Dinda Nelyana
No. ID dan Nama Wahana: RSUD Kota Makassar
Topik: TB Paru Lama Aktif
Tanggal Kasus : 30/09/2021
Nama Pasien: An. KR No. RM: 291928
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Hj. Musbicha
Tempat Presentasi: UGD RSUD kota Makassar
Objek Presentasi: Dokter internship RSUD kota Makassar
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
Pasien datang dengan keluhan sesak yang dialami sejak 5 tahun, sesak hampir setiap
saat. Batuk (+), berlendir (+), Flu (-), Mual (+), Muntah (-), Demam (-). BAB dab BAK
biasa lancar.
Riwayat penyakit sebelumnya , 11 tahun yang lalu (2010) menjalani pengobatan 6 bulan
dengan TB Paru, dengan pengobatan tuntas, dan dinyatakan sembuh.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada.
Riwayat trauma tidak ada.
Tujuan: Menegakkan diagnosis kasus dan memberikan terapi sesuai kompetensi serta
melakukan rujukan yang tepat.
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
Bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan e-mail Pos
Membahas: diskusi
Daftar Pustaka:
1. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 9 Volume 1. EGC. Jakarta. 2015. H.343
2. Imanishi M, Newton AE, Vieira AR, et al: Typhoid fever acquired in the United
States, 1999-2010: epidemiology, microbiology, and use of a space-time scan statistic
for outbreak detection. Epidemiology Infect 2014
3. David A.Pegues, Samuel I. Miller, 2014. Salmonellosis. Harrison’s Principles of
Internal Medicine (19th ed), 1849-1852.
4. Widodo Djoko, 2014, Demam Tifoid, Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI,.Jilid III.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Interna Publishing:549-557
5. Medalla F, Hoekstra RM, Whichard JM, et al: Increase in resistance to ceftriaxone
and nonsusceptibility to ciprofloxacin and decrease in multidrug resistance among .
Foodborne Pathog Dis 2013; 10: pp. 302-309
6. E.jawetz, Jl.meknick. Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Jilid 1, Edisi 27. Jakarta:
EGC; 2014
7. Helaine S, Cheverton AM, Watson KG, et al: Internalization of . Science 2014; 343:
pp. 204-208
8. Department Of Health, 2016. Typhoid Enteric Fever, Washington: Washington State
Department of Health
9. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New
England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMra020201. [20 Oktober 2018]
Hasil Pembelajaran:
1. Mengetahui pengertian Tuberculosis
2. Memberikan penanganan pada pasien Tuberculosis
3. Melakukan konsul ke dokter spesialis Paru untuk penanganan lebih lanjut.
1. Objektif
Primary Survey :
- Airway : Clear
- Breathing : Pernapasan normal, RR 26 x/menit
- Circulation :, TD 96/61 mmHg, HR 95x/menit
- Disability : Kesadaran composmentis
- Exposure : 36,7 oC
Secondary Survey
A. Keadaan umum : Sakit sedang
B. Kesadaran : GCS 15 ( E4M5V6)
C. Keadaan gizi : Gizi kurang (BB : 44 kg)
D. Tanda-tanda vital : 1. Tekanan darah : 96/61 mmHg
2. Nadi : 95 x/ menit
3. Suhu : 36,7 o C
4. Pernapasan : 26x / menit
5. SpO2 : 95%
E. Status generalis
1. Kepala : normocephali, tidak ditemukan adanya jejas
2. Mata : tidak ada hematoma, konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik
(-/-), pupil isokor, ukuran 3mm/3mm,refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
3. Maksilofasial :
- Inspeksi : Tidak ada deformitas dan fraktur
- Palpasi : Tidak ada krepitus
4. THT : normotia, septum deviasi (-/-), sekret (+/+),tonsil T1-T1
tenang
5. Mulut : bibir kering (-), lidah kotor (-)
6. Leher :
- Inspeksi : Tidak tampak adanya jejas, deformitas,dan hematom
- Palpasi : KGB dan Tiroid tidak teraba massa, emfisema subkutan(-),nyeri
tekan (-)
7. Thorax :
- Inspeksi : datar, simetris,gerak napas kanan dan kiri simetris, retraksi sela iga
(-/-), iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : Vocal fremitus simetris kiri dan kanan, iktus kordis teraba
- Perkusi : kiri dan kanan sonor, batas jantung normal
- Auskultasi : Paru : suara napas vesikuler kiri dan kanan, rhonki (+/+), wheezing
(-/-)
: Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen :
- Inspeksi : Datar,ikut gerak napas
- Auskultasi : bising usus (-) kesan normal
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defens muscular (-), Hepar : tidak teraba
membesar, lien : tidak teraba membesar, ginjal : balontement (-/-)
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
9. Kolumna Vertebralis
- Inspeksi : Tidak tampak adanya deformitas dan jejas
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
10. Ekstremitas
- Atas : Akral hangat +/+, udem -/-, deformitas -/-, CRT < 2detik
- Bawah: Akral hangat +/+, udem -/-, deformitas -/- CRT < 2 detik
Pemeriksaan Laboratorium
Tes Hasil Satuan Nilai Normal
Jumlah Leukosit H 3,1 103/µl 4.0-10.0
Eritrosit L 4,30 106/µl 4,50 - 6,20
Hemoglobin L 11.6 g/dl 13,0 - 17,0
Hematokrit L 35,0 % 40,1 - 51,0
MCV 81,4 fL 79,0 - 92,2
MCH 27,0 Pg 25,6-32,2
MCHC 33,1 g/L 32,2 - 36,5
Trombosit H 450 103/µl 150-400
RDW-SD 40,6 Fl 37 – 54
RDW-CV 14,1 % 10,0 – 15,0
PDW L 9,4 Fl 10,0 – 18,0
MPV 9,2 Fl 9,0 – 13,0
P-LCR 18, 1 % 13,0 – 43,0
PCT H 0,42 % 0,2 – 0,4
Hitung Jenis
Neutrofi L 12,0 % 32-52
Limfosit H 60,3 % 30-60
Monosit 7,4 % 2-8
Eosinofil 0,3 % 0-4
Basofil 0,3 % 0-1
Swab Antiget Test
Non Reaktif Non Reaktif
SARS-Cov2
2. ASSESSMENT
A. DEFINISI
B. ETIOLOGI
Mikrobakteria tersusun dari sekelompok batang gramping yang bersifat tahan asam yaitu
mempunyai kandungan lipid kompleks yang cukup, sehingga sekali zat warna Ziehl-
Nielsen (karbol fuhsin), terserap warnanya bertahan dan tidak terhapus.
M.Tuberkulosisi hominis bertanggung jawab pada sebagian besar kasus Tuberkulosis.
Penyebaran biasanya secara langsung oleh karena menghirup organisme yang terbawa
angin dan tergantung dari konsentari organirme dalam udara yang di batukkan , jarak, serta
lamanya kontak dengan kasus yang aktif. Baik psien M.Hominis maupun M.Bovis bersifat
aerob obligat yang pertumbuhan nya dapat dihambat oleh pH yang kurang dari 6,5 dan
oleh asam lemak rantai panjang, sehingga menimbulkan kecenderungan pada hasil tuberkel
untuk menghilang diantara pusat lesi perkijuan yang besar, dimana ditemukan
anaerobiosis, pH yang menurun dan peningkatan kadar asam lemak.
C. EPIDEMIOLOGI
Diseluruh dunia dimana terdapat kesulitan dalam hal medis dan ekonomi,
tuberculosis tetap merupakan penyebab utama kematian. Di Amerika Serikat angka
kematian TBC telah menurun sejak permulaan abad ini, dari 200 menjadi sekitar 2
kematian per 100.000 penduduk.
Penurunan yang serupa telah terjadi pada negara-negara industry yang lain. Hasil
ini dapat dihubungkan dengan banyak factor, tetapi diantaranya pengendalian dari
penyebaran infeksi harus di utamakan. Kebanyakan infeksi didapatkan dari penularan
antar penderita secara langsung dari titik ludah yang dibawa angin (airborne droplet)
yang mengandung organisme dari seseorang penderita aktif yang rentan. Organisme
yang viable dapat tetap tidur pada tempatnya selama berpuluh-puluh tahun dan mungkin
seumur hidup menjadi tuan rumah. Individu-individu yang demikian telah terinfeksi
namun tidak mengalami penyakit yan aktif, dengan demikian tidak dapat menyebarkan
organisme ke orang lain.Tetapi bila pertahanan tubuh menurun, infeksi tersebut dapat
aktif Kembali, untuk menghasilkan suatu penyakit yang menular secara potensial
mengancam kehidupan.
D. PATOGENESIS
Tiga hambatan yang terlibat dalam patogenesis Tuberkulosis
- Dasar Virulensi Organisme
- Kepentingan perkembangan sensitivitas dan imunitas atau kekebalan terhadap
organisme.
- Patogenesis Nekrosis Kaseosa
Virulensi dari basil tuberkel tidak berhubungan dengan semua endotoksin atau eksotoksin
yang diketahui. Kemampuan M.Tuberkel untuk menimbulkan penyakit pada binatang
percobaan kelihatannya berhubungan dengan mikosid dalam fraksi lemak bakteri. Mikosid
juga dapat berfungsi sebagai adjuvan, dengan demikian meningkatkan antigenisitas dari
tuberkulo-protein.
Pada paparan pertama, tanggapan peradangan adalah non spesifik secara keseluruhan yang
menyerupai reaksi terhadap invasi bakteri yang lain. Selama dua atau tiga minggu
bersamaan dengan timbulnya hipersensivitas lambat, reaksi menjadi Granulo-matosa dan
pusatnya seringkali terjadi perkijuan untuk membentuk tuberkel yang khas. Jika di urutkan
tampaknya adalah
- Pengenalan Antigen kepada sel T oleh makrofag yang telah menelan organisme.
- Sensitisasi dari sel T
- Pelepasan limfokin seperti faktor kemotaktik terhadap monosit dan makrofag
dan faktor inhibi migrasi
- Pengumpulan makrofag dan limfosit pada tempat implantasi untuk membentuk
granuloma. Seiring dengan itu Sel T mengaktifkan makrofag dengan
meningkatkan kapasitas fagositosis dan bakterisid, mungkin dengan melepaskan
limfokin yang lain, gama interferon.
Granuloma yang khas pada tuberculosis memiliki perkijuan sentral, mkrofag yang
mengumpul di granuloma secara khas berubah menjadi sel epiteloid yang
mempunyai banyak kerutan pada membran sel., banyak mitokondria, reticulum
endoplasma yang berkembang dengan baik dan golgi kompleks yang besar dan le ih
sesuai untuk fungsi sekresi daripada fagositosis.
Hipersensitivitas memberi syarat pada perolehan imunitas dan ketahanan terhadap
organisme, tetapi pada saat yang sama hipersensitivitas disertai dngan tanggapan
perkijuan.
Tuberkulosis Primer
Suatu bentuk penyakit yang berkembang mula-mula pada seseorang yang tidak
terpapar dan karenanya seseorang yang belum tersensitisasi. Individu yang lanjut
usia dapat kehilangan sensitivitasnya terhadap basil tuberkel sehingga sekali lagi
dapat menderita tuberkulosis primer. Sebaliknya penyakit yang disebabkan oleh
reinfeksi oleh tuan rumah yang sudah tersensitisasi atau reaktivasi dari infeksi
primer disebut tuberculosis sekunder atau pasca primer.
Tuberkulosis Sekunder
Suatu bentuk penyakit yang berkembang pada tuan rumah yang dahulunya sudah
tersensitasi. Biasanya dihasilkan dari reaktivasi lesi primer dorman setelah beberapa
decade. Kadang-kadang dihasilkan dari reinfeksi eksogen karena berkurangnya
perlindungan yang dihasilkan oleh penyakit primer atau organisme, hanya sedikit
penderita (dibawah 5%) dengan penyakit primer berkembang menjadi tuberculosis
sekunder. Tuberculosis paru sekunder selalu hamper selalu bertempat di apeks dari
satu atau kedua lobus atas. Jarang lesi terdapat pada lobus bawah. Sebagai akibat
dari lokalisasi ini, kelenjar limfe regional tidak begitu jelas terlibat pada permulaan
perkembangan penyakit, sebaliknya kavitasi terjadi segera pada bentuk sekunder
yang menghasilkan penyebaran brinkogenik. Sesungguhnya kavitasi hamper selalu
didapatkan dalam tuberculosis sekunder yang diabaikan.
D. MANIFESTASI KLINIS
Tuberkulosis sekunder dapat bersifat asimptomatik. Mula gejala tampak
sebanai manifestasi bersifat samar-smar, terdapat perkembangan bertahap baik pada
gejala-gejala sistemik maupun local. Dasar dari gejala-gejala sistemik tidak jelas, tetapi
seringkali terlihat pada awal perjalanan penyakit seperti malaise, anoreksia, turun nya
berat badan dan panas badan.Pada umumnya febris nya tidak terlalu tinggi, bersifat
remiten (dirasakan pada setiap sore hari dan kemudian mereda) dan malam harinya
berkeringat. Pada keadaan paru mengalami kelainan secra progresif, gejala-gejala local
akan tampak.
Salah satu gejala paling awal adalah batuk yang makin mencemaskan dan
menghasilkan dahak yang makin banyak, mula-mula mucoid kemudian purulent. Bila
ditemukan kavitas, sputum akan mengandung basil tuberkel. Hemoptisis derajat tertentu
terdapat pada sekitar separuh kasus tuberculosis paru. Nyeri pleura dapat juga
merupakan gejala pertama penyakit, yang dihasilkan baik oleh pneumothoraks pontan
maupun penyebaran infeksi kepermukaan pleura. Diagnosis dari tuberculosis paru harus
dipertimbangkan bila terdapat batuk kronik disertai dengan gejala-gejala konstitusional
atau bila terjadi hemoptisis atau pneumotoraks spontan. Diagnosis dari tuberculosis paru
harus dipertimbangkan bila terdapat batuk kronik disertai dengan gejala-gejala
konstitusional atau bila terjadi hemoptisis atau pneumothoraks spontan maupun
penyebaran infeksi kepermukaan pleura. Diagnosis dari tuberculosis paru
dipertimbangkan bila terdapat batuk kronik disertai dengan gejala-gejala konstitusional
atau bila terjadi hemoptisis atau pneumothoraks spontan. Diagnosis didasarkan atas
anamnesis dan ditemukannya konsolidasi atau kavitas pada apeks paru, pada
pemeriksaan fisik dan radiologic.
Tuberkulosis miliar seringkali sukar untuk diagnosis. Hal ini dapat tampak
sebagai penyakit paru yang baru diketahui setelah tiba-tiba memburuk. Lebih sering
tampak pada orang-orang yang lebih dewasa sebagai demam tanpa penyebab yang
diketahui, tanpa disertai penyakit paru yag aktif. Seringkali diagnosis ditegakkan
dengan ditemukannua tuberkel pada sumsum tulang atau biopsis hepar.
Prognosis pada umumnya baik pada infeksi yang terbatas pada paru, kecuali bila
disebabkan oleh strain yang kebal terhadap pengobatan atau timbul pada usia lanjut.
Pada orang-orang yang lemah keadaan umumnya atau mereka yang mendapatkan
imunosupresi yang memiliki resiko berkembangnya tuberculosis miliar. Amiloidosis
dapat timbul pada kasus-kasus yang persisten, yang juga memiliki potensi sebagai
penyebab kematian.
E. DIAGNOSIS
Anamnesis
a) Riwayat demam terus – menerus selama 7 hari atau lebih, tinggi pada sore / malam
daripada pagi / siang. Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu
tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi.
b) Delirium, malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau
konstipasi, muntah, perut kembung.
c) Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
Pemeriksaan Fisis
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid,
meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang –
kadang terdengar ronkhi pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesan tifosa atau status tifosa yaitu : kesadaran
menurun, rambut kering, kulit kering, bibir kering / terbelah – belah / terkupas /
berdarah, lidah kotor (yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis), dan
pucat.6
Tabel 1. Keluhan dan Gejala demam tifoid
Keluhan dan Gejala Demam Tifoid
Periode Keluhan Gejala Patologi
Penyakit
Minggu I Demam remitten, Gangguan saluran Bacteremia
tipe demam cerna
stepladder,
mengigil, nyeri
kepala
Minggu II Rash, nyeri Rose spots, Vaskulitis, hyperplasia
abdomen, diare, splenomegaly, pada peyer patches,
konstipasi hepatomegali nodul tifoid pada limpa
dan hati
Minggu III Komplikasi : Melena, ileus Ulserasi pada peyer
perdarahan patches, peritonitis
saluran cerna,
perforasi, syok
Minggu IV, dst. Keluhan Tampak sakit Carrier kronik
menurun, relaps, berat
penurun BB
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis tifoid dapat di tegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bekteriologi/ pemeriksaan laboratorium, radiologi. 4
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan:
1). Pemeriksaan Darah Rutin
Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan Leukopenia, namun dapat
pula ditemukan normal atau sampai leukositosis. Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia. SGOT dan SGPT serigkali meningkat, tetapi akan
kembali normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus.
2). Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman s.tiphi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.tiphy dengan antibodi
yang di sebut agglutinin. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah suspense
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratrium. Maksud uji widal
adalah untuk menentukan adanya aglutini dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu: Aglutini O (dari tubuh kuman), Aglutini H(flagel kuman),
Aglutinin Vi (simpai kuman).4
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutini O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Hasil dari tes widal dapat diinterpretasikan sebagai berikut, 5
- Titer “O” yang tinggi atau kenaikan titer (1:160 atau lebih) menunjukkan
adanya infeksi aktif. Titer “H” yang tinggi (1:160 atau lebih) menunjukkan bahwa
penderita pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi
- Titer “Vi” yang tinggi tedapat pada carrier
F. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid yaitu:
1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum, mandi, BAK dan BAB akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan
yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia
ortostatik serta hegiene perorangan.Mobilisasi pada pasien tifoid adalah 4
- Hari 1 è duduk 2 x 15 menit
- Hari 2 è duduk 2 x 30 menit
- Hari 3 è jalan
- Hari 4 è pulang
2. Diet dan terapi penunjang, dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan
pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan
menjadi lama. Di masa lampau penderita tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut ditujukan untuk menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. 4
3. Pemberian Antibiotik, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
Obat – obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati tifoid antaralain
adalah sebagai berikut4
Klomrafenikol. di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama untuk memgobati demam tifoid dengan dosis yang diberikan adalah
4x500mg secara per oral atau IV. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas
demam.
Tiamfenikol : dosis dan efektivitas dari timafenikol pada demam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologinya lebih
rendah, dosis tiamfenikol adalah 4x500mg.
Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan sama dengan klomrafenikol.
Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu
Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan adalah
50-150mg/kgBB digunakan selama 2 minggu
Sefalosporin generasi ketiga hingga saat ini golongan sefalosporin generasi
ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang
dianjurkan adalah 3-4 gr dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam
perinfus sekali sehari diberikan selama 3 – 5 hari.
Golongan fluorokuinolon
o Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
o Levofloksasin 500 mg/hari selama 7 hari
o Ofloksasin 2 x 400 mg selama 7 hari
o Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Selain memberikan terapi dengan antibiotic kita juga perlu memperhatikan tuntutan
tubuh lainnya yaitu
a) Kondisi hipermetabolik selama infeksi dengan pemenuhan nutrisi yang adekuat,
tinggi kalori dan protein serta memperhatikan keseimbangan elektrolit
b) Suplemen yang mengandung beta karoten, vitamin C, E serta trace elemen (misal
Zn) guna mendongkrak kinerja seperoksidase dismutase (SOD), katalase, dan
gluthatione (GSH) di sitosol dan meredam peran TNF sehingga dapat
menghadang laju proses kematian sel patologis dipercepat akibat dampak negative
dari ROS. ROS dapat mencetuskan timbulnya krisis scavenger enzyme akibat
defist berbagai komponen micronutrient seperti Fe, Zn, selenium, vitamin C,
vitamin B6, vitamin E atau ketidakseimbangan beberapa zat makanan, seperti
asam amino esensial dapat pula menyebabkan rusaknya komponen system
kekebalan tubuh
G. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi pada sekitar 10-15% pasien terutama dalam minggu ke-2 atau
lebih . Komplikasi utama adalah perdarahan saluran cerna, perforasi usus, dan
ensefalopati tifoid. Relaps dialami oleh 5 – 10% pasien dan terjadi 2 – 3 minggu
steralah demam turun. Komplikasi demam tifoid1,4
Abdomen : Perforasi usus terutama ileum, perdarahan saluran cerna, Hepatitis,
kholestitis
Kardiovaskuler : Miokarditis Syok
Neuropskiatri: ensefalopati, delirium, psikotik, meningitis, gangguan
koordinasi
Respirasi : Bronchitis, Pneumonia
Hematologi: Anemia dan koagulasi intravascular diseminata KID
Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis
Komplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis, atritis
Lain – lain abses fokal, Faringitis, Relaps , karier kronik
H. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam
tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun Negara, mendatangkan devisa
Negara yang bersal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat Negara
endemic dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada
di daerah kunjungan wisata. 4
Preventing dan control penularan, tindakan preventif sebagai upaya penularan dan
peledakan kasus luar biasa ( KLB ) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari
segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan factor penjamu ( host ) serta
lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid
yaitu:4
1. Identifikasi dan eredikasi salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun
kasus karier tifoid.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut maupun karier
3. Proteksi pada orang yang beseiko terinfeksi
Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan akut.
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini cukup sulit dan
memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional.
Cara pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif
menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instasi atau swasta. Sasaran aktif lebih
diutamakan pada populasi –populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan –
minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik serta
distributornya.
Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan pelayanan masyarakat yaitu
petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya. 4
Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier
dapat dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkingan sekita orang
yang telah diketahui mengidap kuman S. typhi.4
Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi.Sarana proteksi
pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun
hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non endemis,
tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah
frekuensinya, serta golongan individu beresiko yaitu golongan imunokompromais
maupun golongan rentan.4 Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:4
Daerah non endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic
Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjual makanan – minuman
Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemic tifoid
Pencarian dan eliminasi sumber penularan
Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus
Penyuluhan higien dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
Daerah endemik
Memasyarkatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan
Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar.4,9
Plan
Diagnosis: Demam Tifoid
Terapi:
IVFD Ringer Laktat 16 tetes/menit
Paracetamol tab 3 x 250 mg
Ceftriaxone 1gr/12 jam/IV
Zinc 20 mg 1 x 1
Konsultasi ke dokter spesialis anak
Makassar,
Peserta, Pendamping,