Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus

RHINOSINUSITIS KRONIK DENGAN


DEVIASI SEPTUM

Disusun oleh:

Ade Indah Permata Sari, S.Ked 04054821820068


Essy Avida Tholibiyah, S.Ked 04054821820020
Griselda, S.Ked 04084821921095
Muhammad Hanif P, S. Ked 04084821921060
Ahadi Aulia Rahman, S. Ked 04084821921033

Pembimbing:

dr. Hj. Abla Ghanie, Sp. T.H.T.K.L(K), FICS

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

RHINOSINUSITIS KRONIK DENGAN DEVIASI SEPTUM

Oleh:

Ade Indah Permata Sari, S.Ked 04054821820068


Essy Avida Tholibiyah, S.Ked 04054821820020
Griselda, S.Ked 04084821921095
Muhammad Hanif P, S. Ked 04084821921060
Ahadi Aulia Rahman, S. Ked 04084821921033

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/


Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang periode 29 Juli – 1
September 2019.

Palembang, Agustus 2019

dr. Hj. Abla Ghanie, Sp. T.H.T.K.L(K), FICS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus
ini dengan judul ”Rhinosinusitis Kronik dengan Deviasi Septum”. Pada
kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Hj. Abla Ghanie, Sp. T.H.T.K.L(K), FICS, selaku pembimbing yang
telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam
penyusunan laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari sepenuhnya
bahwa laporan kasus ini masih terdapat kekurangan, baik dari isi maupun teknik
penulisan. Sehingga apabila ada kritik dan saran dari semua pihak untuk
kesempurnaan laporan kasus, penulis ucapkan banyak terimakasih.
Demikianlah penulisan laporan kasus ini, semoga dapat berguna bagi kita
semua.

Palembang, Agustus 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
BAB I- PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II- STATUS PASIEN .................................................................................... 2
BAB III- TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 17
BAB IV- ANALISIS MASALAH ........................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 50

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Dinding Lateral Cavum Nasi ............................................................. 19


Gambar 2. Kompleks Ostiomeatal (KOM).......................................................... 20
Gambar 3. Sinus paranasalis tampak depan dan samping ................................... 21
Gambar 4. Siklus patologis rinosinusitis kronik .................................................. 28
Gambar 5. CT-scan penampang korona .............................................................. 34
Gambar 6. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina .......................... 39
Gambar 7. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk ............................. 41

v
BAB I
PENDAHULUAN

Rhinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa


hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran
finansial masyarakat.1,2 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rhinosinusitis.1,2 Rhinosinusitis
dibagi menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.2 Gejala sumbatan hidung
meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat, tetapi dapat menurunkan
kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi
dari berbagai penyakit dan kelainan anatomis. Seperti gejala pada rhinosinusitis
kronik yaitu seperti hidung tersumbat, terdapat sekret hidung, nyeri pada wajah
dan kepala serta penurunan penciuman. Selain itu salah satu penyebab sumbatan
hidung dapat berasal dari kelainan anatomi yaitu deviasi septum nasi.
Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan
dampak signifikan pada kualitas hidup. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat,
dilaporkan bahwa angka kejadian rhinosinusitis mencapai 26 juta individu.
Di Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan
bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola
penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah
sakit.3
Kejadian rhinosinusitis mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat. Selain
itu, deviasi septum yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan
menimbulkan gangguan estetik wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok,
sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk
memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala, metode diagnosis
dan penatalaksanaan dari penyakit ini.

1
BAB II
STATUS PASIEN

I. Identifikasi
Nama : Tn. B
TTL/Umur : Palembang, 23 Oktober 1971 / 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. P. Sido Ing Lautan, Ilir Barat I, Palembang

II. Anamnesis
(Autoanamnesis pada tanggal 1 Agustus 2019, pukul 13.00 WIB)
Keluhan Utama : Keluar ingus berbau busuk
Keluhan Tambahan : Hidung tersumbat
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak ± 1 tahun lalu, penderita mengeluh hidung tersumbat, keluhan
dirasakan hilang timbul. Bersin-bersin terutama pagi hari (+), lendir di hidung
(+), berwarna jernih dan tidak berbau busuk, perdarahan dari hidung (-), gatal
di hidung (-), penciuman menjadi berkurang (-), nyeri di daerah wajah (-),
nyeri kepala (-), terasa lendir yang mengalir ke tenggorokan (-). Nyeri pada
telinga (-), rasa penuh pada telinga (-), keluar cairan dari telinga (-), telinga
berdenging (-), penurunan pendengaran (-), demam (-), penderita tidak
mengalami kesulitan dalam menelan makanan (padat/lunak) dan minum, suara
serak (-), sesak nafas (-). Pasien membeli sendiri obat di warung. Keluhan
tidak berkurang.
Sejak ± 6 bulan lalu, penderita masih merasa hidung tersumbat, terutama
sebelah kiri. Bersin-bersin terutama pada pagi hari (+), lendir di hidung (+)
berwarna bening, tidak berbau busuk, terasa lendir yang mengalir ke

2
tenggorokan (+), penciuman menjadi berkurang (+), nyeri di daerah wajah (+)
di bawah mata kiri, nyeri kepala (+). Nyeri pada telinga (-), rasa penuh pada
telinga (-), keluar cairan dari telinga (-), telinga berdenging (-), penurunan
pendengaran (-), demam (-), penderita tidak mengalami kesulitan dalam
menelan makanan (padat/lunak) dan minum, suara serak (-), sesak nafas
(-). Pasien berobat ke dokter umum, dan mendapat obat tablet dan sirup, tetapi
pasien lupa nama obatnya. Keluhan sedikit berkurang.
Sejak ± 3 bulan lalu, pasien mengeluh lendir/ingus yang keluar berbau
busuk, disertai keluhan hidung tersumbat yang semakin memberat, terutama
pada hidung kiri. Bersin-bersin terutama pada pagi hari (+), lendir di hidung
(+) berwarna bening, terasa lendir yang mengalir ke tenggorokan (+),
penciuman menjadi berkurang (+), nyeri di daerah wajah (+) di bawah mata
kiri, nyeri kepala (+). Nyeri pada telinga (-), rasa penuh pada telinga (-),
keluar cairan dari telinga (-), telinga berdenging (-), penurunan pendengaran (-
), demam (-), penderita tidak mengalami kesulitan dalam menelan makanan
(padat/lunak) dan minum, suara serak (-), sesak nafas (-). Lalu pasien berobat
ke RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa ada sejak 2 tahun yang lalu
 Riwayat bersin-bersin pada pagi hari ada
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi makanan disangkal
 Riwayat trauma pada hidung disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


 Riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga disangkal
 Riwayat bersin-bersin pada pagi hari ada
 Riwayat alergi makanan disangkal
 Riwayat asma disangkal

3
Riwayat kebiasaan:
 Riwayat merokok ada sejak 20 tahun yang lalu

III. Pemeriksaan Fisik (1 Agustus 2019, pukul 13.00 WIB)


a. Status Generalikus
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 kali/menit
Pernafasan : 20 kali/menit
Suhu : 36,6o C
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan dan kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral pucat (-), edema pretibia (-), deformitas (-)

4
b. Status Lokalis
Telinga
I. Telinga Luar Kanan Kiri
Regio Retroaurikula
-Abses - -
-Sikatrik - -
-Pembengkakan - -
-Fistula - -
-Jaringan granulasi - -

Regio Zigomatikus - -
-Kista Brankial Klep - -
-Fistula - -
-Lobulus Aksesorius

Aurikula - -
-Mikrotia - -
-Efusi perikondrium - -
-Keloid - -
-Nyeri tarik aurikula - -
-Nyeri tekan tragus - -

Meatus Akustikus Eksternus


-Lapang/sempit Lapang Lapang
-Oedema - -
-Hiperemis - -
-Pembengkakan - -
-Erosi - -
-Krusta - -
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) - -
-Perdarahan - -
-Bekuan darah - -
-Cerumen plug - -
-Epithelial plug - -
-Jaringan granulasi - -
-Debris - -
-Banda asing - -
-Sagging - -
-Exostosis - -

5
II.Membran Timpani
-Warna (putih/suram/hiperemis/hematoma) Putih Putih
-Bentuk (oval/bulat) Oval Oval
-Pembuluh darah Normal Normal
-Refleks cahaya + +
-Retraksi - -
-Bulging - -
-Bulla - -
-Ruptur - -
-Perforasi (sentral/perifer/marginal/attic) - -
(kecil/besar/ subtotal/ total) -
-Pulsasi - -
-Sekret (serous/ seromukus/ mukopus/ pus) - -
-Tulang pendengaran Normal Normal
-Kolesteatoma - -
-Polip - -
-Jaringan granulasi - -

Gambar Membran Timpani

III. Tes Khusus Kanan Kiri


1.Tes Garpu Tala
Tes Rinne Positif Positif
Tes Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Tes Scwabach Sama dengan Pemeriksa Sama dengan Pemeriksa
2.Tes Audiometri Tidak dilakukan
3.Tes Fungsi Tuba Kanan Kiri
-Tes Valsava Tidak dilakukan Tidak dilakukan
-Tes Toynbee Tidak dilakukan Tidak dilakukan
4.Tes Kalori Kanan Kiri
-Tes Kobrak Tidak dilakukan Tidak dilakukan

6
Hidung
I.Tes Fungsi Hidung Kanan Kiri
-Tes aliran udara Normal Menurun
-Tes penciuman
Teh Normal Menurun
Kopi Normal Menurun
Tembakau Normal Menurun

II.Hidung Luar Kanan Kiri


-Dorsum nasi Normal Normal
-Akar hidung Normal Normal
-Puncak Hidung Normal Normal
-Sisi hidung Normal Normal
-Ala nasi Normal Normal
-Deformitas - -
-Hematoma - -
-Pembengkakan - -
-Krepitasi - -
-Hiperemis - -
-Erosikulit - -
-Vulnus - -
-Ulkus - -
-Tumor - -
-Duktus nasolakrimalis - -
(tersumbat/tidak tersumbat)
III.HidungDalam Kanan Kiri
1. Rinoskopi Anterior
a.Vestibulum nasi
-Sikatrik - -
-Stenosis - -
-Atresia - -
-Furunkel - -
-Krusta - -
-Sekret Serous Serous
(serous/seromukus/mukopus/pus)
b.Kolumela
-Utuh/tidakutuh Utuh Utuh
-Sikatrik - -
-Ulkus - -

7
c. Kavum nasi
-Luasnya Sempit Sempit
(lapang/cukup/sempit) - -
-Sekret Serous Serous
(serous/seromukus/mukopus/pus) - -
-Krusta - -
-Bekuan darah - -
-Perdarahan - -
-Benda asing - -
-Rinolit -
-Polip
-Tumor
d. Konka Inferior
-Mukosa (erutopi/ Hipertrofi Hipertrofi
hipertropi/atropi)
(basah/kering) Basah Basah
(licin/taklicin) Licin Licin
-Warna (merah Merah muda Merah muda
muda/hiperemis/pucat/livide) - -
-Tumor
e. Konka media
-Mukosa (erutopi/
hipertropi/atropi)
(basah/kering)
(licin/taklicin) Sulit dinilai Sulit dinilai
-Warna (merah
muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor
f.Konka superior
-Mukosa (erutopi/
hipertropi/atropi)
(basah/kering)
(licin/taklicin) Sulit dinilai Sulit dinilai
-Warna (merah
muda/hiperemis/pucat/livide)
-Tumor
g. Meatus Medius
-Lapang/ sempit
-Sekret Sulit dinilai Sulit dinilai
(serous/seromukus/mukopus/pus)

8
-Polip
-Tumor

h. Meatus inferior
-Lapang/ sempit
-Sekret Sulit dinilai Sulit dinilai
(serous/seromukus/mukopus/pus)
-Polip
-Tumor
i. Septum Nasi
-Mukosa Eutrofi Eutrofi
(basah/kering) Basah Basah
(licin/taklicin) Licin Licin
-Warna Merah muda Hiperemis
-Tumor - -
-Deviasi - ada
-Krista - -
-Spina - -
-Abses - -
-Hematoma - -
-Perforasi - -
-Erosi septum anterior -

Gambar Dinding Lateral Hidung Dalam

Konkha inferior Konkha inferior


dextra hipertrofi sinistra hipertrofi

9
Gambar Hidung Dalam Potongan Frontal

Konkha inferior
Konkha
dextra hipertrofi
inferior sinistra
hipertrofi

Septum deviasi
ke kiri

2.Rinoskopi Posterior Kanan Kiri


-Postnasal drip Ada Ada
-Mukosa (licin/taklicin) Licin Licin
(merah muda/hiperemis) Merah muda Merah muda
-Adenoid - -
-Tumor - -
-Koana (sempit/lapang) Lapang Lapang
-Fossa Russenmullery (tumor/tidak) - -
-Torus tobarius (licin/taklicin) Licin Licin
-Muara tuba (tertutup/terbuka) Terbuka Terbuka
(sekret/tidak) - -

Gambar Hidung Bagian Posterior

10
IV.Pemeriksaan Sinus Paranasal Kanan Kiri
-Nyeri tekan/ketok
-infraorbitalis - +
-frontalis - -
-kantus medialis - -
-Pembengkakan - -
-Transiluminasi
-regio infraorbitalis - -
-regio palatum durum - -

Tenggorok
I.Rongga Mulut Kanan Kiri
-Lidah (hiperemis/udem/ulkus/fissura) Normal Normal
(mikroglosia/makroglosia)
(leukoplakia/gumma)
(papilloma/kista/ulkus)
-Gusi (hiperemis/udem/ulkus) Normal Normal
-Bukal (hiperemis/udem) Normal Normal
(vesikel/ulkus/mukokel)
-Palatum durum (utuh/terbelah/fistel) Utuh Utuh
(hiperemis/ulkus)
(pembengkakan/abses/tumor)
(rata/tonus palatinus)
-Kelenjar ludah (pembengkakan/litiasis) Normal Normal
(striktur/ranula)
-Gigi geligi (mikrodontia/makrodontia) Normal Normal
(anodontia/supernumeri)
(kalkulus/karies)
II.Faring Kanan Kiri
-Palatum molle Normal Normal
(hiperemis/udem/asimetris/ulkus) Ditengah Ditengah
-Uvula (udem/asimetris/bifida/elongating) Normal Normal
-Pilar anterior (hiperemis/udem/perlengketan)
(pembengkakan/ulkus) Normal Normal
-Pilar posterior (hiperemis/udem/perlengketan)
(pembengkakan/ulkus) Normal Normal
-Dinding belakang faring (hiperemis/udem)
(granuler/ulkus)
(secret/membran)

11
-Tonsil Palatina (derajat pembesaran) T1 T1
(permukaan rata/tidak) Rata Rata
(konsistensi kenyal/tidak) Kenyal Kenyal
(lekat/tidak) - -
(kripta lebar/tidak) Tidak lebar Tidak lebar
(dentritus/membran) Detritus (-) Detritus (-)
(hiperemis/udem) - -
(ulkus/tumor) - -

Gambar rongga mulut dan faring

Rumus gigi-geligi

III.Laring Kanan Kiri


1.Laringoskopi tidak langsung (indirect)
-Dasar lidah (tumor/kista) - -
-Tonsila lingualis (eutropi/hipertropi) Eutrofi Eutrofi
-Valekula (benda asing/tumor) - -
-Fosa piriformis (benda asing/tumor) - -
-Epiglotis (hiperemis/udem/ulkus/membran) Normal Normal
-Aritenoid (hiperemis/udem/ulkus/membran) Normal Normal
-Pita suara (hiperemis/udem/menebal) Normal Normal
(nodus/polip/tumor)
(gerak simetris/asimetris)
-Pita suara palsu (hiperemis/udem) Normal Normal

12
-Rima glottis (lapang/sempit) Normal Normal
-Trakea Normal Normal
2.Laringoskopi langsung (direct) Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

Gambar laring (laringoskopi tidak langsung)

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (12 Juli 2019)


Jenis Pemeriksaan Hasil
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,7 g/dL
Eritrosit 4,56 x 106 /mm3
Leukosit 9,97 x 103 /mm3
Hematokrit 40 %
Trombosit 334 x 103/µL

Hitung Jenis Leukosit


Basofil 0%
Eosinofil 1%
Netrofil 60%
Limfosit 34%
Monosit 5%

FAAL HEMOSTASIS
Waktu Perdarahan 1 menit
Waktu Pembekuan 10 menit

KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu 101 mg/dl

13
Ginjal
Ureum 24 mg/dl
Kreatinin 0.76 mg/dl

ELEKTROLIT
Natrium 144 mg/dL
Kalium 3,8 mg/dL

Pemeriksaan Radiologik

CT Scan Sinus Paranasal (12 Juli 2019)

Kesan: Sinusitis maksillaris kiri dan ethmoidalis kiri yang menutupi kompleks
ostiometal kiri.
Hipertrofi konkha nasi inferior bilateral dengan deviasi septum nasi

14
V. Diagnosis Banding
- Rhinosinusitis kronik dengan deviasi septum
- Rhinosinusitis kronik dengan massa kavum nasi

VI. Diagnosis Kerja


Rhinosinusitis kronik dengan deviasi septum

VII. Tatalaksana
Non Medikamentosa:
a. Menjelaskan kepada penderita dan keluarga bahwa penyakit ini
disebabkan oleh inflamasi pada mukosa hidung yang berlangsung
lama dan berulang
b. Mengurangi atau berhenti merokok
c. Minum obat secara teratur sesuai petunjuk dokter
d. Rutin kontrol ke dokter
e. Informed consent untuk rencana tindakan operasi.

Medikamentosa
- Irigasi : 2x20 cc NaCl 0,9%
- Antibiotika spektrum luas : Amoxicilin tablet 3x500mg
- Kortikosteroid sistemik : metilprednisolon tablet 3x4 mg
- Kortikosteroid topikal : nasacort spray 2x1 puff

Operatif
- Pro septoplasty
- Pro FESS

VII. Pemeriksaan Anjuran


- Naso-endoskopi
- Foto polos sinus

15
VIII. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

Resep yang diberikan


Rumah Sakit Umum Pusat
Jalan Jenderal Sudirman Km 3,5Telpon 354088
Palembang 30126

Instalasi THT
Dokter Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T.K.L (K)
Palembang,1-08-2019

R/ Amoxicilin tab 500 mg no. XXX


S 3 dd 1 tab pc

R/ Metilprednisolon tab 4 mg no. X


S 3 dd 1 tab pc

R/ Nasacort spray no. I


S 2 dd puff I

Pro : Tn. B
Usia : 47 tahun
Alamat: : Jl. P. Sido Ing Lautan, Ilir Barat I, Palembang

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


3.1.1 Struktur Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di
antara pipi dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas
tiga bagian, yaitu yang paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat
digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan.4
Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
 pangkal hidung (bridge),
 dorsum nasi,
 puncak hidung,
 ala nasi,
 kolumela, dan
 lubang hidung (nares anterior).5
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian
depan disebut nares anterior dan lubang bagian belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan antara kavum nasi dengan
nasofaring.4,5
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi
oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.4,5

17
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Sedangkan bagian tulang adalah:
 lamina perpendikularis os etmoid,
 os vomer,
 krista nasalis os maksila, dan
 krista nasalis os palatina.5
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh
mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut
agger nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media, yang lebih kecil lagi ialah konka superior, dan yang
terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini bersifat rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.5
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3
meatus, yaitu meatus inferior, medianus dan superior. Meatus inferior
terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis.5
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum etmoid. Hiatus
semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat

18
muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus
superior merupakan ruang di antara konka superior dan kona media.
Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.4,5

Gambar 1. Dinding Lateral Cavum Nasi


Dinding inferior rongga hidung merupakan dasar rongga hidung
dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau
atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa/saringan) sebagai tempat masuknya serabut-
serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sfenoid.5

Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding
lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah :
 prosesus unsinatus,
 infundibulum etmoid,

19
 hiatus semilunaris,
 bula etmoid,
 agger nasi, dan
 resesus frontal.
KOM merupakan unit fungsional yang berfungsi sebagai tempat
ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu
sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoidalis superior.5

Gambar 2. Kompleks Ostiomeatal (KOM)

3.1.2 Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak.
Bentuk sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua
sinus memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Ada delapan
sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: sinus frontal kanan dan
kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila
kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sphenoid kanan dan kiri.
Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa

20
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing6.

Gambar 3. Sinus paranasalis tampak depan dan samping


Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan,
kecuali sinus frontalis dan sphenoidalis. Sinus maksilaris dan ethmoid
sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang
pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus
etmoidalis anterior sedangkan sinus sphenoidalis berkembang mulai
pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-superior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18
tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan
dipisahkan oleh sekat di garis tengah5.
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan
eksterna serta vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a.
ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid. Berdasarkan ukuran

21
sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis,
sinus ethmoidalis dan sphenoidalis7.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi8:
a. Grup Anterior :
· Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior
· Ostia di meatus medius
· Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring
b. Grup Posterior :
· Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis
· Ostia di meatus superior
· Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring

1. Sinus Maksilaris
a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus
maksilaris arcus I.
b. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang
apexnya pada pars zygomaticus maxillae.
c. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang
dewasa.
d. Berhubungan dengan5:
1) Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis)
sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.
2) Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Molar.
3) Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.
e. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi
mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.

22
2. Sinus Frontalis
a. Sinus frontalis mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-
sel resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sinus ini dapat
terbentuk atau tidak.
b. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk.Tidak simetris kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
c. Volume pada orang dewasa ± 7cc.
d. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
e. Berhubungan dengan6:
1) Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
2) Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.
3) Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.
f. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear
yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari
arteri carotis inernal. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital
dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus
trigeminus

3. Sinus Ethmoid
a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
b. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari
7-15 cellulae, dindingnya tipis.
c. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara
hidung dan mata
d. Berhubungan dengan6:
1) Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina
cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke
daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb).

23
2) Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan
operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk
ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.
3) Nervus Optikus.
4) Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.
e. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari a. sphenopalatina. Inervasi
mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilari nervus trigeminus

4. Sinus Sphenoidal
a. Terbentuk pada fetus usia bulan III
b. Terletak pada corpus, alas dan Processus os sphenoidalis.
c. Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
d. Berhubungan dengan6:
1) Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
2) Glandula pituitari, chiasma n.opticum.
3) Tranctus olfactorius.
4) Arteri basillaris brain stem (batang otak)
e. Suplai darah berasal dari arteri carotis internal dan eksternal. Inervasi
mukosa berasal dari nervus trigeminus.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris
yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.

3.1.3 Fisiologi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi
sinus paranasal. Beberapa pendapat mengenai fungsi sinus paranasal
antara lain5:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah

24
karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara
sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,
melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat
kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mucus
Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung,
namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan
udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat
yang paling strategis.

25
3.2 Rhinosinusitis Kronik
3.2.1 Definisi
Rinosinusitis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan satu
atau lebih sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala,
dimana salah satu gejalanya merupakan sumbatan hidung (nasal
blockage /obstruction/congestion) atau nasal discharge
(anterior/posterior nasal drip) yang dapat terjadi secara akut, subakut,
maupun kronis selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti ada atau tanpa
nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya
penghidu. Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena
mukosa kavum nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai
satu kesatuan maka inflamasi yang terjadi pada kavum nasi biasanya
berhubungan dengan inflamasi dalam sinus paranasal. 9
Menurut EPOS tahun 2012, rinosinusitis akut didefinisikan
adanya onset tiba-tiba dua atau lebih gejala, dimana gejala berupa
hidung tersumbat at au sekret nasal (anterior atau postnasal drip)
disertai sensasi nyeri atau tertekan pada wajah dan perubahan
kemampuan menghidu serta temuan endoskopi menunjukkan adanya
polip nasi dan atau sekret mukopurulen yang terutama berasal dari
meatus media dan atau edema/obstruksi mukosa terutama pada meatus
media yang diperkuat dengan hasil pemeriksaan tomografi komputer
berupa perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus. 10

3.2.2 Epidemiologi
Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan,
dengan dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran
biaya kesehatan, dan dampak ekonomi pada mereka yang
produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap tahun 6 miliar
dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan rhinosinusitis.
Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa angka
kejadian rhinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di Indonesia

26
sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola
penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan
di rumah sakit.3,11
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan
sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid
lebih jarang ditemukan. Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus
etmoid yang berkembang sedangkan sinus frontal dan sinus sphenoid
mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. Sinusitis
pada anak lebih banyak ditemukan karena anak-anak mengalami
infeksi saluran nafas atas 6 – 8 kali per tahun dan diperkirakan
5%– 10% infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan sinusitis.3

3.2.3 Etiologi
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi
kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan
berperan penting bagi transport mukus dan debris serta
mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah
pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan
faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik.10 Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat
berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau
lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian
memicu terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis
kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan juga mukosa
nasal, seperti yang tergambar pada gambar 2 dibawah ini.12

27
Gambar 4. Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu faktor
akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan dengan hasil akhirnya
adalah rinosinusitis kronik.13

Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara


mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen
telah ditetapkan sebagai penyebab utama.2 Namun sebaliknya, etiologi
dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum
sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang
terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat
dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik. Berdasarkan
EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma, keadaan
immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor
lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor
iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal”.1

Tabel 1. Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing berdasarkan faktor


genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural. 2
Genetic/PhysiologicFactors Environmental Factors Structural Factors
Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation
Immunodeficiency Smoking Concha bullosa
Aspirin sensitivity Irritants/pollution Paradoxic middle
turbinate
Ciliary dysfunction Viruses Haller cells

28
Cystic fibrosis Bacteria Frontal cells
Autoimmune disease Fungi Scarring
Granulomatous disorders Stress Bone inflammation
Craniofacial
anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma

3.2.4 Patofisiologi
Secara patofisiologi perubahan patologik mukosa sinus paranasal
terjadi akibat proses peradangan lapisan mukoperiostium hidung dan
sinus yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Patensi ostium-ostium
sinus dan lancarnya daya pembersihan mukosiliar (mucocilliary
clearance) di dalam kompleks ostiomeatal (KOM) dapat mempengaruhi
sinus. Gangguan yang terjadi pada KOM dapat menyebabkan terjadinya
gangguan ventilasi dan pembersihan mukosa Hal ini dapat dijelaskan
oleh karena organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan
dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium sinus akan tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi (akumulasi cairan karena proses
non inflamasi), yang mula-mula berupa cairan serous. Kondisi inilah
yang dianggap sebagai rinosinusitis non bakteri dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Namun apabila kondisi ini
menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang
baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri. Sekret menjadi
purulen dan keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakteria yang
memerlukan terapi dengan disertai antibiotik. Apabila terapi tidak
berhasil peradangan berlanjut dan terjadi hipoksia sehingga bakteri
anaerob berkembang, mukosa makin membengkak dan merupakan

29
rantai siklus yang terus berputar hingga akhirnya terjadi perubahan
mukosa menjadi kronik.

3.2.5 Gejala Klinis


Menurut Task Force tahun 1996 gejala rinosinusitis kronis dapat
dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor. Gejala mayor terdiri dari
obstruksi hidung/hidung tersumbat, sekret hidung purulen, nyeri/rasa
tertekan pada wajah, gangguan penciuman (hyposmia/anosmia), dan
Postnasal discharge. Gejala minor terdiri dari sakit kepala, sakit gigi,
batuk, nyeri/rasa penuh ditelinga, demam dan halitosis / bau mulut,
lemah. Rinosinusitis kronis di diagnosis apabila riwayat gejala yang
diderita sudah lebih dari 12 minggu dan dijumpai 2 gejala mayor atau 1
gejala mayor dan 2 gejala minor. Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau
lebih gejala minor yang dijumpai, maka diperkirakan sebagai
persangkaan rinosinusitis yang harus termasuk sebagai diagnosis
banding.

3.2.6 Penegakkan Diagnosis


Berdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut
TFR 1996, terdapat faktor klinis/ gejala mayor dan minor yang
diperlukan untuk diagnosis.1,2,14,15 Selanjutnya menurut Task Force on
Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga kriteria yang dibutuhkan untuk
mendiagnosis rinosinusitis kronik, berdasarkan penemuan pada
pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 2.2 Diagnosis klinik
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya.

30
Tabel 2. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaaan fisik. Bila
hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat
ditegakkan.2

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS


(2003 TASK FORCE)
Duration Physical findings (on of the following must be
present)
>12 weeks of 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid
continuous symptoms swelling on anterior rhinoscopy (with
(as described by 1996 decongestion) or nasal endoscopy
Task Force) or 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal
physical findings endoscopy
3. Generalized or localized edema, erythema, or
granulation tissue in nasal cavity. If it does not
involve the middle meatus, imaging is required
for diagnosis
4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or
computerized tomography)b

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal


Polyps (EPOS) 2007, diagnosis dapat ditegakkan bila gejala telah
berlangsung lebih dari 12 minggu tanpa adanya resolusi total dari gejala
tersebut, yaitu: terdapat dua atau lebih gejala, dimana salah satu
diantaranya berupa hidung tersumbat atau nasal discharge (anterior dan
posterior nasal drip), yang:
a. Dengan atau tanpa nyeri wajah atau tekanan
b. Dengan atau tanpa berkurang atau hilangnya penciuman, dan
dengan salah satu dari:
a. Temuan endoskopi berupa polip dan atau sekret mukopurulen di
meatus medius dan atau udem atau obstruksi mukosa di meatus
medius dan atau;
b. Temuan CT scan berupa: perubahan mukosa pada kompleks
ostiomeatal dan atau sinus
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan
posterior.1 Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik
tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip /

31
jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan
bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan
dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway,
fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.1

Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama
dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat
patofisiologi rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab
infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau
kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan
dari riwayat penyakit yang lengkap.15 Informasi lain yang perlu
berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi
keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta
riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.2 Menurut EP3OS 2007,
keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan
/ tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

32
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat
digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami
penderita. Ini berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada
beberapa metode/test yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering
digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20
(sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31
(rhinosinusitis outcome measure)1,2

Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan
kondisi rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan
sebelumnya)1,2,15 Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan
rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem
konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau
polip.15
 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.15

Pemeriksaan Penunjang
 Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk
menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila
terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.15
 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar
orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.1
Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal
mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.185
 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan

33
merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan
anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon.1,15 Ini mutlak diperlukan
pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.1,2,15 Contoh
gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dapat dilihat pada gambar 5.
 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1,2,15
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

Gambar 5. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik akibat konka


bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.16

3.2.7 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada
orang dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan
medikamentosa dan pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip

34
nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik
dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi,
infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang
berlainan juga.15

Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan
rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan
keluhan penderita, membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik
(apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan
operasi yang dilakukan.15,17,18 Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui
terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus
dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.17,18
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:1,2,15,17,18
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang
digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau
sistemik.
a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
b. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.

35
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance
terhadap iritan dan nutrisi yang cukup.

Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan
sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi
menggunakan peralatan canggih endoskopi.15 Beberapa jenis tindakan
pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
ialah:1,15
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama
kali oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:

36
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis
m. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

3.2.8 Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering
terjadi dan seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring
berkembangnya teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut
dapat dihindari.1 Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan
komplikasi lainnya.1
1.1. Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
1.2. Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)
1.3. Komplikasi endokranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis

37
d) Serebritis
e) Trombosis sinus kavernosus
1.4. Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula
lakrimalis, perforasi septum nasi, hilangnya lapangan pandang,
mukokel/mukopiokel, septikemia.

3.2.9 Prognosis
Karena sifatnya yang persisten, sinusitis kronis dapat menjadi
penyebab morbiditas yang signifikan. Jika tidak ditangani, itu dapat
mengurangi kualitas hidup dan produktivitas orang yang terkena.
Sinusitis kronis dikaitkan dengan eksaserbasi asma dan komplikasi
serius seperti abses otak dan meningitis, yang dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Perawatan medis awal dan
agresif untuk sinusitis kronis biasanya menghasilkan hasil yang
memuaskan. Bedah sinus endoskopi fungsional (FESS) memulihkan
kesehatan sinus dengan relief gejala yang lengkap atau sedang pada 80-
90% pasien dengan sinusitis kronik yang berulang atau tidak responsif
secara medis.
Sinusitis kronis jarang mengancam jiwa, meskipun komplikasi
serius dapat terjadi karena kedekatannya dengan orbit dan rongga
tengkorak. Sekitar 75% dari semua infeksi orbital terkait langsung
dengan sinusitis. Komplikasi intrakranial tetap relatif jarang, dengan
3,7-10% infeksi intrakranial yang berhubungan dengan sinusitis.

3.3 Deviasi Septum


3.3.1 Definisi dan Klasifikasi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi
septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan
letak deviasi, yaitu:
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.

38
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi
lain masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.19

Gambar 6. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina

39
Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu :
1) Spina dan Krista
Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat
terjadi pada pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau
os ethmoid di atasnya. Bila memanjang dari depan ke belakang disebut
krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe deformitas ini
biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal.
2) Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk ‘C’ atau ‘S’ yang
dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai
kartilago maupun tulang.
3) Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan
menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai
dengan kelainan pada struktur sekitarnya.
4) Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di
hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.20
Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa :
1) Dinding Lateral Hidung
Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan
kompensasi yang terjadi pada sisi konkaf septum.
2) Maksila
Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri dan
juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar,
pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan abnormalitas
ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit.

3) Piramid Hidung

40
Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi
pada piramid hidung.
4) Perubahan Mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit
menyebabkan efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta.
Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Lapisan
proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi terhadap infeksi.
Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai akibat fenomena
Bernouili yang kemudian menambah derajat obstruksi.
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau
ringannya keluhan :
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum
yang menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.21
Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4,
yaitu :
1) Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal
2) Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir
3) Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal
4) Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar.21

41
Gambar 7. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk

3.3.2 Etiologi
Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan
biasanya berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung,
seperti fraktur os nasal. Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat
trauma, sehingga Gray (1972) menerangkannya dengan teori birth
Moulding. Posisi intrauterin yang abnormal dapat menyebabkan
tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi pergeseran
septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat kelahiran
(partus) dapat menambah trauma pada septum.20
Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah
lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak
langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk
pengaman ketika berkendara.20,21
Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang
rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior
telah menetap, juga karena perbedaan pertumbuhan antara septum dan
palatum. Dengan demikian terjadilah deviasi septum.20

3.3.3 Gejala Klinis


Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang
unilateral atau juga bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi hidung
yang mengalami deviasi terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan pada
sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat mekanisme

42
kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar
mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi
pada bagian atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat ostium
sinus sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.20
Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala
berikut ini :
 Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
 Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
 Perdarahan hidung (epistaksis)
 Infeksi sinus (sinusitis)
 Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan
postnasal drip.
 Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep),
terutama pada bayi dan anak.19,22
Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan
hanya menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran
pernapasan atas, seperti common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi
respiratori akan mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung dan
secara perlahan-lahan menyebabkan gangguan aliran udara di dalam
hidung. Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi yang juga terkait
dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold telah
sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi
septum nasi juga akan menghilang.22

3.3.4 Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi
langsung pada batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior,
dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi
berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.20
Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa
spekulum, karena ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian

43
kaudal. Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral
hidung untuk menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum,
dan gigi juga diperiksa karena struktur-struktur ini sering terjadi
gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum.5,20
Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan
diagnosisnya. Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior
tampak septum nasi yang bengkok. Pemeriksaan nasoendoskopi
dilakukan bila memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian
posterior atau untuk melihat robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat
komplikasi sinus paranasal, dilakukan pemeriksaan X-ray sinus
paranasal.5

3.3.5 Penatalaksanaan
1. Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu
dilakukan tindakan koreksi septum.
2. Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
3. Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
4. Pembedahan :
o Septoplasty (Reposisi Septum)
Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii)
dapat dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi
dislokasi pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga
dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian tengah atau
posterior.
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya
bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi
ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi
reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle
nose. Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak terhadap
pertumbuhan wajah pada anak-anak.

44
o SMR (Sub-Mucous Resection)
Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian
tulang atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga
muko-perikondrium dan muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan
langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti
terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak
hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak
diangkat. Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-
anak karena dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan
menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.20,23,24

3.3.6 Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga
merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi
septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat
membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi, diantaranya:
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada
hidung atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi
sehingga menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan
terjadilah pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera
setelah operasi dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena
trauma dan perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama
operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak
diangkat dari dalam hidung.

45
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang
memiliki deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan
perbaikan.22,23

3.3.7 Prognosis
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi
dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
Prognosis pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup
baik dan pasien dalam 10-20 hari dapat melakukan aktivitas
sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus memperhatikan
perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus
menghindari trauma pada daerah hidung.20

46
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki, berusia 47 tahun datang ke RSMH dengan keluhan


utama keluar ingus berbau busuk disertai hidung tersumbat. Sejak ± 1 tahun
lalu, penderita mengeluh hidung tersumbat, keluhan dirasakan hilang timbul.
Bersin-bersin terutama pagi hari (+), lendir di hidung (+), berwarna jernih dan
tidak berbau busuk. Pasien membeli sendiri obat di warung. Keluhan tidak
berkurang. Sejak ± 6 bulan lalu, penderita masih merasa hidung tersumbat,
terutama sebelah kiri. Bersin-bersin terutama pada pagi hari (+), lendir di
hidung (+) berwarna bening, tidak berbau busuk, terasa lendir yang mengalir
ke tenggorokan (+), penciuman menjadi berkurang (+), nyeri di daerah wajah
(+) di bawah mata kiri, nyeri kepala (+). Pasien berobat ke dokter umum, dan
mendapat obat tablet dan sirup, tetapi pasien lupa nama obatnya. Keluhan
sedikit berkurang. Sejak ± 3 bulan lalu, pasien mengeluh lendir/ingus yang
keluar berbau busuk, disertai keluhan hidung tersumbat yang semakin
memberat, terutama pada hidung kiri. Bersin-bersin terutama pada pagi hari
(+), lendir di hidung (+) berwarna bening, terasa lendir yang mengalir ke
tenggorokan (+), penciuman menjadi berkurang (+), nyeri di daerah wajah (+)
di bawah mata kiri, nyeri kepala (+). Lalu pasien berobat ke RSMH.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini, pasien mengeluh hidung tersumbat
lebih dari 12 minggu dengan sekret serous dan penciuman yang berkurang.
Pasien juga mengeluh adanya nyeri kepala dan nyeri di daerah sekitar mata.
Pasien memiliki riwayat bersin-bersin saat pagi hari. Pada pemeriksaan fisik di
dapatkan nyeri tekan infraorbita sinistra. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior
pasien ini terlihat cavum nasi dextra sempit, sekret serous, konka inferior
hipertrofi sedangkan pada cavum nasi sinistra tampak sempit, sekret serous,
konka inferior hipertrofi dan septum deviasi ke kiri. Pada pemeriksaan
rhinoskopi posterior terdapat post nasal drip. Pada pemeriksaan penunjang
berupa CT-scan paranasal didapatkan sinusitis maksillaris kiri dan ethmoidalis
kiri yang menutupi kompleks ostiometal kiri dan hipertrofi konkha nasi inferior
bilateral dengan deviasi septum nasi. Menurut European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2007, dari gejala dan temuan tersebut
dapat ditegakkan diagnosis rhinosinusitis kronik dengan septum deviasi.
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat
yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami udem,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan
silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini
menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang
ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis
non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka
sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk
tumbuh dan multiplikasi bakteri.
Terapi pada pasien diberikan secara non medikamentosa dan
medikamentosa. Terapi non medikamentosa berupa pemberian edukasi pasien
mengenai penyakit yang disebabkan oleh inflamasi pada mukosa hidung yang
berlangsung lama dan berulang, memberitahukan kepada pasien untuk kontrol,
menyarankan untuk berhenti merokok dan menjelaskan dan meminta
persetujuan untuk rencana operasi. Sedangkan terapi medikamentosa yang
diberikan adalah antibiotik amoxicilin 3x500 mg selama 10 hari, kortikosteroid
sistemik yaitu metilprednisolon tablet 3x4 mg, kortikosteroid topikal yaitu
nasacort spray 2x1 puff dan irigasi dengan NaCL 2x20cc. Antibiotik dan
kortikosteroid merupakan terapi pilihan pada rhinosinusitis untuk
menghilangkan infeksi dan inflamasi mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.
Amoxicillin merupakan antibiotik yang termasuk dalam golongan β-laktam dan

48
merupakan derivat penicilin. Digunakan sebagai antibiotik lini pertama karena
memiliki spektrum yang luas terhadap bakteri. Irigasi dengan NaCL 0,9% perlu
dilakukan dengan tujuan memperbaiki fungsi mukosa, membuang mediator
inflamasi, melembabkan kavum nasi dan memperbaiki fungsi mukosiliar.
Selain itu direncanakan untuk dilakukan pembedahan berupa septoplasty dan
FESS karena septum deviasi memperberat keluhan pada pasien dan keluhan
telah berlangsung lama dan berulang. Prognosis pada kasus ini quo ad vitam
dan functionam adalah dubia ad bonam sedangkan quo ad sanationam adalah
dubia ad malam.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on


rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
2. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification,
diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head
& Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2006; 406-416.
3. Mustafa M, Patawari P, Iftikhar HM, Shimmi SC, Hussai SS, Sien MM.
Acute and Chronic Rhinosinusitis, Pathophysiology and Treatment. Malaysia:
International Journal of Pharmaceutical Science Invention ISSN;2015:p30-6
4. Higler PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Adams GL,
Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Cetakan
Ketiga. Jakarta : EGC. 1997 : hlm 173-188.
5. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan
Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 118-122.
6. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505.
7. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck
Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8.
8. Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.
Jakarta: EGC; 2000. 26-48.
9. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses
and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat
Disease With Head and Neck Surgery. 3rd Ed. Thieme: New York.
2009.p.155-66.
10. Meltzer, EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis Diagnosis and Management for the
Clinician: A Synopsis of Recent Consensus Guidelines.Mayo Clin Proc.
2011;86(5):427-443.
11. Dewanti DAK, Hawala S, Istiningsih C, Indrawati LPL, 2008, Pola
Epidemiologi Rhinosinusitis Kronis di Bagian THT RS Sardjito Tahun 2006-
2007. Dalam Kumpulan Abstrak PIT-PERHATI. Bandung.
12. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;109-129.
13. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American
Family Physician, 2001; 63:69-74.

50
14. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis with and without nasal polyposis. In
Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor
& Francis, 2006;371-398.
15. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan
terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF
THT-KL Univ.Airlangga,2004; 17-23.
16. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB,
Heidelberg KS, eds. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases.
New York : Springer, 2005; 68.
17. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW,
Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and
management. Hamilton: BC Decker Inc,2001;155-165.
18. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In
Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor
& Francis, 2006; 219-229.
19. Baumann I, Baumann H. A New Classification of Septal Deviations.
Department of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, University of
Heidelberg : Germany. Journal of Rhinology, 2007; 45 : 220-223.
20. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan Septum. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan
Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 126-127.
21. Jin HR, Lee JY, Jung WJ. New Description Method and Classification
System for Septal Deviation. Department of Otorhinolaryngology, Seoul
National University, College of Medicine, Boramae Hospital : Seoul. Journal
Rhinology, 2007; 14 : 27-31.
22. Park JK, Edward IL. Deviated Septum. The Practice of Marshfield Clinic,
American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery. 2005.
23. Bull PD. The Nasal Septum. In : Lecture Notes on Diseases of The Ear, Nose
and Throat. Ninth Edition. USA : Blackwell Science Ltd. 2002 : p. 81-85.
24. Widjoseno-Gardjito, editor. Kepala dan Leher. Dalam : Sjamsuhidajat R,
Wim de Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta :
EGC. 2005 : hlm 365-366.

51

Anda mungkin juga menyukai