Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

PNEUMOPERITONEUM DAN SYOK SEPTIK

DISUSUN OLEH :

Dimas Farhan Wibawanto 181 0221 045

Ajeng Puspitasari 181 0221 020

PEMBIMBING :

dr. Ferra Mayasari, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

RSUD AMBARAWA

2018
2

PENGESAHAN

Laporan Kasus diajukan oleh:

Nama : Dimas Farhan Wibawanto, Ajeng Puspitasari

Program studi : Kedokteran Umum

Judul Laporan : Pneumoperitoneum dan Syok Septik

Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat yang
diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik Anestesi dan Reanimasi Program
Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta.

Pembimbing

dr. Ferra Mayasari, Sp.An

Ditetapkan di : Ambarawa

Tanggal : 2018
3

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi
pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian
bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri
menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa
tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.10
Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang membutuhkan
pertolongan segera karena apabila tidak mendapatkan pertolongan dengan segera maka dapat
mengancam jiwanya atau menimbulkan kecacatan permanen. Keadaan gawat darurat yang sering
terjadi di masyarakat antara lainkeadaan seseorang yang mengalami henti napas, henti jantung,
cedera, stroke, kejang, keracunan, dan syok11.
Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena
pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi.Penelitian yang dilakukan di
Inggris pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2010 menyatakan bahwa 1 dari 20 kematian yang
terjadidi Inggris diakibatkan oleh sepsis, dengan prevalensi kejadian sebesar 5,5% untuk wanita
dan 4,8% untuk pria. Angka kejadian sepsis yang dilaporkan di Amerikat tercatat 750.000 setiap
tahunnya dan kematian sekitar 2% kasus terkait dengan kejadian severe sepsis13.
Peritonitis merupakan inflamasi peritoneum yang dapat terjadi karena kontaminasi
mikroorganisme dalam rongga peritoneum, bahan kimiawi, atau keduanya. Infeksi peritonitis
dibagi menjadi primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis perforasi disebut juga peritonitis
sekunder, terjadi karena adanya proses dalam intra-abdomen, seperti apendiks yang ruptur,
perforasi gastrointestinal, ataupun perforasi pada organ kolon dan rectum. Infeksi intra-
abdominal diidentifikasikan sebagai penyebab kedua terbanyak yang menyebabkan severe sepsis
pada intensive care unit (ICU)12.

BAB II
4

STATUS PASIEN

II.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 26 Desember 1968
Umur : 49 tahun
Alamat : Lodoyong Selatan 5/5 Ambarawa
Diagnosis Pre-Op : susp abdominal pain e.c peritonitis
Tindakan Op : Laparotomi
Jenis Anestesi : lokal anestesi
Tanggal Masuk RS : 11 Agustus 2018
Tanggal Operasi : 13 Agustus 2018

II.2 SUBJEKTIF

Tn. H, laki-laki berusia 49 tahun dengan diagnosis susp abdominal pain e.c peritonitis dan
syok sepsis akan dilakukan tindakan operasi laparotomi.

Keluhan Utama

Nyeri perut seluruh bagian perut hilang timbul sejak 1 minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang diantar keluarga pasien ke IGD RSUD Ambarawa pada tanggal 11 Agustus
2018 dengan keluhan nyeri perut seluruh bagian perut hilang timbul sejak 1 minggu SMRS.
Keluhan memberat 1 hari terakhir dan terus-menerus. Pasien mengeluhkan tidak dapat BAB dan
kentut sejak 2 hari SMRS, serta disangkal adanya mual, muntah dan demam. Pasien
mengeluhkan perut terasa kembung, pasien hanya dapat makan bubur saat tidak dapat BAB.
5

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah melakukan operasi sebelumnya dan menyangkal mengalami keluhan
serupa.

Riwayat Penyakit Keluarga

Dikeluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa dengan pasien.

Riwayat Sosial dan Ekonomi

Pasien merupakan seorang kepala Rumah Tangga. Pelayanan yang dipilih pasien adalah
BPJS PBI. Pasien sering minum jamu-jamuan sejak 1 tahun terakhir.

Riwayat Alergi

Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan dan obat-obatan.

Riwayat Operasi dan Pengobatan

Pasien tidak pernah di operasi sebelumnya. Pasien tidak minum obat-obatan sebelumnya.

Diagnosis Sementara

Susp abdominal pain e.c peritonitis dan syok sepsis.

II.3 OBJEKTIF

Pemeriksaan Fisik (11 AGUSTUS 2018)

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 129/78 mmHg

Heart rate : 97 x/menit

Respiration rate : 20 x/menit, regular

Suhu : 38.1 ˚C

SpO2 : 98%
6

Mata : Dalam batas normal

Kepala, THT : Kepala dalam batas normal, hidung terpasang NGT keluar cairan
berwarna cokelat pekat 100mL, Mallampati score: II
Thoraks : Dalam batas normal

Abdomen :

1. Inspeksi : cembung, distensi (+), darm counter (-)


2. Auskultasi : BU (+) menurun
3. Palpasi : distensi (+), nyeri tekan (+) seluruh region abdomen, defans

muscular (-)

Kulit : Dalam batas normal

Genitalia, ekstrimitas : genitalia dalam batas normal, akral dingin, CRT tidak
dilakukan

Anus dan Rektum : Dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang (11 Agustus 2018)

GDS : 558

EKG : supraventricular takikardi

Radiologi : BNO 3 posisi, decubitus abdomen

Diagnosis Sementara

Abdominal pain susp Peritonitis, supraventricular takikardi dan hiperglikemia.

Pemeriksaan Laboratorium (12 Agustus 2018)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

HEMOGLOBIN 15,8 g/dl 11.7-15.5 g/dl

LEUKOSIT 18,7 ribu (H) 3.6-11.0 ribu

ERITROSIT 6,00 jt (H) 3.8-6.2 juta

HEMATOKRIT 48.8 % 36-47 %


7

TROMBOSIT 254 ribu 150-400 ribu

MCV 81,4 fL (L) 82-98 Fl

MCH 26,4 pg (L) 27-32 pg

MCHC 32,5 g/dl 32-37 g/dl

RDW 14,0 % 10-16%

MPV 13,2 mm³ (H) 7-11 mm³

LIMFOSIT 0,01 (L) 1.0-4.5

BASOFIL 0.09 0-0.2

NEUTROFIL 12,01 (H) 1.8-7.5

EOSINOFIL% 0,00 (L) 2-4%

BASOFIL% 0.4 0-1%

NEUTROFIL% 62,2 50-70%

PCT 0.359 0.2-0.5%

PDW 17.2 10-18%

PTT 11,4 9.3-11.4

INR 1,10

APTT 30,8 24.5-32.8

Golongan Darah O

KIMIA KLINIK

GLUKOSA SEWAKTU 374 74-106 mg/dl

SGOT 44 0-35 u/l

SGPT 79 (H) 0-35 iu/l

UREUM 89,4 (H) 10-50 mg/dl

Kreatinin 2,11 (H) 0.45-0.75 mg/dl

Na + K + Cl
Natrium 132 (L) 136-146 mmol/L
Kalium 6,1 (H) 3,5-5,1 mmol/L
Chloride 98 98-106 mmol/L

SEROLOGI

HbA1C 9,10 Normal : 4-6%


DM terkontrol baik : <7%
DM terkontrol kurang baik : 7-8%
8

DM tidak terkontrol >8%


HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

Pemeriksaan Laboratorium (13 Agustus 2018)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

HEMOGLOBIN 12.2 g/dl (L) 11.7-15.5 g/dl

LEUKOSIT 27 ribu (H) 3.6-11.0 ribu

ERITROSIT 4,55 jt 3.8-6.2 juta

HEMATOKRIT 37.3 % (L) 36-47 %

TROMBOSIT 437 ribu 150-400 ribu

MCV 82 fL 82-98 Fl

MCH 26,9 pg (L) 27-32 pg

MCHC 32,8 g/dl 32-37 g/dl

RDW 14,7 % 10-16%

MPV 12 mm³ (H) 7-11 mm³

LIMFOSIT 3,30 1.0-4.5

BASOFIL 0,16 0-0.2

NEUTROFIL 22,66 (H) 1.8-7.5

LIMFOSIT% 12,2 (L) 25-40%

MONOSIT% 3,3 2-8%

EOSINOFIL% 0,1 (L) 2-4%

BASOFIL% 0.5 0-1%

NEUTROFIL% 83,8 (H) 50-70%

PCT 0,524 0.2-0.5%

KIMIA KLINIK

UREUM 223,9 (H) 10-50 mg/dl

Kreatinin 8,61 (H) 0.45-0.75 mg/dl

Na + K + Cl
Natrium 144 136-146 mmol/L
Kalium 7,4 (H) 3,5-5,1 mmol/L
Chloride 109 (H) 98-106 mmol/L
9

Pemeriksaan Penunjang (13 Agustus 2018)


Radiologi : pneumoperitonitis, post pemasangan ETT. Kesan : terpasang ETT
dengan ujung distal setinggi VTH 3 (kurang dalam), cor tidak
membesar, gambaran bronkopneumonia.

II.4 ASSESMENT

Status fisik ASA IV Emergency

II.5 PLANNING

 IVFD NaCl 20 tpm

 Inj. Omeprazole 2x40 mg

 Inj. Ketorolac 3x1 amp

 Inj. Paracetamol 3x500 mg

 Inj. Ceftriaxone 2x2 gr

 Novorapid 3x10 IU

 Edukasi untuk rujuk ke RS Kariadi agar cepat ditangani untuk diadakan laparotomy.

 Rawat bersama dengan departemen penyakit dalam

II.6 DAFTAR PERMASALAHAN

Permasalahan medis Nyeri abdomen


Permasalahan bedah Susp Peritonitis
Permasalahan anestesi Syok

II.7 PERSIAPAN PRE-OPERASI


1. Persiapan alat anestesi :
10

a. Bed side monitor : Nadi, SpO2


b. Tiang infus, penyangga lengan, bantal
c. Kassa steril, betadine, alkohol, handschoon steril
2. Persiapan obat anestesi:
a. Lidocaine 2%
3. Persiapan pasien :
a. IVFD Asering/RL 1500cc + Gelofusal 500cc = 2000cc/24 jam
b. Ceftriaxone 2x2gr IV
c. Metronidazole 1x1500mg IV
d. Insulin 10 IU
e. D40%
f. Ca Gluconas 1gr
g. Adrenaline 0,03 mcg/kg/menit
h. N-adrenaline 0,5mcg/kg/menit
i. Dobutamin 5mcg/kg/menit
j. Memasang bed side monitor : nadi, SpO2
4. Durante Operasi
• Anestesi : Fentanyl, Roculax, Lidocaine
• Lama operasi : 14.35- 15.00
• Lama anestesi : 14.30 – 15.00
• Obat yang digunakan :
• Pre-Medikasi :
• Analgetik : Lidocaine 2%
• Induksi :
• Relaksasi Otot : Roculax 25 mg
• Medikasi : Fentanyl 50mcg, Midazolam 4mg
• Maintenance : VTE 500

• Teknik/Pelaksanaan Anestesi:
1. Pukul 14.30 dilakukan anestesi lokal dengan prosedur sebagai berikut:
o Persiapan alat dan memposisikan pasien dalam posisi berbaring (supine)
o Dilakukan injeksi melalui jalur perkutan yaitu lidocaine 2%
2. Pukul 14.35 operasi dimulai
3. Monitoring tanda vital setiap 15 menit dan memastikan kondisi pasien stabil
4. Perdarahan yang keluar sebanyak 50cc
5. Pukul 15.00 operasi selesai
6. Pukul 15.00 induksi anestesi selesai

II.9 FOLLOW UP

Hari/tanggal S O A P
11

Sabtu, 11  Pasien Ku: Tampak Sakit Sedang Susp Terapi dari TS Bedah
Agustus 2018 masuk IGD dan kesadaran compos pneumoperito
dengan mentis neum dan  IVFD NaCl 20 tpm
keluhan hiperglikemia  Inj. Omeprazole 2x40 mg
sakit nyeri TD: 129/78 mmHg  Inj. Ketorolac 3x1 amp
perut seluruh N: 160x/menit  Inj. Paracetamol 3x500 mg
bagian 1 RR: 20x/menit  Inj. Ceftriaxone 2x2 gr
minggu T: 38,1˚C  Novorapid 3x10 IU
SMRS. SpO2: 98%
GDS : 558
EKG : supraventricular
takikardi

Minggu, 12  06.30, nyeri KU: sakit berat  06.30, nyeri Terapi dari TS Bedah
Agustus 2018 perut skala Kes : CM belum
4, kentut (-), TD: 96/57 mmHg teratasi  Terapi Lanjut
kembung (+) N: 133x/menit  23.00,  Pro Laparostomi
RR: 50x/menit pneumoperit
 23.00, nyeri T: 36.5˚C oneum,
perut SpO2: 98% hiperglikemi
membaik, Terpasang NGT produksi a, takikardi
mual (-), (-)
muntah (-), Terpasang NRM O2 10 lpm
BAK (+), Terpasang bed side monitor
BAB (-),
flatus (+) Status lokalis abdomen:
I: kembung, distensi (+)
A: BU (-)
P: nyeri tekan (+)
P: hipertimpani

Senin, 13  07.45, nyeri 07.45  07.45, Terapi dari TS Bedah (pukul 07.45)
Agustus 2018 perut Abdominal
membaik, Ku : sakit berat pain susp  IVFD NaCl 20 tpm
mual (-), Kes : CM peritonitis,  Inj. Ketorolac 3x1 amp
muntah (-), TD: 86/69 mmHg hiperglikemi  Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
BAB (-), N: 121x/menit a, takikardi,  Diet cair
flatus (+), RR: 50x/menit sepsis  Miring-miring mobilisasi
T: 36,7°C  Pre-op cito jika TS anestesi acc
BAK (+)  10.00
GDS : 374
 10.20, septic
 10.00, (-) Status lokalis : Terapi dari perawat bangsal (pukul
shock e.c
I : cembung, distensi (+) 10.00)
 10.20, susp
penurunan A : BU (+) menurun perforasi  Berikan O2 adekuat
kesadaran, Hollow  Pro pindah ICU
P : nyeri tekan (-) Viscus,
sesak (+)
respiratory Terapi dari TS Anestesi (pukul
P : hipertimpani distress e.c
 13.00, 10.20 - Resusitasi)
penurunan Terpasang NGT produksi susp ARDS,
kesadaran, asidosis  Loading RL/ Asering 1000cc/30
(+) 250mL warna cokelat
sesak (+)  13.00, stgA menit
hitam
Terpasang NRM O2 10 lpm  17.30,  Support: dobutamin
Post pneumoperit 10mcg/kg/menit, n-adrenaline
Terpasang bed side monitor
Laparostom onitis 0,4mcg/kg/menit
y 10.00  18.32,  NGT dialirkan, pasang kateter urine
pneumoperit  Cek GDS → 375
Ku: lemah
12

 17.30, (-) Kes: CM onitis  Koreksi K → insulin 10unit +


Terpasang NGT (+)  19.30, D40% 20cc
 18.32, (-) respiratory  Ca Gluconas 1gr drip dalam NS 100
10.20 (ICU) failure selama 20 menit
 19.30, (-)
CNS : stupor  Antibiotik : ceftriaxone 2x2gr IV
TD: 67/41 mmHg (2), metronidazole 1x1500mg IV
N: 120x/menit  Insulin: GDS/150 → saat itu
RR: 40x/menit 4unit/jam, GDS <200 stop insulin
T:  IVFD Asering/RL 1500cc +
SaO2 : 98% NRM 8 lpm Gelofusal 500cc = 2000cc/24 jam
GIT : distensi (-) retensi (+)  Ketorolac berhenti
kehijauan
GUT : urine (+) minimal Terapi dari TS Anestesi (pukul
13.00)
13.00
 Informed consent keluarga untuk
CNS : stupor intubasi → keluarga acc
TD: 103/52 mmHg 1
N: 130x/menit  Intubasi dengan ETT #7 batas
2
RR: 40-50x/menit
bibir 22, medikasi fentanyl 50mcg +
T: afebris
midazolam 4mg + roculax 25mg →
SaO2 : 98% NRM 15 lpm
auskultasi kiri sama dengan kanan
17.30  MV : P-SIMV f12 P1 P2 P5 12
PEET 8 F1O2 menurun 80% →
Kes: Coma VTE 500 pPeak 20 RR 20x/menit
TD: 84/55 mmHg  MO : 5 mcg/kg/jam
T: 40,1°C  Support : adrenaline 0,03
GDS: 391 mcg/kg/menit, n-adrenaline
18.32 0,5mcg/kg/menit, dobutamin
5mcg/kg/menit
Kes: Coma
TD: 56/21 mmHg Terapi dari TS Anestesi (pukul
Lab: Kalium: 7,4; Natrium: 17.30)
144; Chloride: 109  Loading gelafusal 500cc dalam 1
19.30 jam
 Insulin 4 unit/jam
KU: tampak sakit berat  PEEP ↓ 5
Kes: Coma  Edukasi keluarga
 Infus paracetamol 1 flosh
DC (+), NGT dialirkan,
Resp UM Mode P-SIMV Terapi dari TS Anestesi (pukul
RR; 12x/menit, PEEP: 4, 18.32)
FiO2: 70%
 Bolus insulin 10 unit dalam D40 1
Infus flosh
Jugularis: RL → 1000cc;  Ca Gluconas 1gr (IV) bolus pelan
Gelofusal: 500cc → 20tpm  Bicnat 50 mcg bolus pelan
Tangan Kanan: RL+ 1 amp  Inj. Methylprednisolone 1 ampul
epinephrine (0,05 (IV)
mcg/KgBB/Menit) →
120cc/jam
Tangan Kiri: RL → asnet
Support
13

Kiri: Ca Gluconas 1 amp


opl 20cc → 10cc/jam
Kanan: Dobutamin
5µg/KgBB/menit →
2,4cc/jam; Norepinephrine
1µg/KgBB/menit →
30cc/jam; Novorapid: 4
IU/jam → 2cc/jam (100 IU
opl 50cc); Morphin:
5µg/KgBB/jam →
0,4cc/jam
TD: 125/65 mmHg
N: 136x/menit
RR: 32x/menit
SpO2: 100%
Urin: -
Selasa, 14  06.30, (-) 06.30  06.30, Terapi dari TS Anestesi (pukul
Agustus 2018 Ku : tampak sakit berat Respiratory 06.30)
 07.15, (-) Kes: Coma Failure, pola
TD: 78/42 mmHg napas tidak  Monitor KU, tanda vital, BC
 08.05, apneu  GDS tiap 4 jam → jam 05.00: 252
N: 115x/menit efektif
RR: 19x/menit mg/dL
T: 39,8˚C  Rontgen thorax hasil (+)
SaO2: 100%  Hasil lab (+)
BC: (+) 3865 mL  07.15, susp  Tanda tangan DNR (+) → stiker
peritonitis DNR (+)
NGT (+) dialirkan, DC (+), e.c perforasi,
Urin (-) hiperglikemi Terapi dari TS Anestesi (pukul
a 07.15)
Inf. RL 1500cc + Gelofusal
500cc → 2000cc/24 jam  IVFD NaCl 20 tpm
 Inj. Omeprazole 2x40mg
Infus tangan kanan NaCl
 08.05 (+)  Inj. Ketorolac 3x1 amp → berhenti
100cc + Epinephrine 5mg,
 Inj. Paracetamol 3x500mg
dosis 0,03
mcg/KgBB/menit →  Inj. Ceftriaxone 2x2gr
2,9cc/jam  Diet cair via NGT
 Ca Gluconas 1x1 amp
Support: N-epinephrine 1  Metronidazole 1x1500
mcg/KgBB/menit
→15cc/jam, sediaan 16 mg
oplos 50mL
Support jugularis:
Dobutamin 10
mcg/KgBB/menit →
4,8cc/jam, Morphine 5
mcg/KgBB/jam → 4cc/jam,
Novorapid 2 IU/jam →
1cc/jam
07.15
KU: buruk
Kes: Coma
TD: 54/39 mmHg
14

N: 115x/menit
RR: 20x/menit
T: 39°C
NGT terpasang cairan
hitam
DC terpasang urin <50cc
warna kuning
Drain terpasang: cairan
hitam kehijauan terdapat
endapan ± 250cc.
Status lokalis
I: abdomen tampak datar,
balut terpasang, rembes (+),
darah (+)
A: BU (+) menurun
P: detour (-)
P: timpani, tes undulasi (+)
08.05
Didapatkan EKG asystole,
dilakukan usaha resusitasi
sebanyak 5 siklus
15

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Anatomi dan Fisiologi Peritoneum
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh yang terdiri
dari bagian utama yaitu peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga abdominal dan
peritoneum viseral yang melapisi semua organ yang terdapat didalam rongga abdomen. Cavitas
peritonealis adalah sebuah ruangan yang terletak antar peritoneum. Dalam cavitas terdapat
sedikit cairan sebagai lapisan tipis untuk melumasi permukaan peritoneum sehingga
memungkinkan bergerak satu terhadap yang lain1.
Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ-organ viscera membentuk
peritoneum visera, dengan demikian menciptakan suatu potensi ruang diantara kedua lapisan
yang disebut rongga peritoneal. Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml. Cairan
peritoneal terdiri atas plasma ultrafiltrasi dengan elektrolit serta mempunyai kadar protein kurang
dari 30 g/L, juga mempunyai sejumlah kecil sel mesotelial deskuamasi dan bermacam sel imun.
Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran basal semipermiabel yang
berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum mikro sel10.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
16

Peritoneum viscerale berhubungan dengan parietale pada dinding abdomen melalui suatu
duplikatur yang disebut mesenterium. Cavitas peritonealis pada laki-laki tertutup seluruhnya
tetapi pada perempuan mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterina, uterus dan
vagina. Spatium extraperitoneale dapat dibedakan menurut letaknya, di depan (spatium
praepitoneale), di belakang (spatium retroperitoneale) dan dibawah (spatium subperitoneale).
Alat yang terletak di dalam cavitas peritoneale disebut letak intraperitoneale, seperti pada
lambung, jejunum, ileum, dan limpa. Sedangkan yang terletak di belakang peritoneum disebut
retroperitoneale seperti pada ginjal dan pancreas10.
Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan alat
viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum (omentum
majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum dari usus kecil disebut
mesenterium, dari appendik disebut mesoappendix dari colon transversum dan sigmoideum
disebut mesocolon transversum dan sigmoideum. Mesenterium dan omentum berisi pembuluh
darah dan limfe serta saraf untuk alat viscera yang bersangkutan9.
Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan tekanan dan
mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga mempersarafi kulit dan otot yang ada
si sebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum parietale memberikan rasa nyeri lokal, namun
insicipada peritoneum viscerale tidak memberikan rasa nyeri. Peritoneum viscerale sensitif
terhadap regangan dan sobekan tapi tidak sensitif untuk perabaan, tekanan maupun temperature9.
III.2 Pneumoperitoneum
III.2.1 Definisi
Pneumoperitoneum adalah adanya udara bebas dalam ruang peritoneum yang
umumnya terkait dengan perforasi dari usus kecil. Namun, setiap viskus berongga dapat
menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum. Penyebab paling umum dari
pneumoperitoneum adalah perforasi saluran pencernaan yaitu lebih dari 90%. Perforasi dari
lambung atau duodenum yang disebabkan oleh ulkus peptikum dianggap penyebab paling
sering dari pneumoperitoneum. Pneumoperitoneum juga dapat diakibatkan karena pecahnya
divertikular atau trauma abdomen. Hal tersebut biasanya muncul dengan tanda-tanda dan
gejala peritonitis, dan temuan radiologis yang paling umum adalah adanya gas subphrenic
dalam foto polos Thorax erect. Dalam kebanyakan kasus, pneumoperitoneum memerlukan
eksplorasi bedah dan intervensi secepatnya3.
17

III.2.2 Etiologi Pneumoperitoneum


Terdapat banyak penyebab dari pneumoperitoneum dan bervariasi tergantung pada
usia. Pada neonatus, penyebab yang umum adalah perforasi lambung sekunder atau obstruksi
usus.. Selain itu dapat disebabkan penyebab iatrogenik, seperti perforasi dari tabung
nasogastrik atau dari ventilasi mekanis1.
Pada bayi usia yang lebih lanjut dan anak-anak, penyebab terbanyak adalah trauma
tumpul dengan pecahnya viskus berongga, trauma penetrasi, perforasi saluran pencernaan
(dari ulkus lambung atau duodenum, ulkus stres, kolitis ulserativa dengan megakolon toksik,
penyakit crohn, obstruksi usus), pengobatan steroid, infeksi pada peritoneum dengan
organisme gas membentuk atau pecahnya abses, atau karena masalah dada seperti
pneumomediastinum5.
Penyebab utama terjadinya pneumoperitoneum adalah:
1. Ruptur viskus berongga (yaitu perforasi ulkus peptikum, necrotizing enterocolitis,
megakolon toksik, penyakit usus inflamasi)
2. Faktor iatrogenik (yaitu pembedahan perut terakhir, trauma abdomen, perforasi
endoskopi, dialisis peritoneal, paracentesis)
3. Infeksi rongga peritoneum dengan organisme membentuk gas dan atau pecahnya
abses yang berdekatan
4. Pneumatosis intestinalis
Pneumoperitoneum diklasifikasikan menjadi 2 yaitu disertai dengan peritonitis dan yang tidak
disertai peritonitis. Berikut ini merupakan pengklasifikasian dari pneumoperitoneum:
1. Pneumoperitoneum dengan peritonitis
- Perforasi viskus
- Necrotizing enterocolitis
- Infark usus
- Cedera perut
2. Pneumoperitoneum tanpa peritonitis
Pneumoperitoneum tanpa peritonitis dibagi lagi bedasarkan daerah penyebabnya.
A,. Thoracic
- Ventilasi tekanan positif
- Pneumomediastinum/pneumotoraks
- Penyakit saluran napas obstruktif kronik
18

- Asma
B. Abdomen
- Pasca laparotomi
- Pneumatosis cystoides coli/ intestinalis
- Divertikulosis jejunum
- Endoskopi
- Paracentesis/peritoneal dialisis / laparoskopi
- Transplantasi sumsum tulang
C. Female pelvis
- Instrumentasi (mishysterosalpingography,Uji Rubin)
- Post-partum
- Oro-genital intercourse
- Vagina douching

III.2.3 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis tergantung pada penyebab pneumoperitoneum. Penyebab yang ringan
biasanya gejalanya asimtomatik, tetapi pasien mungkin mengalami nyeri perut akibat
perforasi viskus perut, tergantung pada perkembangan selanjutnya bisa berupa peritonitis..
Tanda dan gejala berbagai penyebab perforasi peritoneum akan timbul seperti kaku perut,
tidak ada bising usus, nyeri epigastrium atau jatuh pada kondisi syok yang parah4.
III.2.4 Diagnosis
Cara terbaik untuk mendiagnosis adalah dengan cara foto polos Thorax erect. Udara
akan terlihat tepat di bawah hemidiaphragma, sela antara diafragma dan hati. Jika foto polos
Thorax erect tidak dapat dilakukan, maka pasien ditempatkan di sisi kanan posisi dekubitus
dan udara dapat dilihat sela antara hati dan dinding perut. Foto polos, jika benar dilakukan,
dapat mendiagnosa udara bebas di peritoneum. Computed Tomography bahkan lebih sensitif
dalam diagnosis pneumoperitoneum. CT dianggap sebagai standar kriteria dalam penilaian
pneumoperitoneum. CT dapat memvisualisasikan jumlah ≥5 cm³ udara atau gas3.

III.3 Peritonitis
III.3.1 Definisi
19

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi rongga


abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari
organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen1.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Bila bahan yang menginfeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan
timbulnya peritonitis generalisata1.
Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul
ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria, dan mungkin syok.
III.3.2 Etiologi
1. Peritonitis primer
Disebabkan oleh invasi hematogen:
- Sirosis hepatis dengan asites
- Nephropathy
- SLE
- Bronkopnemonia dan TBC paru
- Pielonefritis
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau
tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang
fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii
anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam
menimbulkan infeksi. Adapun peritonitis dapat disebabkan oleh iritasi dari zat atau enzim
penceranaan yang menimbulkan reaksi peradangan:
 Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien,
kehamilan extra tuba yang pecah
 Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah, ruptur buli dan
ginjal.
 Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
20

cavum peritoneal.

III.3.3 Manisfestasi Klinis


Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular,
pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun
sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus1.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri
pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri
subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan.
Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lain2.

III.3.4 Diagnosis
III.3.4.1 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,
pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen.
Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan1.
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Demam
dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan muncul gejala
hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia
intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak
dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa
menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan
adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis7,6.
Inspeksi : jaringan parut bekas operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi,
perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan
pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau
distended7.
Palpasi : Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat
sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu
21

dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai
pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans
muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale
(nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan
ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang
meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.
Perkusi : Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas
atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan
shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi
abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok
dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri yang difus pada
lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri
pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau
adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula
membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula
rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina
menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat kelamin dalam perempuan.
Auskultasi : Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien
dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini
disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak
bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.
III.3.4.2 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3
posisi. Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu: terlihat kekaburan pada cavum abdomen,
preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra
peritoneal6.
III.3.4.3 Pemeriksaan Laboratorium
22

1.Darah lengkap biasanya ditemukan leukositosis, hematocrit yang meningkat


2.Analisis gas darah menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat kadar
karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.
3.Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3
gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi
peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberculoma
yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

III.3.5 Penatalaksanaan
III.3.5.1 Konservatif
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan1 :
- Memuasakan pasien
- Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal
- Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
- Pemberian antibiotik yang sesuai
- Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya
1. Pemberian oksigen
Vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh pulse oximetri atau
analisis gas darah.
2. Resusitasi cairan
Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi.
Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus dikateterisasi
untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena sentral dan penggunaan
inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien dengan komorbid.
Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke
dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.
3. Analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.
4. Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan intravena.
Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien yang
mendapatkan peritonitis di rumah sakit atau yang sedang mendapatkan perawatan intensif,
23

dianjurkan terapi lini kedua diberikan meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan
tazobactam. Terapi antifungal juga harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan
terpapar spesies Candida.

III.3.5.2 Terapi Definitif


1. Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang dikira.
Tujuannya untuk :
a.menghilangkan kausa peritonitis
b. mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami inflamasi atau
iskemik (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi).
2. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada dinding
sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak kejadian yang
memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis setelah laparotomi.

III.3.6 Prognosis
Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan terapi. Prognosa
baik pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa buruk pada peritonitis general.

III.4 Syok Sepsis


III.4.1 Definisi
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk dari mikroorganisme. Ditandai dengan demam,
takikardia, takipneu, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi
darah8.
Sindroma klinik sepsis ditandai dengan:
a. Suhu lebih dari 38o C atau kurang dari 36o C
b. Takipneu (>20/menit)
24

c. Takikardia (pulse >100/menit)


d. 10% > sel batang, leukositosis atau leukopenia
e. Suspek infeksi
III.4.2 Derajat Sepsis
a. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 gejala sebagai
berikut:
1. Suhu lebih dari 38o C atau kurang dari 36o C
2. Takipneu ( >20/menit)
3. Takikardia ( >100/menit)
4. Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
5. 10% >sel batang
b. Sepsis : SIRS serta infeksi.
c. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai gangguan perfusi jaringan atau disfungsi organ yang
ditandai (hipotensi (sistolik < 90 mmHg atau sistolik turun > 40 mmHg dari tekanan darah
normal), oligouri atau peningkatan asam laktat).
d. Syok septik: Syok septik didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap
kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan.
e. Multiple organ dysfunction syndrome (MODS): Didapatkan >2 tanda gangguan organ

III.4.3 Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram negatif di
Amerika Serikat yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini
meningkat antara 300.000-500.000 kasus pertahun. Syok akibat sepsis terjadi karena adanya
respon sistemik pada infeksi yang serius8.
Walaupun insiden syok sepsis ini tak diketahui namun dalam beberapa tahun terakhir ini
cukup tinggi Hal ini disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara
lain diabetes melitus, sirhosis hati, alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis
dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di
AS syok sepsis adalah penyebab kematian yang sering di ruang ICU1.
III.4.4 Etiologi
25

Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan
produk toksin dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara lain karena
pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan
imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasive seperti kateter,
meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatnya infeksi
yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotik2.

III.4.5 Patofisologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri
gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma,
dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit,
diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian
akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan
dimetabolisme.
Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan
CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear
factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi
yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan
menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA)
dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis
melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang
menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen
presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam
jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih7.
III.4.6 Manisfestasi Klinis
Tanda karakteristik sepsis berat dan syokseptik pada awal adalah hipovolemia, baik
relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan). Kejadian ini
26

mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga apabila volume
intravaskule adekuat, curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi
otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik (sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan
volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada sepsis
berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya aliran
darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan
aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan ekstraksi
oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga
kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2
(pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septic dipercaya
sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan. Karakteristik lain sepsis berat
dan syok septik adalah terjadinya hiperlaktataemia8.
III.4.7 Penatalaksanaan
Untuk penanganan dan pengobatan sepsis dan syok sepsis diperlukan tindakan yang
agresif terhadap penyebab infeksi, hemodinamik, fungsi respirasi. Untuk memperbaiki perfusi
dan oksigenasi organ vital. Jika perlu dipasang CVP untuk mengukur secara akurat volume
cairan, cardiac output, dan resistensi perifer sehingga dapat dimonitor pemberian cairan dan
tekanan darah. Perbaikan sepsis tergantung pada seberapa berat penyakit penyebab8.
 Pasien yang dapat imunosupresan, perbaikan baru terlihat bila dosis imunosupresan
diturunkan atau dihentikan. Pada pasen dengan neutropeni atau disfungsi netroufil
mungkin memerlukan transfusi granulosit. Perlu juga diperhatikan adalah penggantian
kateter intra vena, kateter Folley. Sedangkan untuk fungsi respirasi perlu dimonitor
saturasi oksigen arteri tetap 95% dan jika terjadi respiratory failure perlu dipasang
intubasi. Untuk pengobatan syok sepsis perlu diperhatikan obat yang esensial
 Banyak pasen syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai respon
pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Jika disertai anemia
berat perlu transfusi darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.
27

 Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam.
Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan
pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit
 Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau
tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini
gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 μg/
KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg
BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua
vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti
dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin).
 Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosis sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan. Pemberian
antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan dari
mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi dan pemberian antibiotic biasanya
dilakukan berdasarkan empirik 15,16.

Infection Example antibiotic regimens


CAP 1
β-lactam + azithromycin

1 2
β-lactam + respiratory FQ
HCAP 3
antipseudomonal β-lactam

4 5
+ aminoglycoside or antipseudomonal FQ

+ vancomycin or linezolid
1
ceftriaxone, cefotaxime, ampicillin/sulbactam
2
levofloxacin, moxifloxacin
3
piperacillin/tazobactam, cefepime, meropenem, imipenem, doripenem
4
gentamicin, tobramycin, amikacin
5
levofloxacin, ciprofloxacin

Infection Example antibiotic regimens


28

CRBSI 1
vancomycin or daptomycin

2,3
+ antipseudomonal β-lactam

4
+/- aminoglycoside
Fungemia risk 5
+ fluconazole or echinocandin
factors
1
if high rates of vancomycin MIC ≥ 2 µg/mL
2
piperacillin/tazobactam, cefepime
3
meropenem, imipenem, doripenem
4
gentamicin, tobramycin, amikacin
5
caspofungin, micafungin, anidulafungin
Infection Example antibiotic regimens
Urosepsis rd 1
3 generation cephalosporin

2 3
+/- aminoglycoside or FQ
Urological interventions or 4,5
antipseudomonal β-lactam
MDR (multi drug resistant) risk
factors
1
ceftriaxone, cefotaxime
2
gentamicin, tobramycin, amikacin
3
levofloxacin, ciprofloxacin
4
piperacillin/tazobactam, cefepime
5
meropenem, imipenem, doripenem

Infection Example antibiotic regimens


Unknown 1,2
antipseudomonal β-lactam

3
+ aminoglycoside or antipseudomonal FQ

+ vancomycin
Fungemia risk 4
+ fluconazole or echinocandin
factors
29

1
piperacillin/tazobactam, cefepime
2
meropenem, imipenem, doripenem
3
levofloxacin, ciprofloxacin
4
caspofungin, micafungin, anidulafungin

III.4.8 Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin
terjadi meliputi1:
a. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut (acute
respiratory distress syndrome)
b. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
c. Gagal jantung
d. Gangguan fungsi hati
e. Gagal ginjal
f. Sindroma disfungsi multiorgan
III.4.9 Prognosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang rata-
rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang buruk sering
mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari diagnosa
dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis metabolik decompensated menjadi
mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan multiorgan, syok septik cenderung
ireversibel dan fatal1.

III.5 Resusitasi Cairan

III.5.1 Pengertian Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan diperlukan jika seorang pasien telah kehilangan cairan yang cukup
banyak baik secara akut atau kronis untuk mulai menunjukkan tanda-tanda dekompensasi.
Respon simpatik berupaya mengkompensasi penurunan volume intravaskular dengan
memprioritaskan aliran darah ke organ vital. Denyut jantung biasanya meningkat (takikardia)
dan vasokonstriksi perifer meningkatkan tekanan darah diastoliki. Takikardia dan perfusi
30

jaringan perifer yang berkurang diikuti oleh penurunan tekanan darah sistolik ketika lebih dari
30–40% volume intravaskular telah hilang14.

Oleh karena itu perubahan bermanifestasi oleh takikardia dan mengurangi perfusi perifer
dan seiring meningkatnya defisit volume, penurunan tekanan darah yang semakin tajam dengan
disfungsi sebagian besar sistem organ. Depresi sistem saraf pusat menyebabkan agitasi,
kebingungan atau penurunan tingkat kesadaran, hipo-perfusi ginjal menyebabkan oliguria dan
hipo-perfusi jaringan umum menyebabkan asidosis, sering dengan kompensasi takipnea.
Kehadiran dua atau lebih dari yang berikut ini kemungkinan akan menunjukkan shock:

 Denyut nadi> 100 x/menit

 Tekanan darah sistolik 20 mmHg kurang dari normal

 Capillary refill < 2 detik

 Tingkat pernapasan> 20 x/ menit

 Output urin kurang dari 0,3 ml / kg / jam

Disfungsi organ dapat ditandai oleh asidosis metabolik, peningkatan laktat dan saturasi
oksigen vena sentral <70%.

III.5.2 Algoritma Resusitasi Cairan

Berikut ini merupakan algoritma terapi untuk menggantikan kehilangan cairan tubuh
yang terjadi14,16.

Pemeriksaan: nilai dan catat hasil pemeriksaan untuk indikasi kebutuhan resusitasi cairan:

1. Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan

2. Capillary refill time

3. Perabaan ekstrimitas

III.5.2.1Algoritma resusitasi

1. Berikan oksigenasi.

2. Pasang kanula IV berkururan besar.


31

3. Identifikasi penyebab gangguan yang terjadi dan respons pasien.

4. Berikan bolus 500 ml cairan kristaloid.

5. Nilai ulang kondisi pasien dengan menggunakan ABCDE Pertimbangkan apakah pasien
masih membutuhkan resusitasi cairan.

 Jika cairan yang diberikan masih kurang dari 2000 ml, berikan lagi 250-500 ml bolus
cairan kristaloid. Setelah pemberian cairan selesai, nilai ulang kondisi pasien dengan
ABCDE.

 Jika tidak, nilai kebutuhan cairan dan elektrolit pasien.

 Jika penderita tidak membutuhkan resusitasi cairan, pastikan kebutuhan cairan dan
nutrisi terpenuhi.

6. Nilai kebutuhan cairan dan elektrolit pasien dengan melakukan anamnesis,pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan.

7. Jika terdapat tanda-tanda kekurangan dan kelebihan cairan serta cairan yangkeluar masih
berlangsung, maka lanjut ke bagian penggantian dan redistribusi cairan. Jika tidak lanjut
ke bagian rumatan rutin.

III.5.2.2 Penggantian dan redistribusi cairan

1. Lihat apakah masih terdapat defisit cairan dan/atau elektrolit.

2. Jika ada, perkirakan defisit atau kelebihan cairan lalu tambah atau kurangi dari kebutuhan
rumatan normal per hari.

3. Resepkan kebutuhan rumatan rutin ditambah suplemen cairan dan elektrolit yang
ddibutuhkan berdasarkan pengukuran sebelumnya.

4. Jika kondisi tidak membaik, konsultasi ke spesialis.

5. Jika tidak ada, periksa adanya kehilangan cairan yang masih berlangsung. Jika iya, kembali
ke nomor 2.b.

III.5.2.3 Rumatan rutin


32

1. Berikan rumatan cairan IV sesuai dengan kebutuhan cairan dan elektrolit normal harian 25-
30 ml/kg/hari air.

2. Nilai ulang dan awasi kondisi pasien.

3. Stop cairan IV jika sudah tidak ada indikasi yang sesuai.

Pada luka bakar

1. Pemberian terapi cairan dilakukan dengan memberikan 2-4 ml RL/RA per kg BB tiap
%luka bakar.

a. ½ dosis diberikan 8 jam pertama

b. ½ dosis berikut 16 jam kemudian

2. Sesuaikan dosis infus untuk menjaga urin 30-50 ml/jam pada dewasa

3. Jika respon membaik, turunkan laju infus secara bertahap

III.5.2.4 Analisis Pemeriksaan dan Pertimbangan Umum

1. TD<100 mmHg, CRT >2 detik, dan perabaan akral dingin; frekuensi nadi >90 per menit;
serta frekuensi napas >20 kali per menit menandakan kebutuhan resusitasi.

2. Medikasi harus diberikan secara IV selama resusitasi.

3. Perubahan Natrium, dapat menyebabkan hiponatremia yang serius. Na serum harus


dimonitor, terutama pada pemberian infus dalam volume besar.

2. Transfusi diberikan bila hematokrit dibawah 30.

3. Insulin infus diberikan bila kadar gula darah >200 mg%.

4. Histamine H2- blocker dan antasid sebaiknya diberikan untuk menjaga pH.
33

BAB IV

PEMBAHASAN

III.1 PRE OPERATIF

Pada hari Sabtu 11 Agustus 2018, didapatkan data bahwa pasien adalah seorang laki-laki,
berusia 49 tahun yang datang dengan keluhan nyeri perut. Nyeri perut dirasakan hilang timbul,
rasa nyeri timbul 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan semakin memburuk 1 hari
terakhir dan dirasakan terus menerus. Pasien mengaku sering mengkonsumsi jamu semenjak 1
tahun terakhir. Dari anamnesis tersebut kecurigaan mengarah kepada peritonitis disebabkan oleh
perforasi organ viskus berongga.
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi rongga
abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari
organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen1. Adapun peritonitis
disebabkan oleh penyebaran infeksi secara hematogen namun pada pasien ini dicurigai
disebabkan oleh perforasi organ saluran cerna dikarenakan tidak mempunyai keluhan lain selain
dari keluhan dari sistem gastrointestinal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran Compos
Mentis, tekanan darah 129/79 mmHg, nadi 97x/menit, laju pernafasan 20x/menit, suhu 38.10C
34

dengan saturasi O2 98%. Dari hasil pemeriksaan tersebut, terdapat tanda dari adanya
peningkatan suhu menyebabkan demam, pada pasien ini dicurigai disebabkan oleh infeksi.
Hasil kunjungan pra-anestesi yang dilakukan pada hari Senin, 13 Agustus 2018 pukul
06.45 didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat dan kesadaran compos mentis. Pasien
mengeluh sesak dan pasien mengaku ada riwayat merokok. Didapatkan seluruh tanda vital dalam
keadaan normal. Hasil laboratorium yang dilakukan pada 12 Agustus 2018 menunjukkan
leukosit, ureum, kreatinin, SGPT dan GDS pasien cukup tinggi. Hasil pemeriksaan leukosit
menunjukkan angka 18,7 yang dapat membuktikan adanya suatu infeksi.

Sepsis memiliki berbagai tingkatan dari SIRS hingga sepsis berat, bahkan dapat
meyebabkan terjadinya syok sepsis dan juga MODS. Syok sepsis dapat didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan
disertai hipoperfusi jaringan
Dari pemeriksaan fisik 13 Agustus 2018 pukul 10.00 didapatkan pasien mengalami
penurunan keadaan umum hingga mengindikasikan untuk segera dirawat di ruang ICU. Pasien
memenuhi kriteria masuk ICU sebagai pasien prioritas 1 (satu), kelompok ini merupakan pasien
dengan kondisi sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi. Setelah
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut di ICU didapatkan bahwa pasien telah mengalami sepsis
berat yang ditandai berupa penurunan kesadaran hingga stupor, hipotensi dan juga produksi urin
yang sedikit. Hipotensi merupakan tanda adanya disfungsi organ yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran yang merupakan tanda adanya penurunan perfusi oksigen ke jaringan dan
juga otak. Menurut klasifikasi level ASA (American Society Anesthesiologists) pasien ini
tergolong dalam ASA 4 Emergency karena pasien memiliki penyakit sistemik yang berat dan
mengancam jiwa serta membutuhkan tindakan pembedahan segera.
Didapatkan pasien mengalami distress pernapasan sehingga terdapat indikasi untuk
pemasangan ETT (Endotracheal Tube). Pemasangan ETT dilakukan setelah mendapatkan
informed consent dari keluarga. Intubasi menggunakan ETT #7½ dengan batas bibir 22, medikasi
yang digunakan adalah fentanyl 50mcg, midazolam 4mg dan roculax 25mg. Tujuan dari
pemasangan ETT ini untuk menjamin kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh pasien sehingga
dapat mengurangi distress pernapasan. Fentanyl berperan sebagai analgesic opioid dengan
menghambat ascending pain pathways dan meningkatkan batas ambang nyeri. Midazolam
berperan untuk memberikan rasa tenang kepada pasien, berkerja dengan menempati reseptor
35

pada SSP yang dapat meningkatkan permeabilitas membrane neuronal ion klorida yang mempu
meningkatkan efek penghambatan pada GABA. Roculax merupakan relaksan otot yang bekerja
dengan menghambat terjadinya depolarisasi pada tubuh. Sebelumnya pasien diminta injeksi
ketorolac oleh spesialis bedah, namun hasil lab menunjukkan adanya suatu kelainan pada
ginjalnya sehingga selanjutnya pemberian ketorolac dihentikan. Ketorolac bekerja dengan
menghambat sintesis prostaglandin yang ada pada jaringan tubuh.
Untuk resusitasi cairan diberikan cairan RL (Ringer Laktat) dengan kecepatan 1000cc/30
menit, yang merupakan cairan kristaloid. Tujuan pemberian cairan ini untuk mengganti
kekurangan cairan pada tubuh karena sifatnya yang isotonis dengan darah dan juga memiliki
komposisi elektrolit yang mirip dengan plasma darah. Satu liter cairan ringer laktat memiliki
kandungan 130 mEq ion natrium setara dengan 130 mmol/L, 109 mEq ion klorida setara dengan
109 mmol/L, 28 mq laktat setara dengan 28 mmol/L, 4 mEq ion kalium setara dengan 4 mmol/L,
3 mEq ion kalsium setara dengan 1,5 mmol/L.
Terapi support pada pasien ini diberikan dobutamine 10mcg/kg/menit dan norepinephrine
4mcg/kg/menit. Terapi ini diberikan untuk meningkatkan cardiac output dan heart rate, begitu
pula dengan menurunkan resistensi vaskular perifer.
Didapatkan GDS pasien sebesar 374, sehingga pasien diberikan injeksi insulin. Insulin
digunakan untuk mengatur GDS pasien sehingga tidak tinggi kadar glukosa bebas dalam darah.
Pasien juga diberikan cairan rumatan berupa RL 1500cc dan Gelafusal 500cc dengan total
2000cc/24 jam. Gelafusal merupakan
Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil Kalium melebihi batas
normal, sehingga pasien diberikan Ca Gluconas untuk mengatasi keadaan hiperkalemia tersebut.
Pemberian secara cepat akan mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah, penurunan tekanan
darah, bradikardi dan aritmia jantung, bahkan dapat menimbulkan cardiac arrest. Oleh
karenanya pemberian per IV baik secara bolus maupun continuous perlu monitoring tekanan
darah dan nadi. Reaksi ini disebabkan penurunan kalium secara derastis dalam waktu yang cepat.
Penurunan kalium akan mengakibatkan penurunan kontraktilitas sel otot-otot, termasuk sel otot
jantung. Sehingga mengakibatkan penurunan nadi dan vasodilatasi pembuluh darah.
Sebagaimana juga sebaliknya, kenikan kalium kan meningkatkan heart rate dan mengakibatkan
cardiac arrest.
36

Pasien juga mendapatkan terapi antibiotic berupa ceftriaxone dan metronidazole, dengan
dosis ceftriaxone 2x2gr IV, metronidazole 1x1500mg IV. Ceftriaxone dapat digunakan untuk
mengatasi infeksi intraabdominal apabila dikombinasikan dengan metronidazole. Ceftriaxone
merupakan generasi ketiga dari cephalosporin dengan kemampuannya yang broad-speactrum
untuk aktivitas bakteri gram negatif. Meskipun memiliki efikasi yang lebih rendah untuk bakteri
gram positif, namun ceftriaxone memiliki efikasi yang lebih tinggi pada organisme yang sudah
resisten terhadap beberapa antibiotik.
Pasien ini dilakukan tindakan pembedahan berupa WSD (Water Seal Drainage) pada rongga
abdomen. Pada pembedahan tersebut akan dilakukan anestesi lokal dengan menggunakan
lidocaine 2%. Lidocaine merupakan anastesi lokal yang mampu mencegah pembentukan atau
konduksi impuls saraf dengan mengurangi permeabilitas natrium dan meningkatkan potensial
ambang dengan cara menghambat depolarisasi.
Setelah tindakan pembedahan WSD didapatkan keadaan pasien mengalami coma, tekanan
darah 84/55 mmHg dan suhu tubuh 40,1°C sehingga pasien diberikan terapi paracetamol.
Paracetamol berfungsi untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara menghambat COX-1dan
COX-2. Lalu pasien diberikan bicnat yang berfungsi untuk mengatasi keadaaan keasaman kadar
garam dalah lari. Pasien juga diberikan injeksi methylprednisolone yang berfungsi untuk
menghambat atau mengontrol inflamasi dengan cara mengatur sintesis protein, menekan migrasi
PMN dan fibroblasts. Morphine diberikan sebagai analgesik dan Novorapid digunakan sebagai
stimulasi masuknya gula ke dalam darah. Pasien juga diberikan terapi support berupa
epinephrine 0,03 mcg/kg/menit, norephineprine 0,5mcg/kg/menit, dobutamin 5mcg/kg/menit.
Pemberian Epinephrine diindikasikan untuk meningkatkan tekanan rata-rata artrial dengan
kondisi hipotensi yang berhubungan dengan syok sepsis.
37

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
a. Berdasarkan status fisik menurut ASA, pasien ini termasuk ke dalam ASA IIIE.
b. Pada operasi ini, digunakan anastesi umum dengan pemasangan intubasi endotrakeal
untuk memastikan bahwa jalan nafas yang selalu berada dalam kondisi terbuka dan
mendapatkan ventilasi yang adekuat selama operasi.
c. Sejak insisi pertama kali dilakukan hingga jahitan terakhir telah tercapai trias anestesia
dengan pemberian obat-obatan anestesi seperti : Fentanyl sebagai analgesik, Propofol
sebagai sedasi, dan Roculax sebagai relaksan, serta pemberian sevofluran, O2 dan N2O
sebagai obat anestesi maintenance.
d. Diberikan obat-obatan lain sebagai penunjang yaitu Ondansentron untuk mengurangi
mual muntah, Ketorolac untuk mengatasi nyeri ringan-sedang, Dexamethasone untuk
mengurangi efek inflamasi atau peradangan pasca bedah serta Oxytocin untuk membatu
konraktilitas dari uterus. Setelah itu menjelang akhir operasi pasien diberikan obat injeksi
yang fungsinya adalah reverse muscle relaxan untuk mempersingkat kerja dari muscle
relaxan yaitu Sulfas Atropin dan Neostigimine.
e. Post operasi pasien langsung di kirim dan monitoring di kamar ICU sampai kondisi
pasien membaik dan diperbolehkan untuk pindah ruangan ke bangsal.
Hasil tindakan anestesi yang baik didapatkan dengan persiapan yang baik dan tepat dengan
dimulainya praanestesi, premedikasi, pemilihan teknik anestesi, pemilihan obat-obatan anestesi
serta melakukan pengawasan tanda-tanda vital selama operasi dan tindakan pasca operasi.

DAFTAR PUSTAKA
38

1
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2
Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta
Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
3
CH, Lee. 2010. Imaging Pneumoperitoneum : A Journal
4
Khan, Ali Nawaz. 2011. Pneumoperitoneum Imaging : A Journal
5
Pitiakoudis. 2011. Spontaneus Idiophatic Pneumoperitoneum Presenting as An Acute Abdomen :
A Case Reports . USA : National Library of Medicine.
6
Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 6 Juni 2012.
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa

7
JM, Siner. Sepsis Definitions, Epidemiology, Etiology and Pathogenesis. Critical Care Severe
Sepsis and Septic Shock CME PCCSU. 2009

8
Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

9
Guyton AC dan Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC

10
Richard S. Snell - Clinical Anatomy by Regions: 8th (eigth) Edition

11
Mieny, C. J. & Mennen, U., 2013. Principles of surgical patient care. Volume II

12
Akujobi, C. N. et al., 2006. Bacterial pathogens associated with secondary peritonitis in lagos
university teaching hospital (LUTH). Nigerian Journal of Clinical Practice

13
Lopez, N. et al., 2011. A comprehensive review of abdominal infections. WJES

14
Surviving Sepsis Campaign. International Guidelines for management of Severe Sepsis and
Septic Shock: 2012

15
National clinical guideline center. Intravenous fluid therapy clinical guideline. London: NICE,
2012

16
Panduan Keterampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer, IDI, Jakarta.
39

Anda mungkin juga menyukai