Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTHESIA PADA


OPERASI TONSILEKTOMI PASIEN
TONSILITIS KRONIS HIPERTROFI

DISUSUN OLEH :

Sri Wulan Dari 102122051

PEMBIMBING :
dr. Rahmadius Eka Santoso, Sp.An
dr. Indra Nur Hidayat, Sp.An
dr. Mhd. Mustafa Lubis, Sp.An-TI
dr. Irdhon Husni, Sp. An, TI, M.K

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESI


DAN TERAPI INTENSIF RUMAH SAKIT HJ. BUNDA
HALIMAH KOTA BATAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
BAB I PENYAJIAN KASUS............................................................................
A. Identitas......................................................................................................
B. Anamnesis..................................................................................................
C. Pemeriksaan TTV.......................................................................................
D. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................
E. Diagnosa Akhir...........................................................................................
F. Tatalaksana.................................................................................................
G. Kunjungan PraAnestesi……………………………………………….4
H. Laporan Anestesi .......................................................................................
I. Monitoring .................................................................................................
J. Ruang Recovery...........……………………………………………….7
K. Pasca Pembedahan ....................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................


A. Tonsilitis.....................................................................................................
B. Manajemen Anestesi pada Bedah Tonsil.................................................

BAB III PEMBAHASAN………………………………………………...21


DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENYAJIAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. NC
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Umur : 02 Januari 2011 / 12 tahun
Agama : Buddha
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Baloi Kolam Blok D RT 10 RW 16
Tanggal Masuk RS
Tanggal Operasi
Diagnosa : Tonsilitis Kronik Hipertropi
Macam Operasi : Tonsilektomi
Macam Anestesi : General Anesthesia
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Pasien merasa mengganjal di tenggorokan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS HJ Bunda Halimah dengan
keluhan merasa mengganjal di tenggorokan, nyeri pada saat
menelan dan sulit bernafas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu : Disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal

5. Riwayat Alergi : Disangkal

C. Pemeriksaan Fisik Tanda-Tanda Vital


1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. GCS : (E4V5M6)
4. BB : 27 kg
1
5. TB : 120 cm
6. Tekanan Darah : 129/87 mmHg
7. Nafas : 20 x/menit
8. Nadi : 97 x/menit
9. Suhu : 36,4C
10. Saturasi O2 : 99%

Status Generalis
1.Kulit : Warna kulit putih, Ikterik (-), sianosis (-)
2.Kepala : Normocephali (+)
3.Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya konsensual
(+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
4.Hidung : Rinorhea (-), edema mukosa (-), sekret (-)
5.Mulut : Stomatitis (-), sianosis (-)
6.Tenggorokan: Tonsil (T4/T3), Detritus (-/-), Kripta melebar (+/+).
7.Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
8.Dada : Datar, simetris saat statis dan dinamis
9.Jantung : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
10. Paru : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing(-/-)
11. Abdomen
Inspeksi : tampak benjolan/massa (-), distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien teraba (+)
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
12. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

2
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin (04/07/2023)
JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN
NORMAL
HEMATOLOGI
Darah rutin
Hemoglobin 11,5 11,5-14,5 g/dL
Hematokrit 36,1 (L) 37-45 %
Eritrosit 5,9 (H) 3,95-5,44 10^6/ul
Leukosit 5,71 5-11 10^3/ul
Trombosit 363 150-400 10^3/ul
MCV 61,1(L) 77-91 fL
MCH 19,5(L) 24-30 pg
MCHC 31,9(L) 32-36 g/dL
RDW-CV 16,8(H) 11,5-14,5 %

Golongan darah O
Rhesus Positif
Homeostasis
Waktu Perdarahan (BT) 1 1-3 menit
Waktu Pembekuan (CT) 11 5-15

menit

Kimia Darah
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 102 <180 mg/dl

Imunoserologi
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
Anti-HIV Non Reaktif Non Reaktif

2. Foto Rontgen Thorax


Kesan : Suspect Bronkitis.

3
E. Diagnosis Akhir
Tonsilitis Kronik Hipertropi

F. Tatalaksana
Tonsilektomi

G. Kunjungan Pra Anestesi

1. Penentuan status ASA : 1 / 2 / 3 / 4 / 5 E


2. Persiapan Pra Anestesi: Pasien telah diberikan Informed
Consent
3. Persiapan operasi :
 Puasa 6 jam
 Pemeriksaan Laboratorium Darah rutin, masa pembekuan,
masa perdarahan
 Surat persetujuan tindakan operasi

H. Laporan Anestesi Pasien


1. Diagnosis pra-bedah : Tonsilitis Kronik Hipertropi
2. Diagnosis post-bedah : Post Tonsilektomi
3. Jenis pembedahan : Tonsilektomi
4. Jenis anestesi : Anestesi Umum
5. Teknik anestesi : Balanced Anestesi
6. Medikasi : Ondansentron 4 mg, Dexketoprofen
50 mg, Paracetamol 1 gr
7. Anestesi umum : Sedacum 2 mg, Fentanyl 100 mcg.
Propofol 8 0 mg, Atracurium 10 mg,
Sevoflurane
8. Jumlah cairan
• Input: RL 1000 ml
• Output: Perdarahan 30 ml
4
9. Respirasi: ETT
10.
• BB ideal = (usia anak dalam tahun x 7 - 5) : 2
= 79 : 2 = 39,5 kg
• EBV= 27 X 80 = 2160 mL
• ABL = (Ht pasien – ABL target) x EBV x 3 : 100%
= (36,1- 24) x 2160 x 3 : 100 %
= 12,1 x 2160 x 3 : 100%= 748,08 ml
• Maintenace:10kg pertama = 10 x 100 ml= 1000ml
10kg kedua = 10 x 50 ml= 500 ml
sisa 7kg = 7 x 20 ml = 140 ml
Total= 1640 ml/hari = 68,33 ml/jam
• Stress OP= BB x jenis OP(sedang = 4)= 27 x 4= 108ml
• Puasa = 07.00 – 13.00 = 6 jam
• P = M x Lama Puasa (jam) = 68,33 x 6 = 409,98 ml
• Kebutuhan cairan 1 jam pertama
= 1/2 P + M + SO = 1/2 . 409,98 + 68,33 + 108
= 204,99 + 68,33 + 108 = 381,32 ml
• Kebutuhan cairan 2-3 jam selanjutnya
= 1/4 P + M + IWL = 1/4 . 409,98 + 68,33 + 108
= 102,5 + 68,33 + 108 = 278,83 ml
i.

5
I. Monitoring

Jam TTV Keterangan


2. 50 /85 mmHg  Pasien masuk kamar operasi
Nadi RR 100 x/menit  Pasien dipasang Tensi Meter
SpO2 x/menit dan Oxymetri
%  Perbaikan infus

3.00 30/91mmHg  Pemasangan sungkup


Nadi RR 8 5 x/menit  Sevoflurane (induksi inhalasi)
SpO2 x/menit
100 %

3.02 30/91mmHg 85x/menit  Injeksi obat induksi Sedacum


Nadi RR 22x/menit
SpO2 100 %

3.03 30/91 mmHg  Injeksi obat induksi Fentanyl


Nadi 85x/menit dan Propofol
20x/menit
O2 98%
3.06 26/88 mmHg  Injeksi obat induksi
Nadi 93x/menit Atracurium
21x/menit
SpO2 98%
3.09 26/88mmHg  Tindakan intubasi
Nadi 93x/menit menggunakan ETT
20x/menit
SpO2 99%
13.10 18/79mmHg  Fiksasi pipa
Nadi 83x/menit
22x/menit
SpO2 100%
13.28 23/87mmHg  Operasi dimulai
Nadi 92x/menit
21x/menit
SpO2 100%
13.35 17/73mmHg  Operasi berlangsung
Nadi 82x/menit
20x/menit
SpO2 %
13.55 28/69mmHg  Operasi berlangsung
Nadi 78x/menit
21x/menit
SpO2 %
14.10 31/81mmHg  Operasi berlangsung
Nadi 90x/menit
22x/menit
SpO2 100%

6
14.20 TD 120/89mmHg  Operasi selesai
Nadi 92x/menit
RR 20x/menit
SpO2 98%
14.30 TD 130/94mmHg  Tindakan Ekstubasi
Nadi 99x/menit
RR 20x/menit
SpO2 100%
14.35 TD 127/86mmHg  Melepaskan tensi meter dan
Nadi 90x/menit oximeter dari pasien
RR 20  Menghentikan aliran infus
SpO2 98%  Pasien keluar kamar operasi

J. Ruang Recovery
1)Masuk Jam: 14.40 WIB
2)Keadaan Umum: (Pasien masih terbius)
3)Tanda vital :
 TD : 130/86 mmHg
 Nadi: 97 x/ menit
 T : 36,5°C
 SpO2 : 99%
4)Pernafasan : Dengan NRM (10 lpm)
5)Instruksi Post Operasi :
 Bila kesakitan : Dexketoprofen 50 mg
 Bila mual/ muntah : Ondansentron 4 mg
 Infus : RL 20 tpm
 Monitoring tensi, nadi, nafas, setiap 15 menit dalam 2 jam

7
K. Pasca Pembedahan
Perawatan di ruang rawat inap
Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan
07/07/2023 S: Pasien mengatakan nyeri P:
(10.00) menelan (+), pusing (-), mual (-), • Bila kesakitan :
muntah(-) Dexketoprofen 50 mg
• Bila mual/ muntah :
O: Ondansentron 4 mg
KU : Baik • Infus : RL 20 tpm
Kes : CM
TD : 117/73 mmHG
HR : 87x/menit
RR : 20 x/menit
SpO2: 98%
Tonsil: T0/T0

A : Post Tonsilektomi

P: Pasien dizinkan pulang

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan
bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis dapat disebabkan oleh virus
seperti Epstein barr, hemofilus influenza, maupun coxschakie. Tonsilitis
dapat pula disebabkan oleh bakteri yaitu Streptocuccus Bhemolyticus,
pneumocuccus, Streptocuccus viridian, dan Streptocuccus piogenes.
Corynebaterium diphteriae merupakan penyebab tonsillitis diphteriae.
Tonsillitis kronis disebabkan oleh serangan berulang tonsilitis akut yang
mengakibatkan fase resolusi tidak sempurna sehingga terdapat kerusakan
permanen pada tonsil. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada
jaringan tonsil adalah Streptococcus  hemolyticus group A.
Mikroorganisme masuk ke tonsil melalui kripte-kripte secara
aerogen (droplet yang mengandung kuman terhirup hidung ke nasofaring
dan tonsil), maupun secara foodborne, yaitu melalui mulut bersama
makanan. Mikroorganisme akan dihancurkan oleh makrofag dan sel
polimorfonuklear. Jika infeksi tonsil terjadi berulang, tonsil tidak bisa
membunuh semua mikroorganisme, akibatnya mikroorganisme akan
bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari
tonsil berubah menjadi sarang infeksi (tonsil sebagai fokal infeksi).
Sewaktu-waktu, kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh, misalnya saat
keadaan umum menurun.
Tonsilitis disebut akut apabila gejala pertama kali muncul kurang
dari 14 hari. Tonsilitis disebut kronis apabila keluhan telah ada lebih dari
tiga bulan. Sedangkan tonsilitis akut rekuren terjadi apabila infeksi
dengan gejala akut terjadi paling sedikit 4-7 kali dalam satu tahun
terakhir, lima kali dalam dua tahun terakhir, atau tiga kali dalam tiga
tahun terakhir (Soepardi, dkk., 2012).
9
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina
seutuhnya bersama jaringan patologisnya, sehingga fossa tonsilaris bersih
tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada jaringan sekitarnya seperti
uvula dan pilar. Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of
Otolaryngoloy-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)

Tabel I.1 Indikasi Tonsilektomi

B. Manajemen Anestesi pada Bedah Tonsil


Anestesi umum dilakukan pada prosedur tonsilektomi anak dan
dewasa yang tidak kooperatif. Anestesi lokal dapat dilakukan pada pasien
dewasa dengan dokter bedah yang terampil atau pasien dewasa yang
tidak memungkinkan untuk menjalani anestesi umum. Adapun anestesi
yang ideal pada tonsilektomi meliputi (Rehatta, dkk., 2019):
• Induksi anestesi yang halus dan atraumatik.
• Manajemen jalan napas yang baik selama pembedahan.
• Analgesia pascabedah yang baik.
• Pencegahan mual dan muntah pascabedah yang baik (PONV).
• Pemulihan anestesi yang halus dan cepat sehingga
memungkinkan pemulihan refleks proteksi jalan napas,
menghindari komplikasi obstruksi jalan napas, dan depresi
pernapasan.

10
1. Evaluasi Preanestesi
Pada evaluasi preanestesi pasien adenotonsilektomi, usia pasien
penting diperhatikan (kelompok usia anak), status fisik American
Society of Anesthesiologists, ada tidaknya episode infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) berulang, komorbid, dan sindrom lain yang
mungkin menyertai. Komplikasi pernapasan pascabedah yang tidak
diinginkan lebih sering terjadi pada pasien usia muda, pasien dengan
komorbid medis, sindrom OSA, dan infeksi pernapasan berulang.
Adanya demam atau batuk produktif bisa menjadi pertimbangan
untuk menunda pembedahan atau pembedahan tetap berjalan dengan
pengawasan pascabedah yang lebih ketat. Perhatian khusus harus
diberikan pada pasien dengan riwayat kecenderungan perdarahan
dan mudah memar (Rehatta, dkk., 2019).
Obstruksi jalan napas kronis di orofaring akibat hipertrofi tonsil
dapat menyebabkan OSA. Saat ini, terdapat kecenderungan
peningkatan jumlah pasien adenotonsilektomi anak dengan gejala
obstruktsi jalan napas atas serta sindrom OSA. OSA pada anak hadir
dengan gejala yang jauh berbeda dibandingkan orang dewasa.
Kantuk pada siang hari dan obesitas biasanya terlihat pada orang
dewasa. Pada anak-anak, dapat terlihat gangguan tumbuh kembang,
perilaku, dan gangguan belajar di sekolah. Pada keadaan lanjut, OSA
dapat menimbulkan hipertrofi ventrikel kanan, kardiomegali,
sindrom kor pulmonal, dan hipertensi pulmonal (Bangera, 2017).
2. Persiapan Anestesi
• Anti-Ansietas
Hindari pemberian ansiolitik untuk anak-anak
dengan OSA yang akan menjalani adenotonsilektomi bila
memungkinkan. Sering kali, teknik distraksi (misalnya

11
mainan, video, komputer tablet, perangkat virtual reality,
musik, stiker, dan kehadiran orangtua selama induksi
anestesi) dapat menggantikan obat ansiolitik. Anak-anak
dengan OSA harus dipantau dengan oksimeter denyut
kontinu bila diberi premedikasi. Efek residual dari
premedikasi dapat menetap, terutama setelah prosedur
bedah yang relatif singkat seperti tonsilektomi, dan
berpotensi memperburuk komplikasi pernapasan
pascabedah serta memperpanjang masa pemulihan (Rehatta,
dkk., 2019).
• Analgesik
Analgesik nonopioid dapat diberikan sebelum
pembedahan atau intraoperatif, dengan teknik multimodal
analgesia. Tujuan pemberian prabedah adalah untuk
memastikan bahwa kadar analgesik di darah memadai pada
akhir prosedur. Asetaminofen dapat diberikan melalui rute
oral sebelum operasi, setelah induksi melalui rute IV atau
rektal, dengan dosis berdasarkan berat badan atau usia
(Rehatta, dkk., 2019).
• Posisi
Tonsilektomi dilakukan dalam posisi supine standar
dengan ekstensi leher (posisi Rose). Kepala dan leher
diganjal dengan bantalan kecil. Perlu diwaspadai bahwa
ekstensi leher dapat mengubah posisi pipa endotrakeal dan
menyebabkan pasien tidak sengaja terekstubasi, terutama
pada pasien anak (Jaffe, Schmiesing, Golianu, 2014).

12
Gambar II.1 Rose position
• Profilaksis PONV
Post operative nausea and vomiting (PONV) dapat
terjadi pada 60-70% anak-anak yang tidak mendapat
antiemetik profilaksis. Dengan pemberian profilaksis
deksametason (0,1-0,5 mg/kg IV, dosis maksimum 4 mg)
dan antagonis serotonergik (ondansetron 0,1 mg/ kg IV,
dosis maksimum 4 mg) kejadian PONV dapat berkurang
menjadi kurang dari 25% (Barash, et al., 2013).
3. Manajemen Jalan Napas
Teknik anestesi yang dianjurkan untuk tonsiloadenoidektomi
adalah anestesi umum dengan pemasangan pipa endotrakeal.
Pemakaian pipa endotrakeal memastikan jalan napas terjaga baik,
dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah, dan saturasi
oksigen bisa dijaga.
Pemakaian pipa endotrakeal Ring Adair Elwyn tubes south pole
(RAE tube) yang ditempatkan di midline dapat memberikan akses
bedah yang baik, selain menjaga jalan napas tetap baik. Kerugian
penggunaan intubasi trakeal adalah perlunya pemakaian pelumpuh
otot dan level anestesi yang lebih dalam, adanya risiko terekstubasi
akibat hiperekstensi leher, dan risiko intubasi endotrakeal. Untuk
menghindari perdarahan pascabedah, dilakukan ekstubasi dalam
meskipun ekstubasi sadar juga dapat dilakukan (Bangera, 2017).
Supraglottic airway devices atau laryngeal mask airway (LMA)
dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai pengganti pipa
endotrakeal pada bedah tonsiloadenoidektomi. Keuntungan LMA
dibanding ETT adalah risiko stridor pascabedah lebih rendah.
Obstruksi saluran napas pascabedah juga lebih sedikit terjadi. LMA
13
merupakan alat bantu jalan napas yang baik dan tidak atau lebih
sedikit membutuhkan pelumpuh otot. LMA dieksersikan dengan cuff
yang masih sedikit mengembang sehingga isi mulut dapat terhindar
masuk ke trakea. Pemakaian LMA untuk tonsiloadenoidektomi
membutuhkan beberapa perhatian khusus di antaranya (Barash, et
al., 2013):
• Pemberian ventilasi tekanan positif dapat meningkatkan
risiko regurgitasi isi lambung bila tahanan jalan napas besar
dan komplians paru rendah.
• Pemasangan LMA akan sulit dilakukan pada pasien dengan
pembesaran tonsil.
• LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar.
• Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus
disesuaikan dengan risiko yang mungkin terjadi dan
pengambilan keputusan harus berdasarkan pertimbangan
per individu.
4. Anestesi Umum
Pasien dibaringkan di meja operasi. Pasang elektroda dada untuk
memonitor EKG (bila tidak ada dapat menggunakan stetoskop
precordial). Manset pengukur tekanan darah dipasang di lengan dan
infus terpasang di tangan. Pada pasien anak yang akses venanya sulit
dicari, dapat dilakukan induksi inhalasi karena anestetik inhalasi
menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial sehingga infus
akan lebih mudah. dipasang setelah anak tidur (Rehatta, dkk., 2019).
Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan
dengan halotan atau sevofluran dengan oksigen dan nitrit oksida.
Kehadiran orangtua di ruang operasi selama induksi inhalasi bisa
membantu menenangkan anak yang gelisah. Intubasi endotrakea
dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu dengan
pelumpuh otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari

14
masuknya darah selama dan setelah pembedahan ke trakea, jika ETT
tidak memiliki cuff, perlu dilakukan pemasangan pack dengan
meletakkan kasa bedah di daerah supraglotik tepat di atas pita suara
dan sekitar pipa endotrakeal. Selama pemeliharaan anestesi,
pernapasan dapat dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
Antisialagogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan
sekresi di lapangan operasi. Setelah operasi selesai, faring dan trakea
dibersihkan (suction), diberi oksigenasi, dan pasien diekstubasi.
Setelah ekstubasi, oropharyngeal airway dipasang dan oksigenasi
dilanjutkan dengan sungkup (Rehatta, dkk., 2019).
Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sadar dan refleks proteksi
jalan napas sudah pulih. Ekstubasi juga dapat dilakukan saat pasien
masih dalam anestesi dalam. Pemberian lidokain 1-1,5 mg/kg IV
bisa mengurangi risiko batuk dan laringospasme saat ekstubasi
(Jaffe, Schmiesing, Golianu, 2014). Deksmedetomidin mungkin
memiliki peran definitif dalam pencegahan agitasi pasca-
tonsilektomi. Deksmedetomidin dengan dosis 0,25-0,38 μg/kg dapat
memberikan hemodinamik intraoperatif yang stabil dan dapat
mencegah munculnya agitasi akibat sevofluran dan desflurane
(Bangera, 2017).
5. Pemantauan Selama Operasi
Selama pembedahan, pemantauan yang harus dilakukan antara
lain (Rehatta, dkk., 2019):
• Memastikan jalan napas tetap bebas, posisi ETT baik dan
tidak mengganggu operasi. 2. Pernapasan dan gerak dada
cukup.
• Saturasi oksigen di atas 95%.
• Denyut nadi teratur.
• Pemantauan jumlah perdarahan dan cairan infus yang
masuk.

15
Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk tata laksana
obstructive sleep apnea, ketersediaan pulse oxymetry pascabedah
merupakan keharusan. Begitu juga pasien dengan sindrom Down
yang bisa mengalami depresi susunan saraf pusat untuk waktu yang
lama setelah anestesi umum pasca-tonsilektomi.
6. Perawatan Pascabedah
Tonsilektomi dan adenoidektomi termausk jenis operasi yang
umum dijalankan pada pelayanan rawat jalan THT. Walaupun
sebagian besar tonsilektomi berjalan lancar dan mulus, komplikasi
yang mengancam jiwa dapat terjadi. Perdarahan adalah komplikasi
yang paling umum setelah tonsilektomi.
Anak-anak dengan gangguan tidur dan obstructive sleep apnea
(OSA) mengalami peningkatan risiko kematian dan/atau cedera
neurologis permanen akibat episode apnea pada periode pascabedah.
Anak-anak ini memiliki respons ventilasi abnormal terhadap kondisi
hipoksia dan hiperkarbia. Respons ini membutuhkan waktu beberapa
minggu untuk pulih setelah penyebab obstruksi disingkirkan.
Diperlukan pemantauan ventilasi dan oksigenasi anak dengan
riwayat OSA pasca-anestesi umum dan pemberian opioid sebagai
analgesik pascabedah. Anak-anak yang memiliki risiko tinggi
komplikasi pascabedah (usia <3 tahun, berat badan <18 kg, sindroma
Down, gangguan neuromuskuler, anomali saluran napas, dan/atau
riwayat OSA berat) dapat dirawat pascabedah untuk observasi pasca-
tonsilektomi (Rehatta, dkk., 2019).
7. Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dapat dilakukan
dengan anestesi umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang
ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah
dan anestesi.
• Komplikasi Anestesi

16
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000
pasien yang menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi.
Komplikasi yang dapat ditemukan adalah laringospasme,
gelisah pascabedah, mual, muntah, hipotensi, henti jantung
akibat induksi pada kondisi hipovolemi, dan
hipersensitivitas terhadap obat anestesi (Rehatta, dkk.,
2019).
• Komplikasi Bedah
Perdarahan, merupakan komplikasi yang paling
sering terjadi (0,1-8,1% dari jumlah kasus). Perdarahan
dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi, atau di
rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000
pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali masuk ke
rumah sakit dan 1 dari 100 membutuhkan transfusi darah.
Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
meninggal, baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi. Perdarahan yang
terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early
bleeding, perdarahan primer, atau reactionary haemorrage
dengan kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang
tidak adekuat selama operasi. Perdarahan primer sangat
berbahaya karena terjadi sewaktu pasien masih dalam
pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah
dapat menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia.
Perdarahan juga dapat menyebabkan keadaan hipovolemik
bahkan syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut
late/ delayed bleeding atau perdarahan sekunder, pada
umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan
sekunder ini jarang terjadi, yaitu hanya sekitar 1% dari total
seluruh pasien. Penyebabnya belum dapat diketahui secara

17
pasti, diperkirakan karena infeksi sekunder pada fosa
tonsilar sehingga menyebabkan kerusakan pembuluh darah
dan perdarahan atau akibat trauma makanan yang keras
(Barash, et al., 2013).
Nyeri, yang dirasakan pasca-tonsilektomi pada anak
merupakan hal yang sulit dicegah karena daerah orofaring
dan fossa peritonsiler merupakan daerah sensitif nyeri,
dipersarafi oleh cabang nervus trigeminal dan nervus
glossofaringeus. Nyeri pascabedah muncul karena
kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau
inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan
iskemia. Siklus nyeri akan berlanjut sampai otot kembali
diliputi oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi
(Bangera, 2017). Blok peritonsiller mampu memblok
rangsang nyeri pascabedah hingga 24 jam pascabedah. Blok
glosofaringeal berbahaya untuk dilakukan pada pasien anak
pasca-tonsilektomi karena dapat terjadi obstruksi napas
akibat blok nervus laringeus rekuren dan blok nervus vagus
yang tidak disengaja. Opioid masih menjadi standar emas
pada penanganan nyeri sedang dan berat. Dosis tunggal
morfin untuk analgesik pasca-tonsilektomi dilaporkan dapat
meningkatkan risiko PONV. Analgesia nonopioid tambahan
seperti asetaminofen memiliki opioid sparing effect dan
dapat menurunkan kebutuhan opioid, serta efek samping
opioid. Analgesia yang biasa diberikan adalah oksikodon
(0,1-0,2 mg/kg PO setiap 3-4 jam), hidrokodon (0,5 mg/kg
PO setiap 3-4 jam), dan tramadol (1-2 mg/ kg setiap 4-6
jam) dapat dikombinasikan bersama asetaminofen dan atau
NSAID selama 1-3 hari (David & Cladys, 2017).
Komplikasi lain berupa Dehidrasi, demam, kesulitan

18
bernapas, gangguan suara, aspirasi, otalgia, pembengkakan
uvula, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi, dan
pneumonia (Randel, 2011).
8. Perdarahan Pasca-Tonsilektomi dan Anestesi
Perdarahan pasca-tonsilektomi adalah keadaan darurat bedah
dan merupakan tantangan signifikan bagi dokter anestesi. Masalah
anestesi yang dihadapi pada perdarahan pasca-tonsilektomi adalah
(Rehatta, dkk., 2019):
• Hipovolemia
Masalah utama sebelum induksi anestesi adalah
identifikasi dan koreksi hipovolemia yang berhubungan
dengan perdarahan tonsil. Jumlah perdarahan sulit
diprediksi karena seba- gian besar darah dapat tertelan dan
darah yang muntah sulit untuk diperkirakan. Pusing dan
hipotensi ortostatik menunjukkan gejala hipo- volemia.
Pasien hipovolemik berisiko tinggi mengalami hipotensi
selama induksi anestesi.
• Lambung penuh
Sebagian besar darah tertelan, sehingga pasien ini
memiliki lambung penuh dan berisiko aspirasi.
• Intubasi sulit
Meskipun intubasi untuk prosedur tonsilektomi
sebelumnya berjalan lancar, intubasi endotrakeal pada
perdarahan pasca-tonsilektomi dapat sulit karena adanya
pembengkakan jaringan dan darah di orofaring.
• Anemia
Tergantung pada banyaknya kehilangan darah.

Manajemen Anestesi untuk Perdarahan Pasca-Tonsilektomi antara


lain (Rehatta, dkk., 2019):
• Evaluasi preoperative
19
Bila memungkinkan, tinjau ulang catatan anestesi
sebelumnya, termasuk perincian manajemen saluran napas,
tanda-tanda vital, adanya hipotensi ortostatik, dan riwayat
medis.
• Persiapan
Personel anestesi tambahan harus dipanggil untuk
membantu tindakan. Laringoskop; stylet, pipa endotracheal
(ETT) dengan berbagai ukuran; dan alat isap harus
disiapkan dalam jumlah rangkap dua karena darah dapat
menyumbat pipa atau menutupi sumber cahaya laringoskop.
Monitor rutin harus digunakan, termasuk tekanan darah
non-invasif, elektrokardiogram, dan oksimeter denyut.

• Akses intravena (IV)


Akses IV harus dipastikan sebelum induksi anestesi
dan jika perlu, resusitasi volume yang kuat dengan larutan
kristaloid dan/ atau koloid atau darah harus dilakukan
sebelum induksi.
• Posisi
Preoksigenasi harus dilakukan dengan pasien dalam
posisi lateral dekubitus, kepala ke bawah, untuk
memungkinkan drainase darah menjauh dari faring,
• Rapid sequence induction and intubation (RSII)
RSII harus dilakukan akibat kemungkinan adanya
hipovolemia, dosis propofol perlu dikurangi (1-2 mg/kg
IV), ketamin (1-2 mg/kg IV), atau etomidate (0,2 mg/kg IV)
untuk induksi, kemudian segera diikuti kombinasi atropin
(0,02 mg/kg IV) ditambah suksinilkolin (1,5-2 mg/kg IV)
atau rokuronium (1,2 mg/kg IV). Penekanan krikoid dan
intubasi endotrakeal harus dilakukan secepat mungkin.

20
• Pemeliharaan anestesi
Prosedur pembedahan ini tidak menyakitkan dan
mungkin sangat singkat jika kontrol perdarahan mudah
dilakukan. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan
menggunakan anestetik durasi kerja singkat sehingga
refleks proteksi jalan napas dapat cepat pulih.
• Pemulihan dari anestesi
Pasien harus terjaga sepenuhnya dan mampu
melindungi jalan napas sebelum dickstubasi. Orofaring
harus dibersihkan dengan hati-hati dan lambung
dikosongkan dengan pipa orogastrik, meskipun darah beku
mungkin tidak bisa efektif dikeluarkan. Pasca- ekstubasi,
pasien diposisikan lateral dekubitus atau posisi duduk tegak,
dan dibawa ke ruang pemulihan sambil diberi suplementasi
oksigen.
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien bernama An. NC (12 tahun) datang ke IGD RS Hj. Bunda


Halimah dengan keluhan merasakan mengganjal di tenggorokan, nyeri saat
menelan serta sulit untuk bernafas. Pasien direncanakan untuk operasi
tonsilektomi pada tanggal 06 Juli 2023. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
sementara riwayat alergi disangkal. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan tanda vital

yaitu TD 129/87 mmHg, laju nafas 20x/menit, nadi 97x/menit, suhu 36.4 oC.
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini adalah pemeriksaan laboratorium darah
lengkap dan foto rontgen thorax.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang,
pasien masuk dalam kategori status fisik ASA II yang berarti kondisi pasien
dengan gangguan fisik yang ringan. Sebelumnya, pasien dipuasakan 6 jam pre
operasi dengan tujuan untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi dan

21
muntah. Ketika sudah sampai pada waktu operasi, dilakukan edukasi dan
penjelasan kembali kepada pasien dan keluarga mengenai lembar persetujuan
tindakan anestesi yang akan dilakukan. Ketika sampai di kamar operasi 1, pasien
dibaringkan dan dipasang NIBP dan pulse oxymetri dengan hasil Tekanan Darah:
126/85 mmHg, nadi 100x/menit, frekuensi napas 20 x/menit serta saturasi oksigen
98%..
Tindakan anestesi yang digunakan adalah anestesi umum (general
anesthesia) dengan teknik intubasi ETT. Pasien diinduksi dengan Sedacum 2 mg,
Fentanyl 100 mcg, Propofol 80 mg, Atracurium 10 mg dan Sevoflurane.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 30 ml. Pembedahan selesai dilakukan
pada jam 14.20 dengan pemantauan akhir TD 120/89 mmHg, Nadi 92x/menit ,
Frekuensi Napas 20x/menit, saturasi oksigen 98%. Pasien kemudian dibawa ke
ruang pemulihan. Adapun instruksi post op adalah bila pasien kesakitan dapat
diberikan Dexketoprofen 50 mg; bila mual/muntah dapat diberikan Ondansentron
4 mg; untuk cairan infus menggunakan cairan RL 20 tpm; serta monitoring tensi,
nadi, nafas setiap 15 menit selama 2 jam.

DAFTAR PUSTAKA

Bangera, A. 2017. Anaesthesia for adenotonsillectomy: an update. Indian Journal


of Anaesthesia, 61(2):103-9.
Barash PG, et al. 2013. Clinical anesthesia. 7th edition. Philladelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
David PJ., Cladys, F. 2017. Smith’s Anesthesia for infants and children. Edisi ke-
9. Philladelphia: Elsevier.
Jaffe RA, Schmiesing CA, Golianu B. 2014. Anaesthesiologist’s manual of
surgical procedures. Edisi ke-5. Philladelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

22
Randel, A. 2011. AAO-HNS guidelines for tonsillectomy in children and
adolescents. Am Fam Physician, 84(5):566-73.
Rehatta, dkk. 2019. Anestesiologi dan Terapi Intensif Buku Teks KATI-
PERDATIN. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Soepardi EA., dkk. 2012. Buku Ajar ilmj kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala dan leher. edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.

23

Anda mungkin juga menyukai