Pembimbing:
Dr.dr. Mardjono Tjahjadi, Sp.Bs, PhD
Oleh:
Nur Indah Febriana 1710221052
JOURNAL READING
Moderate Traumatic Brain Injury : Clinical Characteristics and a prognostic
Model of 12-Month Outcome
Disusun Oleh:
Nur Indah Febriana 1710221052
Mengetahui,
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan journal
reading ini. Journal reading ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan klinik bagian ilmu bedah Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta
di RSUD Pasar Minggu Jakarta periode 4 Maret – 11 Mei 2019.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Dr.dr. Mardjono Tjahjadi,
Sp.Bs, PhD selaku pembimbing journal reading ini, dan kepada seluruh dokter
yang telah membimbing selama kepaniteraan. Tidak lupa ucapan terimakasih
kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan journal reading ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar journal reading ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga journal reading ini dapat
memberikan manfaat bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.
Penulis
CIDERA OTAK TRAUMATIS MODERAT: KARAKTERISTIK KLINIS
DAN MODEL PROGNOSTIK DARI HASIL SELAMA 12 BULAN
Cathrine Elisabeth Einarsen, Joukje Van Der Naalt, Bram Jacobs, Turid Follestad,
Kent Goran Moen, Anne Vik, Asta Kristine Haberg, Toril Skandsen
Abstrak
Latar Belakang: Pasien dengan cedera otak traumatis (TBI; traumatic brain
injury) moderat kerap kali dipelajari bersamaan dengan pasien yang mengalami
TBI parah, meskipun hasil yang diharapkan (hasilnya) lebih baik pada
keadaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami bertujuan untuk menjelaskan
karakteristik pasien dan hasil selama 12 bulan, dan untuk mengembangkan model
prognostic berdasarkan data yang masuk, khususnya untuk pasien dengan TBI
moderat.
Metode: Pasien skor Glasgow Coma Scale 9 – 13 dan berusia >= 16 tahun, secara
prospektif terdaftar pada 2 pusat trauma tingkat I di Eropa. Skor Glasgow Outcome
Scale Extended (GOSE) dinilai pada 12 bulan. Model prognostic yang memprediski
disabilitas moderat atau lebih buruk (skor GOSE <= 6), sebagai perbandingan
dengan pemulihan yang baik, disesuaikan dengan penalized regression. Kinerja
model dievaluasi oleh area dibawah kurva receiver operating characteristics
curves.
Hasil: Dari 395 pasien yang terdaftar, 81% memiliki lesi intrakranial pada
tomografi kepala terkomputerisasi, dan 71% dirawat di ICU. Pada 12 bulan, 44%
mengalami cacat moderat atau lebih parah (skor GOSE <= 6), sedangkan 8% nya
mengalami cacat yang sangat parah dan 6% meninggal dunia (skor GOSE <= 4).
Usia lanjut, skor Glasgow Coma Scale rendah, tidak mabuk saat cedera, adanya
hematoma subdural, terjadinya hipoksia dan/atau hipotensi, dan disabilitas sebelum
cedera merupakan predictor signifikan untuk skor GOSE <=6 (area dibawah kurva
= 0.80).
Kesimpulan: Pasien dengan TBI moderat menunjukan karakteristik cedera otak
yang signifikan. Meskipun beberapa pasien meninggal atau mengalami disabilitas
parah, 44%-nya tidak mengalami pemulihan yang baik, menunjukan bahwa
diperlukan tindak lanjut. Model ini merupakan langkah pertama dalam
pengembangkan model prognostic untuk TBI moderat yang berlaku diseluruh
pusat.
PENDAHULUAN
Beberapa penelitian secara khusus telah berfokus pada karakteristik dan
prognosis pada pasien yang mengalami cedera otak traumatis (TBI; traumatic brain
injury) moderat, yang mana pada klasifikasi yang ada, ia didefinisikan baik oleh
skor Glasgow Coma Scale (GCS) 9-12 atau 9-13 pada perawatan UGD (ED;
emergency department). Penelitian sebelumnya pada pasien dengan TBI moderat
menemukan bahwa sekitar 60% pasien yang memiliki temuan traumatis intrakranial
pada tomografi computer (CT) kepala, 20% - 84% nya dirawat ke ICU, dan kira-
kira 15% nya menjalani operasi untuk lesi massa atau fraktur tengkorak yang
tertekan. Namun, tingkat fatalitas kasus rendah (0.9% - 8%). Selain itu, sebagian
besar pasien hanya mengalami disabilitas moderat atau tidak mengalami disabilitas,
menunjukan independensi dalam kehidupan sehar-hari (74% - 85%), dan bahkan
banyak yang mengalami penyembuhan yang baik, menunjukan tidak adanya
disabilitas (55% - 75%).
Terlepas dari fakta bahwa hasil yang diharapkan lebih baik setelah TBI
moderat daripada TBI parah, pasien yang mengalami TBI moderat sebagian besar
dipelajari bersamaan dengan pasien dengan TBI parah, pada penelitian prediksi
hasil. Model prognostic terbesar yang divalidasi sejauh ini menggunakan Glasgow
Outcome Scale Extended (GOSE) sebagai pengukuran hasil adalah model dari
percobaan Corticosteroid randomization after significant head injury (CRASH;
randomisasi kortikosteroid setelah cedera kepala signifikan) dan International
Mission for Prognosis and Analysis of Clinical Trials (IMPACT; misi internasional
untuk prognosis dan analisis percobaan klinis), Model tersebut telah secara
konsisten mengindentifikasi usia, skor GCS, reaktivitas pupil, dan karakteristik CT
sebagai predictor untuk hasil yang tidak menguntungkan.
Namun model ini dikembangkan untuk memprediksi kematian dan
disabilitas parah (skor GOSE 4), hasil yang kecil kemungkinannya setelah TBI
moderat. Selain itu, telah ditunjukan bahwa model-model ini bekerja lebih baik
pada kohort (kelompok) dengan proporsi pasien yang tinggi dengan hasil yang
buruk. Hal ini diamati terutama dalam memprediksi kematian. Ini mungkin
menunjukan bahwa prediksi hasil yang akurat pada pasien dengan hasil yang lebih
baik, mungkin lebih menantang. Oleh karenanya, butuh penelitian yang bertujuan
mengembangkan model untuk prediksi hasil khususnya pada pasien dengan TBI
moderat, dimana banyak pasien akan mengalami pemuliah yang baik saat follow
up. Kesenjangan literature juga diakui dalam ulasan terbaru. Sepengetahuan kami,
tidak ada penelitian sebelumnya yang telah membuat model untuk memprediksi
disabilitas moderat atau disabilitas yang lebih barah (skor GOSE <=6) berlawanan
dengan pemulihan yang baik khususnya pada pasien dengan TBI moderat.
Tujuan utama kami adalah untuk mengambarkan dan membandingkan
karakteristik klinis, temuan CT kepala, dan hasil selama 12 bulan pada kohort
prospektif observasional pada pasien dengan TBI moderat dari 2 pusat trauma
tingkat I di Eropa. Tujuan keduanya adalah untuk mengembangkan model
prognostic berdasarkan data yang masuk untuk prediksi skor GOSE <=6, 12 bulan
setelah cedera. Model prognostic juga dikembangkan untuk masing-masing pusat
secara terpisah untuk mengindentifikasi predictor penting, dan karenanya
dimungkinkan untuk memvalidasi secara eksternal dalam dataset yang berlawanan.
Variabel Klinis
Disabilitas sebelum cedera dinyatakan ada jika fungsi sehari-hari
dipengaruhi oleh alcohol dan/atau penyalahgunaan obat, penyakit psikiatris atau
neurologis, gangguan perkembangan, atau penyakit somatik parah. Penyebab
cedera dikategorikan menjadi kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan lain-lain (antara lain
kekerasan, kecelakaan ski, dan diserang oleh suatu objek). Mabuk pada hari cedera
dicatat sebagai ya atau tidak berdasarkan nilai serum ethanol atau penilaian klinis,
kedua metode tersebut diketahui valid untuk mengklasifikasi orang tersebut sadar
atau tidak. Status pupil dikategorikan sebagai normal atau berdilatasi secara
unilateral (unilaterally dilated). Kejadian sekunder didefinisikan sebagai terjadinya
hipoksi (saturasi < 92%) dan/atau hipoksia (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) di
lokasi kecelakaan atau di UGD. Pemindahan pasien dari rumah sakit ke pusat
trauma juga dicatat. Variabel klinis lainnya adalah melakukan intubasi, hari-hari
menggunakan ventilator, perawatan di neurointensive atau ICU, termasuk lamanya
dirawat di ICU, pengangkatan (evacuation) lesi massa intracranial (subdural
[SDG], epidural [EDH], atau hematoma intraserebral) dan penyisipan perangkat
pemantau tekanan intracranial (ICP; insertion of intracranial pressure) (sensor ICP
parenkim dan/atau drainase ventrikel eksternal).
Skor keparahan cedera (ISS; injury severity score) digunakan untuk
mengindikasikan keparahan trauma keseluruhan dan dinilai oleh staff bedah saraf
(K.G.M. dan S.H.) di Trondheim, dan oleh perawat penelitian (A.C.) di Groningen.
Untuk mengukur cedera ekstrakranial, skor ektrakranial yang sudah dimodifikasi
(ISSe) dihitung berdasarkan skor total ISS dikurang skor abbreviated injury Scale
Head (Skala cedera pendek kepala).
CT Kepala
Sebagian besar CT kepala diperoleh dengan scanner 64-baris Sensasi
Somatom Siemens (Siemens AG, Erlangen, Jerman) baik pada Trondheim dan
Groningen. Pemeriksaan CT dilakukan sebagai standarisasi pada saat masuk UGD
dan selama follow up jika dibutuhkan. Baik pemeriksaan CT pertama atau
pemeriksaan CT terburuk ditinjau untuk penelitian ini oleh konsultan atau staff
bedah saraf atau radiologi (I.H.S., K.G.M., S.F.D., atau J.X.) di Trondheim, dan di
Groningen oleh ahli saraf (J.V.N. atau B.J.).
Di kedua pusat tersebut, karakteristik CT kepala dari pemeriksaan CT
terburuk dikategorikan menjadi: setiap temuan intracranial, SDH, EDH, perdarahn
subaraknoid traumatis (tSAH; traumatic subarachnoid hemorrhage), termasuk
perdarahan intraventrikular, punctate hemorrhage < 2 mm, memar (lesi tunggal
atau beberapa lesi), fraktur (fraktur dasar, tengkorak, dan impression fracture
gabungan (impression fracture merged)), pergesaran midline > atau <=5 mm, dan
tingkat kompresi tangki (cisterns) basal (normal, terkompresi, atau tidak ada).
Selain itu, skor CT Rotterdam (skor terbaik 1, skor terburuk 6) menggunakan scan
terburuk dikomputasi oleh konsultan atau staff bedah sarah atau radiologi (I.H.S,
K.G.M., S.F.D., atau J.X.) di Trondheim, dan di Groningen oleh konsultan dalam
pengobatan fisik dan rehabilitasi (C.E.) berdasarkan variable CT. Skor ini
berdasarkan pergerseran midline, kompresi tangki basal, tSAH, atau perdarahan
intraventrikular dan EDH.
Hasil
Waktu lamanya dirawat didefinisikan sebagai waktu dari pertama masuk
UGD rumah sakit hingga keluar dari pusat trauma tingkat I. Tingkat fatalitas kasus
dinyatakan dalam persentase pasin yang meninggal akibat cedera kepala selama
dirawat dirumah sakit. Tujuan setelah keluar perawatan adalah tumah (dengan atau
tanpa layanan rehabilitasi rawat jalan), departemen klinis lainnya (termasuk
psikiatri), rumah sakit lain, pusat rehabilitas (termasuk tehabilitasi di rumah sakit,
rehabilitasi lembaga swasta, atua rehabilitasi kota), atau panti jompo (termasuk
sheltered housing 24 jam sehari).
Hasil fungsional dinilai pada 12 bulan setelah cedera menggunakan
wawancara terstruktur untuk GOSE. Skor GOSE pada korban dinilai berdasarkan
hasil fungsional dari cedera secara keseluruhan dan tidak spesifik untuk cedera
otak. Hasil dinilai melalui telefon (sebagian besar pasien di Trondheim) atau
wawancara tatap muka (sebagian besar pasien di Groningen) dengan pasien dan
relatif atau perawatnya. Baik wawancara telefon maupun langsung untuk penilaian
GOSE telah ditemukan tervalidasi dan disetujui dengan baik, terutama setelah
prosedur dan latihan standarisasi. Penilai tidak dibutakan (blinded) untuk informasi
klinis.
Skor GOSE dibagi menjadi cacat moderat atau lebih buruk (skor GOSE <=
6) vs pemulihan yang baik (skorGOSE 7-8), dan cacat parah atau lebih buruk (skor
GOSE = 4) vs cacat moderat atau tanpa cacat (skor GOSE 5 – 8).
Analisis Statistik
Analisis statistic dilakukan dengan IBM SPSS Statistic version 22 (IBM
Corp., Armonk, New York, USA), STATA/SE version 13 (StatacORP llc, College
Station, Texas, USA), dan paket statistic R. Karakteristik demografis dan cedera
disajikan dalam bentuk persentasi, median dengan rentang interkuartil (IQR;
interquartile range), atau rata-rata dengan standar deviasi. Perbedaan antar
kelompok dianalisa dengan tes ManneWhitney U untuk variable dengan distribusi
non-normal dan untuk variable ordinal. Test X2 atau tes eksak Fisher digunakan
untuk membandingkan proporsi. Nilai P dua-sisi (two sided P value) < 0.05
dianggap signifikan secara statistic.
Model umum dihasilkan berdasarkan data dari kombinasi Trondheim dan
Groningen dan satu untuk masing-masing dataset Trondheim dan Groningen. Kami
memasukan 9 variabel klinis dan 8 varibel CT yang umum digunakan dalam
penelitian prediksi hasil sebelumnya. Kami memilih untuk menggunakan
karakteristik CT individu daripada Skor CT Rotterdam, karena lebih mudah
diinterpretasikan dalam konteks klinis. Usia, skor CGS, dan skor ISSe dianalisa
sebagai variable kontinu, dan sisa variabel klinis dan CT adalah biner. Selain itu,
pusat dimasukan sebagai kovariat biner (efek tetap) dalam model umum, dalam
efek yang berkaitan dengan dependensi didalam pusat (in effect accounting for
within-center dependencies). Data yang hilang diatasi dengan listwise deletion
(penghapusan daftar) (13 pasien di Trondheim: 5 disebabkan oleh cedera dan 8
kejadian sekunder [gambar 1A] dan 16 pasien di Groningen: 5 disabilitas pra-
cedera, 5 mabuk pada hari cedera, 5 kejadian sekunder, 1 dilatasi pupil [Gambar
1B]. Totalnya, 329 pasien dimasukan ke dalam analisis.
Model dilengkapi dengan penalized logistic regression menggunakan
metode lasso (least absolute shrinkage and selection operator) seperti yang
diimplementasikan pada paket R glmnet. Metode ini mengecilkan nilai koefisien
regresi untuk mendapatkan nilai yang tidak terlalu ekstrim, as a means towards
meningkatkan validitas eksternal pada model. Untuk variable dengan nilai prediktif
rendah, koefisien dapat dikecilkan hingga nol, dan dengan demikian variable
tersebut ditinggalkan dari model akhir. Tingkat pengecilan ditentukan dengan
validasi-silang-10-kali-lipat (10-fold-cross-validation). Akibatnya, metode ini
melakukan estimasi yang bersamaan pada pemilihan koefisien dan variable. Perlu
diingat bahwa metode lasso berfokus pada kesesuaian dari keseluruhan daripada
signifikasi/kepentingan statistic dari predictor individu. Akibatnya, predictor
dengan nilai p > 0.05 tetap dapat dimasukan ke dalam model akhir.
Ketidakpastian pada koefisien perkiraan dari metode lasso dinilai dengan
metode boostrap pada prosedur penalized regression menggunakan 1000 sample
bootstrap. Sample bootstrap dihasilkan dengan melakukan resampling dengan
pergantian data set asli. Prosedur penalized regression, termasuk pemilihan tingkat
penyusutan, dijalankan untuk masing-masing sample bootstrap. Ketidakpastian ini
diilustrasikan untuk masing-masing variable dengan proporsi 1000 sample
bootstrap yang memberikan nilai nol untuk koefisien tersebut. Proporsi yang
mendekati nol mengindikasikan probabilitas yang besar untuk variable yang akan
dimasukan kedalam model dan berpengaruh pada prediksi hasil. Selain itu, nilai P
untuk koefisien regresi dihitung dengan menggunakan metode lasso tersebar (de-
sparsified) yang diimplementasikan pada paket R hdi. Metode ini
memperhitungkan penyusutan dan pemelihan variable. Nilai P < 0.05 dianggap
signifikan secara statistic. Karena analisis statistic ditunjukan untuk mendapatkan
model predictor terbaik, maka signifikansi statistic untuk koefisien regresi bukanlah
suatu hal yang penting, dan tidak ada penyesuaian formal untuk beberapa test.
Kecocokan model dinilai dengan tes kecocokan HosmereLemeshow (HL
test), dimana nilai P kurand dari 0.05 menunjukan kecocokan yang buruk.
Nagelkerke pseudo-R2 juga dihitung untuk model. Area dibawah kurva (AUC; area
under the curve) dari kurva receiver operating characteristics digunakan untuk
menili diskriminasi. Confidence Intervals 95% (CI) unuk AUC dan nilai P untuk
membandingkan AUC dihitung dengan metode bootstrap menggunakan 10,000
sample bootstrap. Untuk menghitung hasil pengukuran validasi eksternal, hasil
Groningen diprediksi berdasarkan model yang dipasang pada data Trondheim, dan
begitu pun sebaliknya (vice versa).
Etika
Untuk Trondheim, penelitian disetujui oleh Regional Committee for
Medical Research Ethics (2013/1977). Persetujuan tertulis diperoleh dari pasien
yang masih bertahan atau saudara terdekat jika pasien sudah tidak mampu. Untuk
Groningen, penelitian disetujui oleh Medical Ethical Commeitte local, dan informed
consent dibebaskan karena yang data klinis tanpa indentifikasi yang didaftarkan.
HASIL
Seluruh Pasien dengan TBI Moderat
Dari total populasi penelitian sejumlah 395 pasien, rata-rata berusia 46
tahun, 71% pasien berjenis kelamin laki-laki, dan 24% cacat sebelum cedera (Tabel
1). Jatuh dan kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama dari cedera. Lesi
traumatis intracranial pada CT kepala terlihat di 81% pasien, 71% dirawat di ICU
(rata-rata 4 hari (IQR = 2 – 8 hari), dan rata-rata hari dengan ventilator adalah 4 hari
(IQR = 1 – 10). Tingkat fatalitas kasus di rumah sakit sebesar 3%. Saat follow up
12 bulan, 56% mengalami pemulihan yang baik (skor GOSE 7 dan 8), 31%
mengalami kecacatan moderat (skor GOSE 5 dan 6), 8% mengalami kecacatan
parah (skor GOSE 3 dan 4), dan 6% meninggal karena cedera kepalanya (skor
GOSE 1). Oleh Karena itu, 44% mengalami cacat moderat atau lebih buruk (skor
GOSE <=6), sedangan 14% mengalami cacat parah atau lebih buruk (skor GOSE
<= 4) (Tabel 2).
43% pasien memiliki skor GCS 13. Secara umum, kelompok dengan GCS
9 – 12 secara signifikan berbeda dengan kelompok GCS 13, dengan proporsi lesi
intracranial yang lebih besar (73% vs 88%, p <= 0.001), perawatan di ICU (56% vs
82%, p <= 0.001), dan skor GOSE < = 6 saat follow up (35% vs 51%, p = 0.003).
Namun, kelompok GCS 13 memiliki prevalensi yang tinggi untuk lesi pada CT,
lebih dari 50% dirawa di ICU, dan sekitar sepertiganya tidak mengalami pemulihan
yang baik.
Prediksi Hasil
Karakteristik pasien yang dimasukan kedalam analisis prediksi hasil
ditampilkan di Tabel 3. Kumpulan data set dari Trondheim dan Groningen
digunakan untuk mengembangkan model untuk prediksi skor GOSE <= 6, termasuk
pusat sebagai variable kategori tambahan (Tabel 4, Gambar 2A). Dari variable yang
dipilih sebagai predictor skor GOSE <=6, usia lanjut (p < 0.001), skor GCS rendah
(p = 0.004), adanya kejadian sekunder (p = 0.037), dan kecacatan sebelum cedera
(p = 0.043), memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil. Tes HL untuk model
umum menunjukan kecocokan model yang baik (p = 0.143). Nagelkerke pseudo-
R2 adalah 0.34, dan AUC untuk model prognostik umum adalah 0.80 (95% CI 0.75
– 0.85) (Gambar 3).
Pada kohort Trondheim, usia lanjut (p < 0.001), dilatasi pupil (p = 0.005),
adanya SDH (p = 0.012), dan cacat sebelum cedera (p = 0.049) secara signifikan
berkaitan dengan skor GOSE <= 6 (Gambar 2B). Nagelkerke pseudo-R2 adalah
0.43, dan tes HL menunjukan kecocokan model yang baik (p = 0.325), dan AUC
dari validasi internal adalah 0.85 (95% CI 0.78 – 0.91) (Gambar 3). Di Groningen,
skor GCS rendah (p = 0.001), tidak ada mabuk pada saat cedera terjadi (p =
0.002), usia lanju (p = 0.007), dan adanya SDH (p = 0.030) berpengaruh secara
signifikan terhadap hasil (Gambar 2C). Nagelkerke pseudo-R2 adalah 0.31, tes HL
menunjukan kecocokan model yang baik (p = 0.270), dan AUC dari validasi
internal adalah 0.79 (95% CI 0.72 – 0.85) (Gambar 3).
Ketika model Trondheim dites pada data Groningen, nilai AUC nya sebesar
0.75 (95% CI 0.68 – 0.82), dan nilai p dari tes HL adalah 0.038. Ketika model
Groningen dites pada data Trondheim, nilai AUC nya 0.76 (95% CI 0.67 – 0.83)
dan nilai p dari tes HL adalah 0.362.
DISKUSI
Dalam penelitian follow up ini dilakukan secara eksklusif pada pasien yang
mengalami TBI moderat dari 2 pusat trauma tingkat 1 di Eropa, sekitar tiga
perempat dari pasien dtemukan intracranial pada CT kepala, dan kebanyakan
membutuhkan perawatan di ICU. Beberapa pasien meninggal atau mengalami
disabilitas parah. Terlebih lagi, 44% pasien tidak mencapai pemulihan yang baik
pada bulan 12. Usia lanjut, skor GCS rendah, tidak mabuk saat cedera terjadi,
SDH, terjadinya peristiwa sekunder, dan kecacatan sebelum cedera merupakan
pradiktor untuk skor GOSE <= 6, dalam model yang dibangun dari data set
gabungan.
Gambar 3. Kurva Receiver operating characteristics (ROC) dan area dibawah
kurva (AUC; area under the curve) untuk berbagai model prognostic untuk pasien
dengan cedera otak traumatis moderat di Trondheim (T) dan Groningen (G) dan
gabungan dataset pasien dari kedua pusat. Kurva ROC diberikan untuk validasi
internal untuk model Trondheim dan Groningen, dan untuk validasi eksternal
yang memprediksi hasil Groningen berdasarkan model yang dipasang di data
Trondheim (Model: T, pred: G) dan yang memprediksi hasil Trondheim
berdasarkan model yang dipasang di data Groningen (Model: G, pred: T).
Terakhir, validasi internal model berdasarkan gabungan dataset.
Prediksi Hasil
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang khusus mengembangkan
model prognostic pada sample hanya pasien yang memiliki TBI moderat. Selain
itu, kami menerapkan cut-off pada disabilitas moderat atau lebih buruk (skor GOSE
<=6), tidak seperti penelitian sebelumnya, yang telah mengembangkan dan
memvalidasi model yang memprediksi disabilitas parah atau kematian ( skor GOSE
<= 4). Dalam model yang dipasang berdasarkan dataset, usia lanjut, skor GCS
rendah, tidak mabuk saat cedera terjadi, SDH, terjadinya peristiwa sekunder, dan
kecacatan sebelum cedera, merupakan predictor signifikan dari skor GOSE <= 6.
Usia merupakan factor prognostic hasil yang umum dikenal pada pasien
dengan TBI. Penelitian pada psien dengan TBI parah menunjukan tingkat fatalitas
kasus yang lebih tinggi untuk pasien usia lanjut, dan juga hasil jangka panjang yang
lebih buruk. Penelitian ini dengan jelas menunjukan hal tersebut juga terjadi pada
pasien dengan TBI moderat. Juga sesuai dengan temuan pada TBI parah, skor GCS,
terjadinya peristiwa sekunder, dan SDH, mereka berkaitan dengan hasil yang lebih
buruk.
Variabel “kecacatan sebelum cedera” berkaitan dengan hasil yang lebih
buruk dalam seluruh sampel dan kohort Trondheim, namun tidak pada ohort
Groningen. Varibel ini mungkin ditentukan dengan berbeda dan karenya masih
subjektif terhadap perbedaan antar pusat. Namun, hasil ini menunjukan bahwa
menambahkan variable menunjukan bahwa kesehatan sebelum cedera dapat
meningkatkan kinerja prognostic model, seperti yang juga telah ditunjukan pada
TBI ringan. Oleh karenanya, kami menyarankan penelitian prognostic selanjutnya
pada pasien dengan TBI moderat harus mengeksplo dampak dari keadaan sebelum
dan komorbiditas.
Temuan yang lebih mengejutkan adalah bahwa tidak dibawah pengaruh alcohol
dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk, kohort Groningen menonjol dalam hal ini.
Namun, etanol serum positif sebelumnya telah dikaitkan dengan hasil yang lebih
baik. Salah satu penjelasan dari temuan ini adalah efek depresan alcohol pada
sistem saraf pusat secara keliru dianggap berasal dari cedera kepala. Jika demikian,
pasien dengan TBI ringan dapat dimasukan kedalam kelompok TBI moderat dan
parah karena skor GCS rendah yang keliru dan pemulihan yang baik pada follow
up. Sebaliknya, alcohol juga telah diperkirakan memiliki efek neuroprotektif pada
penelitian sebelumnya. Terlepas dari itu, pengaruh alcohol merupakan contoh
informasi klinis yang mungkin harus dikumpulkan secara sistematis dan
dikendalikan untuk penelitian prognosis selanjutnya.
Model prediksi hasil umum dilakukan dengan cukup dengan nilai AUC
0.80, tetapi kemampuan diskriminatif perlu dilakukan pembuktian oleh validasi
eksternal. Namun, kami percaya bahwa model yang disajikan disini terdiri dari
variable yang mewakili factor resiko penting untuk disabilitas setelah TBI moderat.
Model Nagelkerke pseudo-R2 yang paling sederhana menunjukan bahwa hasil
setelah TBI moderat juga dapat bergantung pada factor-faktor yang tidak siukur
dalam penelitian kohort TBI moderat hingga parah yang biasanya. Penelitian
selanjutnya dapat mengatasi kekurangan ini dengan mengumpulkan serangkaian
variable yang lebih luas, untuk mendapatkan pemahaman biopsychosocial pasien
TBI seiringan dengan wawasan dari bidang TBI ringan.
Dalam validasi eksternal dari 2 model terpisah, model dilakukan dengan
cara yang serupa, dengan nilai AUC 0.76 (Trondheim) dan 0.75 (Groningen),
masing-masing dibandingkan dengan 0.85 dan 0.79, untuk validasi internal.
Sehingga, nilai AUC mengindikasikan bahwa model menunjukan kekuatan
diskriminasi yang dapat diterima antara disabilitas moderat atau parah
dibandingkan dengan pemulihan yang baik. Namun, untuk sampai pada model
prediksi dengan kemampuan diskriminatif yang cukup untuk digunakan dalam
praktis klinis, dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Kami percaya bahwa tantangan
penting mengenai prognostikasi pada TBI moderat adalah untuk mengindentifikasi
dan menggabungkan serangkaian factor terbaik yang dapat mempengaruhi hasil
pada masing-masing pasien. Yang penting terutama adalah untuk memperluas
penelitian dimasa yang akan dating untuk Negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah, dan International Initiative for TBI Research (InTBIR; inisiatif
internasional untuk penelitian TBI) menjanjikan dalam hal ini.
KESIMPULAN
Dalam penelitian prospektif dari 2 pusat di Eropa ini, sebagian besar pasien
dengan TBI moderat memiliki karakteristik cedera otak yang signifikan dan
membutuhkan perawatan dirumah sakit berteknologi canggih. Oleh Karena itu,
penting untuk mendapatkan perawatan yang cermat dan tepat. Bahkan jika beberapa
pasien meninggal, sebagian besar (44%) tidak mengalami pemulihan yang baik,
yang mendukung perlunya tindakan lanjut yang tepat untuk pasien dengan TBI
moderat.
Usia lanjut, skor GCS rendah, tidak mabuk saat cedera, SDH, terjadinya
peristiwa sekunder, dan disabilitas sebelum cedera merupakan predictor untuk skor
GOSE <= 6. Penelitian selanjutnya harus memasukan serangkaian variable yang
lebih luas lagi, dengan harapan meningkatkan kekuatan prediktif dari model
prognostic. Kami yakin bahwa penelitian ini dapat berfungsi sebagai langkah awal
dalam mengembangkan model prognostic yang valid dimasa depan untuk pasien
dengan TBI moderat.