Anda di halaman 1dari 13

PRESENTASI KASUS

GENERAL ANESTESI PADA PYELOLITHECTOMY NEFROLITHIASIS

Diajukan Kepada :
dr. Michael Boedi Aviantoro, Sp. An

Disusun Oleh :
Latifa Mulyandaru (20110310060)

BAGIAN ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

0
PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Bp. Amir
Umur : 37 tahun
Agama : Islam
Alamat : Mertoyudan, Magelang
Tanggal masuk : 19 Oktober 2015
Diagnosis : Nefrolitiasis sinistra

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kiri bawah
RPS : Pasien datang dengan mengelukan nyeri pada perut kiri bawah,
nyeri hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengaku
merasa buang air kecil.
RPD : - Riwayat hipertensi :disangkal
- Riwayat DM :disangkal
- Riwayat asma :disangkal
- Riwayat jantung :disangkal
- Riwayat Alergi :disangkal
RPK : Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan hal serupa.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : T : 120/90 mmHg
N : 86 x/menit
S : 36,2 0C
R : 20 x/menit
Kepala : Conjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : Limfonodi Tidak Teraba
Thorax : S1 S2 Reguler, BJ (-), Ictus Cordis dbn, SDV +/+, STP -/-
Abdomen : Perut datar, Bising Usus dbn, nyeri Tekan (+) bagian kiri bawah.
Ektremitas : Akral hangat +/+, edema tungkai -/-, deformitas -/-
1
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto rongent aabdomen : tampak batu/massa setinggi L3 sinistra
2. EKG : Dalam batas normal
3. Laboratorim

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 16.1 g/dL 13.0 – 18.0
Leukosit 6.2 103/uL 4.00 – 11.00
Eritrosit 5.4 106/uL 4.20 – 5.40
Hematokrit 47.7 % 37.0 – 47.0
Angka Trombosit 211 103/uL 150 – 450
Netrofil Segmen 48.0 % 40 – 75
Limfosit 41.0 % 20 – 45
Monosit 9.0 % 2 – 10
Eosinofil 1.0 % 1–6
Basofil 0.0 % 0–1
RDW – CV 13.8 % 11.6 – 14.4
RDW – SD 44.0 fL 35.1 – 43.9
P – LCR 20.2 % 9.3 – 27.9
MCV 88.8 fL 76.0 – 96.0
MCH 30.0 pg 27.5 – 32.0
MCHC 33.8 g/dL 30.0 – 35.0
Golongan darah A
PT 27.6 detik 21.8 – 29.4
APTT 0.95 detik 0.81 – 1.21
Gula Darah Sewaktu 92 mg/dl 70 – 140
Natrium 160 mEq/L 136 – 146
Kalium 3.90 mEq/L 3.50 – 5.10
Klorida 97 mEq/L 98.0 – 106.0
Ureum 28.0 mg/dl 16.6 – 48.5
Creatinin 0.88 mg/dl 0.51-0.95
Asam Urat 6.2 Mg/dL 4.5 – 7.0

2
SGOT 15.1 U/L < 32
SGPT 24.0 U/L < 33
HBs Ag Negatif negatif

E. DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik maka:
Diagnosis preoperatif : Nefrolitiasis sinistra
Tindakan operatif : Pyelolithectomy
Tindakan anestesi : General Anestesi

F. TINDAKAN ANASTESI
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
- Puasa 8 jam sebelum operasi.
- Memakai baju khusus kamar bedah.
2. Premedikasi :-
3. Diagnosis Pra Bedah : Nefrolitiasis sinistra
4. Diagnosis Pasca Bedah : Post Pyelolithectomy a/i Nefrolitiasis sinistra
5. Jenis Anestesi : General Anestesi
6. Teknik : Semi Closed, Respirasi Kontrol, dengan ET no.7,5
7. Induksi : Propofol 120 mg IV, Tramus 30 mg
8. Pemerliharaan : O2, N2O, Sevoflurance, Isoflurance
9. Obat Sisipan : Ketese 2.5% 50mg IV, Piralen 10mg IV. Tramadol
10. Jenis Cairan : RL
11. Intruksi Pasca Bedah : Posisi : Head Up
- Infus RL : Ringer Laktat
- Antibiotik : Sesuai Operator
- Analgetik : inj. Ketorolac 30mg/8jam
- Anti muntah : inj. Ondansentron 4mg/8jam
- Lain-lain : Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, peristaltik (+), mual (-), muntah (-),
coba mulai minum dan makan perlahan.
- Bed Rest 24 jam post op.
12. Lama Operasi : 2 jam 30 menit

3
PEMBAHASAN
GENERAL ANESTESI PADA PYELOLITHECTOMY NEFROLITHIASIS

I. DEFINISI
Anestesi umum adalah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Selain hilangnya rasa nyeri, pada
anastesi umum juga terjadi hilangnya kesadaran. Hal ini lah yang membedakan
anastesi umum dengan anastesi regional dan lokal yang tidak menghilangkan
kesadaran pasien.
Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria : tiga komponen
anestesi atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks,
ketidaksadaran, aman untuk sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah
diaplikasikan dan ekonomis. Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi
umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan
penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur
diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan hemodinamik,
respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam

II. MEKANISME KERJA OBAT ANASTESI


Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang bersifat
heterogen dan bekerja dengan mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum
yang hampir sama dan dapat dikontrol. Hampir semua obat anastesi melewati sawar
darah otak untuk dapat bekerja. Obat anastesi mempunyai molekul yang kecil
dengan kelarutan lemak yang tinggi, sehingga mempunyai akses ke sistem saraf
pusat. Namun ada beberapa obat yang tidak dapat melewati sawar darah otak, seperti
pelumpuh otot. Sebagian besar obat akan berikatan dengan protein dalam plasma,
sehingga hanya obat yang bebas saja yang dapat berdifusi ke tempat kerjanya.
Albumin berperan penting dalam mengikat obat yang bersifat netral dan asam.
Kebanyakan obat akan dimetabolisme di hepar dengan hasil metabolit yang sudah
tidak aktif, dan beberapa metabolit aktif dapat diekskresikan oleh ginjal. Selain di
hepar, dapat pula dimetabolisme di paru (prilokain), plasma kolinesterase
(suksinil,mivakurium), dan eritrosit esterase (esmolol). Dalam proses metabolisme,
obat-obat ini mengalami 2 fase, yaitu fase I (oksidasi, reduksi, dan hidrolisis) dan

4
fase II (konjugasi, asetilasi, dan metilasi). Obat dengan senyawa kecil seperti morfin,
lidokain, penisilin, aspirin dapat diekskreikan melalui ginjal, sedangkan yang
mengandung senyawa berat dengan molekul besar (>400) seperti pankuronium dan
veuronium diekskresikan oleh empedu.
Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang
mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum dapat juga diberikan secara
intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul
sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin.

III. TAHAP ANASTESI


1. Stadium 1 : Tahapan awal anastesi yaitu stadium induksi atau eksitasi
volunter, dimulai dari pemberian agen anestesi hingga hilangnya kesadaran.
Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil,
dapat terjadi urinasi dan defekasi.
2. Stadium 2 : stadium eksitasi involunter, dimulai dari hilangnya kesadaran
sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terjadi eksitasi dan
gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia
urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.
3. Stadium 3 : Prosedur pembedah biasanya dilakukan pada tahap ini. Stadium
ini terbagi dalam 3 bagian yaitu;
a. Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya
anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih
ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.
b. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata
ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
c. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali
ke tengah dan otot perut relaksasi.
4. Stadium 4 : Tahap toksik dari anestesi (paralisis medulla oblongata atau
overdosis). Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu diberikan
bantuan ventilasi. ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil
dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena
terhentinya sekresi lakrimal.

5
IV. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PASIEN
Untuk melakukan penilaian dan persiapan prabedah dapat dilakukan suatu
kunjungan pra anestesi yang bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan operasi
dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Penilaian prabedah diperlukan
untuk menghidari terjadinya kesalahan dalam melakukan pembedahan. Hal yang
perlu dinilai sebelum melakukan pembedahan antara lain:
1. Identitas penderita, hari dan jenis bagian tubuh yang akan di operasi.
2. Anamesis dilakukan untuk mengetahui riwayat pasien, selain yang berhubungan
dengan sakit pasien penting ditanyakan pula apakah sebelumnya pernah
mendapatkan anastesi dan bagaimana reaksi pasien terhadap anastesi, seperti
alergi, mual muntah, nyeri otot, sesak napas pasca bedah sebelumnya, sehingga
dapat dirancang tindakan anastesi yang lebih baik. Selain itu, perlu ditanyakan
pula kebiasaan pasien, jika pasien perokok maka dianjurkan untuk berhenti 1-2
hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem
kardiovaskuler dan untuk mengaktifkan kerja silia jalan napas dan 1-2 minggu
untuk mengurangi produksi sputum.
3. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan keadaan gigi, lidah, dan leher yang dapat
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan fisik sistemik tentang
keadaan umum seperti inspeksi, perkusi, palpasi, auskultasi pada seluruh sistem
organ.
4. Pemeriksaan laboratorium dengan indikasi sesuai dengandugaan penyakit yang
dicurigai. Pemeriksaan yang biasa dilakukan seperti darah rutin (Hb, leukosit,
masa pendarahan, dan masa pembekuan) dan urinalisa. Pada pasien diatas 50
tahun dilakukan pemeriksaan EKG dan foto thorax.
5. Kebugaran dapat dinilai menggunakan klasifikasi dari The American Society of
Anesthesiologist (ASA), meliputi:
ASA I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatri, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
6
Pasien yang akan dilakukan pembedahan sebaiknya dipersiapkan terlebih
dahulu seperti masukan oral dan premedikasi pada pasien. Masukan oral perlu
dipersiapkan untuk mengindari terjadinya regurgitasi isi lambung dan kotoran pada
jalan napas ketika dilakukan anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,
pasien anak 4-6 jam, dan bayi 3-4 jam. Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam
sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan
bangun dari anestesia. Jika pasien mengalami kecemasan, diazepam 10-15 mg dapat
diberikan beberapa jam sebelum induksi anestesi. Untuk mengurangi mual muntah
pasca bedah dapat diberikan suntikan premedikasi intramuskular droperidol 2,5-5
mg atau ondansetron 2-4 mg.

V. TEKNIK ANESTESI UMUM


1. Inhalasi dengan Respirasi Spontan
a. Sungkup wajah
b. Intubasi endotrakeal
c. Laryngeal mask airway (LMA)
2. Inhalasi dengan Respirasi kendali
a. Intubasi endotrakeal
b. Laryngeal mask airway
3. Anestesi Intravena Total (TIVA)
a. Tanpa intubasi endotrakeal
b. Dengan intubasi endotrakeal

VI. OBAT DAN CARA INDUKSI ANASTESI


Induksi anastesi adalah tindakan untuk membuat pasien yang semula sadar
menjadi tidak sadar. Induksi anastesi dapat dilakukan secara intravena, inhalasi,
intramuskular, dan rektal.
1. Induksi intravena
Induksi intravena sebaiknya dilakukan dengan perlahan dan hati-hati dan
dilakukan pada pasien yang kooperatif. Obat disuntikan dalam waktu 30 – 60
detik. Selama induksi perlu diperhatikan dan diawasi pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah, pemberian oksigen uga perlu dilakukan selama induksi
anastesi ini.

7
a. Tiopental (pentotal,tiopenton) dikemas dalam bentuk ampul 500 mg atau
1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam aquades steril sampai
kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg). Tiopental hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikkan perlahan-lahan dalam 30-60
detik. Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar
vena akan menimbulkan nyeri hebat dan jika masuk ke arteri akan
menyebabkan vasokontriksi dan nekrosis jaringan sekitar dan dianjurkan
memberikan suntikan infiltrasi lidokain. Bergantung dosis dan kecepatan
suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi,
hypnosis, anestesia atau depresi nafas. Thiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diduga dapat melindungi
otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi. Kontra
indikasinya adalah status asmatikus, syok, anemia, disfungsi hepar, dispnue
berat, asma bronchial, versi ekstraksi, miastenia gravis. Keuntungannya
adalah induksi mudah dan cepat, tidak ada delirium, masa pemulihan cepat,
tidak ada iritasi mukosa jalan nafas, sedangkan kerugiannya adalah dapat
menyebabkan depresi pernafasan, depresi kardiovaskular, cenderung
menyebabkan spasme taring, relaksasi otot perut dan bukan analgetik.
Tiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam
bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus
dikurangi. Thiopental dapat diberikan secara kontinyu pada kasus tertentu di
unit perawatan intensif, tetapi jarang digunakan untuk anestesia intavena
total.
b. Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan yang bersifat isotonic
dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Propofol menghambat transmisi
neuron yang dihantarkan oleh GABA. Suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan
lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis
rumatan untu anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intesif 0,2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan
pada wanita hamil tidak dianjurkan. Sebaiknya menyuntikkan obat anestetik
ini pada vena besar karena dapat menimbulkan nyeri pada pemberian
intravena.
8
c. Ketamin (ketalar) adalah suatu rapid acting non barbiturate general
anesthesia. Ketamin sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi,
nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan
kabur, halusinasi, dan mimpi buruk. Sebaiknya diberikan sedatif seperti
midazolam (dormikum) atau diazepam (vallum) terlebih dahulu dengan dosis
0,05-0,08 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2
mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml =
100 mg). Indikasi pemakain ketamin adalah prosedur dengan pengendalian
jalan nafas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko
tinggi, tindakan operasi sibuk dan asma. Ketamin tidak dianjurkan pada
pasien dengan hipertensi ( tekanan darah > 160 mmHg).
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dosis tinggi. Opioid tidak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia
opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan
dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2. Induksi intramuskular
Hingga saat ini obat anastesi yang dapat diberikan secara IM hanya ketamin
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3. Induksi inhalasi
Anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah menguap
(volaitile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat anestetik
yang digunakan berupa campuran gas (dengan oksigen) dan konsentrasi zat
anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam
jaringan otak akan menentukan kekuatan daya anestesi, zat anestetika disebut
kuat bila dengan tekanan parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi
yang adekuat.
1. N2O : gas tidak berwarna, tidak berbau, lebih berat dari pada udara,
dikombinasi dg O2 minimal 25%. N2O memiliki efek anastetik lemah dan
analgesik yang kuat, sehingga induksi cepat efek analgesik baik (N2O 20%)
sering digunakan pada partus. Pada akhir anastesi, ketika penggunaan N2O
dihentikan, gas ini akan dengan cepat mengisi alveoli sehingga terjadi
pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Maka untuk menghindari
9
terjadinya hipoksia, berikan O2 100% selama 5-10 menit. Penggunaan lama :
mual, muntah, lambat bangun.
2. Halothane : merupakan turunan senyawa etan, tidak berwarna, bau enak, dan
tidak mudah terbakar. Zat ini memiliki efek anelgesik lemah, relaksasi otot
yang baik dengan mencegah spasme laring, bronkus, dan menghambat
salivasi. Sehingga halotan dapat digunakan saat laringoskop intubasi. Halotan
dapat menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak, dan
bradikardi. Zat ini di absorpsi dan diekskresi melalui paru dan dimetabolisme
terutama di hepar secara oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan
asam trikloro asetat. Secara reduktif menjadi komponen fluorida yang
dikeluarkan melalui urin, metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar
bekerja keras, sehingga salah satu kontra indikasi pemeberian halotan adalah
gangguan hepar, pernah mendapatkan halotan dalam waktu kurang dari 3
bulan, dan pada pasien dengan kegemukan.
3. Enfluran : halogenasi eter tidak mudah terbakar, induksi cepat dan sedikit
eksitasi. Sekresi kelenjar saliva dan bronkus sedikit meningkat sehingga tidak
perlu atropin. Kadar tinggi, menyebabkan depresi kardiovaskular & stimulasi
SSP, harus dihindari dengan menambah kadar rendah N2O relaksasi otot
lebih baik dari pada halothane. Kadar1% + N2O + O2 dapat menurunkan
tekanan intraokuler. Efek samping menggigil ok hipotermi, gelisah, delirium,
depresi napas, kelainan ringan fgs hati. Sedian : induksi enfluran 2-4,5% +
O2 or camp N2O-O2; maintenance 0,5-3%. Enfluran yang dimetabolisme
hanya 2-8 % oleh hepar menjadi produk nonvatil yang dikeluarkan oleh urin.
Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli.induksi dan pulih lebih
cepat dibanding dengan halotan. Namun efek depresi napas lebih kuat dan
lebih iritatif dibanding halotan.
4. Isofluran (Forane) : Eter berhalogen tidak mudah terbakar. Induksi cepat,
sedikit eksitasi. Relaksasi otot polos intubasi (+). Tidak sebabkan sensitisasi
jantung sehingga resiko aritmia mengecil. Aman untuk gangguan hati dan
ginjal, stimulasi SSP negatif. Isofluran dpat menurunkan laju metabolisme
otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anastesi hiperventilasi.
5. Sevofluran : halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anastesi lebih cepat dari
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas.
10
Sevofluran memiliki efe kardiovaskular yang cukup stabil, dan jarang
menyebabkan aritmia.

VII. PENGARUH ANASTESI PADA TUBUH


1. Sistem pernapasan
Zat anastesi intravena, abar (volatil), dan opioid dapat menekan pernapasan
dan menurunkan respon terhadap CO2. Opioid dapat menurunkanlaju
pernapasan, sedangkan zat abar trikhloretilen dapat meningkatkan laju
pernapasan. Hiperkapnia dan hiperkarbia akan merangsang kemoreseptor di
badan aorta dan karotis kemudian diteruskan ke pusat napas, maka terjadilah
napas dalan dan cepat (hiperventilasi). Sebaliknya hipokapnia dan hipokarbia
menghambat kemoreseptor di badan aorta dan karotis kemudian diteruskan ke
pusat napas, makaterjadilah napas dangkal dan lambat (hipoventilasi).
2. Sistem kardiovaskular
Sebagian besar zat anastesi dapat menekan miokardium. Eter, siklopropan, dan
ketamin meningkatkan aktivitas simpatis dengan memperthankan curah
jantung selama anastesia ringan. Halotan dan enfluran menekan aktivitas
simpatis menyebabkan kontraksi jantung mwnurun dan vasodilatasi perifer.
Halotan juga dapat memperkuat aktivitas parasimpatis sehingga menyebabkan
bradikardi.
3. Ginjal
Semua obat nastetik berpotensi menganggu fungsi ginjal baik secara langsung
maupun tidak langsung akibat perubahan tekanan darah sistemik, curah
jantung, lepasan hormon, dan anti diuretik hormon (ADH), jenis cairan infus
yang sedang digunakan, gangguan sisten renin-angiotensin-aldosteron.
4. Hepar
Fungsi hepar dapat terganggu akibat nastesi umum atau regional. Penyakit
hepar dengan albumin rendah menyebabkan obat yang tidak terikat oleh
albumin menyebabkan kecenderungan dosis biasa menjadi berlebihan.
Beberapa pengecualian untuk obat nastetik intravena yang umumnya
dibersihkan oleh hepar melalui biotrabsformasi dan ekspresi empedu.

11
VIII. TATALAKSANA POST OPERATIF
1. Observasi dan monitor tanda vital (nadi, tensi, respirasi)
2. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan (tekanan darah
dan nadi cepat) atau karena hipoksia (tekanan darah turun dan nadi cepat)
misal karena perdarahan (hipovolemia).
3. Bila kesakitan beri analgetik NSAID atau Opioid.
4. Jika hipoksia cari sebabnya dan atasi penyebabnya (obstruksi jalan nafas)
karena secret/lendir atau lidah jatuh ke hipofharing).
5. Oksigen via nasal kanul 3-4 liter, selama pasien belum sadar betul tetep
diberikan.
6. Pasien dapat dikirim kembali ke bangsal atau ruangan setelah sadar, reflek
jalan nafas sudah aktif, tekanan darah dan nadi dalam batas-batas normal.
7. Pasien bisa diberi makan dan minum jika flatus sudah ada, itu bukti peristaltik
usus sudah normal.

DAFTAR PUSTAKA

Latief, S. A., Suryadi, K. A., & Dachlan, M. R. (2009). Anastesiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Munaf, S. (2008). Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.

Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. 1989. Anestesiologi. Jakarta :
CV. Info Medika

Ganiswara, Silistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology).


Alih Bahasa: Bagian Farmakologi F K U I. Jakarta

Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik (Basic Clinical


Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: Salemba Medika

12

Anda mungkin juga menyukai