Diajukan Kepada
Pembimbing
dr. Endang Widiastuti, Sp. An
dr. Meriwijanti, Sp. An, KIC
dr. Beta Raditya, Sp. An
Disusun Oleh
Putri Alfiyanti Faiza
H3A019001
Keluhan utama : Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 1 hari
SMRS
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang (10 Juni 2021)
No Kriteria Skor
1 Warna kulit Merah/normal 2
Pucat 1
Sianosis 0
2 Aktivitas motoric Gerak empat anggota tubuh 2
Gerak dua naggota tubuh 1
Tidak ada gerak 0
3 Pernapasan Napas dalam, batuk dan tangis kuat 2
Napas dangkal dan adekuat 1
Napas apneu/napas tidak adekuat 0
4 Tekanan darah Berbeda ± 20 mmHg dari pre OP
Berebeda 20-50 mmHg dari pre OP
Berbeda ± 50 mmHg dari pre OP
5 Kesadaran Sadar penuh mudah dipanggil
Bangun jika dipanggil
Tidak ada respon
6 Mual muntah Minimal (1-2x muntah)
Sedang (3-5x muntah)
Berat (muntah terus menerus)
7 Perdarahan Minimal (tidak perlu ganti balut)
Sedang (perlu ganti balut 1x)
Berat (lebih dari 3x ganti balut)
Skor >5, pasien pindah ke ruangan
TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik anestesi umum di mana induksi dan
pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan kombinasi obat-obatan anestesi
yang dimasukkan lewat jalur intra vena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. 4,5
TIVA dalam anestesi umum digunakan untuk mencapai 4 komponen penting dalam anestesi
yaitu ketidaksadaran, analgesia, amnesia dan relaksasi otot. Namun tidak ada satupun obat
tunggal yang dapat memenuhi kriteria di atas, sehingga diperlukan pemberian kombinasi dari
beberapa obat untuk mencapai efek yang diinginkan tersebut.4 Farmakokinetik barbiturat yang
digunakan sebagai anestesi intravena pertama kali tidak memenuhi kriteria ideal untuk
pemeliharaan anestesi, walaupun ditambah dengan pemberian meperidin atau morphine yang
dapat mengganggu nafas spontan pasien. Sehingga saat diperkenalkannya anestesi inhalasi
modern yang di awali oleh halothane di tahun 1956, membuat anestesiologist meninggalkan
penggunaan anestesi intra vena untuk pemeliharaan anestesi.4 Pada tahun 1975, Savege et al,
mengkombinasikan agen steroid Altesin dengan meperidine yang berguna untuk menjaga
suplemen oksigen pada pasien dengan nafas spontan. Menjadikan titik tolak perkembangan dan
ketertarikan anestesiologist terhadap tehnik TIVA, yang diikuti dengan perkembangan dan
penemuan obat lainnya seperti tiopental, metohexital, etomidat, propofol dan ketamin. Kecuali
ketamin, obat anestesi intra vena yang lain tidak mempunyai efek analgesia.4
Sifat fisik dan farmakologis anestetika intra vena yang ideal meliputi2,4 :
Beberapa keuntungan dari farmakologi TIVA bila dibandingkan dengan agen anestesi inhalasi
yaitu4 :
1. Induksi anestesi yang lebih lembut tanpa batuk ataupun cegukan
2. Mudah dalam mengendalikan kedalaman anestesi ketika menggunakan obat dengan waktu
kesetimbangan darah-otak yang singkat
3. Hampir semua agen TIVA memilki onset yang cepat dan dapat diprediksi dengan efek
hangover yang minimal
4. Angka kejadian PONV yang rendah
5. Sebagian besar menurunkan CBF dan CMRO2 sehingga ideal untuk bedah saraf
6. Tingkat toksisitas organ yang rendah
Metode pemberian obat hipnotik, analgesik dan relaksan otot yang merupakan komponen dari
TIVA dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu4 :
1. Bolus intermiten
2. Infus kontinyu menggunakan syringe infusion pumps atau sejenisnya
3. Dengan target controlled infusion system (TCI)
1. Persiapan Pra Anastesi
Kunjungan pra anastesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembadahan
baik efektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut.
Adapun tujuan pra anastesi adalah:
1. Mempersiapan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat – obat anastesi yang sesuai dengan fisik dan
kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anasthesiology):
ASA I : pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris, angka moralitas 2%.
ASA II: pasien dengan ganguan sistemik ringan dengan sedang sebagai akibat kelainan
bedah atau proses patologis. Angka moralitas 16%.
ASA III: pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas.
Angka mortalitas 38%
ASA IV : pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu
sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
2. Induksi Anastesi (TIVA)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan induksi dengan metode TIVA,
meliputi dosis induksi dan interaksi dari kombinasi obat yang digunakan. Onset efek anestesi
ditentukan oleh konsentrasi obat di otak, dapat dicapai secara cepat maupun perlahan.
Pencapaian yang cepat biasanya dapat disertai efek samping yang nyata seperti hipotensi,
bradikardia dan depresi pernafasan. Semakin besar gradien konsentrasi antara darah dan otak,
semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk tercapainya induksi anestesi.3,4 Perpindahan obat
dari darah ke effect-site terjadi melalui proses difusi sederhana dan waktu yang dibutuhkan untuk
proses perpindahan ini beragam, tergantung pada gradien konsentrasi. 4
Laju infus dosis induksi adalah salah satu penentu yang mengatur besarnya dosis induksi.
Laju infus yang bertujuan hanya untuk mendapatkan konsentrasi effect-site yang diinginkan akan
menimbulkan kehilangan kesadaran tetapi dengan onset yang lambat. Hilangnya kesadaran
hanya sesaat dan durasinya bertahan selama target konsentrasi effect-site-nya terjaga. Pada laju
infus yang cepat menyebabkan onset anestesi yang cepat dan durasi kehilangan kesadaran yang
lebih lama tetapi juga disertai efek samping yang lebih nyata karena penggunaan dosis induksi
yang lebih besar.4
Variasi pada dosis induksi ini juga dapat disebabkan perbedaan farmakokinetik dan
farmakodinamik masing-masing individu yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, cardiac
output, perokok, obat-obatan yang dikonsumsi dan penyakit yang sudah diderita sebelumnya 3,4
Dikarenakan tidak adanya obat IV yang dapat memberikan efek hipnotik, amnesia dan analgesi
sekaligus (kecuali ketamin) maka diperlukan kombinasi dari beberapa obat anestetik intra
vena.1,3,4 Sebagian besar obat IV anestesi bekerja secara sinergis di dalam kombinasinya.
Keuntungannya adalah terjadinya kedalaman anestesi yang adekuat terhadap stimuli noksius
akibat laringoskopi dan intubasi tanpa depresi kardiovaskuler yang signifikan2,3,4.
2. GOLONGAN BENZODIAZEPIN
Obat ini dapat dipakai sebagai trasqualiser, hipnotik, maupun sedative. Selain itu obat
ini mempunyai efek antikonvulsi dan efek amnesia. 10
Obat-obat pada golongan ini sering digunakan sebagai :
a. Obat induksi
b. Hipnotik pada balance anastesi
c. Untuk tindakan kardioversi
d. Antikonvulsi
e. Sebagai sedasi pada anastesi regional, local atau tindakan diagnostic
f. Mengurangi halusinasi pada pemakaian ketamin
g. Untuk premedikasi10
a. Diazepam
Karena tidak larut air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organic (propilen
glikol dan sodium benzoate). Karena itu obat ini bersifat asam dan menimbulkan
rasa sakit ketika disuntikan, trombhosis, phlebitis apabila disuntikan pada vena
kecil. Obat ini dimetabolisme di hepar dan diekskresikan melalui ginjal. 2
Obat ini dapat menurunkan tekanan darah arteri. Karena itu, obat ini digunakan
untuk induksi dan supplement pada pasien dengan gangguan jantung berat. 2
Diazepam biasanya digunakan sebagai obat premedikasi, amnesia, sedative, obat
induksi, relaksan otot rangka, antikonvulsan, pengobatan penarikan alcohol akut
dan serangan panic.
Awitan aksi : iv < 2 menit, rectal < 10 menit,
oral 15 menit-1 jam
Lama aksi : iv 15 menit- 1 jam, PO 2-6 jam
Dosis :
Premedikasi : iv/im/po/rectal 2-10 mg
Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg BB
Induksi : iv 0,3-0,6 mg/kg
Antikonvulsan : iv 0,05-0,2 mg/kg BB setiap 5-10 menit dosis maksimal 30
mg, PO/rectal 2-10 mg 2-4 kali sehari
Efek samping obat :
Menyebabkan bradikardi dan hipotensi
Depresi pernapasan
Mengantuk, ataksia, kebingungan, depresi,
Inkontinensia
Ruam kulit
DVT, phlebitis pada tempat suntikan
b. Midazolam
Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan anteretrogad
amnesia. Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya 1,5-3x diazepam.
Obat ini menembus plasenta, akan tetapi tidak didapatkan nilai APGAR kurang
dari 7 pada neonatus. 10
Dosis :
Premedikasi : im 2,5-10 mg, Po 20-40 mg
Sedasi : iv 0,5-5 mg
Induksi : iv 50-350 µg/kg
Efek samping obat :
Takikardi, episode vasovagal, komplek ventrikuler premature, hipotensi
Bronkospasme, laringospasme, apnea, hipoventilasi
Euphoria, agitasi, hiperaktivitas
Salvasi, muntah, rasa asam
Ruam, pruritus, hangat atau dingin pada tempat suntikan
3. PROPOFOL
Merupakan cairan emulsi isotonic yang berwarna putih. Emulsi ini terdiri dari
gliserol, phospatid dari telur, sodium hidroksida, minyak kedelai dan air. Obat ini
sangat larut dalam lemak sehingga dapat dengan mudah menembus blood brain barier
dan didistribusikan di otak. Propofol dimetabolisme d hepar dan ekskresikan lewat
ginjal.10
Penggunaanya untuk obat induksi, pemeliharaan anastesi, pengobatan mual muntah
dari kemoterapi
Dosis :
Sedasi : bolus, iv, 5-50 mg
Induksi : iv 2-2,5 mg/kg
Pemeliharaan : bolus iv 25-50 mg, infuse 100-200 µg/kg/menit, antiemetic iv
10 mg
Pada ibu hamil, propofol dapat menembus plasenta dan menyebabakan depresi janin.
Pada sistem kardiovaskuler, obat ini dapat menurunkan tekanan darah dan sedikit
menurunkan nadi. Obat ini tidak memiliki efek vagolitik, sehingga pemberiannya bisa
menyebabkan asystole. Oleh karena itu, sebelum diberikan propofol seharusnya
pasien diberikan obat-obatan antikolinergik.
Pada pasien epilepsi, obat ini dapat menyebabkan kejang.
4. KETAMIN
Obat ini mempunyai efek trias anastesi sekaligus. Pemberiannya menyebabkan pasien
mengalami katalepsi, analgesic kuat, dan amnesia, akan tetapi efek sedasinya ringan.
Pemberian ketamin dapat menyebakan mimpi buruk.
Dosis
Sedasi dan analgesia : iv 0,5-1 mg/kg BB, im/rectal 2,5-5 mg/kg BB, Po 5-6
mg/kg BB
Induksi : iv 1-2,5 mg/kg BB, im/ rectal 5-10 mg/kg BB
Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, kerana itu pemberian ketamin berbahaya
bagi orang-orang dengan tekanan intracranial yang tinggi. 10
Pada kardiovaskuler, ketamin meningkatkan tekanan darah, laju jantung dan curah
jantung.
Dosis tinggi menyebabkan depresi napas.
Kontraindkasi :
Hipertensi tak terkontrol
Hipertroid
Eklampsia/ pre eklampsia
Gagal jantung
Unstable angina
Infark miokard
Aneurisma intracranial, thoraks dan abdomen
TIK tinggi
Perdarahan intraserebral
TIO tinggi
Trauma mata terbuka
5. OPIOID
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dalam dosis
tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskulet, sehingga banyak digunakan untuk
induks pada pasien jantung.11
a. Morfin
Penggunaanya untuk premedikasi, analgesic, anastesi, pengobatan nyeri yang
berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang berkaitan dengan kegagalan
ventrikel kiri dan edema paru.
Dosis :
Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-20 mg
setiap 4 jam
Induksi : iv 1 mg/kg
Awitan aksi : iv < 1 menit, im 1-5 menit
Lama aksi : 2-7 jam
Efek samping obat :
Hipotensi, hipertensi, bradikardia, aritmia
Bronkospasme, laringospasme
Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia
Retensi urin, spasme ureter
Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah, penundaan
pengosongan lambung
Miosis
b. Petidin
Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen sedasi
sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun tidak seefektif
morfin sulfat, untuk menghilangkan ansietas pada pasien dengan dispnea karena
acute pulmonary edema dan acute left ventricular failure.
Dosis
Oral/ IM,/SK :
Dewasa :
Dosis lazim 50–150 mg setiap 3-4 jam jika perlu,
Injeksi intravena lambat : dewasa 15–35 mg/jam.
Anak-anak oral/IM/SK : 1.1–1.8 mg/kg setiap 3–4 jam jika perlu.
Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 – 100 mg IM/SK
Petidin dimetabolisme terutama di hati
Kontraindikasi
Pasien yang menggunakan trisiklik antidepresan dan MAOi. 14 hari
sebelumnya (menyebabkan koma, depresi pernapasan yang parah,
sianosis, hipotensi, hipereksitabilitas, hipertensi, sakit kepala, kejang)
Hipersensitivitas.
Pasien dengan gagal ginjal lanjut
Efek samping obat
Depresi pernapasan,
Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi, rasa
mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan, kejang,
Pencernaan : mual, muntah, konstipasi,
Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural,
Reproduksi, ekskresi & endokrin : retensi urin, oliguria.
Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia, tremor
otot, pergerakan yg tidak terkoordinasi, delirium atau disorintasi,
halusinasi.
Lain-lain : berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit
Peringatan
Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn akan memperlama
kerja & efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada depresi sistem saraf
pusat yg parah, anoreksia, hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang,
cedera kepala, tumor otak, asma bronchial
c. Fentanil
Digunakan sebagai analgesic dan anastesia
Dosis :10
Analgesic : iv/im 25-100 µg
Induksi : iv 5-40 µg/ kg BB
Suplemen anastesi : iv 2-20 µg/kg BB
Anastetik tunggal : iv 50-150 µg/ kg BB
Awitan aksi : iv dalam 30 detik, im < 8 menit
Lama aksi : iv 30-60 menit, im 1-2 jam
Efek samping obat :
Bradikardi, hipotensi
Depresi saluran pernapasan, apnea
Pusing, penglihatan kabur, kejang
Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat
Miosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Bajwa, et al. 2010. Comparison of two drug combinations in TIVA: propofol-ketamine and
propofol-fentanyl. Saudi Journal of Anaesthesia. www.saudija.org
2. White, FP. Eng,MR. 2009. Intravenous Anesthetics. In: Barash, et al (ed). Clinical Anesthesia,
6th edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
3. Reves, JG, et al. 2010. Intravenous Anesthetics. In: Miller, RD. (eds) miller’s Anesthesia, 7th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders
4. Aun, T. et al. 2013. Total intravenous anaesthesia using target controlled infusion. A pocket
reference. College of anesthesiologists. Academy of Medicine of Malaysia.
5. Sear, J. 2008. Total Intravenous Anesthesia. In: Longnecker, et al (eds). Anesthesiology. USA.
Mc Graw Hill
6. Masui K, et al. 2010. The Performance of Compartmental and Physiologically Based
Recirculatory Pharmacokinetic Models for Propofol: A Comparison Using Bolus, Continuous,
and Target-Controlled Infusion Data. In: Anesthesia and Analgesia. Vol. 111. International
Anesthesia Research Society.
7. Yuil, G. Simpson, M. 2002. An introduction to total intravenous anaesthesia. British Journal
of Anaesthesia. Vol. 2. No. I.
8. Stoelting, RK. Hillier, SC. 2006. Barbiturates. In: Handbook of Pharmacology and Physiology
in Anesthetic Practise. 2nd ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
9. Butterworth, JF. Mackey, DC. Wasnick, JD. 2013. Morgan and Mikhail”s Clinical
Anesthesiology. USA. Lange Mc Graw Hill.
10. Soenarjo, Sp. An., Djatmiko, H, Sp. An. 2010. Anestesiologi. FK UNDIP
11. Latief, S., Suryadi, K., Dachlan, R., 2001. Petunjuk Praktis Anastesiologi. FK UI