronkus kiri lobus atas paru. Hilus pada

foto yang diambil dari depan seringkali sulit menilai adanya massa. Fisura atau

11
batasan dari lobus paru, dapat diproyeksikan pada foto lateral, yaitu fisura mayor

pada toraks normal berada setinggi torakal 5 sampai beberapa cm di belakang

sternum dengan arah oblik, sedangkan fisura minor berada setinggi iga 4 anterior

yang berjalan secara horizontal ke posterior. Tulang belakang terutama vertebra

torakalis berbentuk persegi panjang dan dipisahkan oleh celah diskus

intervertebra. Sinus kostofrenikus beserta diafragma juga dapat diproyeksikan

pada foto lateral.9

2.2.2 Computed Tomography Scan (CT-Scan) Toraks

Computed Tomography Scan biasanya ditampilkan dalam bentuk

window. CT Scan toraks memiliki tiga windows, yaitu windows paru, windows

mediastinum, dan windows tulang. Window paru dipilih untuk melihat kelainan

pada parenkim paru serta mengidentifikasi struktur anatomi dari bronkus,

struktur mediastinum terlihat sebagai densitas putih yang homogen. Window

mediastinum dipilih untuk menampilkan mediastinum, hilus, dan struktur dari

pleura. Sedangkan window tulang digunakan untuk memperlihatkan struktur

tulang. Dengan gambaran dari CT scan, paru dapat divisualisasikan dalam

berbagai bidang, namun yang paling banyak digunakan adalah tampilan bidang

aksial, sagital, dan koronal.9

Gambar 2.5 Potongan Bidang pada Pemeriksaan CT Scan. (A) Aksial, (B),
Coronal, (C) Sagital9

12
Pembuluh darah hampir dapat terlihat seluruhnya, dari hillus sampai ke

permukaan pleura. Arteri pulmonal dapat dibedakan dengan vena pulmonal.

Bronkus dan bronkiolus juga terlihat, bronkus terlihat lebih kecil dari arteri

pulmonal yang menyertainya.

Gambar 2.6 Hubungan Bronkus Dan Arteri9

Trakea biasanya berbentuk oval dengan diameter sekitar 2 sentimeter.

Umumnya, terdapat ruang yang terlihat tepat di bawah arkus aorta dan di atas

arteri pulmonal, disebut dengan aortopulmonary window. Aortopulmonary

window merupakan penanda yang penting, karena ini biasanya merupakan

tempat pelebaran dari nodus limfa. Tepat di bawah level ini terdapat gambaran

karina menuju bronkus utama kiri dan kanan.9

13
Gambar 2.7 Potongan Koronal Dan Aksial Pada Karina9

Berdasarkan ketebalan dari potongan, fisura akan tampak sebagai garis

tipis bewarna putih atau sebagai pita avaskular dengan ketebalan sekitar 2 cm

dan berjalan secar obliq melalui paru. Fisura mayor memisahkan lobus atas dan

lobus bawah. Pada paru kanan, fisura minor menandakan lobus tengah.6

Gambar 2.8 Gambaran fisura dan Lobus Paru6

14
2.3 DEFINISI

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobakterium

tuberkulosis. Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan asam.13 Tuberkulosis

paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.14

2.4 EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama kesehatan dunia.15 Pada

tahun 2014, dari 9,6 juta kasus TB baru di dunia, 58% berada di Asia Tenggara dan

wilayah Pasifik Barat.3 Di Indonesia, angka penemuan BTA-positif di antara seluruh

kasus TB paru dengan kasus tebanyak berada di Provinsi Gorontalo, Sulawesi

Tenggara, Sulawesi Utara, Jambi dan di peringkat kelima adalah Sumatera Barat.

Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat penemuan kasus

TB masih mengalami peningkatan dari tahun 2007-2010, yaitu tahun 2007 ditemukan

sebanyak 3.660 kasus, tahun 2008 sebanyak 3.896 kasus, tahun 2009 ditemukan 3.914

kasus dan pada tahun 2010 ditemukan sebanyak 3.926 kasus yang tersebar dalam 16

kabupaten/kota dalam Propinsi Sumatera Barat. Lima provinsi dengan TB paru

tertinggi adalah Pasaman Barat (2,2%), Tanah Datar (1,9%), Lima Puluh Kota

(1,8%), Solok (1,6%) dan Kota Bukit Tinggi (1,5%).5

Tuberkulosis lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, sekitar 60%

kematian dari TB terjadi pada laki-laki, tapi angka kejadian pada wanita juga tinggi

dan penderita TB terutama orang dewasa di kelompok usia yang paling produktif

secara ekonomi, yaitu 15-59,. Diperkirakan 1,1 juta (13%) dari 9 juta orang yang

menderita penyakit TB pada tahun 2013 adalah HIV-positif.15 Pada tahun 2014,

TB membunuh sekitar 1,5 juta orang (1,1 juta HIV-negatif dan 0,4 juta HIV-

15
positif) yang terdiri 890 000 laki-laki, 480 000 perempuan dan 140 000 anak-

anak.3

2.5 ETIOLOGI

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis.16

Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri batang aerob, tidak

membentuk spora dan tahan asam. 16 Sebagian besar bakteri ini menyerang paru tetapi

bisa juga menyerang jaringan ikat dan berbagai organ di tubuh yang disebut

tuberkulosis ekstraparu.17,18

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang lurus dan tipis

berukuran sekitar 0.4 x 3 μm serta mengandung banyak lemak kompleks dan sulit

didekolorisasi.19 Pada media artifisial, bakteri ini memiliki bentuk kokoid dan

filamentosa yang terlihat dalam berbagai morfologi dari satu spesies ke spesies lain.20

Gambar. Mycobacterium Tuberculosis

16
Mycobacterium tuberculosis tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok gram

positif maupun gram-negatif karena ketika diwarnai dengan pewarnaan dasar, bakteri

tersebut tidak dapat dihilangkan warnanya oleh alkohol kecuali dengan iodin. Bakteri

ini disebut basil tahan asam sehingga diperlukan pewarnaan teknik Ziehl-Neelsen.

Pada apusan sputum atau potongan jaringan, kuman dapat terlihat dengan warna

kuningoranye fluoresens setelah diwarnai dengan pewarnaan fluorokrom yang

bertujuan untuk dapat melihat BTA.20

Pertumbuhan kuman secara aerob obligat, jumlah O dan CO yang banyak

dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhan lambat dengan waktu pembelahan

sekitar 20 jam. Terlihat koloni cembung, kering dan kuning gading.8 Kuman tahan

terhadap suhu rendah, sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama antara

4°C sampai minus 70°C. Ketika suhu menjadi dingin, kuman akan bersifat dorman.

Tetapi kuman juga sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.

Jika terkena paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan

mati dalam waktu beberapa menit.4

Daya tahan Mycobacterium tuberculosis lebih besar dari bakteri lainnya

karena bersifat hidrofobik di permukaan sel. Pada sputum kering yang melekat pada

debu, daya tahan bisa mencapai 8-10 hari. Pengaruh pemanasan sama halnya dengan

kuman lainnya.21

Sebagian antigen kuman terdapat pada dinding sel yang dapat menimbulkan

hipersensitivitas tipe lambat.18 Mycobacterium tuberculosis banyak mengandung

lipid seperti lemak komleks, lilin dan fosfatida. Lipid pada dinding sel berhubungan

dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan yang menyebabkan rendahnya efektifitas

berbagai antibiotik. Lipid menentukan tahan asam hingga batas tertentu. Penghilangan

lipid dengan asam panas akan menghancurkan sifat tahan asam. Selain itu,

17
lipoarabinomannan pada dinding sel mempengaruhi patogenesis sehingga bakteri ini

mampu bertahan di dalam makrofag. Mycobacterium tuberculosis mengandung

protein yang menimbulkan reaksi tuberkulin yang dapat menyebabkan pembentukan

antibodi karenanya.22

2.6 FAKTOR RISIKO

Faktor risiko TB dapat diklasifikasikan menjadi faktor distal dan faktor

proksimal. Faktor risiko distal merupakan faktor yang berperan dalam pengembangan

TB secara tidak langsung, meliputi seperti status sosial ekonomi yaitu status

perkawinan, pekerjaan dan pendidikan sedangkan faktor resiko proksimal terdiri

faktor host yang meliputi umur, jenis kelamin, riwayat diabetes, riwayat merokok,

jumlah CD4, serta Indeks Masa Tubuh.23

Orang yang kontak serumah dengan penderita TB Paru lebih berisiko untuk

terjadi TB Paru dibandingkan dengan orang yang kontak di luar rumah. Hal ini

disebabkan oleh kontak yang erat dengan penderita TB Paru BTA (+) lebih berisiko

untuk terinfeksi. Makin erat kontak (dose contact) dan makin lama, maka makin besar

resiko tertular selain itu juga dipengaruhi oleh ventilasi rumah, yakni kelompok yang

mempunyai rumah dengan luas ventilasi yang kurang dari 10% luas lantai lebih

berisiko untuk terjadi TB Paru dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai

rumah dengan ventilasi lebih dari 10% luas lantai. Ventilasi memungkinkan terjadinya

pergantian udara dalam kamar, sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan

pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman, selain itu dengan

adanya ventilasi maka cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah dan diharapkan

dapat membunuh kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat batuk.24

18
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, beberapa karakteristik pasien TB,

adalah:

Usia

Pada penelitian yang dilakukan oleh Eni Yulvia Susilayanti dkk di Lubuk

Alung, Sumatera Barat tahun 2012 didapatkan bahwa, berdasarkan umur penderita

TB paru BTA positif paling banyak terjadi pada usia produktif 22-35 tahun sebanyak

(30,5%). Rata- rata usia adalah 33,6 tahun2 5 , sejalan dengan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sihombing dkk di RSUP Haji Adam Malik,

Medan tahun 2011 yakni usia rata-rata 39,7 tahun yang berada pada rentang usia
26
terbanyak antara 22-24 tahun sebanyak 35 orang dari 85 orang (41,18%) . Hal ini

sesuai dengan laporan WHO sebelumnya yakni dua per tiga kasus TB terjadi pada

kelompok usia produktif secara ekonomi, yaitu 15 – 59 tahun.15

Usia produktif sangat berpengaruh terhadap penularan kuman TB karena pada

usia tersebut mobilitas yang tinggi baik dalam aktivitas maupun interaksi penderita

dengan orang lain sehingga kemungkinan untuk menularkan ke orang lain lebih

tinggi.26

Jenis Kelamin

Pada penelitian yang dilakukan oleh Eni Yulvia Susilayanti dkk di Lubuk

Alung, Sumatera Barat tahun 2012 didapatkan bahwa berdasarkan jenis kelamin

didapatkan penderita TB paru BTA positif lebih sering pada laki-laki 784 orang

(70,8%) dibandingkan dengan perempuan berjumlah 324 orang (29,2%)25, begitu juga

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sihombing dkk di RSUP Haji

19
Adam Malik, Medan tahun 2011 yakni laki-laki yang berjumlah 59 orang (69,42%)

dan perempuan 26 orang (30,58%) dengan rasio 2,2:1.26

Menurut penelitian laki-laki lebih rentan terinfeksi M. tuberkulosis dapat

disebabkan kebiasaan merokok yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem

imunitas saluran pernafasan seperti kerusakan mukosiliar akibat racun asap rokok

serta menurunkan respon terhadap antigen, sehingga menjadi lebih rentan untuk

terinfeksi.25 Selain itu dapat karena kebiasaan sehari-hari yang lebih banyak berada

diluar rumah sehingga kemungkinan terpapar kuman TB lebih besar.25

Tingkat pendidikan

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sihombing dkk di RSUP Haji

Adam Malik, Medan tahun 2011 didapatkan berdasarkan karakteristik tingkat

pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) merupakan yang terbanyak, sebesar

49,41%. Diikuti tamat SLTP sebanyak 27,06%, sedangkan tingkat pendidikan tamat

dari sekolah dasar (SD) sebesar 20,0%. Tidak sekolah atau tidak tamat SD sebesar

1,18%. Sedangkan subjek penelitian pada tamatan perguruan tinggi sebesar 2,35%.26

Tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan seseorang mengenai rumah

yang sehat juga pengetahuan mengenai penyakit TB Paru.27 TB dengan status

pendidikan yang rendah akan lebih banyak mengalami kesulitan dalam menerima

informasi yang diberikan petugas kesehatan.26 Diasumsikan bahwa orang dengan

pendidikan lebih tinggi akan memiliki kesadaran akan perilaku sehat dan melakukan

pengobatan terhadap penyakitnya, sehingga mengurangi penularan. Namun hasil

penelitian Sari Hutari tahun 2014 menunjukan bahwa dengan pendidikan tinggi belum

20
tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik mengenai penyakitnya

dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah.28

Jenis pekerjaan

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sihombing dkk di RSUP Haji

Adam Malik, Medan tahun 2011 bahwa pekerjaan yang terbanyak adalah wiraswasta

sebesar 55 orang (64,71). Urutan kedua terbanyak adalah tidak bekerja sebesar 17

orang (20,0%), kemudian pegawai negeri sipil sebanyak 11 orang (12,94%).

Sedangkan pekerjaan sebagai pelajar atau mahasiswa menempati persentase terkecil

pada subjek penelitian ini yaitu 2 orang 2,35%.26 Sedangkan penelitian oleh Reny MS

dkk tahun 2014 didapatkan sebagian besar responden tidak bekerja yang terbagi

menjadi ibu rumah tangga dan tidak memiliki pekerjaan.29

Pekerjaan yang berada di lingkungan yang berdebu akan meningkatkan risiko

terjadinya gangguan pada saluran pernapasan. Pekerjaan di tempat yang lembab serta

dengan pencahayaan dan ventilasi yang kurang baik, meningkatkan risiko terjadinya

penularan di tempat kerja.27 Selain itu dapat dipengaruhi oleh kecenderungan

seseorang beraktivitas diluar rumah dan interaksi yang lebih sering sehingga

kemungkinan terpapar kuman TB lebih besar.25

Penyakit penyerta

Pada penelitian yang dilakukan oleh M. Gamal Eddin dkk di RSUP Dr. M.

Djamil padang periode 2010-2011 didapatkan bahawa penyakit penyerta tb terbanyak

adalah efusi pleura (22,7 %) selanjutnya pneumonia (18,2%), diabetes melitus tipe 2

(12,1%), pneumotoraks (10,6%), hiponatremia (9,1%), penyakit paru obstruktif

kronik (9,1%), gagal nafas (3,1%), hipoalbuminemia (3,1%), septikemia (3,1%), dan

21
yang lainnya bronkiektasis, empyema, karsinoma bronkogenik, cor pulmonale kronik,

spondilitis TB, peritonitis TB.30

2.7 Klasifikasi

Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru dikategorikan menjadi:

1. TB Paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif.

b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan

positif.

2. TB Paru BTA Negatif

a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis

dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

menunjukkan tuberkulosis positif.17

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa

tipe pasien, yaitu:

1. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (Relaps)

22
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Kasus setelah putus berobat (Default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan

BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (Failure)

adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain

untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus Lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok

ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA

(+) setelah selesai pengobatan ulangan.17

Klasifikasi berdasarkan waktu teinfeksi tuberkulosis :

1. Tuberkulosis primer

Tuberkulosis primer terjadi karena infeksi melalui pernapasan (inhalasi)

oleh Mycobacterium Tuberculosis. Biasanya pada anak-anak. Kelainan rontgen

akibat penyakit ini penyakit ini dapat berlokasi dimana saja didalam paru-paru,

namun sarang dalam parenkim paru-paru sering disertai oleh pembesaran kelenjar

limfe regional (kompleks primer).

23
Salah satu komplikasi yang mungkin timbul adalah pleuritis, karena perluasan

infiltrat primer ke pleura melalui penyebaran hematogen. Komplikasi lain adalah

atelektasis akibat stenosis bronkus karena perforasi kelenjar ke dalam bronkus. Baik

pleuritis maupun atelektasis tuberkulosis pada anak-anak mungkin demikan luas

sehingga sarang primer tersembunyi dibelakangnya.

2. Tuberkulosis sekunder atau tuberkulosis re-infeksi

Tuberkulosis yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa. Saat ini

pendapat umum mengenai penyakit tersebut adalah bahwa timbul reinfeksi pada

seorang yang dimasa kecilnya pernahh menderita tuberkulosis primer, tetapi tidak

diketahui dan menyembuh sendiri.

Sarang-sarang yang terlihat pada foto rontgen biasanya berkedudukan

dilapangan atas dan segmen apikal lobus bawah, walaupun kadang-kadang dapat juga

terjadi dilapangan bawah, yang biasanya disertai oleh pleuritis. Pembesaran kelenjar-

kelenjar limfe pada tuberkulosis sekunder jarang ditemukan.31

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat:

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

 Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

 Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain

Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

 Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)

secara bersamaan

24
 Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan

terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT

lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

 Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa

resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat)

atau metode fenotip (konvensional).14

2.8 CARA PENULARAN TB

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang

dikeluarkannya. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan

menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien

TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan

hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. Infeksi akan terjadi apabila orang

lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius pada saat

batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.14

2.9 Patogenesis Tuberkulosis


Kuman TB dapat menyerang beberapa organ, tapi paling sering adalah paru.

Bakteri dapat ditularkan melalui aerosol kecil yang dikeluarkan penderita TB aktif

ketika batuk. Ketika dihirup oleh orang lain, bakteri tersebut akan menuju ke paru-

paru, selanjutnya dia akan dikenali oleh makrofag alveolar, untuk perjalanan

berikutnya hasilnya tergantung pada beberapa faktor seperti virulensi bakteri dan status

kekebalan host yang pada akhirnya bakteri tersebut dapat dieliminasi, menjadi infeksi

laten, atau infeksi dapat berkembang menjadi TB aktif. Risiko pengembangan TB aktif

secara klinis setelah menghirup M. TB relatif kecil dan lebih dari 90% dari mereka

yang terkena mampu mengeliminasi kuman yang kadang-kadang tanpa

25
mengembangkan respon imun adaptif, atau menjadi infeksi laten. Mereka yang

menjadi infeksi laten memiliki 10% resiko seumur hidup untuk berkembang menjadi

TB reaktivasi terutama bila terjadi penurunan kekebalan tubuh, seperti co-infeksi HIV

yang dapat meningkatkan risiko (Eklund, 2013).

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang

primer atau afek primer. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah

bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran

kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama

dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.14

Bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer akan muncul

tuberkulosis postprimer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis

postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk

tuberkulosis inilah yang dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer

dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior

maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni

kecil. Sarang pneumoni ini dapat diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan

cacat atau sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan

penyebukan jaringan fibrosis, selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh

dalam bentuk perkapuran, sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan

membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar

ataupun sarang pneumoni tersebut meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa) lalu kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti

26
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).

Kaviti tersebut akan menjadi: meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni

baru. Sarang pneumoni ini akan memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan

disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin

pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi bersih dan menyembuh yang

disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan

akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut

sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).14

Gambar 2.1 Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan perjalanan


penyembuhannya 14

27
2.1.7 Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Jika tes diagnostik tambahan tidak tersedia

dan jika rujukan ke tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi untuk konfirmasi

diagnosis tidak memungkinkan, pengobatan TB harus segera dimulai dan diselesaikan.

Pengobatan empirik dengan rejimen obat anti-TB yang tidak lengkap tidak boleh

dilakukan. Jika seorang pasien diterapi dengan obat anti-TB, pengobatan harus

terstandarisasi, pengobatan lini pertama, dan harus diselesaikan. Pengobatan hanya dapat

dihentikan bila ada bakteriologi, histologi, atau bukti klinis yang kuat dari diagnosis

alternatif.15

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala

sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori

(gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala respirasi diantaranya adalah batuk 2

minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi,

dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.4

Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala

paling sering dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit tuberkulosis paru aktif.

Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan

bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada

biasanya bersifat pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit.4

Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada

gejala batuk. Batuk dapat terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan

untuk membuang dahak ke luar. Gejala sistemik yang ditimbulkan akibat infeksi TB

28
adalah demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. Pada TB

paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan

perkembangan penyakit umumnya tidak (sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru

pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen

posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).4

Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,

amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan

mediastinum. Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di

daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi

“cold abscess”.4

Pemeriksaan dahak

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk

penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan

dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

─ S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung

pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah

pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

─ P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

─ S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi.4

29
─ Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis dimaksudkan

untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, yakni pasien TB ekstra

paru, pasien TB anak, pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

langsung BTA negatif. Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang

terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes

cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan

untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.4

PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA TB PARU


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan
lain atas indikasi : foto top-lordotik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
 Kalsifikasi atau fibrotik
 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Menurut American Tuberculosis Association luasnya proses yang tampak pada foto
toraks dapat dibagi sebagai berikut :
 Tuberkulosis minimal (Minimal Tuberculosis) : yaitu luas sarang-sarang yang kelihatan
tidak melebihi daerah yang dibatasi leh garis median, apeks, dan iga 2 depan; sarang-
sarang soliter dapat berada dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut
diatas. Tidak ditemukan adanya lubang (kavitas).

30
 Tuberkulosis lanjut sedang (Moderately Advanced Tuberculosis) : yaitu luas sarang-
sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru, seedangkan bila ada
lubang tidak, diameternya tidak melebihi 4 cm. Kalau sifat bayangan sarang-sarang
tersebut berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen,
luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus.
 Tuberkulosis sangan lanjut (Far Advanced Tuberculosis) : yaitu luas daerah yang
dihinggapi oleh sarang-sarang lebih daripada klasifikasi kedua diatas, atau bila ada
lubang-lubang, maka diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm.

Gambar. Skema klasifikasi American Tuberculosis Association

Ada beberapa cara pembagian kelainan yang dapat dilihat pada foto rontgen. Salah satu
pembagian adalah menurut bentuk kelainan, yaitu :

31
1. Sarang eksudatif, berbentuk awan-awan atau bercak, yang batasnya tidak tegas dengan
densitas rendah.
2. Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya tegas dan densitasnya
sedang.
3. Sarang induratif atau fibrotik, yaitu yang berbentuk garis-garis, atau pita tebal, berbatas
tegas dengan densitas tinggi.
4. Kavitas (lubang).
5. Sarang kapur (kalsifikasi).
Cara pembagian ini masih banyak digunakan di Eropa, tetapi di Indonesia hampir tidak
dipergunakan lagi. Yang mulai dipergunakan di Indonesia ialah cara pembagian yang
lazim dipergunakan di Amerika Serikat, yaitu :
1. Sarang-sarang berbentuk awan atau bercak-bercak dengan densitas rendah atau
sedang dengan batas tidak tegas. Sarang-sarang seperti ini menunjukkan bahwa
proses aktif.
2. Lubang (kavitas) ; ini selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat
kecil, yang dinamakan lubang sisa-(residual cavity).
3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur (kalsifikasi) yang
biasanya menunjukkan bahwa proses telah tenang.

Tuberkuloma
Kelainan ini menyerupai suatu tumor. Pada hakekatnya tuberkuloma adalah suatu
sarang keju (caseosa) dan biasanya menunjukkan penyakit yang tidak begitu virulen, bahkan
biasanya tuberkuloma bersifat tidak aktif, lebih-lebih bila batasnya licin, tegas, dan didalam
atau dipinggirnya ada sarang perkapuran, sesuatu yang dapat dilihat jelas pada tomogram.
Diagnostik diferensialnya dengan suatu tumor sejati (jinak atau ganas) adalah bahwa
didekat tuberkuloma sering ditemukan sarang-sarang kapur lainnya (satelit).32

1. Gambaran radiologis pada tuberkulosis primer


Karakteristik infeksi tuberkulosis primer :33
 Infeksi klinis setelah paparan pertama
 Fokus Ghon: infeksi lokal
 Kompleks ranke: infeksi lokal dengan penyebaran kelenjar getah bening
 Seringkali tanpa gejala pada anak-anak

32
 Dewasa: penurunan berat badan, demam, batuk, hemoptisis
 Radiografi mungkin normal
 Air-space consolidation; pembersihan pada paru sering terlambat
 Atelektasis pada anak-anak
 Kavitasi dan penyebaran militer jarang terjadi
 Limfadenopati sering terjadi pada anak-anak, jarang pada orang dewasa
 Efusi pleura dapat terlihat tanpa penyakit paru-paru

Gambar. Kompleks primer pada tuberkulosis

Gambar. Radiologi kompleks primer pada tuberkulosis.

33
Gambar. Kompleks primer (Kompleks Ranke).
Pada tuberkulosis primer dikenal dengan istilah kompleks primer (Kompleks Ranke)
yang terdiri dari :33
1. Afek primer/ fokus gohn : kuman TB yang masuk melalui saluran nafas dan
bersarang dijaringan paru
2. Limfangitis lokal : peradangan saluran getah bening dari sarang primer menuju
hilus
3. Limfadenitis regional : pembesaran kelenjar getah bening dihilus akibat proses
peradangan tersebut

34
Gambar. Limfadenopati yang berkaitan dengan infeksi tuberkulosis primer
Radiografi thorax menunjukkan pembesaran kelenjar getah bening hilus kanan
(panah) dan berkaitan dengan konsolidari parenkim paru.33

Gambar. Limfadenopati nekrotik akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis


CT dengan kontras pada pasien dengan AIDS menunjukkan atenuasi yang rendah dan
kalsifikasi dalam kelenjar getah bening paratrakeal kanan (panah).33

35
Gambar. Infeksi tuberkulosis primer

Dari hari pemeriksaan rontgen toraks tampak adanya limfadenopati di hilus kanan dan
atelektasis dilobus kanan atas.33

Gambar. Infeksi tuberkulosis primer


Radiografi toraks menunjukkan adanya perselubungan/ konsolidasi di lobus kiri bawah yang
terkait dengan efusi pleura minimal.33

36
Gambar. CT scan menunjukkan adanya efusi pleura kiri

2. Tuberkulosis Sekunder (post primer)


Karakterisktik tuberkulosis sekunder (post primer) :
 Reaktivasi infeksi laten
 Paling sering melibatkan segmen apikal dan posterior lobus atas dan segmen superior
lobus bawah
 Umumnya ditemukan kavitas; penyebaran endobronkial dapat terjadi
 Kelelahan, keringat malam, penurunan berat badan, demam ringan, hemoptisis
 Temuan radiografi:
- Area konsolidasi yang tidak jelas
- Kavitasi terlihat dalam 20% -45%
- Tree-in-bud atau centrilobular nodul pada HRCT
- Limfadenopati dan efusi jarang terjadi
- Penyebaran milier
- Tuberkuloma

Temuan Pencitraan :
Temuan paling umum dari infeksi post primer TB adalah dari area konsolidasi yang
tidak jelas di segmen apikal dan posterior dari lobus atas dan pada tingkat lebih rendah,
segmen superior dari lobus bawah. Opasitas juga dapat ditemukan di segmen lain. Seringkali,
infiltrat, atau nodul satelit, terlihat di pinggiran fokus dominan konsolidasi (lihat Gambar).
Pada HRCT, nodul seperti itu secara khas menunjukkan pola linear percabangan
centrilobular, atau yang disebut dengan tree-in-bud. Infiltrat ini menunjukkan adanya

37
impaksi jalan napas kecil dengan nanah. Kavitas terlihat pada 20% hingga 45% pasien
dengan infeksi TB post primer aktif pada radiografi thorax, tetapi rongga kecil lebih mudah
dinilai dengan CT dan HRCT.

Gambar. Infeksi TB post primer


Pemeriksaan rontgen toraks menunjukkan adanya konsolidasi di lobus kanan atas dengan
disertai kavitasi (panah).
Pemeriksaan dahak positif untuk basil tahan asam.33

38
Gambar. Infeksti TB post primer
Dari pemeriksaan rontgen toraks posisi lateral tampak adanya konsolidasi yang terletak di
segmen apikal dan posterior lobus kanan atas (panah).33

Gambar. Pemeriksaan rontgen toraks setelah 18 bulan


Dari hasil pemeriksaan tampak adanya jaringan fibrotik pada lobus kanan atas.

Gambar. Infeksi TB post primer


Dari hasil pemeriksaan CT scan tampak adanya rongga di segmen apikal-posterior lobus kiri
atas (panah besar), dengan nodul centrilobular sekitarnya kecil (panah kecil), menunjukkan
adanya penyebaran endobronkial dari fokus infeksi.33

39
Gambar. Infeksi TB post primer
Dari hasil pemeriksaan rontgen thoraks tampak adanya kavitas di lobus kanan atas (panah
besar) dan infiltrat pada lobus kiri atas (panah kecil) yang menunjukkan adanya penyebaran
infeksi ke jalan nafas.33

Gambar. Penyebaran milier infeksi TB

40
Pemeriksaan rontgen toraks menunjukkan adanya infiltrat kecil-kecil (panah) yang tak
terhitung jumlahnya, bilateral, dan terdistribusi secara merata dikedua lapangan paru yang
mewakili penyebaran infeksi MTB secara milier (hematogen).33

Gambar. Penyebaran milier infeksi TB


Gambar HRCT aksial menunjukkan adanya nodul-nodul kecil, bilateral, dalam jumlah yang
banyak (panah) yang terdistribusi tidak beraturan, menunjukkan suatu proses penyebaran
infeksi MTB.33

Gambar. Infeksi TB post primer

41
Dari hasi pemeriksaan rontgen toraks tampak adanya tuberkuloma, yaitu suatu lesi yang
berbentuk bulat, oval, berkapsul, bentuk homogen atau heterogen, dapat soliter atau beberapa
lesi.33

TATALAKSANA

Pengobatan TB bertujuan untuk ;

a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas.


b. Mencegah kematian.
c. Mencegah kekambuhan.
d. Mengurangi penularan.
e. Mencegah terjadinya resistensi obat.17

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO)4

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1. Tahap Awal (Intensif)


Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.4
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan4

42
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 1. OAT Lini Pertama

Tabel 2. Kisaran dosis OAT lini pertama pada pasien dewasa

Catatan:
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien
dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500 mg/hari.
Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10 mg/kgBB/hari.

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC)
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah :

43
 Kategori I : 2(HRZE)/4(HR)3
 Kategori II : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
 Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR)/ atau 2HRZE(S)/4-10 HR
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indnesia terdiri
dari OAT lini kedua yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu Pirazinamid dan
Etambutol.

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid,
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek
samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya


a. Kategori-1 : 2(HRZE) 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstraparu

Tabel 3. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/ 4(HR)3

44
Tabel 4. Dosis paduat OAT kombipak kategori 1 : 2HRZE/ 4H3R3

b. Kategori-2 : 2(HRZE)S /(HRZE)/ 5(HR)3E3


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang) :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Tabel 5. Dosis paduan OAT KDT kategori 2 : 2(HRZE)S /(HRZE)/ 5(HR)3E3

Tabel 6. Dosis paduan OAT kombipak kategori 2 : 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

45
Efek samping OAT

Tabel 7. Efek samping ringan dari OAT

Tabel 8. Efek samping berat dari OAT

Pengobatan Suportif/ Simtomatik


Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam

46
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
 Batuk darah (profus)
 Keadaan umum buruk
 Pneumotoraks
 Empiema
 Efusi pleura masif / bilateral
 Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
 TB paru milier
 Meningitis TB

b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
1. Evaluasi klinik
 Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
 Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
 Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
2. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9)
 Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
 Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan

47
 Bila ada fasilitas biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)
3. Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
 Sebelum pengobatan
 Setelah 2 bulan pengobatan
 Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik


 Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
 Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
 Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
 Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
 Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri
 Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek
samping obat sesuai pedoman.

Evalusi Keteraturan Berobat


 Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah
keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat
penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat
yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan
 Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi penderita yang telah sembuh


Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi

48
adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan
24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh.4

49
Daftar Pustaka

1. Kemenkes RI (2015). Info datin pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI
tuberkulosis obati sampai sembuh.

2. WHO (2014). Global tuberkulosis report.


http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/, ─ Diakses Maret 2019.

3. WHO (2015). Global tuberkulosis report


http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/, ─ Diakses Maret 2019.

4. Kemenkes RI (2014). Pedoman nasional pengendalian TB. Jakarta: Kementrian


Kesehatan RI 2014.

5. Riskesdas (2013). Riset kesehatan dasar badan penelitian dan pengembangan


kesehatan kementrian kesehatan RI tahun 2013. http://www.depkes.go.id/,
─Diakases Maret 2019

6. Dinas Kesehatan Kota Padang, 2014. Profil Kesehatan Tahun 2013.


7. Ombregt L. A system of orthopaedics medicine. 3 rd ed. United States: Churcill
Livingstone Elsevier. 2013.

8. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. edisi 23. Jakarta:
EGC. 2012.

9. Herring, W. Learning Radiology Recognizing the Basics 3rd Edition. USA:Elsevier


2017: 2-106.

10. National Organization of Rare Disorder (NORD). Emphysema, Congenital


Lobar. 2003. Tersedia dari URL:https://rarediseases.org/rare-
diseases/emphysema-congenital-lobar/ (Diunduh Maret 2019)

11. Sutton, David. Textbook of Radiology and Imaging 7th edition: vol 1. London:
Churchill Livingstone. 2003. Hal.5-23.

12. Slo a, Sloane, Ethel Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC, 2003.

13. Hasan H, 2010. Buku ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit
Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo. Hal: 9.

14. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006). Tuberkulosis pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html,
─Diakses Maret 2019.

15. WHO (2014). World health statictics 2014 a wealth of information on global public
health. http://apps.who.int/iris/, ─ Diakses Maret 2019.

16. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6,
50
Jakarta: EGC. 2003; 852-2.

17. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.
Diunduh dari: http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf. Diakses Maret 2019

18. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2010.

19. Kumar Vinay, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG. 2007; 544-551.

20. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg
Ed. 25. Jakarta: ECG. 2012.

21. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi
kedokteran. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher. 2010.

22. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper
DL, Hauser DL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrison’ s Principles of Internal
Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008.

23. Taha M, Deribew A, Tessema F, Assegid S, Duchateau L, Colebunders R (2011).


Risk factors of active tuberkulosis in people living with hiv/aids in Southwest
Ethiopia: a case control study. Ethiop J Health Sci, 21 (2) :131-138.

24. Simbolon D (2007). Faktor risiko tuberkulosis paru di kabupaten Rejang Lebong.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 2 (3) : 112-119.

25. Susilayanti EY, Medison I, Erkadius (2014). Profil penderita penyakit tuberkulosis
paru BTA positif yang ditemukan di BP4 Lubuk Alung periode Januari 2012 –
Desember 2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 3 (2): 151-155.

26. Sihombing H, Sembiring H, Amir Z, Sinaga BYM (2012). Pola resistensi primer pada
penderita tb paru kategori I di RSUPH. Adam Malik, Medan. J Respir Indo, 32 (3) :
138-145.

27. Suryo J (2010). Herbal penyembuh gangguan sistem pernafasan. Edisi pertama.
Yogyakarta: B First (PT Bentang Pustaka).

28. Hutari S, Wongkar MCP, Langi YA (2014). Hubungan antara tingkat pendidikan
pengetahuan dan status gizi dengan pengobatan tuberkulosis paru di puskesmas
Tuminting. Jurnal E-Clinic (ECL), 2 (1): 3244-3250.

29. Sari RM (2014). Hubungan antara karakteristik kontak dengan adanya gejala TB pada
kontak penderita TB paru BTA+. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2 (2): 274–285.
30. Eddin MG, Khairsyaf O, Usman E (2015). Profil Kasus Tuberkulosis Paru di Instalasi
Rawat Inap Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4 (3): 888-
892.

51
31. Rasad, Sjahriar. 2010. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

32. Rasad, Sjahriar. 2010. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

33. Webb Richard W; Higgins Charles B. 2011. Thoracic Imaging : Pulmonary and
Cardiovascular Radiology. 2nd Edition. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams &
Wilkins.

52

Anda mungkin juga menyukai