Rinitis Alergi
Oleh:
Dian Rahmawati 1840312215
Ifwil Kartini 1840312216
Preseptor :
Dr. dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL(K), FICS
Rinitis Alergi
Dian Rahmawati1, Ifwil Kartini1
Affiliasi penulis : 1. Profesi Dokter FK UNAND alergi dan juga dapat meningkatkan kernampuan
(Fakultas Kedokteran Universitas Andalas) akademik penderita rinitis alergi anak serta dapat
menurunkan terjadinya komplikasi pada saluran napas
PENDAHULUAN bawah. 7,8,9
Tujuan terapi adalah menghambat proses
1.1 Latar Belakang patofisiologik yang menyebabkan terjadinya inflamasi
Rinitis alergi adalah inflamasi pada hidung yang kronik alergik.9 Berdasarkan keadaan tersebut diatas
ditandai dengan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I maka diperlukan suatu tahapan penatalaksanaan yang
setelah terpapar oleh alergen yang telah tersensitisasi. bersifat holistik berupa edukasi, penghindaran
Inflamasi berupa reaksi imunologi yang melibatkan terhadap alergen, farmakoterapi secara tepat dart
IgE-antigen dan sel mast pada membran yang melapisi rasional dan mungkin imunoterapi.8 Dalam hal
hidung. Rinitis alergi adalah inflamasi pada mukosa pemberian terapi, diperlukan pengetahuan yang
nasal yang prevalensinya tinggi, ditandai oleh pruritus, memadai mengenai patogenesis, patofisiologi rinitis
bersin, hidung berair, dan nasal kongesti.1,2 alergi sebagai landasan dalam pemilihan obat yang
Dalam studi epidemiologis mengatakan bahwa tepat.7,8,9
prevalensi rinitis alergi meningkat secara progresif .2
Data WHO tahun 2000 mengenai epidemiologi rinitis 1.2 Batasan Masalah
alergi di Amerika Utara dan Eropa Barat, terjadi
Penulisan case report session ini terbatas pada
peningkatan prevalensi rinitis alergi dari 13-16%
definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, gejala
menjadi 23-28% dalam 10 tahun terakhir.3
klinis, diagnosis, komplikasi, tatalaksana, serta
Di Indonesia, International Study of Asthma and
prognosis rinitis alergi.
Allergies of Childhood (ISAAC) juga melakukan
penelitian di beberapa daerah dengan menggunakan 1.3 Tujuan Penulisan
kuesioner, Nugraha (2011) melaporkan 30,2% siswa Tujuan penulisan case report session untuk
sekolah berusia 16-19 tahun di Semarang menderita menambah pengetahuan tentang rinitis alergi.
penyakit rhinitis alergi. Penelitian Kholid (2013) pada
anak usia 13-14 tahun di Ciputat Timur mendapatkan
hasil prevalensi rhinitis alergi 25,20% dengan 1.4 Metode Penulisan
penderita terbanyak laki-laki.4 Penulisan case report session ini menggunakan
Rinitis akan menimbulkan efek negatif bagi orang metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
yang menderitanya berupa penurunan kualitas hidup, berbagai literatur.
produktifitas kerja, sekolah dan kinerja akademik.5
Selain itu, biaya pengobatannya relatif mahal dan juga
bersifat rekuren.6 TINJAUAN PUSTAKA
Menurut WHO-ARIA derajat rinitis alergi dapat
dikelompokkan berdasarkan jenis gejala dan beratnya 2.1 Anatomi Hidung
gejala. Berdasarkan jenis gejala terbagi menjadi Hidung luar berbentuk piramid terdiri atas:
intermitten dan persisten, sedangkan menurut beratnya 1) pangkal hidung (bridge),
gejala yaitu ringan dan sedang-berat. Diagnosis rinitis 2) batang hidung (dorsum nasi),
alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala, 3) puncak hidung (tip),
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta 4) ala nasi,
menemukan alergen penyebab.1 5) kolumela, dan
6) nares anterior.
Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan
kualitas hidup dan produktifrtas pasien dengan rinitis yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot
pernafasan ( mukosa respiratori) dan mukosa penghidu Transportasi mukosiliar normal penting
(mukosa olfaktorius).7 untuk pemeliharaan hidung dan sinus yang sehat.
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar Bersihan mukosiliar yang baik akan mencegah
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus
paranasal. Hal ini jelas terlihat pada rinosinusitis
torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated
kronik. Adanya suatu inflamasi dan infeksi yang
pseudostratified collumner epithelium) dan menyebabkan dilepasnya mediator seperti vasoaktif
diantaranya terdapat sel-sel goblet.7 amin, protease, asam arakidonat metabolit,
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga lipolisakarida, dan lain-lain mengakibatkan kerusakan
hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. mukosa hidung dan terjadi disfungsi mukosiliar.
Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak Disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi
bersilia (pseudostratified collumner non ciliated mukus, akibatnya bakteri akan semakin mudah untuk
berkolonisasi dan infeksi akan kembali terjadi. Pasien
epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel,
dengan rinosinusitis kronis telah ditemukan memiliki
yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor gangguan pembersihan mukosiliar.7
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.7
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara Fisiologi Hidung
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner
metaplasia, menjadi epitel skuamosa. 7 dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus
Dalam keadaan normal mukosa respiratori paranasal adalah :
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi 1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara
oleh palut lendir (mucous blanket) pada (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
permukaannya. Dibawah epitel terdapat tunika propria penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mekanisme imunologik lokal.
mukosa, dan jaringan limfoid.7 2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa
olfaktorius dan reservoir udara untuk
Sistem transpor mukosiliar menampung stimulus penghidu.
Sistem transpor mukosiliar merupakan sistem 3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi
pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, suara, membantu proses bicara dan mencegah
jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
bersama udara. Transpor mukosiliar atau bersihan 4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan
mukosiliar terdiri dari gerakan silia dan palut lendir beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
yang bekerja secara simultan. Jumlah, struktur dan pelindung panas.
gerakan silia sama pentingnya dengan sifat biokimia, 5. Refleks nasal.7
fisik dan kimia dari lender.7
Palut lendir terdiri dari lapisan mukosa yang 2.2 Definisi Rinitis Alergi
terletak superfisial dan lapisan serosa yang terletak Rinitis alergi merupakan respon imunologi yang
lebih dalam. Sekret mukosa dan serosa tersebut dimediasi oleh IgE pada mukosa hidung terhadap
dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar pada mukosa alergen udara yang ditandai dengan adanya kongesti
hidung. Lembaran palut lendir tersebar pada mukosa
pada hidung, rinorea, bersin dan gatal pada hidung.
normal dan mengambang di atas silia yang
membawanya menuju nasofaring. Cairan mukus lebih Gejalanya juga sering diikuti oleh iritasi pada
elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti konjungtiva, gatal pada palatum dan faring.7,8
albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen, sedangkan 2.3 Epidemiologi
cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim,
Menurut studi yang dilakukan oleh WHO pada
inhibitor lektoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik.
Ketinggian lapisan serosa sangat mempengaruhi tahun 2008, melaporkan kejadian rinitis alergi dan
efisiensi gerakan silia.7 asma di asia pasifik sekitar 10-30% pada anak dan
dewasa.12 Angka kejadian rinitis alergi di Indonesia
Glikoprotein pada mukus berperan dalam bervariasi diberbagai daerah. Hasil studi di Jakarta
pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial. IgA didapatkan 26,71% anak usia 13-14 tahun, Bandung
berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari 19,1%, dan Semarang 18,4%.13 Prevalensi rinitis alergi
jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen
pada anak-anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki
saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dibandingkan perempuan. Prevalensi antara wanita dan
dengan antigen bakteri.7 pria saat dewasa hampir sama. Usia rata-rata onset
rinitis alergi pada 8-11 tahun, tetapi rinitis alergi dapat
terjadi pada segala usia. Prevalensi rinitis alergik
sekitar 40% pada anak-anak dan menurun seiring 1) Intermitten, jika gejala kurang dari 4 hari per
dengan peningkatan usia.14 minggu atau kurang dari 4 minggu.
2) Persisten, jika gejala lebih dari 4 hari perminggu
2.4 Etiologi atau lebih dari 4 minggu
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara Berdasarkan berat ringannya penyakit, dibagi atas:
lingkungan dengan predisposisi genetik dalam 1) Ringan, bila tidak ada gangguan tidur, gangguan
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan pada kegiatan sehari-hari, bersantai, belajar,
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan 2) Sedang-berat, bila terdapat 1 atau lebih gangguan
pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada yang tersebut diatas.
anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan.1,2
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung 2.6 Patofisiologi
dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu reaksi cepat
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis dan reaksi lambat. Reaksi cepat terjadi sejak kontak
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau pertama dengan alergen hingga 1 jam setelahnya.
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) Reaksi lambat terjadi 2-4 jam setelah pajanan alergen
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama dan berlangsung hingga 24-48 jam dengan puncak 6-8
tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan jam. Rinitis alergi merupakan inflamasi yang diawali
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor provokasi.
resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet Pada fase sensitisasi alergen ditangkap makrofag
serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor yang berada di mukosa hidung. Setelah itu antigen
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi akan bergabung dengan molekul HLA II membentuk
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya MHC II yang akan dipresentasikan ke T helper.
jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan Makrofag melepaskan sitokin yang menyebabkan Th0
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang menghasilkan sitokin yang menyebabkan sel limfosit B
kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.7 aktif dan memproduksi IgE.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas: Pada fase provokasi, IgE akan mengikat alergen
a. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan spesifik dan terjadi degranulasi sel mastosit dan
udara pernafasan, misalnya debu rumah, basophil sehingga dilepaskannya mediator kimia
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang terutama histamin. Histamin yang dikeluarkan akan
serta jamur. berikatan dengan reseptor H1 sehingga menimbulkan
gejala bersin-bersin dan hidung gatal. Kelenjar mukosa
b. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran dan sel goblet juga akan dirangsang sehingga terjadi
cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, hipersekresi mukus dan peningkatan permeabilitas
coklat, ikan dan udang. kapiler yang menimbulkan keluhan rinorea. Efek lain
dari histamin berupa vasodilatasi dari sinusoid yang
c. Alergen Injektan, yang masuk melalui
akan menyebabkan penyumbatan pada rongga hidung
suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Mediator
sengatan lebah
lain yang dilepas seperti kemokin dan sitokin dapat
meningkat ekspresi molekul adhesi pada endotel
d. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui
vaskular yang mengikat sel inflamasi agar dapat
kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
bermigrasi ke mukosa dan menimbulkan fase lambat.
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan 7,15
menggosok hidung dengan punggung tangan (allergic licin dan sebagian kasar) yang biasanya akibat alergi
salute), mukosa hidung pucat dan edem, konka edem, makanan, dapat ditemukan adenoid yang membesar,
permukaan dinding posterior faring tampak granuler
sekret hidung jernih dan cair atau mukoid. 7
dan edema (cobble stone appereance) dan penebalan
dinding lateral faring (Adams, 2012; DeGuzman,
2013).
Tanda pada laring: suara serak dan edem pada
plica vocalis.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
Gambar Allergic salute, allergic crease untuk membuktikan rhinitis alergi diantaranya: 7,16
Hitung jenis leukosit
Akan tampak peningkatan eusinofil perifer,
Pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan namun hal ini tidak selalu muncul.
kongesti, mukosa berwarna merah muda pucat, lendir IgE serum total
Kadar meningkat hanya didapati pada 60%
mukoid yang jernih atau berwarna gelap, dan
penderita rinitis alergi. Kadar IgE normal tidak
perhatikan juga kelainan bentuk seperti deviasi septum, menyingkirkan rinitis alergi. Kadar dapat
hipertrofi turbinate, dan polip nasal. Selain itu juga meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan
terdapat gejala pada mata seperti injeksi sklera dan menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini
masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring
eritema konjungtiva dengan cobblestoning (Adams, tetapi tidak untuk diagnostik.
2012; DeGuzman, 2013) Skin prick test
Gejala pada mata: allergic shinner-bayangan Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
gelap dibawah mata karena stasis vena sekunder akibat
Challange Test
obstruksi hidung.7 Makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
`setelah terpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya.
Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRi.
Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus
paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis,
menilai respon terhadap terapi dan jika
gambar allergic shinner direncanakan tindakan operasi.
Gejala pada telinga: retraksi membran timpani
2.9 Tatalaksana
atau otitis media serous karena ada blok pada tuba
eustachius.7
Tanda pada faring: granular faringitis akibat
hiperplasia dari jaringan submukosa limfoid. Pada
anak-anak sering prolonged mouth-breathing akan
tampak hiperplasia adenoid.7
Pemeriksaan mulut ditemukan, bernafas lewat
mulut, bentuk rahang fasies adenoid yang nantinya
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi- geligi
dan terjadi penonjolan ke dapan dari gigi seri atas,
arkus palatum menyempit, maloklusi gigi, ukuran
tonsil, cobblestone faring. Pemeriksaan telinga juga
dilakukan untuk melihat apakah terdapat efusi pada
telinga (Adams, 2012; DeGuzman, 2013).
Pemeriksaan tenggorok mungkin didapatkan
bentuk geographic tounge (permukaan lidah sebagian
Kesimpulan Normal
Audiometri Tidak dilakukan Mukosa Warna Merah muda Merah muda
Tidak dilakukan
Edema Tidak ada Tidak ada
Hidung
Pemeriks Kelainan Dektra Sinistra Jaringan Tidak ada Tidak ada
aan Granulasi
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Konka Warna Merah muda
Kelainan Tidak ada Tidak ada Merah muda
Hidung kongenital Inferior
luar Permukaan Licin
Trauma Tidak ada Tidak ada Licin
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada Edem Ada
Ada
Konsistensi
Gigi Karies Non-medikamentosa : Cuci Hidung
Tidak ada Tidak ada
/Radiks
Edukasi:
Kesan Hygiene Baik
Warna Merah muda - Istirahat cukup
Bentuk Normal - Hindari alergen
Lidah Deviasi Tidak ada
Massa Tidak ada
Prognosis :
Quo ad vitam : Bonam
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Pemerik Dekstra Sinistra Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
saan
3. Diantaroli T, Harianto, Burhanuddin L (2016). 17.ARIA. Allergic rhinitis and its impact on asthma.
Gambaran uji cukit (skin prick test) alergen 1st edition. 2007
ingestan pada mahasiswa fakultas kedokteran 18.Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N (eds). Buku ajar
universitas riau angkatan 2014 yang menderita alergi imunologi anak edisi 2. Jakarta: Badan
/menunjukkan gejala rinitis alergi. Jom FK, 3 (1): penerbit IDAI, pp: 245-251. 2010
1-11.
4. Pasaribu PS, Nurfarihah E, Handini M.
Prevalensi dan karakteristik rinitis alergi anak
13-14 tahun di Pontianak pada Maret 2016
berdasarkan Kuesioner ISAAC dan ARIA-WHO
2008. Pontianak: Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura; 2017: 333-334.
5. Bousquet J, Schünemann HJ, Zuberbier T,
Bachert C, Baena-Cagnani CE, Bachert C, et al.
(2010). Development and implementation of
guidelines in allergic rhinitis – an
ARIA-GA2LEN paper. In: Allergy, 65 (10):
1212-21.
6. Lumbanraja HLP (2007). Distribusi alergen pada
penderita rinitis alergi di Departemen THT-KL
FK USU RSUP H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara. Tesis.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala & leher. Jakarta: Balai
penerbit FK UI. 2014
8. Efendi H, Santoso RAK (ed). BOIES buku aja
penyakit THT. Jakarta: EGC.
9. Maqbool M, Maqbool S. Textbook of ear, nose,
and throat disease 11 edition. New delhi: Jaypee
brothers medical publisher ltd. 2007
10. Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose, and
throat & head and neck surgery. India: Elsevier.
2014
11. Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF,
Behrman RE (eds). Nelson textbook of pediatrics.
United states: Elsevier. 2011
12.Abong JM, Kwon SL, Alava HDA, Castor MAR,
Leon JCD. Prevalence of allergic rhinitis in filipino
adults based on national nutrition and health survey
2008. Asia pacific allergy. 2012: 129-135
13. ISAAC steering committe. ISAAC phase three
data. 2002 (diunduh Mei 2017). Tersedia dari:
URL:http://isaac.auckland.ac.nz/phases/phasethr
ee/results/result.php
14. Sheikh J. Allergic rhinitis. 2015 (diunduh Mei
2017). Tersedia dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/134825-o
verview#a6
15. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi dasar.
Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publishing. 2009
16.Huriyati E, Hafiz A. Diagnosis dan
Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma
Bronkial. Jurnal Kesehatan Andalas.