Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN

Oleh :

dr. Titis Dwina Putri A

Pendamping :

dr. Wiwiek Widiastuti, MM

RSUD Dr. HARDJONO PONOROGO

KABUPATEN PONOROGO

2016-2017

1
LAPORAN KASUS

Nama Peserta : dr. Titis Dwina Putri A


Nama Wahana : RSUD Dr. Hardjono Ponorogo
Topik : Immune Thrombocytopenic Purpura
Tanggal Kasus : 14-12-2016 Presenter : dr. Titis Dwina Putri A
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Wiwiek Widiastuti, MM
Tempat Presentasi : RSUD Dr. Hardjono Ponorogo
Obyektif Presentasi :
o Keilmuan o Keterampilan oPenyegaran o TinjauanPustaka
o Diagnostik o Manajemen o Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja o Dewasa o Lansia o Bumil
Deskripsi : Wanita, 56 tahun, datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Hardjono dengan
keluhan lebam kebiruan di sekujur tubuh sejak 2 minggu. Awalnya lebam hanya satu,
kemudian bertambah banyak dengan ukuran bervariasi, tidak ada riwayat trauma. Beberapa
hari sebelum kunjungan ke poli mengalami perdarahan gusi spontan.
Tujuan : Penegakan diagnosis dan penanganan immune thrombocytopenic purpura
Bahan bahasan o Tinjauan Pustaka o Riset o Kasus o Audit
Cara membahas o Diskusi o Presentasi&Diskusi o E-mail o Pos
Data Pasien : Ny. M 56 tahun
Nama klinik : Alamat : No. RM :
Poli Penyakit Dalam RSUD Jl. Raya Ponorogo-Pacitan, 01585xx
Dr. Hardjono Ponorogo Ponorogo
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Anamnesa :
Keluhan utama: lebam kebiruan di sekujur tubuh
Riwayat penyakit sekarang:
- Pasien datang ke poli penyakit dalam RSUD Dr. Harjono dengan keluhan lebam kebiruan
di sekujur tubuh sejak 2 minggu. Awalnya lebam hanya satu di paha kirinya, kemudian
bertambah banyak terutama di lengan dan tungkainya dengan ukuran yang bervariasi.
Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Beberapa hari sebelum kunjungan ke poli
mengalami perdarahan gusi spontan. Keluhan tidak disertai demam tinggi. Keluhan ini
baru dirasakan pertama kali.
- Pasien memiliki riwayat hipertensi dan sakit lambung, dan sering berobat ke dokter
terdekat jika merasa ada keluhan.

2. Riwayat Penyakit Dahulu :


- Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
- Pasien menderita hipertensi dan nyeri yang berulang di ulu hati (dyspepsia syndrome).
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada riwayat gangguan pembekuan darah di keluarga
- Ibu menderita hipertensi

2
4. Riwayat Pengobatan:
- Belum dilakukan pengobatan untuk lebam
- Pasien mengkonsumsi ranitidine, antasida dan captopril. Pasien beberapa kali
mendapatkan obat yang sama dan tidak ada keluhan lebam akibat mengkonsumsi obat
tersebut.
Pemeriksaan Fisik :
Kesadaran : compos mentis
Vital sign : N : 82 x/min , RR : 20 x/min , T : 36oC , TD : 150/90 mmHg
BB : 65 kg / gizi : lebih
Kepala : anemis -/- icterik -/- pupil bulat isokor
Thorax : bentuk normal, gerak simetris
Pulmo : vesikuler, Rh - / - , Wh - / -
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, BU (+), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan epigastric (+)
Ekstremitas : akral pucat -/-, oedem -/- , ptekie dan ekimosis multipel di ekstrimitas superior
dan inferior ukuran bervariasi.
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 14/12/2016

Parameter Nilai Satuan Nilai Normal


WBC 8,0 103/L 4,0-12,0
LY % 29,3 % 20,0-60,0
MO% 9,8 % 3,0-15,0
GR% 60,9 % 50,0-70,0
LY # 2,3 103/L 0,8-7,0
MO# 0,8 103/L 0,1-1,5
GR# 4,9 103/L 2,0-8,0

RBC 4,15 106/L 3,50-5,20


HGB 11.3 g/dL 12,0-16,0
HCT 33,2 % 35,0-49,0
MCV 80,1 fL 80,0-100,0
MCH 27,2 pg 27,0-34,0
MCHC 34,0 g/dL 31,0-37,0
PLT 4 103/L 150-450
RDW 13,4 % 11,0-16,0
Daftar Pustaka
1. Cines DB, Blanchette VS. Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med 2002; 346
(13): 995-1008.
2. Fogarty PF, Segal JB. The Epidemiology of Immune Thrombocytopenic Purpura. Curr
opin Hematol. 2007. Sep.14(5): 515-9
3. Nugent DJ. Immune Thrombocytopenic Purpura of Childhood. ASH Hematology 2006:
97-103.
Hasil Pembelajaran :

3
1. Penegakan diagnosis Purpura Trombositopenia Imun (PTI)
2. Penatalaksanaan dari Immune Purpura Trombositopenia Imun (PTI)

Rangkuman hasil pembelajaran laporan kasus :

SUBYEKTIF :
Pasien datang ke poli penyakit dalam RSUD Dr. Harjono dengan keluhan lebam kebiruan di
sekujur tubuh sejak 2 minggu. Awalnya lebam hanya satu di paha kirinya, kemudian
bertambah banyak terutama di lengan dan tungkainya dengan ukuran yang bervariasi. Tidak
ada riwayat trauma sebelumnya. Beberapa hari sebelum kunjungan ke poli mengalami
perdarahan gusi spontan. Keluhan tidak disertai demam tinggi.
Pasien memiliki riwayat hipertensi dan sakit lambung, dan sering berobat ke dokter terdekat
jika merasa ada keluhan. Pasien beberapa kali mendapatkan obat yang sama dan tidak ada
keluhan lebam akibat mengkonsumsi obat tersebut.

OBYEKTIF :
Keadaan Umum :
GCS : 4-5-6
BB : 65 kg / Gizi : lebih
Vital Sign :
N: N : 82 x/min , RR : 20 x/min , T : 36oC , TD : 150/90 mmHg
Kepala :
konjuctiva anemis -/- , ikterik -/-, pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+
Thorax
Paru :
Inspeksi : Gerak nafas simetris
Palpasi : Gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor pada kedua hemithorax
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Ronchi -/- wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung sukar ditentukan
Auskultasi : Bunyi Jantung 1 dan Bunyi Jantung 2 murni regular, tidak ada
Murmur/Gallop
Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung, simetris
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Soefl, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrik(+)
Perkusi : Tympani

Extremitas
akral pucat -/-, ptekie dan ekimosis multipel di ekstrimitas superior dan inferior ukuran

4
bervariasi.

Laboratorium 01/02/16
PLT: 4x103 / L

ASSESSMENT :
Dari analisa data di atas, terdapat keluhan adanya ptekie dan ekimosis dengan spontaneous
gingival bleeding, patut dicurigai bahwa pasien ini sedang dalam kondisi gangguan
hemostasis. Hemostasis terdiri dari 3 komponen yakni vaskuler, platelet dan factor koagulasi.
Pada kelainan vaskuler manifestasi yang muncul di kulit adalah purpura yang palpable/
terdapat peninggian permukaan kulit (papula). Pada kelainan fungsi koagulasi manifestasi
perdarahan yang muncul umumnya tidak terjadi di kulit melainan di struktur yang dalam,
misalnya hemarthrosis. Sehingga dari anamnesa sudah bisa dikerucutkan yang terjadi pada
pasien adalah manifestasi dari kelainan platelet.

Kelainan platelet secara garis besar dikarenakan kurangnya jumlah platelet atau fungsinya
yang terganggu. Pada pasien manifestasi klinis muncul karena jumlah platelet yang rendah,
hal ini dikonfirmasi dengan platelet count pasien hanya 4000/ L.

Kelainan jumlah platelet disebabkan oleh produksinya yang rendah atau destruksinya yang
meningkat. Pada kasus produksi produksi platelet yang rendah, kemampuan produksi sel
darah yang lain oleh bone marrow juga rendah, sedangkan pada pasien tidak terjadi anemia
dan leukopenia. Sehingga bisa dikerucutkan lagi pada pasien terjadi peningkatan destruksi
platelet

Peningkatan destruksi platelet etiologinya :


1. Immune mediated
a. Primary/ idiopathic : Purpura Trombositopenia Imun (PTI)
b. Secondary : drug induce (heparin, vancomycin, sulfonamides, quinidine) infeksi
(herpes, HIV, HCV), kelainan jaringan ikat dan vascular (SLE)
2. Non immune mediated, misalnya preeklamsi dengan HELLP syndrome
Dari anamnesa bisa disingkirkan kemungkinan penyebab destruksi platelet pada pasien, dan
bisa disimpulkan penyebab munculnya gejala pada pasien karena idiopathic/ immune
thrombocytopenic purpura (ITP)

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang pada Ny. M 56
tahun didapatkan diagnose Purpura Trombositopenia Imun (PTI)

5
PLANNING :
Diagnosis :
Terapi :
IV line NS 20 tpm
Transfusi TC 4 kolf
Inj. Metil prednisolone 2x125mg
Inj. Ranitidin 2x100mg
PO. Irbesartan 1x150 mg
PO. Sucralfate 3xCI
Konsultasi :
dokter Spesialis Penyakit Dalam
Monitoring :
Reaksi transfusi, keluhan, perdarahan spontan, dan platelet post transfusi.
Follow up:
15/12/2016: reaksi post transfusi (-), platelet post transfusi 4 kofl TC 5x103 / L, keluhan lain(-)
17/12/2016: melena (+), platelet post transfusi 4 kolf TC 7x103 / L
19/12/2016: melena (-), platelet post transfusi 4 kolf TC 9x103 / L
20/12/2016: platelet 10x103 / L
21/12/2016: KRS, kontrol poli penyakit dalam

6
TINJAUAN PUSTAKA
PURPURA TROMBOSITOPENIA IMUN

1. PENGERTIAN
Purpura Trombositopenia Imun (PTI) adalah kelainan didapat yang berupa
gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya
penghancuran trombosit secara dini dalam system retikuloendotel akibat adanya
autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglubolin G 1,2.
Angka kejadian diperkirakan adalah 100 kasus per 1 juta orang per tahun, dan
sekitar setengah dari kasus-kasus ini terjadi pada anak-anak. Berdasarkan etiologi,
PTI dibagi menjadi 2 yairu primer (idiopatik) dan sekunder untuk gangguan yang
mendasari. Berdasarkan onset penyakit dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang
atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak) dan kronik bila lebih
dari 6 bulan (umumnya terjadi pada orang dewasa). PTI terjadi bila trombosit
mengalami destruksi secara prematur sebagai hasil dari deposisi autoantibodi atau
kompleks imun dalam membran system retikuloendotel limpa dan umumnya di hati1.

2. EPIDEMIOLOGI
Insidensi PTI pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000, PTI akut umumnya terjadi
pada anak-anak usia rata-rata 2 - 6 tahun. 7 - 28 % anak-anak dengan PTI akut
berkembang menjadi kronik (l5-20%). PTI pada anak berkembang menjadi bentuk
PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai PTI dewasa yang khas. Insidensi PTI
kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak per tahun 1,3.

Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58 - 66 kasus baru per satu juta populasi
perlahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. PTI
kronik pada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia 40 -
45 tahun. Ratio antara perempuan dan laki-laki adalah 1 : 1 pada penderita PTI akut
sedangkan pada PTI kronik adalah 2-3:1 1.

Penderita PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI yang gagal diterapi
dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat
terapi karena angka trombosit dibawah normal atau ada perdarahan. Penderita PTI
refrakter ditemukan kira-kira25 -30 persen dari jumlah penderita PTI. Kelompok ini

7
mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas yang cukup
bermakna dan morlalitas kira-kta 16% 2.

3. PATOFISIOLOGI

Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan


dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh
sistem fagosit mononuklear rnelalui reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van
Leeuwen pertama mengidentifikasi membran trombosit glikoprotein IIb/IIIa (CD41)
sebagai antigen yang dominan dengan mendemostrasikan bahwa autoantibodi eluate
dari trombosit pasien PTI berikatan dengan trombosit normal1,2,3.
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian
transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI, dan
perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang
menerima transfusi plasma kaya IgG, dari seorang penderita PTI. Trombosit yang
diselimuti oleh autoanttbodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan
di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrotag
jaringan. Pada sebagian besar penderita. akan terjadi mekanisme kompensasi dengan
peningkatan produksi trombosit. Pada sebagaian kecil yang lain, produksi trombosit
tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi
oleh makrofag didalam sumsum tulang (intramedullary) karena hambatan
pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak
meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal. Untuk sebagian kasus
PTI yang ringan, hanya trombosit yang diserang, dan megakariosit mampu untuk
mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi trombosit. Penderita PTI
dengan tipe ini dapat dikatakan menderita PTI kronik tetapi stabil dengan jumlah
trombosit yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang berat, aut antibodi
dapat langsung menyerang antigen yang terdapat pada trombosit dan juga pada
megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita harus rnenjalani
pengobatan untuk menghindari risiko perdarahan internal/ organ-organ dalam2.

Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi


PTI untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks
glikoprotein IIb/IIIa Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan
glikoprotein Ib/IX, Ia/IIa, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga
dijumpai antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen) yang berbeda. Destruksi
trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan

8
menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi
yang cukup untuk menimbulkan trornbositopeni (Gambar l)1,3.

Gambar 1. Patogenesis penyebaran Epitop pada PTI


Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein IIb/IIIa
memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal
dari displai phage menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang
berikatan dengan antigen dari antibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi
tersebut berasal dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang diperantarai
antigen dan melalui mutasi somatik. Penderita PTI dewasa sering menunjukkan
peningkatan jumlah HLADR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2 dan
peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel T helper dan sel
T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi
setelah
terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh protein
alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang
bertahan lama tidak diketahui dengan pasti 3.

Dari gambar 1 dapat menperjelas bahwa, faktor yang memicu produksi


autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap
glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis.
Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi
yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini (1). Trombosit
yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag
atau sel dendritik) melalui reseptor Fc kemudian mengalami proses internalisasi dan
degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi
juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel

9
penyaji antigen yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida baru pada permukaan
sel dengan
bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan
sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone (T-
cell clone-l) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2) (5). Reseptor sel imunoglobulin
sel B yang mengenali antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan demikian akan
menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein I b/IX antibodi dan juga
meningkatkan produksi antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone 1 2.

Metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara
langsung pada
berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibody dan sensitisasi, klirens dan
produksi trombosit (Gambar 2) 2.

Dari Gambar 2, dijelaskan bahwa pada umumnya obat yang digunakan sebagai
terapi awal PTI menghambat terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit
oleh ekspresi reseptor Fc pada makrofag jaringan (1). Splenektomi sedikitnya
bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi
sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa penderita.
Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghalangi
kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit,
sedangkan trombopoetin berperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa
imunosupresan non spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat
sel-T(3). Antibodi monoklonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji
klinik, merupakan kostimul asi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T
makrofag dan interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat daiam produksi antibodi dan
pertukaran klas (4). Imunoglobulin iv mengandung antiidiotypic antibody yang dapat
menghambat produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20
pada sel-sel B juga masih dalam penelitian (5). Plasrnaferesis dapat mengeluarkan
antibodi sementata dari plasma (6). Transfusi4.

Dari gambar 2, dapat untuk menggambarkan bagaimana pendekatan pengobatan


dapat dilakukan sebagai terapi awal PTI dalam menghambat terjadinya klirens
antibodi yang menyelimuti trombosi t oleh ekspresi reseptor Fc pada makrofag
jaringan (1). Splenektomi
sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu
interaksi sel-T dan seL-B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa
penderita. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara
menghaiangi kemampuan makrofag

10
dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoetin
berperan merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non
spesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat sel-T. (3). Antibodi
monoklonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan
kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag dan
interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam produksi antibodi dan pertukaran klas
(4). Imunoglobulin iv mengandung antiidiotypic antibody yang dapat menghambat
produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel
B juga masih dalam penelitian (5). Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibody
sernentara dari plasma (6). Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk
terapi perdalahan. Efek dari stafilokokkus protein A pada susunan antibodi masih
dalam penelitian (7)4.

Gambar 2. Pendekatan terapi PTI berdasarkan mekanisme kerja dari splenektomi,


beberapa obat dan plasmafaresis

Antibodi-anti Trombosit
Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia ditemukan pada 75 %
pasien PTI. Autoantibodi IgG antitrombosit ditemukan pada 50 85% penderita.
Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG dan hampir 50 % kasus,
kedua serotipe immunoglobulin tersebut ditemukaan pada pasien yang sama.
Antibodi IgM juga ditemukan pada sejumlah kecil pasien tetapi tidak pernah sebagai
autoantibodi tunggal 2.
Peningkatan jumlah IgG telah tampak di permukaan trombosit, dan kecepatan
destruksi trombosit pada PTI adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai
trombosit yang berhubungan dengan imunoglobulin. Autoantibodi dengan mudah

11
ditemukan dalam plasma atan dalam eluate trombosit pada pasien dengan penyakit
yang aktif, tetapi jarang ditemukan pada pasien yang mengalami rernisi. Hilangnya
antibodi-antibodi berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang normal.

Masa Hidup Trombosit


Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi memendek pada PTI
menjadi berkisar dari 2 - 3 hari sampai beberapa menit. Pasien yang trombositopeenia
ringan sampai sedang mempunyai masa hidup terukur yang lebih lama dibandingkan
dengan pasien dengan trombositopenia berat 1.
4. KLASIFIKASI
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, onset
penyakit biasanya mendadak. Riwayat infeksi mengawali terjadinya perdarahan
berulang sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan
penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus
pediatrik trombositopenia imunologik. Virus yang paling banyak diidentitikasi adalah
varisella zooster dan ebstein barr. Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak
biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. Pada PTI
dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami perdarahan dan
perjalanan penyakit lebih fulminan. PTI akut pada anak biasanya self limiting, remisi
spontan terjadi pada 90% pendeita ,60% sembuh dalarn 4-6 minggu dan lebih dari
90% sembuh daiam 3-6 bulan 4.

PTI Kronik
Onset PTI kronik biasanya tidak menentu. Riwayat perdarahan sering dari
ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, dan memilik
perjalanan klinis yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu, mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi
spontan jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap 4.
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, peteki, purpura. Pada umumnya
berat dan frekwensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum
hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT >
50.000 /mL maka biasanya asimptomatik, AT 30.000 - 50.000 /mL terdapat luka
memar/ hematom, AT 10.000 - 30.000 /mL terdapat perdarahan spontan, menoragi
dan perdarahan memanjang bila ada luka, AT < 10.000 /mL terjadi perdarahan
mukosa (epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria) dan risiko
perdarahan sistem saraf pusat 4.

12
Perdarahan gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapat berasal dari lesi peteki
pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus
genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling sering, menoragi dapat
merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak pertama kali pada
pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan gastrointestinal
biasanya berrnanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengun hematemesis 2,4.
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang paling serius pada PTI.
Hal ini mengenai hampir l% penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan
biasanya di subarachnoid, sering multipel dan ukuran bervariasi dari peteki sampai
ekstravasasi darah yang luas 4.

5. DIAGNOSA
Lamanya perdalahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik,
serta tidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk menyingkirkan
bentuk sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis pemakaian obat-obatan
yang dapat menyebabkan trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan
perdarahan karena trombosit yang rendah (peteki, purpura, perdarahan konjungtiva
dan perdarahan selaput lender yang lain). Purpura Thrombocytopenic Imrnune
dewasa terjadi umumnya pada usia 18 - 40 tahun dan 2-3 kali lebih sering mengenai
wanita daripada pria 4.

Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada limfadenopati.
Selain trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi
diperlukan untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi
yang lain. Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit
muda ini bisa dideteksi oleh flow sitometri berdasarkan messenger RNA yang
rnenerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak sejelas gambaran pada kegagalan
sumsum tulang pada hitung trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting
adalah fungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai banyak megakariosit
dan agranuler atau tidak mengandung trombosit 3, 4.

Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40
tahun, pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia)
atau pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan,
banyak ahli pediatri hematologi
merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum mulai terapi
kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut 4.

13
Pengukuran trombosit dihubungkan dengan antibody secara langsung uji untuk
mengukur trombosit yang berikatan dengan antibodi yakni dengan Monoclonnl-
Antigen-Capture Assay sensitivitas 45-66%, spesifisitasnya 78 92% dan
diperkirakan bernilai positif 80 83%. Uji negatif tidak menyingkirkan diagnosis
deteksi yang tanpa ikatan antibodi plasma tidak digunakan. Uji ini tidak membedakan
bentuk primer maupun sekunder PTI. Untuk menentukan diagnosis banding PTI
tersebut perlu meninjau kembali patofisiologi klasifikasi trombositopenia pada tabel 1
1,4
.

(A) (B)

Gambar . 3 (A) Petechiae yang ekstensif dan purpura pada tungkai bawah seorang
penderita PTI. (B) Perdarahan konjungtiva

14
Tabel 1. Patofisiologi klasifikasi trombositopenia

6. PENATALAKSANAAN
Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman
sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi hindari
aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma kepala, hindari
pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni
terapi farmakologis 5,6.

Terapi Awal PTI (Standar)

Prednison. Terapi awal PTI dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0 - 1,5
mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu

15
dan pada umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid
dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian
tapering. Kriteria respons awal adalah peningkatan AT > 30.000/L, AT >50.000/L
setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan
AT < 30.000/L,.AT < 50.000/L setelah terapi 10 hari. Respon menetap bila AT
menetap > 50.000/L setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten
dan trombositopenia berat (AT < 10.000/L) setelah mendapat terapi prednison perlu
dipertimbangkan untuk splenektomi 5,6.

Imunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena (IgIV) dosis 1 g/kg/hari selama


2 - 3 hari berlurut-turut digunakan bila terjadi perdarahan intemal, saat AT < 5.000/L
meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya
purpura yang progresif. Hampir 80% penderita berespon baik dengan cepat
meningkatkan AT namun perlu pertimbangan biaya. Gagal ginjal dan insufisiensi paru
dapat terjadi serta syok anafilaktik pada penderita yang mempunyai defisiensi IgA
kongenital. Mekanisme kerja IgIV pada PTI masih belum banyak diketahui, namun
meliputi blokade fc reseptor, antiidiotype antibodies pada IgIV yang menghambat
ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi 5,6.

Splenektomi. Splenektomi untuk terapi PTI telah digunakan sejak tahun 1916 dan
digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950-an. Splenektomi
pada PTI dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang gagal berespon
dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus menerus. Efek
splenektomi pada kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat-tempat antibodi
yang tertempel trombosit yang bersifat merusak
dan menghilangkan produksi antibodi anti trombin. Indikasi splenektomi sebagai
berikut:
a. Bila AT < 50.000/L setelah 4 minggu (satu studi menyatakan bahwa semua
pasien yang mengalami remisi komplit mempunyai AI > 50.000/L dalam 4
minggu).
b. Angka Trombosit tidak menjadi normal setelah 6-8 minggu (karena problem
efek samping).
c. Angka Trombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan (tapering off) .
Respon post splenektomi didefinisikan sebagai: Tak ada respons bila gagal
mempertahankan AT >50.000/L beberapa waktu setelah splenektomi, Relaps bila AT
turun < 50.000 /L. Angka 50.000 dipilih karena diatas batas ini, penderita tidak
diberi terapi . Respons splenektomi bervariasi antara50% sampai dengan 80% 5,6.

Penanganan Relaps Pertama

16
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang
tidak berespon dengan kortikostroid, immunoglobulin iv dan immunoglobulin anti-D.
Banyak spesialis menggunakan AT < 30.000/L sebagai ambang batas untuk
memulai terapi pada PTI daripada AT > 30.000/L. Tidak ada konsensus yang
menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin anti-D sebagai
terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk penderita Rh-positif.
Apakah penggunaan IgIV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung
pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk
memutuskan apakah terapi penderita yang mempunyai AT 30.000/L sampai
50.000/L bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan
ada tidaknya risiko tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/L perlu diberi IgIV
sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien. Pada penderita PTI
kronik dan AT < 30.000/L IgIV atau metilprednisolon dapat membantu
meningkatkan AT dengan segera sebelum splenektomi. Daftar medikasi untuk terapi
PTI kronik pada pasien yang mempunyai AT < 30.000/L dapat dipergunakan secara
individual, namun danazol atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis
rendah dibutuhkan untuk mencapai suatu AT hemostasis. IgIV dan anti-D
imunoglobulinumumnya sebagai cadangan untuk PTI berat yang tidak respon dengan
terapi oral. Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi, kemudian terapi
medis diteruskan atau dosis diturunkan dan akhirnya terapi dihentikan pada penderita
PTI kronik dengan AT 30.000/mL atau lebih, bergantung pada intensitas terapi yang
diperlukan, toleransi efek samping, risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan
pilihan penderita 5,6.

Terapi PTI Kronik Refrakter


Pasien refrakter (25% - 30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut
Karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respon
terapi yang rendah, mempunyai
morbiditas yang signifikan terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki
morlalitas sekitar 16%. PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria
sebagai berikut:
a. PTI menetap lebih dari 3 bulan
b. Penderita gagal berespon dengan splenektomi.
c. AT<30.000/pL 7,8.

17
Gambar 4. Pengelolaan PTI awitan dewasa

7. PROGNOSIS
Respon terapi dapat mencapai 50-10% dengan kortikosteroid . Pasien PTI dewasa
hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan, penyebab kematian pada PTI
biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial yang berakibat fatal berkisar 2,2%
untuk usia lebih dari 40 tahun dan sampai 41,8% untuk usia lebih dari 60 tahun.

18
Daftar Pustaka
1. Cines DB, Blanchette VS Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med.
2002;316 (13): 995-1006
2. Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher, E.
Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper editors llurison's
Principles ol hrternal Medicine, 15'h ed. 2001.
3. Levine SP Thrombocylopenia Caused by Imlnunologic Platelet Destruction in
GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas, JP.Greer, GM Rodgers editors.
Wntrobe's Clinical Hematology 10' edition. Baltimore, Philadelphia, London.:
William & Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-611.
4. George JN, Rizvi MA Clinical Manifestations and Diagnosis of Idiopathic
Thrombocitopenic Purpura I-II in: Up ToDate, Rose B D. editor. Up ToDate,
Wellesley. MA, 2004
5. George, JN. Treatment and prognosis of ldiopathic Thrombocitopenic Purpura
in: Up ToDate, Rose B D (Ed). Up ToDate, Wellesley, MA, editors. 2004
6. Psaila, B., Podolanczuk, AJ., Bussel, J., 2007 Recent Advances in the Treatment
of immune Thrombocytopenic Purpura www medscape com
7. Provan D, Newland A Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
(PTI): Management of Refractory in Adults British J Hemato[ 2OO2: 118: 933-
94.1.
8. McMillan R Therapy for Adults with Refractory Chronic Immune
Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med 1997; 1261,301-314

19

Anda mungkin juga menyukai