Anda di halaman 1dari 23

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Dalam Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

PERIODIC PARALYSIS HIPOKALEMIA PADA HIPERTIROID

Oleh

Dosen Pembimbing
dr.

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
November 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang sudah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul ‘’Periodic Paralysis Hipokalemia’’. Laporan kasus ini
disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. A selaku dosen
pembimbing klinis yang telah memberikan banyak bimbingan, perbaikan dan saran
penulis sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari
masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis
berharap semoga laporan kasus ini menjadi ilmu bermanfaat bagi para pembaca.

Samarinda, Desember 2019

Penulis,

Andi Erika Safitri


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2
BAB 1 ...................................................................................................... Error! Bookmark not defined.
PENDAHULUAN ................................................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang .................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB 2 ...................................................................................... Error! Bookmark not defined.
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... Error! Bookmark not defined.
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sendi Glenohumeral ..... Error! Bookmark not defined.
2.2 Definisi .............................................................. Error! Bookmark not defined.
2.3 Epidemiologi ..................................................... Error! Bookmark not defined.
2.4 Faktor risiko ...................................................... Error! Bookmark not defined.
2.5 Etiologi dan patomekanisme ............................. Error! Bookmark not defined.
2.6 Klasifikasi .......................................................... Error! Bookmark not defined.
2.7 Manifestasi klinis .............................................. Error! Bookmark not defined.
2.8 Diagnosis ........................................................... Error! Bookmark not defined.
2.9 Terapi ................................................................. Error! Bookmark not defined.
2.10 Prognosis ......................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB 3 ...................................................................................... Error! Bookmark not defined.
LAPORAN KASUS ................................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB 4 ...................................................................................... Error! Bookmark not defined.
PENUTUP ................................................................................ Error! Bookmark not defined.
4.1 Kesimpulan ........................................................ Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Periodic paralysis hypokalemia adalah kelompok yang heterogen yang menggambarkan
kelemahan otot episodik berhubungan dengan hipokalemia dari akut pergeseran K + ke
dalam sel yang tidak terkait dengan yang diketahui gangguan asam-basa atau zat yang
diberikan secara eksogen. Penyebab periodic paralysis hypokalemia mungkin familial, yang
lebih umum di antara Kaukasia non-Hispanik, dan terutama disebabkan oleh mutasi pada otot
rangka. Periodic paralysis hypokalemia nonfamilial termasuk paralisis periodik tirotoksik
(TPP) dan kelumpuhan periodik sporadis (SPP), yang lebih umum di antara Orang Asia dan
hispanik. (shih dkk,2012)
Menurut Rusda DKK (2013) Hipertiroid merupakan salah satu penyebab penyakit
kelenjar tiroid, ini merupakan penyakit hormon yang menempati urutan kedua terbesar di
Indonesia setelah diabetes. Periodic paralysis hypokalemia merupakan komplikasi dari
hipertiroidisme. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada orang asia, terutama terjadi pada
pria dibanding wanita (9:1), termasuk kasus-kasus yang bersifat familia.Tampilan klinis yang
paling menonjol dari hipokalemia adalah pada sistem neuromuskular, walaupun sistem lainya
seperti kardiovaskular dan gastrointestinal dapat juga terkena. Beberapa pasien mengeluhkan
kelemahan otot, terutama pada ekstremitas bawah, dan kelemahan umum otot rangka
merupakan keadaan umum pada kekurangan kalium yang berat (dinata.yuliana,2018).
Diagnosis dan pengobatan dini akan mencegah komplikasi jantung serius. Pada saat
serangan akut, pengobatan harus dimulai dengan suplemen kalium dosis rendah. Serial
pemantauan kadar kalium direkomendasikan untuk mencegah rebound hiperkalemia.
Pengobatan periodic paralysis hypokalemia melibatkan pengendalian hipertiroidisme
menggunakan obat anti tiroid, ablasi radioiodine, atau tiroidektomi. Semua upaya harus
ditujukan pada pencapaian seoptomal mungkin. (NEKI,2016).
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn.R
Usia : 19 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Jl.Juanda
Pekerjaan : Karyawan cafe
Status Perkawinan : Belum menikah
Tanggal masuk : 1 desember 2019
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada 1 desember 2019 secara autoanamnesis
Keluhan Utama
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie dengan keluhan kedua
tangan dan kaki terasa lemas sejak kemarin sore. Keluhan tersebut disertai dengan
sesak, jantung berdebar-debar, dan keringat yang berlebih. Pasien juga mengaku
terdapat benjolan pada leher sebelah kanan dan benjolan tersebut merupakan
pembesaran tiroid. Sebelumnya pasien pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan
yang sama. Keluhan nyeri dada, demam, hidung buntu, mual, dan muntah tidak ada.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat pembesaran tiroid sekitar 2 bulan yang lalu dan tidak
rutin meminum obat yang diberikan oleh dokter. Penyakit diabetes melitus,
hiperkolesterolemia, dan hipertensi tidak ada. Riwayat asma, alergi obat atau makan
tidak ada. Pasien merupakan perokok aktif sejak 2 tahun terakhir.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien ada yang pernah mengalami keluhan seperti ini (tante
pasien). Penyakit hipertensi, diabetes melitus, asma tidak diketahui pasien
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis GCS E4V5M(kelemahan pada motorik)
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 37oC

Kepala
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, eksoftalmus +/+
Bibir : sianosis (-)
Pernafasan cuping hidung (-)

Leher
Deviasi trakea (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (+/-), nodul (-), nyeri tekan (-)
Kelenjar getah bening : pembesaran (-), nodul (-), nyeri tekan (-)

Thorax
Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dada simetris, penggunaan otot
bantuan nafas (-), pelebaran sela iga (-)
Palpasi : pelebaran sela iga (-/-), vocal fremitus sama pada lapang paru dextra &
sinistra
Perkusi : sonor di semua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler pada kedua paru, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V midclavicular line (s)
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV parasternal line (d), batas jantung kiri
ICS V midclavicula line (s)
Auskultasi : S1 S2 normal regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : abdomen terlihat cekung
Auskultasi : bising usus (+) kesan normal
Perkusi : timpani, asites (-)
Palpasi : soefl, massa (-), hepar dan limpa tidak teraba, nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Edema (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik, parese dengan mmt 4
Ekstremitas inferior : Edema (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik, parese dengan mmt 2

2.4 Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium 1 desember 2019
Test Result Normal value
Leukosit 8490/uL 4800-10800/uL
Hb 12.2 12-16
Hct 36.1 37-54%
PLT 291000/uL 150000-450000/uL
Na 136 mmol/L 135-155 mmol/L
K 2.5 mmol/L 3.6-5.5 mmol/L
Cl 104 mmol/L 98-108 mmol/L
- Laboratorium 2 desember 2019
Test Result Normal value
TSH <0.05
T4 6.41

- Laboratorium 3 desember 2019


Test Result Normal value
Na 132 mmol/L 135-155 mmol/L
K 4.6 mmol/L 3.6-5.5 mmol/L
Cl 104 mmol/L 98-108 mmol/L

- Elektrokardiogram (EKG)
2.5 Diagnosis
- Diagnosis etiologis : Hipertiroidisme
- Diagnosis anatomis : Periodic paralysis hipokalemia
- Diagnosis fungsional : Periodic paralisis hypokalemia + hipertiroidisme
2.6 Penatalaksanaan
1) Drip KCL 1 fl dalam Nacl 0.9% IV
2) KSR 2x1
3) Thyrozol 10 mg 1x1
4) Propranolol 40 mg 2x 1/2
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Periodic paralysis hipokalemia

3.1.1 Keseimbangan Kalium

Kalium adalah kation intrasel utama. Sekitar 98 % jumlah kalium dalam tubuh
berada di dalam cairan intrasel. Konsentrasi K+ plasma normal adalah 3.5-5 mmol/L,
sementara konsentrasinya didalam sel adalah sekitar 150 mmol/L. (Yaswir, Harrison)

Jumlah kalium dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan kalium yang


masuk dan keluar. Pemasukan kalium melalui saluran cerna tergantung dari jumlah
dan jenis makanan. Orang dewasa pada keadaan normal mengkonsumsi 60-100 mEq
kalium perhari (hampir sama dengan konsumsi natrium). Kalium di filtrasi di
glomerulus, sebagian besar (70-80%) di reabsorpsi secara aktif maupun pasif di
tubulus proksimal dan di reabsorpsi bersama dengan natrium dan klorida di lengkung
henle. Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui traktur gastrointestinal kurang dari 5%,
kulit dan urin mencapai 90%. (yaswir)

Kadar kalium bisa meningkat (hiperkalemia) dan menurun (hipokalemia) pada


keadaan tertentu. Hiperkalemia disebabkan karena peningkatan asupan, asidosis
metabolik, rhabdomyolisis (pecahnya otot rangka), sindrom lisis tumor ( sel-sel ganas
pecah), defisiensi insulin, hipoaldosteronisme, dan sebagainya. Sedangkan
hypokalemia disebabkan karena penurunan asupan, alkalosis metabolik, penggunaan
agonisme β, paralisis hipokalemik berkala ( dapat diwariskan sebagai sifat autosomal
dominan, maupun akibat dari tirotoksikosis), penggunaan diuretic, kelebihan
mineralokortikoid (Gaw dkk)

3.1.2 Definisi periodic paralysis hipokalemia

Periodic paralysis hypokalemia (PPH) merupakan kelainan yang ditandai dengan


kadar kalium yang rendah (< 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat
episode kelemahan smapai kelumpuhan otot skeletal (Widjajanti, Agustini, 2005).
3.1.3 Klasifikasi

Ada dua jenis yaitu PPH yaitu PPH yang diturunkan atau familial dan PPH
didapat (acquired). PPH didapat bisa ditemukan pada kasus tirotoksikosis, sehingga
sering disebut sebagai paralisis periodic tirotoksik. PPH familial diturunkan secara
autosomal dominan, awitan pada usia peripubertas; dapat mengenai seua ras, paling
dominan pada ras Asia; perbandingan risiko laki-laki dan perempuan adalah 2:1, 50%
orang dengan gen pembawa bergejala ringan atau asimptomatis. (Winarno,
Christofel, 2018).

3.1.4 Etiologi dan patofisiologi

Hipokalemia dapat disebabkan oleh kurangnya asupan kalium, perpindahan


kalim ke dalam sel, atau peningkatan kehilangan kalium. PPH familial terjadi karena
mutase gen yang mengkode gerbang kanal ion, yaitu gen SCN4A, CACNL1A3, dan
KCNE3, disebut juga sebagai channelopathy. Mutasi menyebabkan abnormalitas
fungsi kanal ion kalium yang menyebabkan perpanjangan eksitasi sel-sel otot.
(Winarno, christofel, 2018).

PPH didapat paling sering disebabkan oleh tirotoksikosis. Penyebab lain


adalah intoksikasi barium dan kelebihan mineralkortikoid. Pada tirotoksikosis terjadi
peningkatan hormone tiroid yang menyebabkan influx kalium ke dalam sel melalui
pompa ATPase. Pada intoksikasi barium, hypokalemia terjadi karena kehilangan
kalium meningkat akibat diare berat dan muntah-muntah; selain itu, diduga juga
disebabkan karenaterganggunya kerja kanal ion kalium akibat ikatan ion barium di
kanal tersebut. Peningkatan mineralkortikoid, misalnya pada kasus
hiperaldosteronisme primer (sindrom Conn), menyebabkan peningkatan ekskresi
kalium melalui urin. (Winarno, christofel, 2018).

Pada kondisi normal keseimbangan ion intraseluler dan ekstraseluler yang


mengatur voltase potensial istirahat sel (-90 mV) diatur oleh ion Na+ dan K+ tubuh.
Tetapi pada PPH dimana kadar kalium ekstraseluler lebih rendah mengakibatkan
keseimbangan potensial kalium berubah lebih negatif sehingga Na+ lebih banyak
masuk ke intraseluler dan kalium terhambat dan lebih sedikit yang keluar ke ekstra
seluler. Hal ini mengakibatkan potensial istirahat sel berada pada voltase -50 mV dan
menyebabkan gangguan elektrik dan otot tidak dapat dieksitasi (Dinata, Yuliarni,
2018).

3.1.5 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis kekurangan kalium bervariasi dan tergantung dari kadar


kalium. Gejala muncul hingga kadar kalium <3 mmol/L. Manifestasi klinis yang
muncul seperti kram otot, kelemahan, paresis, konstipasi, anoreksia, mual, muntah,
dan gagal napas. (Nathania, 2018)

Menurut Agus dan christofel, 2018 terdapat penurunan kekuatan otot dan
reflex tendon pada semua ekstremitas. Kelemahan otot bersifat intermitten dan
episodik dimulai dari tungkai menjalar ke lengan. Derajat paralisis mulai dari
kelemahan ringan sekelompok otot hingga kelemahan berat berupa quadriplegia
dengan paralisis otot pernapasan. Otot yang terkena biasanya simetris (Rajesh dkk
2014).

3.1.6 Diagnosis

A. Anamnesis

Anamnesis harus berfokus pada obat-obatan khususnya obat pencahar,


diuretik, antibiotik), diet, kebiasaan makan, dan/atau gejala yang mengarah pada
etiologi tertentu (misalnya kelemahan periodik, muntah, dan diare). (Nathania, 2018)

B. Pemeriksaan fisik

Menurut Winarno dan christofel 2018 pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan
penurunan atau hilangnya reflkes tendon, tetapi tetap sensoris intak. Pemeriksaan
fisik harus memberi perhatian khusus pada tekanan darah dan tanda-tanda tertentu,
misalnya hipertiroidisme dan sindrom cushing. (Nathania, 2018)
C. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan serum


kalium, elektokardiografi (EKG), elektromiografi (EMG), dan biopsy otot. Ekskresi
kalium urin dan analisis gas darah (AGD) dapat diperiksa. Pemeriksaan fungsi tiroid,
yaitu free T3, free T4, dan thyroid stimulating hormone (TSH) juga
direkomendasikan untuk kemungkinan tirotoksikosis. Abnormalitas EKG bisa berupa
depresi segmen ST, pendataran gelombang T, perpanjangan interval QT,dan
munculnya gelombang U (Winarno dan christofel, 2018).

3.1.7 Tata Laksana

Empat pilar tatalaksana antara lain mengurangi kehilangan kalium, mengganti


kehilangan kalium, mengevaluasi potensi toksisitas, dan menentukan penyebab untuk
mencegah serangan selanjutnya. Mengurangi kehilangan kalium berarti mengenali
pencetus atau hal yang memprovokasi hipokalemia. Penggantian kehilangan kalium
sebaiknya sesuai keadaan klinis dan kadar serum kalium (Eleanor L, 2018).

Kasus hipokalemia ringan-sedang, sebaiknya berikan kalium oral dengan


dosis 20-30 mEq/L, setiap 15-30 menit hingga kadar kalium normal. Pada
hipokalemia berat atau pasien yang tidak bisa minum oral, koreksi KCl intravena.
Infus KCl di vena perifer tidak boleh lebih dari 20 mmol/jam, kecuali jika ada
paralisis atau aritmia mengingat risiko iritasi vena, dan pada vena sentral maksimum
40 mmol/L. dosis maksimum harian KCl 200 mmol/L. idealnya, KCl dicampur dalam
salin normal, bukan dekstrosa, karena dekstrosa menyebabkan perpindahan kalium ke
intrasel yang dimediasi insulin.pemantauan klinis ketat dan elektokardiogram
bertujuan untuk mencegah hiperkalemia (Gary,Barry, 2005).
3.1.8 Komplikasi

Hipokalemia dapat memperparah hipertensi dan dapat mengakibatkan


terjadinya kerusakan organ. Hipokalemia menyebabkan perubahan reaktivitas
vascular, ekspresi reseptor adrenergik, reseptor angiotensin, mediator relaksasi
vascular yang menghasilkan peningkatan vasokonstriksi dan gangguan relaksasi.
Hipokalemia juga dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan otot, rhabdomyolisis
yang merupakan komplikasi hipokalemia berat. (Eleanor, 2018).

3.2 Hipertiroidisme

3.2.1 Hormon tiroid


Tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3) dikenal sebagai hormone tiroid. Kedua
hormone ini disintesis di dalam kelenjar tiroid. Kebanyakan sel dapat mengambil dan
mendeionisasi T4 menjadi bentuk yang lebih aktif secara biologis yaitu T. T3 lah
yang berikatan dengan reseptor dan memicu efek organ aktif hormone tiroid. T4 bisa
dimetabolisme menjadi reverse T3 (rT3) sehingga tidak aktif secara biologis. Dengan
memodulasi produksi relative T3 dan rT3 jaringan dapat mengatur status tiroid
lokalnya (Allan dkk 2011).
Komponen-komponen aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid adalah TRH, TSH,
dan hormone tiroid, TRH suatu tripeptide yang disekresi oleh hipotalamus dan pada
gilirannya menyebabkan sintesis hormone glikoprotein besar, TSH, dari hipofisis
anterior mendorong sintesis hormone tiroid. Produksi TSH diregulasi oleh feedvack
dari hormone tiroid tak terikat dalam darah. Jika tiroid pasien memproduksi hormone
tiroid terlalu banyak maka TSH akan disupresi dan sebaliknya (Decroli, Alexander,
2017).
3.2.2 Definisi Hipertiroidisme

Menurut Kusrini dan suryati (2010) Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik
yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan hormone tiroid yaitu tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3). Hipertiroid dibagi atas dua yaitu hipertiroid klinis dan hipertiroid
subklinis. Hipertiroid klinis yaitu pemeriksaan sitologi kadar TSH kurang dari normal
(< 0.3 µIU/ml), kadar Ft4 lebih dari nilai normal (> 2 nano gram/dl) sedangkan
hipertiroid subklinis kadar TSH kurang dari normal (< 0.3 µIU/ml), kadar fT4 masih
dalam batas normal (0.8-2.0 µIU/ml) (sukandar, Diah, Nur, 2015).

3.2.3 Etiologi dan patogenesis

Penyakit graves (PG) merupakan penyebab hipertiroidisme yang tersering.


Sekitar 60-80% hipertiroidisme disebabkan oleh PG. Penyakit graves (PG)
merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap
reseptor TSH pada folikel tiroid sehingga merangsang kelenjar tiroid untuk
membentuk hormon tiroid secara terus menerus. Kecenderungan seseorang untuk
mengalami penyakit graves merupakan gabungan dari pengaruh genetik dan
lingkungan (kapsel).

Hipertiroidisme dapat merangsang Na + –K + ATPase pada otot rangka oleh


mekanisme genom, bertindak atas elemen responsif hormon tiroid untuk mengatur
transkripsi pengkodean gen Na + –K + ATPase, dan melalui mekanisme nongenomik
oleh meningkatkan aktivitas intrinsik atau memproyeksikan penyisipan membran
pompa. Hipertiroidisme juga dapat meningkatkan stimulasi aktivitas pompa oleh
agonis b2-adrenergik dengan memperkuat produksi cAMP intraseluler (Lin,Chou
2012).

3.2.4 Manifestasi klinis

Secara umum, akan terlihat berat badan menurun, pasien merasa panik,
tegang, sulit tidur, jantung berdebar-debar, tangan gemetaran, dan mata terbelalak
keluar (eksoftalmus). Gambaran khas ini merupakan suatu hipertiroid, yang
disebabkan oleh pembakaran atau metabolism tubuh yang melebihi semestinya.
Tanda-tanda hipertiroid sangat khas, oleh karena itu pasien hipertiroid lebih cepat
datang ke dokter untuk memperoleh pengobatan, terutama apabila pasien mengalami
pembesaran pada leher (Kamsyakawuni, Rachmad, Eko, 2012).
3.2.5 Diagnosis

Gejala-gejala yang sering tampak pada penderita hipertiroidisme seperti


gugup, irritabilitas, peningkatan respirasi, berdebar-debar, tremor, ansietas, susah
tidur (insomnia), berkeringat banyak, rambut rontok, dan kelemahan pada otot,
khususnya kerja dari otot lengan dan kaki, frekuensi buang air besar terganggu,
kehilangan berat badan yang cepat, retraksi kelopak mata, eksoftalmus. Pemeriksaa
kelenjar tiroid ditemukan pembesaran difus yang disertai bruit akibat peningkatan
vaskularisasi kelenjar tiroid. Hipertiroidisme biasanya mulainya lambat, tetapi pada
beberapa pasien dirasakan yang dirasakan salah, contoh perasaan gugup yang
dianggap karena stress (Nabila, 2016 & Allan dkk 2014)
Diagnosis dari hipertiroidisme dikonfirmasi dengan tes laboratorium dengna
menggunakan sampel serum. Serum yang diperiksa yakni kadar tiroksin bebas (FT4),
TSH, dan TRH yang akan memastikan keadaan dan lokalisasi masalah di tingkat
susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid. Dikatakan hipertiroid apabila kadar TSH
serum < 0.3 µIU/ml atau FT4 > 2 nano gram/dl. (Kusrini, suryati, 2010).

3.2.6 Tata Laksana

Pengobatan hipertiroidisme tergantung pada penyebab dan tingkat keparahan


penyakit, serta pada usia pasien, ukuran gondok, kondisi komorbiditas, dan keinginan
pengobatan. Tujuan terapi adalah untuk memperbaiki keadaan hipermetabolik dengan
efek samping paling sedikit dan insiden hipotiroidisme terendah. Penghambat beta
dan iodida digunakan sebagai tambahan pengobatan. Obat antitiroid, yodium
radioaktif, dan pembedahan adalah pilihan pengobatan utama untuk hipertiroidisme
yang persisten. Setiap terapi dapat menghasilkan hasil yang memuaskan jika
digunakan dengan benar (NCBI)

Terapi hipertiroidisme melibatkan 3 aspek, diantaranya dengan menghambat


sintesis dan sekresi hormone tiroid dengan ATDs (anti thytoid drugs berupa golongan
thiouracil seperti propylthiouracil dan golongan imidazoles seperti methimazole,
carbimazole, dan thiamazole), destruksi atau mereduksi massa jaringan tiroid dengan
terapi radioaktif atau operasi, dan meminimalisir efek hormone tiroid pada jaringan
perifer dengan terapi beta-bloker (JAFES, 2012)

Methimazole biasanya merupakan obat pilihan pada pasien tidak hamil karena
biayanya yang lebih rendah, waktu paruh yang lebih lama, dan insidensi efek
samping hematologis yang lebih rendah. Dosis awal adalah 15 hingga 30 mg per hari,
dan dapat diberikan bersamaan dengan beta blocker. Beta bloker dapat diturunkan
setelah empat hingga delapan minggu dan methimazole disesuaikan, sesuai dengan
gejala klinis, kadar T4, kadar T3 dengan dosis 5 hingga 10 mg per hari. Pada satu
tahun, jika pasien sudah tidak menunjukkan gejala secara klinis dan pada
pemeriksaan biokimia tingkat antibodi perangsang tiroid sudah tidak terdeteksi maka
terapi dapat dihentikan. Setelah terapi obat antitiroid dihentikan, pasien harus
dipantau setiap tiga bulan untuk tahun pertama. Jika kambuh terjadi kembali, iodin
radioaktif atau pembedahan umumnya direkomendasikan, walaupun terapi obat
antitiroid dapat dimulai kembali. (NCBI)

Obat golongan lain berupa propylthiouracil lebih disukai untuk wanita hamil
karena methimazole telah dikaitkan dengan kelainan genetik. Dosis awal PTU adalah
100 mg tiga kali per hari dengan dosis pemeliharaan 100 hingga 200 mg setiap
hari.28 Tujuannya adalah untuk menjaga kadar T4 bebas di tingkat atas normal.
(NCBI)

Obat golongan beta blocker menawarkan bantuan segera dari gejala


hipertiroidisme adrenergik seperti tremor, palpitasi, intoleransi panas, dan gugup.
Propranolol telah digunakan secara luas, tetapi beta blocker lainnya dapat digunakan.
Beta blocker nonselektif seperti propranolol, merupakan pilihan utama karena mereka
memiliki efek langsung pada hipermetabolisme. Terapi dengan propranolol harus
dimulai pada 10 hingga 20 mg setiap enam jam. Dosis harus ditingkatkan secara
progresif sampai gejala terkontrol. Dalam kebanyakan kasus, dosis 80 hingga 320 mg
per hari sudah mencukupi. Calsium channel blocker seperti diltiazem (Cardizem) juga
dapat digunakan untuk mengurangi denyut jantung pada pasien yang tidak berefek
pada pemberian beta-bloker (NCBI)

Iodida memblokir konversi perifer tiroksin (T4) menjadi triiodothyronine (T3)


dan menghambat pelepasan hormon. Iodida juga digunakan sebagai terapi tambahan
sebelum operasi nonthyroid darurat, jika beta blocker tidak dapat mengendalikan
hipertiroidisme, dan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar sebelum operasi. Iodida
tidak digunakan dalam pengobatan rutin hipertiroidisme karena peningkatan paradoks
pada pelepasan hormon yang dapat terjadi dengan penggunaan jangka panjang. Agen
kontras radiografi iodida organik (mis., Asam iopanoat atau natrium natrium)
digunakan lebih umum daripada iodida anorganik (mis., Kalium iodida). Dosis
masing-masing agen adalah 1 g per hari hingga 12 minggu (NCBI)
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien seorang laki-laki dengan usia ini didiagnosis periodic paralysis
hypokalemia dan hipertiroidisme berdasarekan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan. Menurut anamnesis yang dilakukan
terhadap pasien ini, Pasien datang dengan keluhan kedua tangan dan kaki terasa
lemas sejak kemarin sore. Keluhan tersebut disertai dengan sesak, jantung berdebar-
debar, dan keringat yang berlebih. Pasien juga mengaku terdapat benjolan pada leher
sebelah kanan dan benjolan tersebut merupakan pembesaran tiroid. Sebelumnya
pasien pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama. Keluhan nyeri dada,
demam, hidung buntu, mual, dan muntah tidak ada. Pasien memiliki riwayat
pembesaran tiroid sekitar 2 bulan yang lalu dan tidak rutin meminum obat yang
diberikan oleh dokter. Keluarga pasien ada yang pernah mengalami keluhan
pembesaran tiroid (tante pasien).
Manifestasi klinis periodic paralysis hypokalemia yang muncul berupa kram
otot, kelemahan, paresis, konstipasi, anoreksia, mual, muntah. Kelemahan otot
bersifat intermitten dan episodik dimulai dari tungkai menjalar ke lengan. Derajat
paralisis mulai dari kelemahan ringan sekelompok otot hingga kelemahan berat
berupa quadriplegia dengan paralisis otot pernapasan. Otot yang terkena biasanya
simetris. Sedangkan untuk hipertiroid secara umum akan terlihat berat badan
menurun, pasien merasa panik, tegang, sulit tidur, jantung berdebar-debar, tangan
gemetaran, dan mata terbelalak keluar (eksoftalmus). Gambaran khas ini merupakan
suatu hipertiroid, yang disebabkan oleh pembakaran atau metabolism tubuh yang
melebihi semestinya.
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien tanggal 1
desember 2019, didapatkan hasil berupa kesadaran :komposmentis, tekanan darah :
120/80 mmHg, Nadi : x/menit,regular, pernapasan : x/menit, suhu : oC. Pemeriksaan
kepala didapatkan adanya eksoftalmus pada mata kanan dan kiri, pada pemeriksaan
fisik didapatkan keringat berlebih pada hampir seluruh bagian tubuh, pemeriksaan
fisik thorax didapatkan fremitus kanan dan kiri sama, perkusi sonir, suara nafas
vesikuler tanpa suara nafas tambahan rhonki maupun wheezing. Pemeriksaan fisik
jantung iktus cordis tidak terlihat, palpasi iktus cordis teraba di ICS V midclavicular
line (s), Perkusi batas jantung kanan ICS IV parasternal line (d), batas jantung kiri
ICS V midclavicula line (s), dan padaauskultasi didapatkan S1 S2 normal regular,
murmur (-), gallop (-). Pada pemeriksaan ekstremitas tidak ditemukan adanya edema,
akral teraba hangat, CRT < 2 detik, tetapi didapatkan parese pada seluruh ekstremitas
dan pada saat dilakukan pemeriksaan manual muscle test (MMT) didapatkan nilai 4
pada ekstremitas superior dan nilai 2 pada ekstremitas inferior.
Pada pemeriksaan fisik terdapat penurunan kekuatan otot dan reflex tendon
pada semua ekstremitas, tetapi tetap sensoris intak. Derajat paralisis mulai dari
kelemahan ringan sekelompok otot hingga kelemahan berat berupa quadriplegia.
Pemeriksaan fisik harus memberi perhatian khusus pada tekanan darah dan tanda-
tanda tertentu, misalnya hipertiroidisme dan sindrom cushing.
Pemeriksaan elektrokardiogram dilakukan tanggal 1 desember 2019
didapatkan…
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan kimia klinik pada Tn.R pada
tanggal 1 desember 2019 menunjukkan leukosit 8490/uL, Hemoglobin 12.2 g/dl,
hematocrit 36.1%, trombosit 291.000/uL, natrium 136 mmol/L, kalium 2.5 mmol/L,
chloride 104 mmol/L. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan pada tanggal 2 desember
2019 TSH <0.05, T4 6.41.
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan serum
kalium, elektokardiografi (EKG), elektromiografi (EMG), dan biopsy otot. Ekskresi
kalium urin dan analisis gas darah (AGD) dapat diperiksa. Pemeriksaan fungsi tiroid,
yaitu free T3, free T4, dan thyroid stimulating hormone (TSH) juga
direkomendasikan untuk kemungkinan tirotoksikosis. Abnormalitas EKG bisa berupa
depresi segmen ST, pendataran gelombang T, perpanjangan interval QT,dan
munculnya gelombang U.
Diagnosis dari hipertiroidisme dikonfirmasi dengan tes laboratorium dengna
menggunakan sampel serum. Serum yang diperiksa yakni kadar tiroksin bebas (FT4),
TSH, dan TRH yang akan memastikan keadaan dan lokalisasi masalah di tingkat
susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid. Dikatakan hipertiroid apabila kadar TSH
serum < 0.3 µIU/ml atau FT4 > 2 nano gram/dl.
Pasien Tn.R mendapat terapi medikamentosa berupa rrip KCL 1 fl dalam NaCl
0.9% IV, KSR tablet 2x1, thyrozol 1x10 mg, propranolol 40 mg 2x 20 mg.
Terapi periodic paralysis hypokalemia adalah dengan memberikan kalium sesuai
dengan derajat hipokalemia pada pasien. Pada kasus hipokalemia ringan-sedang,
sebaiknya berikan kalium oral dengan dosis 20-30 mEq/L, setiap 15-30 menit hingga
kadar kalium normal. Pada hipokalemia berat atau pasien yang tidak bisa minum oral,
koreksi KCl intravena. Infus KCl di vena perifer tidak boleh lebih dari 20 mmol/jam,
kecuali jika ada paralisis atau aritmia mengingat risiko iritasi vena, dan pada vena
sentral maksimum 40 mmol/L. dosis maksimum harian KCl 200 mmol/L. idealnya,
KCl dicampur dalam salin normal, bukan dekstrosa, karena dekstrosa menyebabkan
perpindahan kalium ke intrasel yang dimediasi insulin.pemantauan klinis ketat dan
elektokardiogram bertujuan untuk mencegah hyperkalemia.
Terapi hipertiroidisme melibatkan 3 aspek, diantaranya dengan menghambat
sintesis dan sekresi hormone tiroid dengan ATDs (anti thytoid drugs berupa golongan
thiouracil seperti propylthiouracil dan golongan imidazoles seperti methimazole,
carbimazole, dan thiamazole), destruksi atau mereduksi massa jaringan tiroid dengan
terapi radioaktif atau operasi, dan meminimalisir efek hormone tiroid pada jaringan
perifer dengan terapi beta-bloker.
Methimazole biasanya merupakan obat pilihan pada pasien tidak hamil karena
biayanya yang lebih rendah, waktu paruh yang lebih lama, dan insidensi efek
samping hematologis yang lebih rendah. Dosis awal adalah 15 hingga 30 mg per hari,
dan dapat diberikan bersamaan dengan beta blocker. Beta bloker dapat diturunkan
setelah empat hingga delapan minggu dan methimazole disesuaikan, sesuai dengan
gejala klinis, kadar T4, kadar T3 dengan dosis 5 hingga 10 mg per hari.
Obat golongan beta blocker menawarkan bantuan segera dari gejala
hipertiroidisme adrenergik seperti tremor, palpitasi, intoleransi panas, dan gugup.
Propranolol telah digunakan secara luas, tetapi beta blocker lainnya dapat digunakan.
Beta blocker nonselektif seperti propranolol, merupakan pilihan utama karena mereka
memiliki efek langsung pada hipermetabolisme. Terapi dengan propranolol harus
dimulai pada 10 hingga 20 mg setiap enam jam. Dosis harus ditingkatkan secara
progresif sampai gejala terkontrol. Dalam kebanyakan kasus, dosis 80 hingga 320 mg
per hari sudah mencukupi.
BAB 5
PENUTUP
Periodic paralysis hypokalemia (PPH) merupakan kelainan yang ditandai
dengan kadar kalium yang rendah (< 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat
episode kelemahan smapai kelumpuhan otot skeletal. Periodic paralysis hypokalemia
merupakan komplikasi dari hipertiroidisme. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada
orang asia, terutama terjadi pada pria dibanding wanita (9:1), termasuk kasus-kasus
yang bersifat familia.
Tampilan klinis yang paling menonjol dari hipokalemia adalah pada sistem
neuromuskular, walaupun sistem lainya seperti kardiovaskular dan gastrointestinal
dapat juga terkena. Beberapa pasien mengeluhkan kelemahan otot, terutama pada
ekstremitas bawah, dan kelemahan umum otot rangka merupakan keadaan umum
pada kekurangan kalium yang berat. Sedangkan untuk hipertiroid secara umum akan
terlihat berat badan menurun, pasien merasa panik, tegang, sulit tidur, jantung
berdebar-debar, tangan gemetaran, dan mata terbelalak keluar (eksoftalmus).
Diagnosis dan pengobatan dini akan mencegah komplikasi jantung serius.
Pada saat serangan akut, pengobatan harus dimulai dengan suplemen kalium dosis
rendah. Serial pemantauan kadar kalium direkomendasikan untuk mencegah rebound
hiperkalemia. Pengobatan periodic paralysis hypokalemia melibatkan pengendalian
hipertiroidisme menggunakan obat anti tiroid, ablasi radioiodine, atau tiroidektomi.
Semua upaya harus ditujukan pada pencapaian seoptomal mungkin

Anda mungkin juga menyukai