Oleh:
Dian Rahmawati 1840312215
Ghinna Pretty Wardani 1840312011
Preseptor:
dr. Sylvia Rachman, Sp.Rad(K)
BAGIAN RADIOLOGI
RSUP DR M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
1
BAB 1
PENDAHULUAN
tetapi dapat juga merusak organ lain disebut sebagai extrapulmonary TB.2
dunia.2 Pada tahun 2014, dari 9,6 juta kasus TB baru di dunia, 58% berada di Asia
Tenggara dan kawasan pasifik. India, Indonesia dan China memiliki jumlah kasus
peringkat kelima proporsi BTA positif sebanyak 84% yakni dari 100 orang
penderita TB sebanyak 84 orang menderita BTA positif.4 Menurut data dari Dinas
dari tahun 2007-2010, yaitu tahun 2007 ditemukan sebanyak 3.660 kasus, tahun
2008 sebanyak 3.896 kasus, tahun 2009 ditemukan 3.914 kasus dan pada tahun
dalam Propinsi Sumatera Barat (Susilayanti, 2012). Lima daerah dengan TB paru
tertinggi adalah Pasaman Barat (2,2%), Tanah Datar (1,9%), Lima Puluh Kota
(1,8%), Solok (1,6%) dan Kota Bukit Tinggi (1,5%).5 Menurut Dinas Kesehatan
Padang.6
2
Tuberkulosis lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, dan terutama
yang akan berkembang menjadi penyakit TB, namun kemungkinannya akan jauh
lebih tinggi pada orang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV),
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
toraks yang dibentuk oleh tulang, kartilago, dan otot. Bagian kranial dibatasi
oleh tulang vertebra thorakal pertama, tulang kosta pertama, klavikula, dan tepi
atas manubrium. Batas inferior dipisahkan oleh diafragma. Organ yang terletak
didalam rongga dada yaitu esofagus, trakea, paru, hepar, jantung dan disertai
paru pada tulang kosta pertama dan basal paru dibatasi oleh diafragma. Paru
terbagi menjad dua, yaitu paru kanan dan kiri sesuai dengan bronkus utama
kanan dan kiri. Cabang bronkus mengalami pengecilan dan tidak ada kartilago
gas di alveoli. Paru kiri dan kanan terbagi menjadi lobus, yang terdiri dari
a. Lobus superior, dibagi menjadi 3 segmen yaitu : apikal posterior, dan inferior.
4
Paru kiri dibagi menjadi 2 lobus, yaitu :8
a. Lobus superior dibagi menjadi apikoposterior, anterior, lingularis superior,
lingularis inferior.
dan posterobasal.
radiografi konvensional atau lebih dikenal dengan foto rontgen atau foto polos.
relatif murah, dapat diperoleh hampir di mana saja dan dapat dilakukan dengan
5
menggunakan mesin portabel. Foto rontgen toraks sering dilakukan dengan 2
posisi berbeda, yaitu posteroanterior (PA) dan lateral. Namun pada pasien yang
tidak bisa berdiri atau mengalami penurunan kesadaran, foto dapat dilakukan
adalah pemeriksaan ini hanya dapat menunjukkan lima densitas dasar dari
b. Lemak yang ditunjukkan dengan warna abu-abu yang lebih terang dari
udara.
c. Jaringan lunak atau cairan yang tampak semiopak atau putih homogen
putih (radioopak)
e. Media kontras radiologis dan prostetik lutut atau pinggul adalah contoh
Prinsip dasar foto rontgen toraks adalah semakin jauh objek dari
permukaan film, semakin diperbesar objek yang akan muncul pada hasil foto
dan sebaliknya. Pada foto rontgen toraks PA standar, jantung menjadi struktur
anterior, lebih dekat ke permukaan film dimana sinar X masuk pada "P"
(posterior) dan keluar pada "A" (anterior) sehingga memberikan hasil yang
sesuai dengan ukuran sebenarnya. Hal ini berkebalikan dengan foto rontgen
6
lebih besar dari ukuran sebenarnya. Oleh karena itu, posisi PA lebih baik untuk
Biasanya foto AP di ambil jika pasien tidak bisa turun dari tempat
tidur sehingga pasien di foto di tempat tidur sambil berbaring terlentang atau
pada bayi. Karena pasien berbaring, pada foto AP kosta bagian posterior
tampak lebih mendatar, diafragma tampak lebih tinggi dan volume paru tampak
Trakea merupakan penentu garis tengah dari foto rontgen toraks dan
harus diperiksa untuk melihat adanya penyempitan lumen maupun deviasi atau
trakea kanan, di mana trakea bersentuhan dengan paru, dapat ditelusuri dari
klavikula ke bronkus utama kanan. Perbatasan ini adalah garis paratrakea yang
tepat dan terlihat pada 60% pasien. Pelebaran tepi trakea paling sering pada
7
pasien dengan limfadenopati mediastinum, keganasan di trakea, tumor
aorta dan tidak langsung bersinggungan dengan paru. Karina atau percabangan
bronkus dapat terlihat saat inspirasi dalam dengan sudut normal 60-75.11
Tulang belakang berada dibalik trakea dan hanya terlihat melalui bayangan
jantung. Ujung medial klavikula dikatakan simetris jika berjarak sama dari
sternum, tulang belakang, dan jantung. Bagian jantung terbagi menjadi 1/3 ke
kanan dari garis tengah dan 2/3 ke kiri. Ukuran jantung normal orang dewasa
pada foto rontgen thoraks PA tergantung dari jenis kelamin, laki-laki memiliki
14,5 cm. Rasio normal jantung dengan toraks yaitu tidak lebih dari 50%.
Atrium kanan jantung berada pada mediastinum superior dan menjadi batas
jantung kanan, sedangkan batas jantung kiri yaitu arkus aorta yang merupakan
menekan sisi kiri dan hati mendorong hemidiafragma kanan. Pada inspirasi,
kubah diafragma berada setinggi rusuk keenam anterior dan rusuk kesepuluh
dan kiri yang normal yaitu 1-1,5 cm. Jika didapatkan tinggi kurang dari 1 cm
8
maka dikatakan diafragma mendatar. Pada posisi telentang, diafragma dapat
tulang iga yang memiliki sudut lancip dan terkadang bisa menjadi datar karena
Hilus terdiri dari arteri, vena, bronkus, dan limfe atau kelenjar getah
bening. Dalam 97% populasi, hilus kiri lebih tinggi daripada kanan. Dari
semua struktur di hilus, hanya arteri pulmonal dan vena lobus superior yang
polos. Kelenjar getah bening normalnya tidak terlihat. Segmen bronkus anterior
berada di bagian lobus atas yang terlihat sebagai cincin yang terlihat di sisi
kanan dalam 45% kasus dan sisi kiri pada 50% kasus.11
Gambar 2.2 Cincin segmen anterior bronkus kiri dan struktur lobus paru11, 12
9
Hampir semua garis putih yang terlihat di bagian tengah foto rontgen
bercabang dan lancip secara bertahap dari hilus terpusat ke pinggiran tepi paru
yang normalnya tidak lebih dari 2/3 lapangan paru. Namun, arteri dan vena
bronkus juga tidak terlihat pada foto rontgen toraks normal karena bronkus
berdinding sangat tipis, mengandung udara, dan dikelilingi oleh udara. Jika
terlihat, maka akan ditemukan bahwa bronkus utama kanan lebih pendek, lebih
Bronkus pada lobus atas muncul 2,5 cm di bawah karina dan lebih
tinggi dari bronkus pada lobus kiri atas yang muncul setelah 5 cm. Bronkus
atas karena efek dari gravitasi dan ukuran pembuluh darah yang berbeda.9
10
Pembuluh limfe berjalan sepanjang septum interlobular hingga ke
dalam hilus, dengan arah aliran yang dikontrol oleh katup. Sistem limfatik
normal tidak terlihat, tetapi penebalan limfatik dan jaringan ikat di sekitarnya
dengan sudut pandang yang berbeda, antara lain PA/AP dan lateral. Foto
toraks, namun seringkali diabaikan karena kurang familiar dengan temuan yang
Bagian-bagian yang dapat dilihat dari foto rontgen toraks lateral antara
lain udara kosong di belakang sternum yang tampak berwarna radiolusen pada
toraks normal. Hilus berturut-turut dari atas dibaca arkus aorta, arteri pulmonaris
kiri, bronkus kanan lobus atas paru, dan bronkus kiri lobus atas paru. Hilus pada
foto yang diambil dari depan seringkali sulit menilai adanya massa. Fisura atau
11
batasan dari lobus paru, dapat diproyeksikan pada foto lateral, yaitu fisura mayor
sternum dengan arah oblik, sedangkan fisura minor berada setinggi iga 4 anterior
window. CT Scan toraks memiliki tiga windows, yaitu windows paru, windows
mediastinum, dan windows tulang. Window paru dipilih untuk melihat kelainan
berbagai bidang, namun yang paling banyak digunakan adalah tampilan bidang
Gambar 2.5 Potongan Bidang pada Pemeriksaan CT Scan. (A) Aksial, (B),
Coronal, (C) Sagital9
12
Pembuluh darah hampir dapat terlihat seluruhnya, dari hillus sampai ke
Bronkus dan bronkiolus juga terlihat, bronkus terlihat lebih kecil dari arteri
Umumnya, terdapat ruang yang terlihat tepat di bawah arkus aorta dan di atas
tempat pelebaran dari nodus limfa. Tepat di bawah level ini terdapat gambaran
13
Gambar 2.7 Potongan Koronal Dan Aksial Pada Karina9
tipis bewarna putih atau sebagai pita avaskular dengan ketebalan sekitar 2 cm
dan berjalan secar obliq melalui paru. Fisura mayor memisahkan lobus atas dan
lobus bawah. Pada paru kanan, fisura minor menandakan lobus tengah.6
14
2.3 DEFINISI
tuberkulosis. Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan asam.13 Tuberkulosis
paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.14
2.4 EPIDEMIOLOGI
tahun 2014, dari 9,6 juta kasus TB baru di dunia, 58% berada di Asia Tenggara dan
Tenggara, Sulawesi Utara, Jambi dan di peringkat kelima adalah Sumatera Barat.
Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat penemuan kasus
TB masih mengalami peningkatan dari tahun 2007-2010, yaitu tahun 2007 ditemukan
sebanyak 3.660 kasus, tahun 2008 sebanyak 3.896 kasus, tahun 2009 ditemukan 3.914
kasus dan pada tahun 2010 ditemukan sebanyak 3.926 kasus yang tersebar dalam 16
tertinggi adalah Pasaman Barat (2,2%), Tanah Datar (1,9%), Lima Puluh Kota
Tuberkulosis lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, sekitar 60%
kematian dari TB terjadi pada laki-laki, tapi angka kejadian pada wanita juga tinggi
dan penderita TB terutama orang dewasa di kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomi, yaitu 15-59,. Diperkirakan 1,1 juta (13%) dari 9 juta orang yang
menderita penyakit TB pada tahun 2013 adalah HIV-positif.15 Pada tahun 2014,
TB membunuh sekitar 1,5 juta orang (1,1 juta HIV-negatif dan 0,4 juta HIV-
15
positif) yang terdiri 890 000 laki-laki, 480 000 perempuan dan 140 000 anak-
anak.3
2.5 ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis.16
Mycobacterium tuberculosis
membentuk spora dan tahan asam. 16 Sebagian besar bakteri ini menyerang paru tetapi
bisa juga menyerang jaringan ikat dan berbagai organ di tubuh yang disebut
tuberkulosis ekstraparu.17,18
berukuran sekitar 0.4 x 3 μm serta mengandung banyak lemak kompleks dan sulit
didekolorisasi.19 Pada media artifisial, bakteri ini memiliki bentuk kokoid dan
filamentosa yang terlihat dalam berbagai morfologi dari satu spesies ke spesies lain.20
16
Mycobacterium tuberculosis tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok gram
positif maupun gram-negatif karena ketika diwarnai dengan pewarnaan dasar, bakteri
tersebut tidak dapat dihilangkan warnanya oleh alkohol kecuali dengan iodin. Bakteri
ini disebut basil tahan asam sehingga diperlukan pewarnaan teknik Ziehl-Neelsen.
Pada apusan sputum atau potongan jaringan, kuman dapat terlihat dengan warna
sekitar 20 jam. Terlihat koloni cembung, kering dan kuning gading.8 Kuman tahan
terhadap suhu rendah, sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama antara
4°C sampai minus 70°C. Ketika suhu menjadi dingin, kuman akan bersifat dorman.
Tetapi kuman juga sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.
Jika terkena paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan
karena bersifat hidrofobik di permukaan sel. Pada sputum kering yang melekat pada
debu, daya tahan bisa mencapai 8-10 hari. Pengaruh pemanasan sama halnya dengan
kuman lainnya.21
Sebagian antigen kuman terdapat pada dinding sel yang dapat menimbulkan
lipid seperti lemak komleks, lilin dan fosfatida. Lipid pada dinding sel berhubungan
berbagai antibiotik. Lipid menentukan tahan asam hingga batas tertentu. Penghilangan
lipid dengan asam panas akan menghancurkan sifat tahan asam. Selain itu,
17
lipoarabinomannan pada dinding sel mempengaruhi patogenesis sehingga bakteri ini
antibodi karenanya.22
proksimal. Faktor risiko distal merupakan faktor yang berperan dalam pengembangan
TB secara tidak langsung, meliputi seperti status sosial ekonomi yaitu status
faktor host yang meliputi umur, jenis kelamin, riwayat diabetes, riwayat merokok,
Orang yang kontak serumah dengan penderita TB Paru lebih berisiko untuk
terjadi TB Paru dibandingkan dengan orang yang kontak di luar rumah. Hal ini
disebabkan oleh kontak yang erat dengan penderita TB Paru BTA (+) lebih berisiko
untuk terinfeksi. Makin erat kontak (dose contact) dan makin lama, maka makin besar
resiko tertular selain itu juga dipengaruhi oleh ventilasi rumah, yakni kelompok yang
mempunyai rumah dengan luas ventilasi yang kurang dari 10% luas lantai lebih
rumah dengan ventilasi lebih dari 10% luas lantai. Ventilasi memungkinkan terjadinya
pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman, selain itu dengan
adanya ventilasi maka cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah dan diharapkan
dapat membunuh kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat batuk.24
18
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, beberapa karakteristik pasien TB,
adalah:
Usia
Pada penelitian yang dilakukan oleh Eni Yulvia Susilayanti dkk di Lubuk
Alung, Sumatera Barat tahun 2012 didapatkan bahwa, berdasarkan umur penderita
TB paru BTA positif paling banyak terjadi pada usia produktif 22-35 tahun sebanyak
(30,5%). Rata- rata usia adalah 33,6 tahun2 5 , sejalan dengan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sihombing dkk di RSUP Haji Adam Malik,
Medan tahun 2011 yakni usia rata-rata 39,7 tahun yang berada pada rentang usia
26
terbanyak antara 22-24 tahun sebanyak 35 orang dari 85 orang (41,18%) . Hal ini
sesuai dengan laporan WHO sebelumnya yakni dua per tiga kasus TB terjadi pada
usia tersebut mobilitas yang tinggi baik dalam aktivitas maupun interaksi penderita
dengan orang lain sehingga kemungkinan untuk menularkan ke orang lain lebih
tinggi.26
Jenis Kelamin
Pada penelitian yang dilakukan oleh Eni Yulvia Susilayanti dkk di Lubuk
Alung, Sumatera Barat tahun 2012 didapatkan bahwa berdasarkan jenis kelamin
didapatkan penderita TB paru BTA positif lebih sering pada laki-laki 784 orang
(70,8%) dibandingkan dengan perempuan berjumlah 324 orang (29,2%)25, begitu juga
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sihombing dkk di RSUP Haji
19
Adam Malik, Medan tahun 2011 yakni laki-laki yang berjumlah 59 orang (69,42%)
imunitas saluran pernafasan seperti kerusakan mukosiliar akibat racun asap rokok
serta menurunkan respon terhadap antigen, sehingga menjadi lebih rentan untuk
terinfeksi.25 Selain itu dapat karena kebiasaan sehari-hari yang lebih banyak berada
Tingkat pendidikan
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sihombing dkk di RSUP Haji
pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) merupakan yang terbanyak, sebesar
49,41%. Diikuti tamat SLTP sebanyak 27,06%, sedangkan tingkat pendidikan tamat
dari sekolah dasar (SD) sebesar 20,0%. Tidak sekolah atau tidak tamat SD sebesar
1,18%. Sedangkan subjek penelitian pada tamatan perguruan tinggi sebesar 2,35%.26
pendidikan yang rendah akan lebih banyak mengalami kesulitan dalam menerima
pendidikan lebih tinggi akan memiliki kesadaran akan perilaku sehat dan melakukan
penelitian Sari Hutari tahun 2014 menunjukan bahwa dengan pendidikan tinggi belum
20
tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik mengenai penyakitnya
Jenis pekerjaan
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sihombing dkk di RSUP Haji
Adam Malik, Medan tahun 2011 bahwa pekerjaan yang terbanyak adalah wiraswasta
sebesar 55 orang (64,71). Urutan kedua terbanyak adalah tidak bekerja sebesar 17
pada subjek penelitian ini yaitu 2 orang 2,35%.26 Sedangkan penelitian oleh Reny MS
dkk tahun 2014 didapatkan sebagian besar responden tidak bekerja yang terbagi
terjadinya gangguan pada saluran pernapasan. Pekerjaan di tempat yang lembab serta
dengan pencahayaan dan ventilasi yang kurang baik, meningkatkan risiko terjadinya
seseorang beraktivitas diluar rumah dan interaksi yang lebih sering sehingga
Penyakit penyerta
Pada penelitian yang dilakukan oleh M. Gamal Eddin dkk di RSUP Dr. M.
adalah efusi pleura (22,7 %) selanjutnya pneumonia (18,2%), diabetes melitus tipe 2
kronik (9,1%), gagal nafas (3,1%), hipoalbuminemia (3,1%), septikemia (3,1%), dan
21
yang lainnya bronkiektasis, empyema, karsinoma bronkogenik, cor pulmonale kronik,
2.7 Klasifikasi
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
22
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
6. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok
ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
1. Tuberkulosis primer
akibat penyakit ini penyakit ini dapat berlokasi dimana saja didalam paru-paru,
namun sarang dalam parenkim paru-paru sering disertai oleh pembesaran kelenjar
23
Salah satu komplikasi yang mungkin timbul adalah pleuritis, karena perluasan
atelektasis akibat stenosis bronkus karena perforasi kelenjar ke dalam bronkus. Baik
Tuberkulosis yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa. Saat ini
pendapat umum mengenai penyakit tersebut adalah bahwa timbul reinfeksi pada
seorang yang dimasa kecilnya pernahh menderita tuberkulosis primer, tetapi tidak
dilapangan atas dan segmen apikal lobus bawah, walaupun kadang-kadang dapat juga
terjadi dilapangan bawah, yang biasanya disertai oleh pleuritis. Pembesaran kelenjar-
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
24
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat)
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien
TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan
hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. Infeksi akan terjadi apabila orang
lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius pada saat
batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.14
Bakteri dapat ditularkan melalui aerosol kecil yang dikeluarkan penderita TB aktif
ketika batuk. Ketika dihirup oleh orang lain, bakteri tersebut akan menuju ke paru-
paru, selanjutnya dia akan dikenali oleh makrofag alveolar, untuk perjalanan
berikutnya hasilnya tergantung pada beberapa faktor seperti virulensi bakteri dan status
kekebalan host yang pada akhirnya bakteri tersebut dapat dieliminasi, menjadi infeksi
laten, atau infeksi dapat berkembang menjadi TB aktif. Risiko pengembangan TB aktif
secara klinis setelah menghirup M. TB relatif kecil dan lebih dari 90% dari mereka
25
mengembangkan respon imun adaptif, atau menjadi infeksi laten. Mereka yang
menjadi infeksi laten memiliki 10% resiko seumur hidup untuk berkembang menjadi
TB reaktivasi terutama bila terjadi penurunan kekebalan tubuh, seperti co-infeksi HIV
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang
primer atau afek primer. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior
maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni
kecil. Sarang pneumoni ini dapat diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan
cacat atau sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis, selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran, sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar
kaseosa) lalu kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
26
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi: meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni
baru. Sarang pneumoni ini akan memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan
pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi bersih dan menyembuh yang
disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
27
2.1.7 Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Jika tes diagnostik tambahan tidak tersedia
dan jika rujukan ke tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi untuk konfirmasi
Pengobatan empirik dengan rejimen obat anti-TB yang tidak lengkap tidak boleh
dilakukan. Jika seorang pasien diterapi dengan obat anti-TB, pengobatan harus
terstandarisasi, pengobatan lini pertama, dan harus diselesaikan. Pengobatan hanya dapat
dihentikan bila ada bakteriologi, histologi, atau bukti klinis yang kuat dari diagnosis
alternatif.15
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala respirasi diantaranya adalah batuk 2
minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi,
dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.4
Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala
paling sering dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit tuberkulosis paru aktif.
Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan
bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada
Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada
gejala batuk. Batuk dapat terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar. Gejala sistemik yang ditimbulkan akibat infeksi TB
28
adalah demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. Pada TB
paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan
perkembangan penyakit umumnya tidak (sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru
pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).4
Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum. Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi
“cold abscess”.4
Pemeriksaan dahak
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
─ P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
29
─ Pemeriksaan Biakan
untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, yakni pasien TB ekstra
Menurut American Tuberculosis Association luasnya proses yang tampak pada foto
toraks dapat dibagi sebagai berikut :
Tuberkulosis minimal (Minimal Tuberculosis) : yaitu luas sarang-sarang yang kelihatan
tidak melebihi daerah yang dibatasi leh garis median, apeks, dan iga 2 depan; sarang-
sarang soliter dapat berada dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut
diatas. Tidak ditemukan adanya lubang (kavitas).
30
Tuberkulosis lanjut sedang (Moderately Advanced Tuberculosis) : yaitu luas sarang-
sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru, seedangkan bila ada
lubang tidak, diameternya tidak melebihi 4 cm. Kalau sifat bayangan sarang-sarang
tersebut berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen,
luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus.
Tuberkulosis sangan lanjut (Far Advanced Tuberculosis) : yaitu luas daerah yang
dihinggapi oleh sarang-sarang lebih daripada klasifikasi kedua diatas, atau bila ada
lubang-lubang, maka diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm.
Ada beberapa cara pembagian kelainan yang dapat dilihat pada foto rontgen. Salah satu
pembagian adalah menurut bentuk kelainan, yaitu :
31
1. Sarang eksudatif, berbentuk awan-awan atau bercak, yang batasnya tidak tegas dengan
densitas rendah.
2. Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya tegas dan densitasnya
sedang.
3. Sarang induratif atau fibrotik, yaitu yang berbentuk garis-garis, atau pita tebal, berbatas
tegas dengan densitas tinggi.
4. Kavitas (lubang).
5. Sarang kapur (kalsifikasi).
Cara pembagian ini masih banyak digunakan di Eropa, tetapi di Indonesia hampir tidak
dipergunakan lagi. Yang mulai dipergunakan di Indonesia ialah cara pembagian yang
lazim dipergunakan di Amerika Serikat, yaitu :
1. Sarang-sarang berbentuk awan atau bercak-bercak dengan densitas rendah atau
sedang dengan batas tidak tegas. Sarang-sarang seperti ini menunjukkan bahwa
proses aktif.
2. Lubang (kavitas) ; ini selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat
kecil, yang dinamakan lubang sisa-(residual cavity).
3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur (kalsifikasi) yang
biasanya menunjukkan bahwa proses telah tenang.
Tuberkuloma
Kelainan ini menyerupai suatu tumor. Pada hakekatnya tuberkuloma adalah suatu
sarang keju (caseosa) dan biasanya menunjukkan penyakit yang tidak begitu virulen, bahkan
biasanya tuberkuloma bersifat tidak aktif, lebih-lebih bila batasnya licin, tegas, dan didalam
atau dipinggirnya ada sarang perkapuran, sesuatu yang dapat dilihat jelas pada tomogram.
Diagnostik diferensialnya dengan suatu tumor sejati (jinak atau ganas) adalah bahwa
didekat tuberkuloma sering ditemukan sarang-sarang kapur lainnya (satelit).32
32
Dewasa: penurunan berat badan, demam, batuk, hemoptisis
Radiografi mungkin normal
Air-space consolidation; pembersihan pada paru sering terlambat
Atelektasis pada anak-anak
Kavitasi dan penyebaran militer jarang terjadi
Limfadenopati sering terjadi pada anak-anak, jarang pada orang dewasa
Efusi pleura dapat terlihat tanpa penyakit paru-paru
33
Gambar. Kompleks primer (Kompleks Ranke).
Pada tuberkulosis primer dikenal dengan istilah kompleks primer (Kompleks Ranke)
yang terdiri dari :33
1. Afek primer/ fokus gohn : kuman TB yang masuk melalui saluran nafas dan
bersarang dijaringan paru
2. Limfangitis lokal : peradangan saluran getah bening dari sarang primer menuju
hilus
3. Limfadenitis regional : pembesaran kelenjar getah bening dihilus akibat proses
peradangan tersebut
34
Gambar. Limfadenopati yang berkaitan dengan infeksi tuberkulosis primer
Radiografi thorax menunjukkan pembesaran kelenjar getah bening hilus kanan
(panah) dan berkaitan dengan konsolidari parenkim paru.33
35
Gambar. Infeksi tuberkulosis primer
Dari hari pemeriksaan rontgen toraks tampak adanya limfadenopati di hilus kanan dan
atelektasis dilobus kanan atas.33
36
Gambar. CT scan menunjukkan adanya efusi pleura kiri
Temuan Pencitraan :
Temuan paling umum dari infeksi post primer TB adalah dari area konsolidasi yang
tidak jelas di segmen apikal dan posterior dari lobus atas dan pada tingkat lebih rendah,
segmen superior dari lobus bawah. Opasitas juga dapat ditemukan di segmen lain. Seringkali,
infiltrat, atau nodul satelit, terlihat di pinggiran fokus dominan konsolidasi (lihat Gambar).
Pada HRCT, nodul seperti itu secara khas menunjukkan pola linear percabangan
centrilobular, atau yang disebut dengan tree-in-bud. Infiltrat ini menunjukkan adanya
37
impaksi jalan napas kecil dengan nanah. Kavitas terlihat pada 20% hingga 45% pasien
dengan infeksi TB post primer aktif pada radiografi thorax, tetapi rongga kecil lebih mudah
dinilai dengan CT dan HRCT.
38
Gambar. Infeksti TB post primer
Dari pemeriksaan rontgen toraks posisi lateral tampak adanya konsolidasi yang terletak di
segmen apikal dan posterior lobus kanan atas (panah).33
39
Gambar. Infeksi TB post primer
Dari hasil pemeriksaan rontgen thoraks tampak adanya kavitas di lobus kanan atas (panah
besar) dan infiltrat pada lobus kiri atas (panah kecil) yang menunjukkan adanya penyebaran
infeksi ke jalan nafas.33
40
Pemeriksaan rontgen toraks menunjukkan adanya infiltrat kecil-kecil (panah) yang tak
terhitung jumlahnya, bilateral, dan terdistribusi secara merata dikedua lapangan paru yang
mewakili penyebaran infeksi MTB secara milier (hematogen).33
41
Dari hasi pemeriksaan rontgen toraks tampak adanya tuberkuloma, yaitu suatu lesi yang
berbentuk bulat, oval, berkapsul, bentuk homogen atau heterogen, dapat soliter atau beberapa
lesi.33
TATALAKSANA
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO)4
42
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Catatan:
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien
dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500 mg/hari.
Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10 mg/kgBB/hari.
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC)
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah :
43
Kategori I : 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori II : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR)/ atau 2HRZE(S)/4-10 HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indnesia terdiri
dari OAT lini kedua yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu Pirazinamid dan
Etambutol.
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid,
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek
samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
44
Tabel 4. Dosis paduat OAT kombipak kategori 1 : 2HRZE/ 4H3R3
45
Efek samping OAT
46
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
Batuk darah (profus)
Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif / bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
TB paru milier
Meningitis TB
b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
1. Evaluasi klinik
Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
2. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
47
Bila ada fasilitas biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)
3. Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan
Pada akhir pengobatan
48
adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan
24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh.4
49
Daftar Pustaka
1. Kemenkes RI (2015). Info datin pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI
tuberkulosis obati sampai sembuh.
8. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. edisi 23. Jakarta:
EGC. 2012.
11. Sutton, David. Textbook of Radiology and Imaging 7th edition: vol 1. London:
Churchill Livingstone. 2003. Hal.5-23.
12. Slo a, Sloane, Ethel Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC, 2003.
13. Hasan H, 2010. Buku ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit
Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo. Hal: 9.
14. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006). Tuberkulosis pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html,
─Diakses Maret 2019.
15. WHO (2014). World health statictics 2014 a wealth of information on global public
health. http://apps.who.int/iris/, ─ Diakses Maret 2019.
16. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6,
50
Jakarta: EGC. 2003; 852-2.
19. Kumar Vinay, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG. 2007; 544-551.
20. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg
Ed. 25. Jakarta: ECG. 2012.
21. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar mikrobiologi
kedokteran. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher. 2010.
22. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper
DL, Hauser DL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrison’ s Principles of Internal
Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008.
24. Simbolon D (2007). Faktor risiko tuberkulosis paru di kabupaten Rejang Lebong.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 2 (3) : 112-119.
25. Susilayanti EY, Medison I, Erkadius (2014). Profil penderita penyakit tuberkulosis
paru BTA positif yang ditemukan di BP4 Lubuk Alung periode Januari 2012 –
Desember 2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 3 (2): 151-155.
26. Sihombing H, Sembiring H, Amir Z, Sinaga BYM (2012). Pola resistensi primer pada
penderita tb paru kategori I di RSUPH. Adam Malik, Medan. J Respir Indo, 32 (3) :
138-145.
27. Suryo J (2010). Herbal penyembuh gangguan sistem pernafasan. Edisi pertama.
Yogyakarta: B First (PT Bentang Pustaka).
28. Hutari S, Wongkar MCP, Langi YA (2014). Hubungan antara tingkat pendidikan
pengetahuan dan status gizi dengan pengobatan tuberkulosis paru di puskesmas
Tuminting. Jurnal E-Clinic (ECL), 2 (1): 3244-3250.
29. Sari RM (2014). Hubungan antara karakteristik kontak dengan adanya gejala TB pada
kontak penderita TB paru BTA+. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2 (2): 274–285.
30. Eddin MG, Khairsyaf O, Usman E (2015). Profil Kasus Tuberkulosis Paru di Instalasi
Rawat Inap Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4 (3): 888-
892.
51
31. Rasad, Sjahriar. 2010. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
32. Rasad, Sjahriar. 2010. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
33. Webb Richard W; Higgins Charles B. 2011. Thoracic Imaging : Pulmonary and
Cardiovascular Radiology. 2nd Edition. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams &
Wilkins.
52