Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pencegahan, diagnosis dan pengobatan tuberculosis pada orang dewasa
lebih diprioritaskan daripada anak (World Health Organization (WHO),
2015). Anak merupakan kelompok risiko tinggi karena kekebalan tubuh
belum berkembang sempurna. Kasus pada anak memburuk menjadi
tuberkulosis milier atau meningitis (Davies, Gordon, & Davies, 2014). Kasus
tuberkulosis anak mencerminkan efektivitas program pengendalian seperti
deteksi kasus, pelacakan kontak dan keberhasilan vaksinasi BCG (World
Health Organization (WHO), 2015).
Secara epidemiologi, sebaran TB lebih banyak menyerang orang dewasa
pada usia produktif. Akan tetapi, semua kelompok usia berisiko TB. Pada
kelompok anak-anak ditemukan satu juta anak-anak (0-14 tahun) jatuh sakit
karena TB, dan 170.000 anak-anak meninggal karena TB pada tahun 2015.
Risiko TB aktif lebih besar pada orang yang menderita kondisi yang
mengganggu sistem kekebalan tubuh. Selain itu, perilaku penggunaan
tembakau sangat meningkatkan risiko penyakit TBC dan kematian. Lebih dari
20% kasus TB di seluruh dunia disebabkan oleh merokok (World Health
Organization (WHO), 2015).
Karakteristik kelompok yang berisiko TB perlu diketahui supaya dapat
meningkatkan angka penemuan kasus dan pemberian pengobatan dini.
Perkiraan kasus TB menurun setelah ada program penemuan kasus pada
kelompok yang berisiko tinggi tertular TB. Antara tahun 2000 sampai 2014
diperkirakan 49 juta nyawa diselamatkan melalui diagnosis dan pengobatan
TB. Kejadian TB dapat turun rata-rata 1,5% per tahun (Dirjen Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, 2014).
Di Indonesia peningkatan Case Detection Rate menjadi bagian penting
dalam menurunkan kasus TB (Rahmawati, 2016). Pencapaian CDR indonesia
pada tahun 2009 mencapai 90%. Tetapi walaupun capaian CDR meningkat,
terjadi perbedaan pencapaian antar provinsi di Indonesia, yaitu hanya 8
provinsi mencapai 70% dan sisa 25 provinsi belum tercapai (Dirjen
Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, 2014).
Data TB paru pada anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB
anak pada tahun 2013 sebesar 7,92%, kemudian menurun pada tahun 2014
menjadi 7,10%, lalu meningkat pada tahun 2015 menjadi 8,49%.6 Di
Sumatera Selatan kasus Tuberculosis pada anak usia 0-14 tahun mencapai
1.924 kasus atau 10,62% dari kasus tuberculosis nasional di tahun 2018
(Kemenkes RI, 2018a). Secara umum penderita TB tiap tahun mengalami
peningkatan hal ini menunjukkan penularan TB semakin tinggi. Penemuan
penderita TB ditujukan agar penderita dapat segera di temukan dan diobati
sehingga dapat memutus penularan.
Oleh sebab itu, pentingnya dilakukan suatu penelitian untuk mendalami
karakteristik dari penderita TB, selain untuk memudahkan keberhasilan
pengobatan juga berguna untuk meningkatkan angka penemuan kasus pada
kelompok berisiko TB khususnya beberapa wilayah kerja di Palembang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dapat
dirumuskan suatu masalah, yaitu:
1. Bagaimana karakteristik pasien TB anak dibawah 5 tahun (Balita) di
Palembang?
2. Apa saja faktor resiko TB yang dapat terjadi pada anak dibawah 5
tahun (Balita) di Palembang?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik dan faktor resiko TB pada anak dibawah lima
tahun (Balita) di Palembang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik pasien TB pada anak dibawah lima tahun (Balita)
di Palembang.
2. Mengetahui apa saja faktor resiko TB pada anak dibawah lima tahun (Balita)
di Palembang.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menjelaskan karakteristik dan faktor resiko TB pada
anak dibawah lima tahun (Balita)
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Memberikan informasi pada masyarakat umum tentang karakteristik dan
faktor resiko TB pada anak dibawah lima tahun (Balita)
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para klinisi dalam mencegah faktor resiko
TB terjadi pada anak dibawah lima tahun (Balita)
3. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian – penelitian
yang berkaitan dengan TB pada anak dibawah lima tahun (Balita)
4. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penyuluh
kesehatan untuk memberi penjelasan kepada masyarakat mengenai
karakteristik dan faktor resiko TB pada anak dibawah lima tahun (Balita)
serta pencegahannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberculosis Paru
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang
telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu dan paling sering disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TBC menyerang
paru, 85% dari seluruh kasus TBC adalah TBC paru, sisanya (15%) menyerang
organ tubuh lain mulai dari kulit, tulang, organ-organ dalam seperti ginjal, usus,
otak, dan lainnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TBC dibagi dalam:
TBC paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif,
TBC paru BTA negatif: dari 3 spesimen BTA negatif, foto toraks positif
(Raviglione & Sulis, 2016).
Infeksi TB adalah ketika seseorang membawa bakteri Mycobacterium
tuberculosis dalam tubuhnya. Kebanyakan orang yang terinfeksi TB dalam
kesehatan sehat. Tes tuberkulin yang positif mengindikasikan adanya infeksi
TB, tetapi tes tuberkulin yang negatif tidak menutup kemungkinan adanya
infeksi. Sekitar sepertiga penduduk dunia memiliki infeksi TB latent, yang
artinya telah terinfeksi TB tetapi tidak atau belum sakit TB, dan tidak dalam
menularkan penyakit. Penyakit TB muncul pada seseorang dengan infeksi TB
ketika bakteri dalam tubuhnya mulai bertambah dan mencapai jumlah yang
cukup untuk merusak satu atau lebih organ dalam tubuh. Kerusakan ini
menyebabkan gejala klinik dan tanda-tanda yang menunjukkan TB aktif.
Seseorang dengan penyakit TB dapat menularkan dan dapat menyebarkan
bakteri TB kepada orang lain (World Health Organization, 2015).

2.1.2 Tuberculosis Paru pada Anak


Tuberculosis paru pada anak adalah penyakit tuberculosis paru yang terjadi
pada anak usia 0-14 tahun. TB anak biasanya muncul di lingkungan dimana TB
menjadi penyakit yang biasa. TB pada anak juga merupakan salah satu
penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara endemik TB
(World Health Organization (WHO), 2015). Pasien TB pada anak jarang
menularkan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada anak lain atau orang
dewasa di sekitarnya karena bakteri TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut
adalah pertama karena jumlah bakteri pada anak umumnya sedikit
(paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, bakteri yang sedikit
tersebut sudah dapat menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang
kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah
parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum.
Ketiga, tidak ada atau sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya
reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala
batuk pada TB anak (Kartasasmita, 2016).
Beberapa perbedaan antara TB pada anak dengan TB pada orang dewasa
adalah lokasi TB pada anak terdapat pada setiap bagian paru, sedangkan pada
orang dewasa terdapat didaerah apeks dan infra klavikuler, pada anak terjadi
pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada orang dewasa tanpa
pembesaran kelenjar limfe regional, pada anak penyembuhan dengan
perkapuran, sedangkan pada orang dewasa dengan fibrosis, pada anak ebih
banyak terjadi penyebaran hematogen, sedangkan pada orang dewasa jarang
terjadi penyebaran hematogen (Kusuma, 2007).
Tuberculosis pada anak memiliki permasalahan khusus yang berbeda
dengan orang dewasa. Secara umum tantangan utama dalam program
pengendalian TB anak adalah sulitnya melakukan diagnosis karena gejala pada
anak tidak khas sehingga sering terjadi kecenderungan diagnosis yang
berlebihan (overdiagnosis) yang diikuti dengan overtreatment, di lain pihak
juga ditemukan underdiagnosis yang diikuti undertreatment. Selain itu,
penatalaksanaan kasus yang kurang tepat, pelacakan kasus yang belum secara
rutin dilaksanakan, kurangnya pelaporan pasien TB anak, serta peningkatan
insidens infeksi HIV dan AIDS di berbagai negara yang mengakibatkan
meningkatnya interaksi antara TB pada infeksi HIV dan AIDS pada anak turut
menambah permasalahan TB pada anak (Depkes, 2016). Selain itu, karena
tuberkulosis pada anak umumnya tidak menular sehingga tuberkulosis pada
anak kurang mendapat perhatian dari program pengendalian TB nasional yang
lebih memprioritaskan mencegah penularan TB dengan menemukan dan
mengobati kasus dengan BTA positif.

2.1.3 Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, dan
Mycobacterium bovis. Bakteri ini berbentuk batang tipis, lurus atau agak
bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai
lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolarit). Bakteri ini
mempunyai ukuran panjang 0,5-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar
bakteri terdiri atas asam lemak atau lipid, kemudian peptidoglikan dan
arabinomanan. Lipid inilah yang membuat bakteri lebih tahan terhadap asam
(asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga tahan
terhadap gangguan kimia dan fisis. Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan
pada udara kering maupun dalam keadaaan dingin (dapat bertahan bertahun-
tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena bakteri berada dalam keadaan
dormant. Dari sifat dormant ini Mycobacterium tuberculosis dapat bangkit
kembali dan menjadi tuberkulosis aktif lagi. Bakteri TB mati pada pemanasan
100°C selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan
dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di
udara bebas, di tempat yang lembab dan gelap dapat bertahan berhari-hari
bahkan bisa berbulan-bulan, namun tidak tahan terhadap sinar matahari (dr
MPH, 2011).
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasite
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula
memfagositasi malah kemudian di senanginya karena banyak mengandung
lipid. Sifat lain Mycobacterium tuberculosis adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa bakteri ini lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada sebagian apikal
paru-paru lebih tinggi dari dari bagian lain, sehingga bagian ini merupakan
tempat predileksi penyakit tuberculosis (Aru W. Sudoyo., 2014).

2.1.4 Klasifikasi TB pada Anak


Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal
berikut:
a. Lokasi atau organ tubuh yang terkena
Klasifikasi TB pada anak berdasarkan lokasi atau organ tubuh yang
terkena tuberkulosis pada anak dapat di bedakan menjadi tuberkulosis paru
dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru)
dan kelenjar pada hilus. Tuberculosis ekstra paru adalah tuberculosis yang
menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan
gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB ekstra paru.
Bila seorang anak TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB
paru. Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

b. Riwayat pengobatan sebelumnya


Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya tuberkulosis paru dapat
diklasifikasikan menjadi pengobatan baru dan pengobatan ulang.
Pengobatan baru adalah kasus TB anak yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari 1 bulan (28 dosis). Pengobatan ulang adalah
kasus TB anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1
bulan (28 dosis). Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat
diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal, atau pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (lost to follow up).
c. Berat dan ringannya penyakit
Berdasarkan berat dan ringannya penyakit tuberkulosis paru pada anak
dapat diklasifikasikan menjadi TB ringan dan TB berat. TB ringan adalah
TB yang tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar, dll, sedangkan
TB berat adalah TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat
atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, TB resisten obat, TB HIV (Kemenkes RI, 2018b)

2.1.5 Epidemiologi TB pada Anak


A. Distribusi TB paru pada Anak Menurut Orang
Anak usia ≤5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi
infeksi menjadi sakit TB dikarenakan imunitas selulernya belum berkembang
sempurna. Pada bayi <1 tahun yang terinfeksi TB, yang menjadi sakit TB ada
sekitar 43%, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun yang terinfeksi TB, yang
menjadi sakit ada sekitar 24% (Kartasasmita, 2009). Berdasarkan profil
kesehatan Palembang tahun 2017 jumlah penderita TB paru usia 0-14 tahun
yaitu 724 orang (14,13%).
B. Distribusi Frekuensi Anak Penderita TB Paru Menurut Tempat
Tuberkulosis adalah penyakit yang muncul di berbagai belahan dunia.
Proporsi penderita tuberkulosis umur <15 tahun berdasarkan wilayah kerja
WHO tahun 2014 adalah African Region sebesar 8,6%, Region of the Americas
sebesar 5,0%, Eastern Mediteranean Region sebesar 9,5%, European Region
sebesar 3,8%, South-East Asean Region sebesar 7% (World Health
Organization (WHO), 2015).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018 penderita TB paru usia
0-14 tahun berdasarkan provinsi maka provinsi dengan jumlah penderita TB
diatas 1.000 anak adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta,
Lampung, Sumatera Utara, Banten, Papua, dan Sumatera Selatan, sementara itu
Provinsi dengan jumlah penderita TB anak dibawah 100 anak adalah Gorontalo,
Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat.
2.1.6 Penularan
Penularan tuberkulosis anak sebagian besar melalui udara sehingga fokus
primer berada di paru dengan kelenjar getah bening membengkak serta jaringan
paru mudah terinfeksi kuman tuberculosis. Selain itu dapat melalui mulut saat
minum susu yang mengandung kuman Mycobacterium bovis dan melalui luka
atau lecet di kulit. (Dirjen Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan,
2014)

2.1.7 Diagnosis TB Paru pada Anak


Banyak orang yang menderita tuberkulosis paru dibanding dengan
tuberkulosis organ yang lain. Hal ini dikarenakan penyebaran melalui udara
yang dihirup mengandung kuman tuberkulosis yang berkembang menjadi
kompleks pimer dan disusul infeksi. Hal ini sangat sering terjadi tetapi gejala
pada umunya tidak khas. Satu-satunya bukti dengan menggunakan uji tuberculin
cara Mantoux dengan ditemukannya basil tuberkulosis. (dr MPH, 2011)
Mayoritas diagnosis tuberkulosis anak didasarkan pada gambaran klinis,
gambaran radiologis dan uji tuberculin (Kusuma, 2007). Anak dicurigai
menderita tuberkulosis apabila terdapat keadaan atau gejala sebagai berikut :
a) Anak dicurigai menderita tuberkulosis bila:
a. Kontak erat dengan penderita tuberkulosis BTA positif
b. Ada reaksi kemerahan setelah suntik BCG dalam 3-7 hari
c. Terdapat gejala umum tuberkulosis (Kusuma, 2007).
b) Gejala umum yang dicurigai anak menderita tuberkulosis:
a. Berat badan turun 3 bulan secara berturut-turut tanpa sebab yang
jelas dan tidak naik dalam 1 bulan walaupun sudah dengan
penanganan gizi yang baik
b. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
c. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus,
malaria, ISPA)
d. Pembesaran kelenjar limfe tanpa disertai nyeri
e. Batuk lebih dari 30 hari dan nyeri dada
f. Diare persisten yang tidak kunjung sembuh (Kusuma, 2007).
c) Uji tuberculin
Tuberculin test positif (indurasi lebih dari 10 mm), meragukan bila
indurasi 5-9 mm, negative bila kurang dari 5 mm. Uji tuberculin positif
menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis dan mungkin tuberkulosis
aktif pada anak (Kusuma, 2007).
d) Reaksi cepat BCG
Setelah mendapatkan penyuntikan BCG ada reaksi cepat (indurasi
lebih dari 5 mm) dalam 3-7 hari curigai terkena infeksi tuberculosis.
e) Foto rontgen paru
Sebagian foto tidak menunjukkan gambaran yang khas untuk
tuberkulosis.
f) Pemeriksaan patologi anatomi
Pada pemeriksaan ini dilakukan biopsi kelenjar, kulit, jaringan lain
yang dicurigai terkena infeksi tuberkulosis, biasannya ditemukan
tuberkel dan basil tahan asam.
g) Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan langsung BTA secara mikroskopis dari dahak.
h) Pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
Dilakukan evaluasi tiap bulan, bila dalam 2 bulan terdapat perbaikan
klinis akan menunjang diagnosis tuberkulosis. Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang biasa digunakan yaitu Isoniazid, Rifampisin, Piranizamid,
Etambutol dan Streptomisin. Efek samping OAT jarang dijumpai pada
anak jika dosis dan cara pemberiannya benar. Efek samping yang biasa
muncul yaitu hepatotoksisitas dengan gejala ikterik, keluhan ini biasa
muncul pada fase intensif (awal).
Panduan OAT di Indonesia dibagi menjadi:
1. Kategori 1: 2 (HRZE)/4 (HR)3
2. Kategori 2: 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Dari kedua kategori ini disediakan panduan obat sisipan
(HRZE)
3. Kategori anak: 2HRZ/4HR.
Panduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) sedangkan untuk
kategori anak dalam bentuk OAT kombipak. Paket kombipak terdiri dari
obat lepas yang dikemas dalam satu paket yaitu Isoniazid, Rifampisin,
Piranizamid dan Etambutol.
Diagnosis TB anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit maka diagnosis
tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan sistem skor (Basir & Yani, 2013).
Tabel 2.1 Sistem skor diagnosi tuberkulosis anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas - Laporan keluarga BTA (+)
(BTA(-) atau tidak
jelas )
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif
(≥10mm/≥5mm
pada keadaan
imunosupresi)
Berat badan BB/TB < 90% Klinis gizi buruk
(status gizi) - atau BB/U < ( BB/TB < -
80% 70% atau BB/U
< 60%)
Demam tanpa
sebab yang jelas - ≥ 2 minggu - -

Batuk - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran
- ≥ 1 cm, jumlah > - -
kelenjar colli,
aksila, inguinal 1, tidak nyeri

Pembengkakan
- Ada - -
tulang atau sendi
Pembengkakan

Normal atau Gambaran - -


Foto thoraks kelainan sugestif
tidak jelas Tuberkulosis
Sumber: Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (Basir & Yani, 2013)
2.1.8 Tatalaksana
Pengobatan secara umum dilakukan dengan meningkatkan gizi anak untuk
daya tahan tubuh dan istirahat. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian
obat tuberkulosis pada anak yaitu pemberian obat tahap intensif atau lanjutan
diberikan setiap hari, dosis obat disesuaikan dengan berat badan anak,
pengobatan tidak boleh terputus dijalan. (Basir & Yani, 2013)
Untuk terapi tuberkulosis terdiri dari dua fase yaitu fase intensif (awal)
dengan panduan 3-5 OAT selama 2 bulan awal dan fase lanjutan dengan
panduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan. Fase intensif (awal)
pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat, bila pengobatan fase intensif diberikan
secara tepat biasannya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu, sebagian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan sedangkan untuk fase lanjutan pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama,
tahap ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan. (Basir & Yani, 2013)
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang biasa digunakan yaitu Isoniazid,
Rifampisin, Piranizamid, Etambutol dan Streptomisin. Terapi OAT untuk
tuberkulosis paru yaitu INH, Rifampisisn, Pirazinamid selama 2 bulan fase
intensif dilanjutkan INH dan Rifampisin hingga 6 bulan terapi (2HRZ-4HR).
Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang biasa muncul yaitu hepatotoksisitas
dengan gejala ikterik, keluhan ini biasa muncul pada fase intensif (awal) (Basir
& Yani, 2013).
Tabel 2.2 OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
Obat Sediaan Dosis Dosis sediaan Efek samping
mg/kg BB
Isoniazid (INH) Tablet 100 dan 5-15 300 mg Peningkatan transminase,
300 mg; sirup hepatitis, neuritis, perifer,
10mg/ml hipersensitivitas

Rifampisin (R) Kapsul/tablet 10-15 600 mg Urin/sekresi


150,300,450,600 warna kuning,
mg; sirup mual-muntah, hepatitis
20mg/ml

Piranizamid (Z) Tablet 500 mg 25-35 2g Hepatotoksisitas,


hipersensitivitas

Etambutol (E) Tablet 500 mg 15-20 2,5 g Neuritis optika


(reversible), gangguan
visus, gangguan warna,
gangguan saluran cerna

Streptomisin (S) Vial 1g 15-30 1g Ototoksisitas,


nefrotoksisitas
Sumber : Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (Basir & Yani, 2013)

Cara pengobatan INH diberikan selama 6 bulan, Rifampisin selama 6 bulan,


Piranizamid selama 2 bulan pertama. Pada kasus-kasus berat dapat
ditambahkan Etambutol selama 2 bulan pertama.
Untuk mengurangi angka drop out dibuat dalam bentuk FCD (Fixed Dose
Combination) untuk 2 bulan pertama digunakan FDC yang berisi Rifampisin/
Isoniazid/Piranizamid dengan dosis 75 mg/50mg/150mg sedangkan untuk 4
bulan berikutnya digunakan FDC yang berisi Rifampisin/Isoniazid dengan dosis
75 mg/50mg. (Basir & Yani, 2013)
Tabel 2.3 Dosis FDC untuk Tuberkulosis Anak

BB (kg) 2 bulan 4 bulan


RHZ (75/50/150) RH(75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-33 4 tablet 4 tablet
Sumber : Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (Basir & Yani, 2013)

Tabel 2.4 Dosis OAT Kombipak pada anak


Jenis obat BB < 10 kg BB 10-20kg BB 20-32 kg
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Piranizamid 150 mg 300 mg 600 mg
Sumber : Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (Basir & Yani, 2013)

Untuk kategori anak (2RHZ/4RH) , prinsip dasar pengobatan tuberkulosis


minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak
diberikan setiap hari baik pada fase intensif (awal) maupun fase lanjutan, dosis
obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Pada sebagian besar kasus tuberkulosis anak pengobatan selama 6 bulan
cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis
maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada tuberkulosis anak
merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti maka OAT dihentikan (Basir & Yani,
2013)

2.1.9 Program Penanggulangan TBC Paru


A. Rencana Global Pengendalian TBC
STOP TB Partnership (The Partnership) adalah gerakan global yang
dimulai pada tahun 2000 dengan tujuan untuk mempercepat aksi sosial dan
politik
dalam upaya menghentikan penyebaran TB Paru di seluruh dunia. Visinya
adalah dunia bebas TBC. Visi ini akan dicapai dalam empat misi, yaitu
 Menjamin bahwa setiap penderita TBC mempunyai akses yang efektif
terhadap diagnosis, pengobatan, dan penyembuhan.
 Menghentikan penularan TBC.
 Mengurangi ketidak-adilan beban sosial dan ekonomi TBC.
 Mengembangkan dan melaksanakan strategi preventif, diagnosis dan
pengobatan yang baru untuk menghentikan TBC
Target yang ditetapkan The Partnership sebagai tonggak pencapaian utama
adalah:
 Pada tahun 2005, setidaknya 70% yang terinfeksi TBC dapat
didiagnosis
dengan DOTS dan 85% diantaranya dinyatakan sembuh. Persentase ini
selanjutnya dipertahankan atau ditingkatkan sampai dengan tahun
2015.
 Beban global penyakit TBC (prevalensi dan kematian) pada tahun 2015
akan berkurang 50% dari tahun 1990.
 TBC bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat global pada
tahun
2050.
Selain itu, The Partnership juga mempunyai komitmen untuk mencapai
target MDG yang relevan untuk TBC yaitu: “to have halted and begun to
reserve the incident of TB” pada tahun 2015. Dalam waktu 10 tahun, akan
diterapkan strategi ganda, yaitu akselerasi pengembangan dan penggunaan
peralatan yang lebih baik, dan pelaksanaan strategi baru WHO untuk
mengendalikan TBC, menggunakan DOTS dan ISTC. (Dirjen Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, 2014)

B. Program Nasional
Berdasarkan Kemenkes RI (2018a), strategi nasional dalam
penanggulangan TB Paru di Indonesia antara lain:
 Visi
“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan
berkeadilan”
 Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan
masyarakat dan madani dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata,
bermutu, dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya
pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
 Tujuan
Tujuan dalam pengendalian TB Paru adalah untuk menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian
tujuan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
 Target
Pada RPJMN 2015-2019 diharapkan penurunan jumlah kasus TB
per 100.000 penduduk dari 297 menjadi 245. Persentase kasus baru
TB Paru BTA (+) yang ditemukan dari 73% menjadi 90% dan
Persentase kasus baru TB Paruu BTA (+) yang disembuhkan dari
85% menjadi 88%. Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-
2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya 1-
2% per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka > 4-5%
pertahun. Diharapkan pada 2020 Indonesia bisa mencapai target
penurunan insidens sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25%
dari angka insidens tahun 2015.(Kemenkes RI, 2018a)
C. DOTS TB
Strategi DOTS adalah pengawasan langsung pengobatan jangka pendek
dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untuk memfokuskan
perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan penderita dengan
pemeriksaan mikroskop. Kemudian setiap penderita harus diobservasi
(observed) dalam menelan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus di
depan seorang pengawas. Pasien juga harus menerima pengobatan (treatment)
yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang
cukup. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik, artinya
pengobatan jangka pendek (short course) standar yang telah terbukti ampus
secara klinis. Akhirnya, mutlak dibutuhkan dukungan dari pemerintah untuk
menjadikan program penanggulangan tuberkulosis prioritas tinggi dalam
pelayanan kesehatan.
Fokus utama DOTS adalah penemuan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular. Strategi ini mampu memutus rantai penularan TB dan
diharapkan dapat menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan
penularan penyakit TB. Tujuan dari pelaksanaan DOTS adalah untuk menjamin
kesembuhan bagi penderita penyakit TBC Paru, mencegah penularan,
mencegah resistensi obat, mencegah putus berobat dan segera mengatasi efek
samping obat jika timbul, yang pada akhirnya dapat menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis di dunia.
Strategi DOTS memiliki 5 komponen:
 Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB
Nasional.
 Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
 Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO).
 Kesinambungan persediaan OAT.
 Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB Paru.(Dirjen Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, 2014)

D. CNR (Case Notification Rate) dan Faktor yang Mempengaruhinya


CNR (Case Notification Rate) adalah salah satu indikator keberhasilan
program pengendalian TB yang diukur berdasarkan jumlah kasus baru TB yang
ditemukan dalam setiap 100.000 jiwa penduduk. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi CNR, antara lain:
 Kinerja petugas (pengetahuan, pendidikan, pelatihan, sikap, dan tugas
rangkap).
 Penjaringan aktif kasus baru.
 Fasilitas layanan kesehatan yang terlibat layanan DOTS.
 Kinerja sistem pencatatan dan pelaporan.
 Proporsi rumah di daerah kumuh.
 Screening suspek TB.
 KIE (Konsultasi, Informasi, dan Edukasi) TB. (Davies et al., 2014)

2.1.10 Pencegahan Tuberculosis Paru pada Anak


 Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG) pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycrobacterium bovis. Efek proteksi bervariasi mulai 0-80%, bahkan di
wilayah endemis TB diragukan efek proteksinya. Namun demikian, vaksin
BCG memberikan proteksi yang cukup baik terhadap terjadinya TB berat
seperti TB milier dan TB meningitis yang sering terjadi pada usia muda,
sebaliknya pada anak terinfeksi HIV maka vaksin BCG tidak banyak
memberikan efek menguntungkan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan
BCG-itis diseminata, yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada
pasien imunokompromais. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan program
pengembangan imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin
BCG pada bayi >2 bulan harus di dahului dengan uji tuberkulin. Vaksinasi
ulang BCG tidak disarankan karena karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan. (dr MPH, 2011)
 Skrining dan Manajemen Kontak
Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan
secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang mengalami
paparan dari TB BTA+, dan orang dewasa yang menjadi sumber penularan
bagi anak yang didiagnosis TB. Tujuan utama skrining dan manajemen kontak
adalah untuk meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan
mengobati temua kasus sakit TB, identifikasi kontak pada semua kelompok
umur yang asimptomatik TB, yang berisiko untuk berkembang menjadi sakit
TB, dan memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB,
meliputi anak usia <5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur. Kasus TB yang
memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan BTA positif dan
semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak ini dilaksanakan
secara sentripetal dan sentrifugal. (dr MPH, 2011)
 Pemberian INH Profilaksis
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB BTA positif akan
terinfeksi juga. Sekitar 10% diantaranya akan berkembang menjadi sakit TB.
Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB diseminta yang berat
seperti TB meningitis atau TB milier sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah sakit TB. Profilaksis primer diberikan pada
balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA
positif, namun pada evaluasi tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis
TB. Obat yang diberikan adalah INH dengan dosis 10 mg/kgBB/hari selama 6
bulan, dengan pemantauan dan evaluasi minimal satu kali per bulan. Bila anak
tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai dan anak belum atau tidak
terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada anak dengan kontak erat TB yang
imunokompromais seperti pada HIV, gizi buruk dan lainnya, profilaksis INH
tetap diberikan meskipun usia di atas 5 tahun. Profilaksis sekunder diberikan
kepada anak-anak dengan bukti infeksi TB (uji tuberkulin positif) namun
tidak terdapat gejala dan tanda klinis TB. Dosis dan lama pemberian INH sama
dengan pencegahan primer. Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan
dan tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian, maka rejimen isoniazid
profilaksis dapat dihentikan. (dr MPH, 2011)
Tabel 2.4 Cara pemberian Isoniazid (INH) untuk pencegahan TB
Umur HIV Hasil pemeriksaan Tata laksana
Balita +/- Infeksi laten TB INH profilaksis
Balita +/- Kontak(+), uji tuberkulin (-) INH profilaksis
>5 tahun + Infeksi laten TB INH profilaksis
>5 tahun + Sehat INH profilaksis
>5 tahun - Infeksi laten TB Observasi
>5 tahun - Sehat Observasi
Sumber: (dr MPH, 2011)

2.1.11 Faktor yang Mempengaruhi Tuberculosis


 Riwayat Kontak
Sumber penularan tuberkulosis anak adalah orang dewasa yang sudah
menderita tuberkulosis aktif (tuberkulosis positif) sedangkan anak- anak
masih sangat rentan tertular tuberkulosis dari orang dewasa karena daya
tahan dan kekebalan tubuh anak yang lemah. (Basir & Yani, 2013)
 Status Gizi
Pada anak status gizi sangatlah penting, anak yang memiliki gizi baik
tidak mudah terkena infeksi karena tubuh memiliki kemampuan yang
cukup untuk mempertahankan diri (daya tahan tubuh meningkat)
sedangkan bagi anak yang memiliki gizi buruk akan sangat mudah
terkena infeksi karena reaksi kekebalan tubuh menurun yang berarti
kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi
menurun. (Basir & Yani, 2013)
 Umur
Penyakit tuberkulosis sering ditemukan pada usia muda atau produktif
karena sejak lama seseorang tersebut sudah tertular kuman
Mycobacterium tuberculosis yang mengakibatkan kondisi tubuhnya
menurun. (Basir & Yani, 2013)
 Jenis Kelamin
Menurut penelitian Islamiyati cenderung lebih banyak pada anak
perempuan, perbandingannya 1:4 (laki-laki : perempuan) karena pada
anak laki-laki porsi makan lebih besar sehingga cenderung memiliki
status gizi lebih baik yang memungkinkan memiliki pertahanan tubuh
lebih baik dalam melawan penyakit. (Basir & Yani, 2013)
 Status Imunisasi
Pemberian imunisasi BCG pada bayi dapat memberikan perlindungan
terhadap penyakit tuberkulosis karena dengan imunisasi BCG ini akan
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis sehingga
anak tersebut tidak mudah terkena penyakit tuberkulosis. (Basir & Yani,
2013)
 Faktor toksik
Faktor toksik yang dapat mempengaruhi yaitu asap rokok karena asap
rokok dapat menurunkan respon terhadap antigen sehingga benda asing
yang masuk dalam paru tidak langsung bisa dikenali atau dilawan oleh
tubuh selain itu juga dapat menjadi salah satu penyebab anak mudah
terkena tuberkulosis, anak selain dari asupan gizi juga memerlukan
lingkungan yang bebas rokok sehingga dapat menurunkan jumlah
tuberkulosis anak. (Basir & Yani, 2013)
 Kondisi Rumah
Kondisi rumah ikut berpengaruh karena pada kondisi rumah yang buruk
atau tidak layak untuk dihuni akan mempermudah terkena penyakit
tuberkulosis. (Basir & Yani, 2013)
 Kepadatan Hunian
Merupakan proses penularan penyakit karena jika semakin padat maka
perpindahan penyakit (khusus penyakit menular) melalui udara akan
semakin mudah dan cepat, apalagi jika dalam satu rumah terdapat
anggota keluarga yang terkena tuberkulosis. (Basir & Yani, 2013)
2.2 Kerangka Teori

Status Gizi Riwayat Imunisasi Riwayat Kontak Kondisi Rumah

Kuman Masuk
Melalui Droplet

Mempengaruh
Imunitas

TB Paru Anak
DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo., dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI.
Imu Penyakit Dalam.

Basir, D., & Yani, F. F. (2013). Tuberkulosis dengan keadaan khusus. In


Pedoman nasional tuberkulosis anak.

Davies, P. D. O., Gordon, S. B., & Davies, G. (2014). Clinical tuberculosis.


Clinical Tuberculosis, Fifth Edition. https://doi.org/10.1201/b16604

Depkes. (2016). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Indonesia.


https://doi.org/616.995.24 Ind P

Dirjen Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. (2014). Strategi


Nasional Pengendalian Tb Di Indonesia 2010-2014. Stop TB.

dr MPH, W. (2011). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan


Pemberantasannya. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
Dan Pemberantasannya.

Kartasasmita, C. B. (2016). Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri.


https://doi.org/10.14238/sp11.2.2009.124-9

Kemenkes RI. (2018a). Data dan Informasi profil Kesehatan Indonesia 2018.
Data Dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia.

Kemenkes RI. (2018b). Tuberkulosis ( TB ). Tuberkulosis.

Kusuma, H. M. S. C. (2007). Diagnostik Tuberkulosis Baru. Sari Pediatri.

Rahmawati, N. (2016). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KETIDAKBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS USIA
PRODUKTIF DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT
(BBKPM) SURAKARTA TAHUN 2015. Publikasi Ilmiah.

Raviglione, M., & Sulis, G. (2016). Tuberculosis 2015: Burden, challenges and
strategy for control and elimination. Infectious Disease Reports.
https://doi.org/10.4081/idr.2016.6570
World Health Organization. (2015). Global Tuberculosis Report. Blood.
https://doi.org/978 92 4 156450 2

World Health Organization (WHO). (2015). Global TB report 2015. Journal of


Chemical Information and Modeling.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Anda mungkin juga menyukai