Anda di halaman 1dari 20

PRESENTASI KASUS

MANAJEMEN PERIOPERATIF PADA PASIEN ULKUS DIABETIKUM


Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Lulus Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Kota Yogyakarta

Disusun Oleh

Afif Hibatullah

20204010248

Diajukan Kepada

dr. Ardi Pramono Sp.An, M.Kes

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2021
RINGKASAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. Y
Usia : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Nglaban, Sinduarjo, Sleman

B. Auto-Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada telapak kaki kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Yogyakarta diantar oleh keluarganya. Pasien mengatakan bahwa
mengalami nyeri dibagian telapak kaki kiri dan berlubang. Pasien juga mengeluhkan kaki kiri kebas
sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan tidak disertai mual mual (-) muntah (-). Pasien disarankan oleh
dokter untuk rawat inap. Pasien didiagnosis ulkus pedis sinistra digiti V dengan leukositosis. BAB
normal. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2 dan asma. Riwayat demam, batuk, pilek,
dan hipertensi disangkal. Pasien mengatakan telah mengonsumsi obat metformin dan glimepiride
secara rutin.
Riwayat penyakit Dahulu
Hipertensi (-) Alergi (-)
Diabetes Mellitus (+) Penyakit Jantung (-)
Asma (+)
Riwayat Pembedahan
Tidak ada
Riwayat Alergi
Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-) Asma (-)
Penyakit Jantung (-) DM (-)
C. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran Umum : Compos mentis
Keadaan Umum : Cukup
Vital Sign
TD : 130/80 mmHg SpO2 : 98%
T : 36,0 oC
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Status Gizi
BB : 70 kg
TB : 160 cm
IMT : 27,3 (overweight)
Kepala dan Leher
Kepala : Simetris
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-), deviasi septum nasal (-), discharge (-/-)
Telinga : discharge (-/-), otorhea (-/-)
Leher : Massa (-) Tidak ada pembesaran kelenjar limfonodi dan tiroid

Thorax
Inspeksi : Tak tampak jejas, ketinggalan gerak dada (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel (+) Hepar dan lien tak teraba
Auskultasi : Bising usus (+)

Ekstremitas
Ekstremitas : Akral hangat, nadi kuat. CRT<2detik

Anogenital
Tidak di lakukan pemeriksaan

D. Pemeriksaan Penunjang
2 Mei 2021

Parameter NilaiRujuk
Hasil Satuan
an
HEMATOLOGY AUTOMATIC
Leukosit 21.0 H 4.4 – 11.3 10^3/uL
Eritrosit 4.04 L 4.10 – 5.10 10^6/uL
Hemoglobin 10.1 L 12.3 – 17.5 g/dL
Hematokrit 29.7 L 35.0 – 47.0 %
MCV 73.5 L 74 – 106 fL
MCH 24.9 L 28 – 33 Pg
MCHC 33.9 33 – 36 g/dL
Trombosit 625 H 150 – 450 10^3/uL
DIFFERENTIAL TELLING
Neutrofil% 82 H 50 – 70 %
Lymfosit% 10.6 L 25 – 60 %
Monosit% 5.6 2-4 %
Eosinofil% 0.8 L 2.0 – 4.0 %
Basofil% 0.1 0–1 %
Neutrofil# 17.4 H 2-7 10^3/uL
Lymfosit# 2.23 0.8- 4 10^3/uL
Monosit# 1.18 0.12-1.2 10^3/uL
Eosinofil # 0.17 0.02-0.50 10^3/uL
Basofil# 0.02 0-1 10^3/uL
NLR 7.81 H <3.3
PT 14.7 11 – 18 Detik
INR 1.2 0.8 – 1.2
Control Normal
13.8 10.2 – 13.8 Detik
PT
APTT 28.8 27 – 42 Detik
IMUNO-SEROLOGI
HbsAg Non reaktif (-) Non reaktif (-)
IgM COVID-19 Non reaktif (-) Non reaktif (-)
IgG COVID-19 Non reaktif (-) Non reaktif (-)
GULA DARAH
GDS 285 H 70 – 140 mg/dl
GINJAL
Ureum 80 H 10-50 Mg/dl
Creatinin 1.4 H <1.1 Mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 124 L 135-148 Mmol/l
Kalium 4.1 3.7 – 5.3 Mmol/l
Chlorida 87 L 98-109 Mmol/l

E. Diagnosis
Ulkus pedis sinistra digiti V dengan leukositosis
F. Klasifikasi Status Fisik
ASA III dengan Gangguan sistemik berat

G. Plan
a. Tindakan : Debridement
b. Farmakologik : Ondancetron 1A
Ketorolac 1A
Ranitidine 1A
Premedikasi pre-operasi : Inj Ceftizoxime 1 gr
Inj. Metroniazid 500 mg

H. Planning anestesi pre-operatif


1. Pasien puasa 6-8 jam
2. Planning anestesi : Regional anastesi dengan Subarachnoid Blok (SAB)

I. Status anestesi (intra-operatif)


• Nama : Tn. Y
• Umur : 47 tahun
• Bangsal : Bougenvil
• Diagnosis pra bedah : Ulkus pedis sinistra digiti V dengan leukositosis
• ASA : III dengan Gangguan sistemik berat
• TB/BB : 160 cm/ 70 kg (IMT : 27,3 → overweight)
• Jenis operasi : Debridement
• Ahli anestesi : dr. Ardi Pramono, Sp.An, M.Kes
• Ahli bedah : dr. Tri Gunawan Sp. B
• Perawat anestesi : Ayu
• Jenis anestesi : Regional Anesthesia
• Induksi : Lidodex 1 A
• Terapi cairan : Asering 500 cc
• Transfusi darah :-
• Pemeliharaan : Oksigen 3 lpm dengan Nasal Kanul

J. Instruksi Pasca Bedah


• Infus : Asering 20 tpm
• Antibiotik : dari dokter operator
• Analgetik : Ketorolac 30 mg/8 jam
• Anti muntah : ondancetron 1A/ 8 jam
• Lain lain : Bila tekanan darah < 90 mmhg berikan efedrin 10 mg IV

K. Recovery Room
• Masuk jam : 10.15 WIB
• Keluar jam : 10.30 WIB
• Keadaan umum : Baik
• Respon kesadaran : Terjaga
• Status mental : Sadar penuh
• Jalan pernapasan : Clear
• Pernapasan : Teratur
• Terapi oksigen : Nasal Kanul 3 lpm
• Terapi infus : Asering 20 lpm
• Tanda vital : Tekanan Darah : 120/80
Nadi : 84 x/menit
Respirasi rate : 20 x/menit
Saturasi : 98%
TINJAUAN PUSTAKA

MANAJEMEN PREOPERATIF PADA ULKUS DIABETIKUM

I. PENDAHULUAN
Seiring terjadi peningkatan sosial dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat terjadi
perubahan gaya hidup yang menyebabkan terjadinya pergeseran pola penyakit dari
kecenderungan penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (Bustan, 1999). Diabetes
melitus merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan prevalensi cukup tinggi dan
merupakan penyakit dengan tingkat mortalitas ke 12 di dunia (Frykberg, 2006). Penyakit
diabetes melitus dapat mengenai semua organ tubuh seperti otak (stroke), ginjal (gagal ginjal),
jantung, mata dan kaki. Salah satu komplikasi menahun dari diabetes melitus adalah ulkus
diabetikum. Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi yang
berkaitan dengan morbiditas akibat komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler oleh karena
diabetes melitus. Pengelolaan ulkus diabetikum mencakup pengendalian glukosa darah,
debridemen atau membuang jaringan yang rusak, pemberian antibiotik dan obat-obat
vaskularisasi serta amputasi.

II. DIABETES MELITUS


A. Definisi
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa
darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini
dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler
jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (PERKENI, 2006)
Diabetes melitus terjadi dikarenakan adanya kelainan metabolik pada endokrin akibat defek
dalam sekresi dan kerja insulin atau keduanya sehingga, terjadi defisiensi insulin relatif atau
absolut dimana tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin atau insulin yang dikeluarkan
resisten sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa hiperglikemia kronik
disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi
kronik pada sistem tubuh .
Pada umumnya dikenal 2 tipe diabetes, yaitu diabetes tipe 1 (tergantung insulin), dan diabetes
tipe 2 (tidak tergantung insulin).
Faktor resiko diabetes melitus antara lain merokok, aktivitas fisik, dan penggunaan statin
(obat penurun lipid). Prediktor terkuat terkait risiko akut diabetes mellitus adalah kadar
hemoglobin, tekanan darah sistolik, LDL kadar kolesterol, aktivitas fisik, dan merokok
(Rawshani et al., 2018). Sedangkan, menurut (PERKENI, 2011) faktor resiko dari diabetes
mellitus ada : usia, jenis kelamin, aktivitas olahraga, perilaku merokok, tingkat stress, obesitas
berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh), lama DM, hipertensi dan hiperglikemia.

B. Epidemiologi
Menurut survei yang di lakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah
penderita Diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang, jumlah
tersebut menempati urutan ke-4 terbesar di dunia, sedangkan urutan di atasnya adalah India
(31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Jumlah penderita Diabetes
Mellitus tahun 2000 di dunia termasuk Indonesia tercatat 175,4 juta orang (WHO, 2000).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia
yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003 diperkirakan
terdapat penderita DM di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di daerah rural sejumlah 5,5
juta (Hadisaputro, 2007).

C. Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (1997) sesuai anjuran
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah :
a. Diabetes tipe I: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) adalah diabetes yang
terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel
beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita
oleh anak-anak maupun orang dewasa.
b. Diabetes tipe II: Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus [NIDDM]), terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin
(resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin
c. Diabetes melitus tipe lain Terjadi pada pasien yang mempunyai kelainan spesifik yaitu
kelainan genetik pada fungsi sel beta, endokrinopati (sindrom cushing, akromegali),
penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta (dilantin), penggunaan obat yang
mengganggu kerja insulin (β-adrenergik) dan sindrom Klineferter ’s.
d. Diabetes Melitus Gestasional (Gestasional Diabetes Mellitus [GDM]) Terjadi pada
wanita yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemia terjadi
selama kehamilan akibat sekresi hormon-hormon plasenta. Sesudah melahirkan bayi,
kadar glukosa darah pada wanita yang menderita diabetes gestasional akan kembali
normal.

D. Ktiteria Diabetes, menurut ADA (2007)

E. Manifestasi Klinis
a. Gejala Akut
• Poliphagia
• Polidipsia
• Poliuria
• BB menurun dengan cepat
• Mudah lelah
b. Gejala Kronik
• Kesemutan
• Rasa tebal pada kulit
• Kram
• Mata Kabur
• Gatal terutama pada kemaluan wanita
• Gigi mudah goyah dan mudah lepas
• Pada ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Tjokroprawiro, 1998)

III. Ulkus Diabetikum


A. Definisi
Ulkus diabetikum adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes mellitus
berupa kematian jaringan yang luas dan invasif kuman saprofit. Ulkus diabetikum adalah
salah satu komplikasi kronik DM berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat
disertai adanya kematian jaringan setempat (Frykberb, 2002). Ulkus diabetika merupakan
luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga
terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita
yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri
aerob maupun anaerob (WHO, 2000)

B. Epidemiologi
Epidemiologi Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sebesar 15% dari
penderita Dm. di RSCM, pada tahun 2003 masalah kaki diabetes masih merupakan masalah
besar. Sebagian besar perawatan DM selalu terkait dengan ulkus diabetika. Angka kematian
dan angka amputasi masih tinggi,masing-masig sebesar 32,5% dan 23,5%. Nasib penderita
DM paska amputasi masih sangat buruk, sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun
paska amputasi dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi (Waspadji,
2006)
C. Patogenesis

Ulkus diabetika disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut Trias yaitu : Iskemik,
Neuropati, dan Infeksi. Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan
terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena
adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang,
penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot, keringat
berlebihan, kulit kering dan hilang rasa. Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan
oleh karena kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini
disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan
menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis,
tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi
nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai
(Soewondo, 2006)
D. Klasifikasi
Klasifikasi Ulkus diabetika pada penderita Diabetes mellitus menurut Wagner, terdiri dari 6
tingkatan :

• 0 = Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.

• 1 = Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit.

• 2 = Ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan.

• 3 = Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses.

• 4 = Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari kaki,
bagian depan kaki atau tumit.

• 5 = Ulkus dengan kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki..

Berdasarkan luas daerah iskemia

• A : Tanpa iskemia

• B : iskemia tanpa gangrene

• C : partial gangrene

• D : Complete foot gangrene

II. PENANGANAN DAN PENGELOLAAN PREOPERATIF


Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi
dalam melakukan pekerjaannya. Lebih dari 50% penderita DM di Barat mengalami tindakan
pembedahan dalam hidupnya, 75% merupakan orang dengan usia lanjut. Sedangkan di Indonesia
prevalensi penderita DM adalah 1,5% populasi dan diperkirakan 25% penderita DM akan
mengalami pembedahan dan pembiusan. Karena DM merupakan penyakit sistemik yang dapat
membahayakan banyak organ diantaranya ginjal, hati, paru-paru dan lainnya menyebabkan pada
penderita DM lebih sering diperlukan tindakan pembedahan disbanding dengan non penederita DM
(Brown, 1996).

Assesment pra operasi dilakukan untuk mencari bukti kerusakan organ seperti iskemia
miokard, disfungsi ginjal, dan polineuropati. Riwayat penyakit esofagus, diare, dan penurunan
pengosongan lambung menunjukkan peningkatan risiko aspirasi paru. Bukti disfungsi ginjal seperti
proteinuria dan peningkatan kadar darah kalium, kreatinin, dan urea harus dicari untuk
meminimalisir hal tidak terduga selama kejadian intraoperatif berlangsung nantinya (misalnya
hipotensi, hipovolemia) yang dikhawatirkan dapat mengganggu fungsi ginjal. (Dierdorf, 2002)

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena dipasang
dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh pasien yang normalnya mendapat 20 unit
NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat
15 unit NPH secara subkutan atau intramuscular sebelum pembedahan bersama-sama dengan infus
cairan dextrose 5% (1,5ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan jika pasien mengalami
hipoglikemia (<100mg/dl) sebaliknya jika terjadi hiperglikemia saat intraoperative dilakukan
(>250mg/dl) maka akan diobati dengan RI secara intravena. 1 unit RI dapat menurunkan 30-
65mg/dl (Mathes,1998).

Evaluasi pra operasi harus fokus pada terapi antidiabetik pasien, seperti diet, agen anti
hiperglikemik, atau terapi insulin, merupakan informasi penting bagi dokter untuk mempertahankan
kadar glukosa yang memadai selama periode perioperatif. Obat hipoglikemik oral adalah ditahan
pada hari operasi untuk obat dengan waktu paruh pendek dan hingga 48 jam sebelum operasi untuk
obat kerja panjang seperti klorpropamida. Ini dilakukan untuk menghindari reaktif hipoglikemia,
terutama dengan senyawa sulfonylurea dan toksisitas dan interaksi yang diinduksi obat terkait.
(Kadoi, 2010)

III. PENANGANAN DAN PENGELOLAAN INTRAOPERATIF


Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama
pentingnya dengan pengontrolan kadar gula darah dan perfusi cairan pada periode
preoperatif. Pada peningkatan volume intraoperatif dikaitkan dengan peningkatan aliran darah
ginjal.
Regimen pemberian insulin perioperatif bervariasi dari infus intravena terus menerus ke
skala dengan dosis intravena intermiten pada kadar glukosa dengan batas tertentu. Regimen
infus intravena kontinyu untuk pasien dewasa mulai dengan kecepatan 0,5 ± 1,0 unit / jam
dengan perubahan kecepatan infus berdasarkan kadar glukosa. Jika kadar glukosa turun di
bawah 80 mg / dl (4,4 mmol / l), infus insulin dapat dihentikan dan dekstrosa diberikan. Jika
kadar glukosa melebihi 250 mg / dl (>13.375 mmol / l), infus insulin dapat ditingkatkan >1,5
unit / jam . (Dierdorf, 2002)
Pada penderita obesitas dan infeksi berat maka kebutuhan insuin 1,5-2x lipat lebih
banyak. Sehingga dalam mengelola kadar gula darah sebaiknya BMI perlu ditetapkan ketika
preoperasi dilakukan (Haznam, 1991).
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik, tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. anestesi regional dapat
dipergunakan sebagai teknik anesthesia ulkus diabetikum, namun perlu diingat
bahwa anesthesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis, yang pada
pasien dengan diabetes mellitus dengan gangguan ginjal akan berpotensi terjadinya metabolism
anaerob karena tidak adekuatnya distribusi oksigen ke perifer, mengingat sudah terjadi
komplikasi dari diabetes itu sendiri yang pada akhirnya terjadi asidosis metabolik pada pasien.
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus insulin
kerja pendek dalam infus kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin
akan lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin subkutan atau intramuscular. 10-
15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dextrose 5% dengan kecepatan infus 1-
1,5ml/kg/jam (1 unit/jam/70kg). apabila terjadi fluktuasi gula darah maka infus RI dapat
disesuaikan dengan rumus roizen :

𝑚𝑔 𝑚𝑔
𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 ( ) 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 ( )
𝑑𝑙 𝑑𝑙
Unit per jam = atau Unit Per jam =
150 100

Diperlukan penambahan 30 mEq (2250mg) untuk tiap 1 L dextrose dikarenakan insulin


menyebabkan pergeseran kalium intraseluler. Penambahan Kalium harus hati-hati terutama jika
pasien mengalami gangguan fungsi ginjal (Mathes, 1998).
IV. PENANGANAN DAN PENGELOLAAN POST-OPERATIF

Penatalaksanaan pasien diabetes pasca operasi hampir sama dengan pasien tanpa diabetes
yaitu : kontrol nyeri yang memadai, istirahat dan asupan makanan yang tepat semuanya
direkomendasikan. Penderita diabetes membutuhkan waktu penyembuhan dua kali lipat daripada
penderita non-diabetes. Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik
pasien stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah
pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar infus glukosa dan insulin
harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini kegunaan dari
suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu tidur
dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum
regimen insulin pasien dilanjutkan.

Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien


pasca bedah terutama terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran harus dipantau
kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM
usia lanjut, penderita DM tipe 1 dan penderita dengan penyakit jantung infark miokard post
operatif perlu lebih diperhatikan secara intensif. Jika ada perubahan status mental, hipotensi tak
dapat dijelaskan, atau disritmia maka perlu diwaspadai terjadinya infark miokard (Gieseeke, 1993)

Sebagian besar prosedur pembedahan yang dilakukan untuk operasi ringan sampai sedang
dapat dikelola dengan pemikul beban terlindungi, sebagian besar prosedur operasi berat akan
memerlukan beberapa periode non-angkat beban atau perlindungan. Hal yang sama dapat dikatakan
untuk semua jenis implan bedah atau teknik penutupan kulit, seperti membiarkan jahitan kulit tetap
terpasang selama 1-2 minggu lebih bermanfaat daripada pengangkatan awal untuk memungkinkan
penyembuhan jaringan lebih cepat dan lebih baik.

Penatalaksanaan yang tepat dengan penggunaan off-loading, perawatan luka lokal dengan
cara moist wound healing dapat membantu pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen didalam matrik
non selular yg sehat, antibiotik dan edukasi pasien juga dapat memberikan manfaat saat menghadapi
komplikasi potensial.
V. KESIMPULAN

Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, intraoperatif dan


dilanjutkan sampai post operatif. Assesment prabedah perlu dilakukan secara komprehensif
untuk mengoptimalisasi keadaan penderita dan meminimalisir komplikasi pada intraoperasi, dan
postoperasi. Pada pasien dengan Diabetes Melitus perlu diperhatikan cairan yang masuk,
dextrose, serta insulinnya agar kestabilan hemodinamik dapat terjaga sehingga keadaan
hiperglikemi atau hipoglikemi dapat dihindari. Tensi pasien juga perlu diperhatikan untuk mencegah
dari hipotensi atau hipertensi akibat kelebihan cairan. Hal ini harus diantisipasi dengan perlunya
pemahaman tentang teknik manajemen cairan perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang
digunakan, tatalaksana hiperglikemi, serta pemahaman tentang obat obatan anestesia sebagai alat
bantu menangani nyeri akut yang adekuat. Manajemen perioperatif yang benar pada penderita
diabetes melitus dapat membantu pasien memiliki harapan hidup dan kualitas hidup yang lebih baik
dibandingkan sebelum menjalani prosedur pembiusan dan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

1. ADA. Clinical Practice Recommendations : Report of the Expert Commite on the Diagnosis and

Classifications of Diabetes Mellitus Diabetes Care, USA, 2007. p.S4-S24

2. American Diabetes Association. 2007. Preventive Care in People with Diabetes. Diabetes Care. Vol

26:78-79.

3. Bustan MN. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Rineka Cipta, Jakarta,1999

4. Dierdorf, S. F. (2002). Anesthesia for patients with diabetes mellitus. Lippincott Williams &

Wilkins, Inc. vol.15-Issue-3-p 351-357. https://journals.lww.com/co-anesthesiology/toc/2002/06000

5. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, et al . 2006. Diabetic Foot Disorders: a Clinical Practice

Guideline. American College of Foot and Ankle Surgeons. Journal Foot Ankle Surgical . Vol 39:1-

66.

6. Frykberg RG. Diabetic Foot Ulcer : Pathogenesis and Management. Am Fam Physician, Vol 66,

Number 9. 2002. p 1655-62

7. Giseeke dan Lee. Diabethic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang Critical Care,

Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671

8. Green RJ. Pathology and Theurapeutic for Pharmacits : a Basic for Clinical Pharmacy Practice.

Chapman and Hill, London, 1997.

9. Hadisaputro S, Setyawan H. Epidemiologi dan Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Diabetes Mellitus

tipe 2. Dalam : Darmono, dkk, editors. Naskah Lengkap Diabetes mellitus Ditinjau dari Berbagai

Aspek Penyakit dalam dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit

Universitas Diponegoro Semarang, 2007. p.133-154

10. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa Offset, Bandung,

1991: 36-106
11. Kadoi, Y. (2010). Anesthetic considerations in diabetic patients. Part I: Preoperative

considerations of patients with diabetes mellitus. Journal of Anesthesia, 24(5), 739–747.

https://doi.org/10.1007/s00540-010-0987-1

12. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed. Anesthesia, 4 thed,

Churchill Livingstone, 1994:903-1014

13. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, 2006.

14. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,

Edisi keempat, Penerbit FK UI, Jakarta, 2006.

15. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Aspek Klinik dan Epidemiologi, Airlangga University Presss,

Surabaya, 1998.

16. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes Mellitus : Pengenalan dan Penanganan. Dalam : Noer,

dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi ketiga, Penerbit FK UI, Jakarta, 1999.

17. WHO. Prevention of Diabetes Mellitus. Technical Report Series 844, Geneva,2000

Anda mungkin juga menyukai