Anda di halaman 1dari 20

No. ID dan Nama Peserta: dr.

Dinda Nelyana
No. ID dan Nama Wahana: RSUD Kota Makassar
Topik: TB Paru Lama Aktif
Tanggal Kasus : 30/09/2021
Nama Pasien: An. KR No. RM: 291928
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Hj. Musbicha
Tempat Presentasi: UGD RSUD kota Makassar
Objek Presentasi: Dokter internship RSUD kota Makassar
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
Pasien datang dengan keluhan sesak yang dialami sejak 5 tahun, sesak hampir setiap
saat. Batuk (+), berlendir (+), Flu (-), Mual (+), Muntah (-), Demam (-). BAB dab BAK
biasa lancar.
Riwayat penyakit sebelumnya , 11 tahun yang lalu (2010) menjalani pengobatan 6 bulan
dengan TB Paru, dengan pengobatan tuntas, dan dinyatakan sembuh.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada.
Riwayat trauma tidak ada.

Tujuan: Menegakkan diagnosis kasus dan memberikan terapi sesuai kompetensi serta
melakukan rujukan yang tepat.
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
Bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan e-mail Pos
Membahas: diskusi

Data Pasien : Nama : An.KR No.Register : 291928


Nama Klinik : RSUD kota Makassar
Deskripsi:
Pasien datang dengan keluhan sesak yang dialami sejak 5 tahun, sesak hampir setiap
saat. Batuk (+), berlendir (+), Flu (-), Mual (+), Muntah (-), Demam (-). BAB dab BAK
biasa lancar.
Riwayat penyakit sebelumnya , 11 tahun yang lalu (2010) menjalani pengobatan 6 bulan
dengan TB Paru, dengan pengobatan tuntas, dan dinyatakan sembuh.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada.
Riwayat trauma tidak ada.
Riwayat pengobatan : -
Riwayat Kesehatan/Penyakit: -
Riwayat Keluarga: -
Riwayat Pekerjaan/Kebiasaan:-

Daftar Pustaka:
1. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 9 Volume 1. EGC. Jakarta. 2015. H.343
2. Imanishi M, Newton AE, Vieira AR, et al: Typhoid fever acquired in the United
States, 1999-2010: epidemiology, microbiology, and use of a space-time scan statistic
for outbreak detection. Epidemiology Infect 2014
3. David A.Pegues, Samuel I. Miller, 2014. Salmonellosis. Harrison’s Principles of
Internal Medicine (19th ed), 1849-1852.
4. Widodo Djoko, 2014, Demam Tifoid, Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI,.Jilid III.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Interna Publishing:549-557
5. Medalla F, Hoekstra RM, Whichard JM, et al: Increase in resistance to ceftriaxone
and nonsusceptibility to ciprofloxacin and decrease in multidrug resistance among .
Foodborne Pathog Dis 2013; 10: pp. 302-309
6. E.jawetz, Jl.meknick. Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Jilid 1, Edisi 27. Jakarta:
EGC; 2014
7. Helaine S, Cheverton AM, Watson KG, et al: Internalization of . Science 2014; 343:
pp. 204-208
8. Department Of Health, 2016. Typhoid Enteric Fever, Washington: Washington State
Department of Health
9. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New
England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMra020201. [20 Oktober 2018]
Hasil Pembelajaran:
1. Mengetahui pengertian Tuberculosis
2. Memberikan penanganan pada pasien Tuberculosis
3. Melakukan konsul ke dokter spesialis Paru untuk penanganan lebih lanjut.

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


Deskripsi:
Pasien datang dengan keluhan sesak yang dialami sejak 5 tahun, sesak hampir
setiap saat. Batuk (+), berlendir (+), Flu (-), Mual (+), Muntah (-), Demam (-). BAB
dab BAK biasa lancar.
Riwayat penyakit sebelumnya , 11 tahun yang lalu (2010) menjalani pengobatan 6
bulan dengan TB Paru, dengan pengobatan tuntas, dan dinyatakan sembuh.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada.
Riwayat trauma tidak ada.

1. Objektif
 Primary Survey :
- Airway : Clear
- Breathing : Pernapasan normal, RR 26 x/menit
- Circulation :, TD 96/61 mmHg, HR 95x/menit
- Disability : Kesadaran composmentis
- Exposure : 36,7 oC

 Secondary Survey
A. Keadaan umum : Sakit sedang
B. Kesadaran : GCS 15 ( E4M5V6)
C. Keadaan gizi : Gizi kurang (BB : 44 kg)
D. Tanda-tanda vital : 1. Tekanan darah : 96/61 mmHg
2. Nadi : 95 x/ menit
3. Suhu : 36,7 o C
4. Pernapasan : 26x / menit
5. SpO2 : 95%
E. Status generalis
1. Kepala : normocephali, tidak ditemukan adanya jejas
2. Mata : tidak ada hematoma, konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik
(-/-), pupil isokor, ukuran 3mm/3mm,refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
3. Maksilofasial :
- Inspeksi : Tidak ada deformitas dan fraktur
- Palpasi : Tidak ada krepitus
4. THT : normotia, septum deviasi (-/-), sekret (+/+),tonsil T1-T1
tenang
5. Mulut : bibir kering (-), lidah kotor (-)
6. Leher :
- Inspeksi : Tidak tampak adanya jejas, deformitas,dan hematom
- Palpasi : KGB dan Tiroid tidak teraba massa, emfisema subkutan(-),nyeri
tekan (-)
7. Thorax :
- Inspeksi : datar, simetris,gerak napas kanan dan kiri simetris, retraksi sela iga
(-/-), iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : Vocal fremitus simetris kiri dan kanan, iktus kordis teraba
- Perkusi : kiri dan kanan sonor, batas jantung normal
- Auskultasi : Paru : suara napas vesikuler kiri dan kanan, rhonki (+/+), wheezing
(-/-)
: Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen :
- Inspeksi : Datar,ikut gerak napas
- Auskultasi : bising usus (-) kesan normal
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defens muscular (-), Hepar : tidak teraba
membesar, lien : tidak teraba membesar, ginjal : balontement (-/-)
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
9. Kolumna Vertebralis
- Inspeksi : Tidak tampak adanya deformitas dan jejas
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
10. Ekstremitas
- Atas : Akral hangat +/+, udem -/-, deformitas -/-, CRT < 2detik
- Bawah: Akral hangat +/+, udem -/-, deformitas -/- CRT < 2 detik
 Pemeriksaan Laboratorium
Tes Hasil Satuan Nilai Normal
Jumlah Leukosit H 3,1 103/µl 4.0-10.0
Eritrosit L 4,30 106/µl 4,50 - 6,20
Hemoglobin L 11.6 g/dl 13,0 - 17,0
Hematokrit L 35,0 % 40,1 - 51,0
MCV 81,4 fL 79,0 - 92,2
MCH 27,0 Pg 25,6-32,2
MCHC 33,1 g/L 32,2 - 36,5
Trombosit H 450 103/µl 150-400
RDW-SD 40,6 Fl 37 – 54
RDW-CV 14,1 % 10,0 – 15,0
PDW L 9,4 Fl 10,0 – 18,0
MPV 9,2 Fl 9,0 – 13,0
P-LCR 18, 1 % 13,0 – 43,0
PCT H 0,42 % 0,2 – 0,4
Hitung Jenis
Neutrofi L 12,0 % 32-52
Limfosit H 60,3 % 30-60
Monosit 7,4 % 2-8
Eosinofil 0,3 % 0-4
Basofil 0,3 % 0-1
Swab Antiget Test
Non Reaktif Non Reaktif
SARS-Cov2

2. ASSESSMENT

A. DEFINISI

Tuberkulosis merupakan penyakit menular granulomatosa kronik yang


disebabkan oleh Mikobakterium Tuberkulosis. Pada umumnya menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai semua organ atau jaringan dalam tubuh.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Indonesia merupakan negara yang termasuk
sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia
sebesar 5,8%. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB
Resisten Obat (Multi Drug Resistance/ MDR). Kebanyakan infeksi didapatkan didapatkan
dari penularan antara penderita secara langsung dari titik ludah yang dibawa angin
(airbone droplet) yang mengandung organisme dari seseorang penderita aktif yang rentan.
Tuberkulosis tumbuh subur di tempat yang terdapat kemiskinan, penduduk yang padat dan
penyakit menahun yang melemahkan, kemudian orang tua pertahanan tubuh yang melemah
menjadi mudah terkena.

B. ETIOLOGI
Mikrobakteria tersusun dari sekelompok batang gramping yang bersifat tahan asam yaitu
mempunyai kandungan lipid kompleks yang cukup, sehingga sekali zat warna Ziehl-
Nielsen (karbol fuhsin), terserap warnanya bertahan dan tidak terhapus.
M.Tuberkulosisi hominis bertanggung jawab pada sebagian besar kasus Tuberkulosis.
Penyebaran biasanya secara langsung oleh karena menghirup organisme yang terbawa
angin dan tergantung dari konsentari organirme dalam udara yang di batukkan , jarak, serta
lamanya kontak dengan kasus yang aktif. Baik psien M.Hominis maupun M.Bovis bersifat
aerob obligat yang pertumbuhan nya dapat dihambat oleh pH yang kurang dari 6,5 dan
oleh asam lemak rantai panjang, sehingga menimbulkan kecenderungan pada hasil tuberkel
untuk menghilang diantara pusat lesi perkijuan yang besar, dimana ditemukan
anaerobiosis, pH yang menurun dan peningkatan kadar asam lemak.

C. EPIDEMIOLOGI

Diseluruh dunia dimana terdapat kesulitan dalam hal medis dan ekonomi,
tuberculosis tetap merupakan penyebab utama kematian. Di Amerika Serikat angka
kematian TBC telah menurun sejak permulaan abad ini, dari 200 menjadi sekitar 2
kematian per 100.000 penduduk.
Penurunan yang serupa telah terjadi pada negara-negara industry yang lain. Hasil
ini dapat dihubungkan dengan banyak factor, tetapi diantaranya pengendalian dari
penyebaran infeksi harus di utamakan. Kebanyakan infeksi didapatkan dari penularan
antar penderita secara langsung dari titik ludah yang dibawa angin (airborne droplet)
yang mengandung organisme dari seseorang penderita aktif yang rentan. Organisme
yang viable dapat tetap tidur pada tempatnya selama berpuluh-puluh tahun dan mungkin
seumur hidup menjadi tuan rumah. Individu-individu yang demikian telah terinfeksi
namun tidak mengalami penyakit yan aktif, dengan demikian tidak dapat menyebarkan
organisme ke orang lain.Tetapi bila pertahanan tubuh menurun, infeksi tersebut dapat
aktif Kembali, untuk menghasilkan suatu penyakit yang menular secara potensial
mengancam kehidupan.

D. PATOGENESIS
Tiga hambatan yang terlibat dalam patogenesis Tuberkulosis
- Dasar Virulensi Organisme
- Kepentingan perkembangan sensitivitas dan imunitas atau kekebalan terhadap
organisme.
- Patogenesis Nekrosis Kaseosa
Virulensi dari basil tuberkel tidak berhubungan dengan semua endotoksin atau eksotoksin
yang diketahui. Kemampuan M.Tuberkel untuk menimbulkan penyakit pada binatang
percobaan kelihatannya berhubungan dengan mikosid dalam fraksi lemak bakteri. Mikosid
juga dapat berfungsi sebagai adjuvan, dengan demikian meningkatkan antigenisitas dari
tuberkulo-protein.
Pada paparan pertama, tanggapan peradangan adalah non spesifik secara keseluruhan yang
menyerupai reaksi terhadap invasi bakteri yang lain. Selama dua atau tiga minggu
bersamaan dengan timbulnya hipersensivitas lambat, reaksi menjadi Granulo-matosa dan
pusatnya seringkali terjadi perkijuan untuk membentuk tuberkel yang khas. Jika di urutkan
tampaknya adalah
- Pengenalan Antigen kepada sel T oleh makrofag yang telah menelan organisme.
- Sensitisasi dari sel T
- Pelepasan limfokin seperti faktor kemotaktik terhadap monosit dan makrofag
dan faktor inhibi migrasi
- Pengumpulan makrofag dan limfosit pada tempat implantasi untuk membentuk
granuloma. Seiring dengan itu Sel T mengaktifkan makrofag dengan
meningkatkan kapasitas fagositosis dan bakterisid, mungkin dengan melepaskan
limfokin yang lain, gama interferon.
Granuloma yang khas pada tuberculosis memiliki perkijuan sentral, mkrofag yang
mengumpul di granuloma secara khas berubah menjadi sel epiteloid yang
mempunyai banyak kerutan pada membran sel., banyak mitokondria, reticulum
endoplasma yang berkembang dengan baik dan golgi kompleks yang besar dan le ih
sesuai untuk fungsi sekresi daripada fagositosis.
Hipersensitivitas memberi syarat pada perolehan imunitas dan ketahanan terhadap
organisme, tetapi pada saat yang sama hipersensitivitas disertai dngan tanggapan
perkijuan.

Tuberkulosis Primer
Suatu bentuk penyakit yang berkembang mula-mula pada seseorang yang tidak
terpapar dan karenanya seseorang yang belum tersensitisasi. Individu yang lanjut
usia dapat kehilangan sensitivitasnya terhadap basil tuberkel sehingga sekali lagi
dapat menderita tuberkulosis primer. Sebaliknya penyakit yang disebabkan oleh
reinfeksi oleh tuan rumah yang sudah tersensitisasi atau reaktivasi dari infeksi
primer disebut tuberculosis sekunder atau pasca primer.

Tuberkulosis Sekunder
Suatu bentuk penyakit yang berkembang pada tuan rumah yang dahulunya sudah
tersensitasi. Biasanya dihasilkan dari reaktivasi lesi primer dorman setelah beberapa
decade. Kadang-kadang dihasilkan dari reinfeksi eksogen karena berkurangnya
perlindungan yang dihasilkan oleh penyakit primer atau organisme, hanya sedikit
penderita (dibawah 5%) dengan penyakit primer berkembang menjadi tuberculosis
sekunder. Tuberculosis paru sekunder selalu hamper selalu bertempat di apeks dari
satu atau kedua lobus atas. Jarang lesi terdapat pada lobus bawah. Sebagai akibat
dari lokalisasi ini, kelenjar limfe regional tidak begitu jelas terlibat pada permulaan
perkembangan penyakit, sebaliknya kavitasi terjadi segera pada bentuk sekunder
yang menghasilkan penyebaran brinkogenik. Sesungguhnya kavitasi hamper selalu
didapatkan dalam tuberculosis sekunder yang diabaikan.

D. MANIFESTASI KLINIS
Tuberkulosis sekunder dapat bersifat asimptomatik. Mula gejala tampak
sebanai manifestasi bersifat samar-smar, terdapat perkembangan bertahap baik pada
gejala-gejala sistemik maupun local. Dasar dari gejala-gejala sistemik tidak jelas, tetapi
seringkali terlihat pada awal perjalanan penyakit seperti malaise, anoreksia, turun nya
berat badan dan panas badan.Pada umumnya febris nya tidak terlalu tinggi, bersifat
remiten (dirasakan pada setiap sore hari dan kemudian mereda) dan malam harinya
berkeringat. Pada keadaan paru mengalami kelainan secra progresif, gejala-gejala local
akan tampak.
Salah satu gejala paling awal adalah batuk yang makin mencemaskan dan
menghasilkan dahak yang makin banyak, mula-mula mucoid kemudian purulent. Bila
ditemukan kavitas, sputum akan mengandung basil tuberkel. Hemoptisis derajat tertentu
terdapat pada sekitar separuh kasus tuberculosis paru. Nyeri pleura dapat juga
merupakan gejala pertama penyakit, yang dihasilkan baik oleh pneumothoraks pontan
maupun penyebaran infeksi kepermukaan pleura. Diagnosis dari tuberculosis paru harus
dipertimbangkan bila terdapat batuk kronik disertai dengan gejala-gejala konstitusional
atau bila terjadi hemoptisis atau pneumotoraks spontan. Diagnosis dari tuberculosis paru
harus dipertimbangkan bila terdapat batuk kronik disertai dengan gejala-gejala
konstitusional atau bila terjadi hemoptisis atau pneumothoraks spontan maupun
penyebaran infeksi kepermukaan pleura. Diagnosis dari tuberculosis paru
dipertimbangkan bila terdapat batuk kronik disertai dengan gejala-gejala konstitusional
atau bila terjadi hemoptisis atau pneumothoraks spontan. Diagnosis didasarkan atas
anamnesis dan ditemukannya konsolidasi atau kavitas pada apeks paru, pada
pemeriksaan fisik dan radiologic.
Tuberkulosis miliar seringkali sukar untuk diagnosis. Hal ini dapat tampak
sebagai penyakit paru yang baru diketahui setelah tiba-tiba memburuk. Lebih sering
tampak pada orang-orang yang lebih dewasa sebagai demam tanpa penyebab yang
diketahui, tanpa disertai penyakit paru yag aktif. Seringkali diagnosis ditegakkan
dengan ditemukannua tuberkel pada sumsum tulang atau biopsis hepar.
Prognosis pada umumnya baik pada infeksi yang terbatas pada paru, kecuali bila
disebabkan oleh strain yang kebal terhadap pengobatan atau timbul pada usia lanjut.
Pada orang-orang yang lemah keadaan umumnya atau mereka yang mendapatkan
imunosupresi yang memiliki resiko berkembangnya tuberculosis miliar. Amiloidosis
dapat timbul pada kasus-kasus yang persisten, yang juga memiliki potensi sebagai
penyebab kematian.

E. DIAGNOSIS

Anamnesis
a) Riwayat demam terus – menerus selama 7 hari atau lebih, tinggi pada sore / malam
daripada pagi / siang. Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu
tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi.
b) Delirium, malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau
konstipasi, muntah, perut kembung.
c) Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
Pemeriksaan Fisis
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid,
meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang –
kadang terdengar ronkhi pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesan tifosa atau status tifosa yaitu : kesadaran
menurun, rambut kering, kulit kering, bibir kering / terbelah – belah / terkupas /
berdarah, lidah kotor (yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis), dan
pucat.6
Tabel 1. Keluhan dan Gejala demam tifoid
Keluhan dan Gejala Demam Tifoid
Periode Keluhan Gejala Patologi
Penyakit
Minggu I Demam remitten, Gangguan saluran Bacteremia
tipe demam cerna
stepladder,
mengigil, nyeri
kepala
Minggu II Rash, nyeri Rose spots, Vaskulitis, hyperplasia
abdomen, diare, splenomegaly, pada peyer patches,
konstipasi hepatomegali nodul tifoid pada limpa
dan hati
Minggu III Komplikasi : Melena, ileus Ulserasi pada peyer
perdarahan patches, peritonitis
saluran cerna,
perforasi, syok
Minggu IV, dst. Keluhan Tampak sakit Carrier kronik
menurun, relaps, berat
penurun BB

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis tifoid dapat di tegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bekteriologi/ pemeriksaan laboratorium, radiologi. 4
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan:
1). Pemeriksaan Darah Rutin
Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan Leukopenia, namun dapat
pula ditemukan normal atau sampai leukositosis. Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia. SGOT dan SGPT serigkali meningkat, tetapi akan
kembali normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus.
2). Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman s.tiphi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.tiphy dengan antibodi
yang di sebut agglutinin. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah suspense
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratrium. Maksud uji widal
adalah untuk menentukan adanya aglutini dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu: Aglutini O (dari tubuh kuman), Aglutini H(flagel kuman),
Aglutinin Vi (simpai kuman).4
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutini O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Hasil dari tes widal dapat diinterpretasikan sebagai berikut, 5
- Titer “O” yang tinggi atau kenaikan titer (1:160 atau lebih) menunjukkan
adanya infeksi aktif. Titer “H” yang tinggi (1:160 atau lebih) menunjukkan bahwa
penderita pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi
- Titer “Vi” yang tinggi tedapat pada carrier

Pembentuk aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,


kemudian meningkat secara cepat pada minggu ke empat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian di
ikuti dengan agglutinin H. pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih
tetap di jumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.4 Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal
yaitu:
 Pengobatan dini dengan antibiotic,
 Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian
kortikosteroid,
 Waktu pengambilan darah,
 Daerah endemic atau non endemic,
 Riwayat vaksinasi,
 Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi,
 Faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium, akibat
aglutinasi silang, dan strain salmonella yang digunakan untuk suspense
antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglitinin yang
bermakna diagtnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat. 4
3). Uji Typhidot
Uji tyhphidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dam dapat mengidentifikasi secara spesifik
antibodi IgM dan IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada
strip nitroselulosa. 4
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76,6% dan
efisiansi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan
dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain
yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifitas uji ini
hamper sama dengan uji tubex yaitu 79% dan 89% degan 78% dan 89%.4
Pada kasus reinfeksi, respons imun skunder (IgG) terinveksi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer.
Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama
uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang
ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada
tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih
sensitive (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila
dibandingkan dengan kultur. 4
4). Uji Tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9
pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi
yang terkinjugasi pada partikel megnetiklatex. Hasil positif uji tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada S.typhi. infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif.4
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap
anti-gen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakuakn
lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari 3-2 untuk infeksi
sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak
dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi infeksi lampau. 4
Pemeriksaan ini dilakkukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi: 1). Tabung berbentuk V, yang juga berfungi untuk meningkatkan
sensitivitas, 2). Reagen A, yang mengandung partikel magnetic yang diselubungi
dengan antigen S.typhi O9, 3). Reagen B yang mengandung partikel lateks
berwarna biru yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakuakan
prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 µL) dicampurkan ke dalam tabung
dengan satu tetes (25 µL) reagen A. setelah itu reagen B (50 µL) di tambahkan
kedalam tabung. Hal tersebut di lakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-
tabung tersebut kemudian di letakkan pada rak tabung yang mengandung magnet
dan di putar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil
dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari
kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna larutan campuran yang dapat
bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.4
Table 2. interpretasi hasil uji tubex
Skor Interpretasi
<2 Negative Tidak menunjuk
infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran
tidak dapat
disimpulkan. Ulangi
pengujian, apabila
masih meragukan
lakukan pengulangan
beberapa hari
kemudian.
4-5 Posotif Menunjukkan
infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat
infeksi tifoid
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. jika
diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet
yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa sserta
pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya terlihat warna merah pada
tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila
serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan
reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada megnet rak dan memberikan warna
biru pada larutan. 4
4). Uji IgM dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi sntibodi IgM spesifik terhadap S.typhi pada
specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung
antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhi dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi
yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan
membasahi strip sebelum di inkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.
Komponen perlengkapan ini stabil untuk di simpanselama 2 tahun pada suhu 4-25º C di
tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan di muali dengan inkubasi
strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar.
Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi
kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan
reference stri. Garis control harus terwarna dengan baik.4
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji
ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan
sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah
da cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil
didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala.4
5). Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal :
1). Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negative
2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara
bedside langsung dimasukkan kedalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan
kuman
3). Riwayat vaksinisasi. Vaksinisasi di masa yang lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negative
4). Saat pengambilan darah setekah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.4

F. PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid yaitu:
1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum, mandi, BAK dan BAB akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan
yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia
ortostatik serta hegiene perorangan.Mobilisasi pada pasien tifoid adalah 4
- Hari 1 è duduk 2 x 15 menit
- Hari 2 è duduk 2 x 30 menit
- Hari 3 è jalan
- Hari 4 è pulang
2. Diet dan terapi penunjang, dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan
pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan
menjadi lama. Di masa lampau penderita tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut ditujukan untuk menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. 4
3. Pemberian Antibiotik, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
Obat – obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati tifoid antaralain
adalah sebagai berikut4
 Klomrafenikol. di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama untuk memgobati demam tifoid dengan dosis yang diberikan adalah
4x500mg secara per oral atau IV. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas
demam.
 Tiamfenikol : dosis dan efektivitas dari timafenikol pada demam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologinya lebih
rendah, dosis tiamfenikol adalah 4x500mg.
 Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan sama dengan klomrafenikol.
Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu
 Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan adalah
50-150mg/kgBB digunakan selama 2 minggu
 Sefalosporin generasi ketiga hingga saat ini golongan sefalosporin generasi
ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang
dianjurkan adalah 3-4 gr dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam
perinfus sekali sehari diberikan selama 3 – 5 hari.
 Golongan fluorokuinolon
o Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
o Levofloksasin 500 mg/hari selama 7 hari
o Ofloksasin 2 x 400 mg selama 7 hari
o Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari

Selain memberikan terapi dengan antibiotic kita juga perlu memperhatikan tuntutan
tubuh lainnya yaitu
a) Kondisi hipermetabolik selama infeksi dengan pemenuhan nutrisi yang adekuat,
tinggi kalori dan protein serta memperhatikan keseimbangan elektrolit
b) Suplemen yang mengandung beta karoten, vitamin C, E serta trace elemen (misal
Zn) guna mendongkrak kinerja seperoksidase dismutase (SOD), katalase, dan
gluthatione (GSH) di sitosol dan meredam peran TNF sehingga dapat
menghadang laju proses kematian sel patologis dipercepat akibat dampak negative
dari ROS. ROS dapat mencetuskan timbulnya krisis scavenger enzyme akibat
defist berbagai komponen micronutrient seperti Fe, Zn, selenium, vitamin C,
vitamin B6, vitamin E atau ketidakseimbangan beberapa zat makanan, seperti
asam amino esensial dapat pula menyebabkan rusaknya komponen system
kekebalan tubuh

G. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi pada sekitar 10-15% pasien terutama dalam minggu ke-2 atau
lebih . Komplikasi utama adalah perdarahan saluran cerna, perforasi usus, dan
ensefalopati tifoid. Relaps dialami oleh 5 – 10% pasien dan terjadi 2 – 3 minggu
steralah demam turun. Komplikasi demam tifoid1,4
 Abdomen : Perforasi usus terutama ileum, perdarahan saluran cerna, Hepatitis,
kholestitis
 Kardiovaskuler : Miokarditis Syok
 Neuropskiatri: ensefalopati, delirium, psikotik, meningitis, gangguan
koordinasi
 Respirasi : Bronchitis, Pneumonia
 Hematologi: Anemia dan koagulasi intravascular diseminata KID
 Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis
 Komplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis, atritis
 Lain – lain abses fokal, Faringitis, Relaps , karier kronik

H. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam
tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun Negara, mendatangkan devisa
Negara yang bersal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat Negara
endemic dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada
di daerah kunjungan wisata. 4
Preventing dan control penularan, tindakan preventif sebagai upaya penularan dan
peledakan kasus luar biasa ( KLB ) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari
segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan factor penjamu ( host ) serta
lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid
yaitu:4
1. Identifikasi dan eredikasi salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun
kasus karier tifoid.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut maupun karier
3. Proteksi pada orang yang beseiko terinfeksi
Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan akut.
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini cukup sulit dan
memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional.
Cara pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif
menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instasi atau swasta. Sasaran aktif lebih
diutamakan pada populasi –populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan –
minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik serta
distributornya.
Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan pelayanan masyarakat yaitu
petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya. 4
Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier
dapat dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkingan sekita orang
yang telah diketahui mengidap kuman S. typhi.4
Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi.Sarana proteksi
pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun
hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non endemis,
tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah
frekuensinya, serta golongan individu beresiko yaitu golongan imunokompromais
maupun golongan rentan.4 Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:4
Daerah non endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic
 Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
 Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjual makanan – minuman
 Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemic tifoid
 Pencarian dan eliminasi sumber penularan
 Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus
 Penyuluhan higien dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
Daerah endemik
 Memasyarkatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan
 Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar.4,9

Plan
Diagnosis: Demam Tifoid

Terapi:
 IVFD Ringer Laktat 16 tetes/menit
 Paracetamol tab 3 x 250 mg
 Ceftriaxone 1gr/12 jam/IV
 Zinc 20 mg 1 x 1
 Konsultasi ke dokter spesialis anak

Konsultasi : konsultasi ke dokter spesialis anak untuk terapi selanjutnya


Edukasi pada Keluarga Pasien
 Menjelaskan kepada pasien bahwa kemungkinan besar akan dilakukan
pemberian obat untuk mengatasi penyakit ini, agar penyakit ini tidak memberat
dan mendapatkan penanganan dari dokter spesialis Anak.
Prognosis:
Ad vitam:bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad functionam: dubia ad bonam

Makassar,

Peserta, Pendamping,

dr. Dinda Nelyana dr. Hj Musbicha

Anda mungkin juga menyukai