Anda di halaman 1dari 12

PRESENTASI KASUS

PLEURITIS TUBERCULOSIS

Diajukan Kepada :

dr. Hj. Niarna Lusi Sp.PD

Disusun oleh :

Almas Nur Prawoto

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

2017
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. C
Umur : 29 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Gamping

II. KASUS

A. Keluhan Utama : Demam 2 minggu


B. RPS : Pasien mengeluh demam selama 2 minggu SMRS. Demamnya
dirasakan sepanjang hari dan disertai dengan batuk . Batuk yang dialami mulai sejak
demam dan tidak disertai dengan dahak maupun darah. Pasien mengeluh nyeri dada saat
bernafas. Pasien juga mengeluh merasa menggigil dan terkadang keringat dingin saat
malam hari. Pasien mengeluh nyeri kepala dan nyeri perut sejak 2 minggu SMRS. Tidak
terjadi perubahan pola BAB maupun BAK. Nafsu makan menurun sejak 2 minggu yang
lalu dan disertai berat badan menurun lebih kurang 5 kg. Pasien mengalami mual dan
muntah. Nyeri ulu hati (-).
C. RPD : Riwayat mengalami sakit yang serupa (-), riwayat kontak dengan
penderita batuk lama (-), riwayat berobat 6 bulan sebelumnya (-), riwayat batuk lebih dari
2 minggu (-)hipertensi (-), diabetes mellitus (-), Thyphoid fever (+).
D. RPK : Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (-), suami pasien
merokok, riwayat batuk lebih dari 2 minggu dalam keluarga (-), hipertensi (-), diabetes
mellitus (-)

Pemeriksaan Fisik

E. Keadaan Umum : KU cukup, Compos mentis


F. Tanda Vital :
TD : 97/60 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 38,9oC
G. Status Generalis :
Kepala : Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, palpebra tidak edema
Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran limfonodi.
Thorax :
- Cor :
o Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi: ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra
o Auskultasi: S1-S2 reguler, murmur (-), Gallop (-)

- Pulmo
o Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris, jejas trauma (-), otot bantu
pernafasan (-)
o Palpasi :
Fremitus

Depan Belakang
N N N N
N N N N
N N N N

o Perkusi:

Depan Belakang
Sonor Sono Sono Sono
r r r
Sonor Sono Sono Sono
r r r
Sonor Sono Sono Sono
r r r

o Auskultasi: Vesikuler +/+, Wheezing +/+, Ronchi -/+


- Abdomen :
o Inspeksi: datar, caput medusa (-), striae (+)
o Auskultasi: bising usus (+) normal, 9 x/menit
o Perkusi: timpani di seluruh kuadran abdomen, shifting dullness (-)
o Palpasi: massa (-), nyeri tekan (-), undulasi (-), hati teraba 1 jari dibawah arcus
costa, lien tidak teraba, nyeri ketok ginjal (-)

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik

Hasil Laboratorium

- Hb : 10.8 (L)
- AL : 5.300
- Basofil : 1
- Eosinofil: 1
- Neutrofil: 66
- Limfosit: 25
- Monosit: 7
- Eritrosit: 4.14
- Hmt: 33 (L)
- MCV: 78.7 (L)
- MCH: 26.1 (L)
- MCHC: 33.1
- AT: 489 (H)
- GDS: 70.6
- SGOT: 6
- SGPT: 18
- Ureum: 13.4 (L)
- Kreatinin: 0.67
- Asam Urat: 2.96

- Mantoux test (+)

- Hasil Foto Thorax :


Thorax dewasa S-CR.
Perselubungan semi opaq
homogen di paracardial kiri
sehingga sinus CF kiri
tampak tumpul.
- Suspek pleuropneumonia
- Besar Cor normal.

H. Terapi di Bangsal
- Paracetamol 500 mg/ 8 jam
- Rifastar 4FDC/24 jam ((Per
tab Rifampicin 150 mg,
Isoniazid 75 mg,
pyrazinamide 400 mg,
ethambutol 275 mg)
- Ciprofloxacin 200 mg/12
jam

I. Diagnosis
- Pleuritis TB
- Anemia
J. Differential Diagnosis
- Bronchitis
- Pneumonia
FOLLOW UP

6 Mei 2017

Tekanan Darah 98/65 mmHg

Nadi 74x/menit

Suhu 37,4 oC

7 Mei 2017
Tekanan Darah 112/55 mmHg

Nadi 70x/menit

Suhu 38,1 oC

8 Mei 2017

Tekanan Darah 112/55 mmHg

Nadi 70x/menit

Suhu 37,8 oC

9 Mei 2017
Tekanan Darah 93/60 mmHg

Nadi 82x/menit

Suhu 36,9 oC
PEMBAHASAN
1. Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang memiliki prevalensi tinggi di
Indonesia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya
menginfeksi paru. Transmisi penyakit biasanya melalui saluran nafas yaitu melualui
droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB paru.

Pleuritis TB merupakan suatu penyakit TB dengan manifestasi menumpuknya cairan di


rongga paru, tepatnya di antara lapisan luar dan lapisan dalam paru. Dikenal dua macam
pleuritis, yaitu yang kering dan basah. Di Indonesia paling sering dijumpai radang
selaput paru yang basah. Di dunia kedokteran dinamakan Pleuritis eksudatifa atau Efusi
Pleura.
2. Patofisiologi
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 1-20 ml. Cairan di dalam rongga
pleura jumlahnya tetap karena ada keseimbangan antara produksi oleh pleura viseralis
dan absorpsi oleh pleura parietalis.

Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB
dalam rongga pleura. Antigen ini masuk ke dalam rongga pleura akibat pecahnya fokus
subpleura. Rangsangan pembentukan cairan oleh pleura yang terkait dengan infeksi
kuman TB.
Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post
primer (reaktivasi). Pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak
terjadi pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan
pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai pleuritis TB primer
menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus
kaseosa subpleura ke kavitas pleura.
Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan sel T yang
sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena
meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan
di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa
serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil TB.

Beberapa kriteria yang mengarah ke pleuritis TB primer:


Adanya data tes PPD positif baru
Rontgen thorax dalam satu tahun terakhir tidak menunjukkan adanya
kejadian tuberkulosis parenkim paru
Adenopati hilus dengan atau tanpa penyakit parenkim

Umumnya, efusi yang terjadi pada pleuritis TB primer berlangsung tanpa


diketahui dan proses penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus. Pleuritis TB dapat
berasal dari reaktivasi atau TB post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas
pasien turun. Pada kasus Pleuritis TB rekativasi, dapat dideteksi TB parenkim paru
secara radiografi dengan CT scan pada kebanyakan pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada
lobus superior atau segmen superior dari lobus inferior. Bekas lesi parenkim dapat
ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB reaktivasi. Efusi yang
terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda adanya TB
parenkim yang aktif. Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat penyebaran
basil TB secara langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik pada
TB post primer (reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura
terjadi 10-30% dari kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan
bilateral. PPD test dapat negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya jadi negatif

3. Manifestasi Klinis
Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut disertai batuk
nonproduktif (94%) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan lekosit darah tepi.
Penurunan berat badan dan malaise bisa dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian
besar efusi pleura TB bersifat unilateral (95%), lebih sering di sisi kanan. Jumlah cairan
efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemitoraks. Jumlah
maupun lokasi terjadinya efusi tidak mempengaruhi prognosis. Dari gambaran radiologis
bisa dijumpai kelainan parenkim paru. Bila kelainan paru terjadi di lobus bawah maka
efusi pleura terkait dengan proses infeksi TB primer. Dan bila kelainan paru di lobus atas,
maka kemungkinan besar merupakan TB pasca primer dengan reaktivasi fokus lama.
Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya.
Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB adalah cairan pleura dan jaringan pleura.
Biakan TB dari cairan pleura positif pada sekitar 42% kasus, dan dari biopsi positif
sekitar 54%.
Terapi pleuritis TB sama dengan terapi TB paru. Bila respons terhadap terapi baik, suhu
turun dalam 2 minggu terapi, serta cairan pleura diserap dalam 6 minggu. Namun pada
beberapa pasien demam dapat berlangsung hingga 2 bulan, dan penyerapan cairan
memerlukan waktu hingga 4 bulan. Steroid dapat memperpendek fase demam dan
mempercepat penyerapan cairan serta mencegah perlekatan, walaupun rasio manfaat dan
risiko penggunaannnya belum diketahui pasti. Drainase cairan pleura secara rutin
tampaknya tidak mempengaruhi hasil akhir jangka panjang. Penebalan pleura sebagai
sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.

4. Diagnosis

Pleuritis TB tidak selalu mudah didiagnosis, karena tidak selalu ada gambaran khas
seperti adanya eksudat yang kaya limfosit pada cairan efusi, granuloma nekrotik kaseosa
pada biopsi pleura, hasil positif dari pewarnaan Ziehl Neelsen atau kultur Lowenstein
dari cairan efusi atau jaringan sampel dan sensitivitas kulit terhadap PPD. Diagnosis dari
pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan biopsi pleura.
Pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa penelitian meneliti adanya penanda biokimia.

Hasil torakosintesis efusi pleura dari pleuritis TB primer mempunyai arakteristik cairan
eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura >30g/dL, rasio LDH cairan
pleura dibanding serum > 0,5 dan LDH total cairan pleura >200U. Cairan pleura
mengandung dominan limfosit (sering lebih dari 75% dari semua materi seluler), sering
dikiuti dengan kadar glukosa yang rendah. Sayangnya, dari kharakteristik diatas tidak
ada yang spesifik untuk tuberkulosis, keadaan lain juga menunjukkan karakteristik yang
hampir mirip seperti efusi parapnemonia, keganasan, dan penyakit rheumatoid yang
menyerang pleura.

Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif (0-1%). Isolasi
M. tuberkulosis dari kultur cairan pleura hanya didapatkan pada 20-40% pasien pleuritis
TB. Hasil pemeriksaan BTA dan kultur yang negatif dari cairan pleura tidak mengekslusi
kemungkinan pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada
kasus primer dan kultur menunjukkan hasil positif hanya pada 25-33% pasien.
Sebaliknya, pada kasus reaktivasi pemeriksaan BTA sputum positif pada 50% pasien dan
kultur positif pada 60% pasien.
Hasil tes tuberkulin yang positif mendukung penegakkan diagnosis pleuritis TB di daerah
dengan prevalensi TB yang rendah (atau tidak divaksinasi), akan tetapi hasil tes
tuberkulin negatif dapat terjadi pada sepertiga pasien.

Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk pleuritis
TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan
granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif. Hasil biopsi perlu diperiksa secara
PA, pewarnaan BTA dan kultur.

Pemeriksaan dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) didasarkan pada amplifikasi


fragmen DNA mikobakterium. Karena efusi pada pleuritis TB mengandung sedikit basil
TB, secara teori sensitivitasnya dapat ditingkatkan mengunakan PCR. Banyak penelitian
yang mengevaluasi efikasi PCR untuk mendiagnosis pleuritis TB dan menunjukkan
bahwa sensitivitas berkisar antara 20-90% dan spesifitas antara 78-100%

5. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat unutk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering
digunakan dalam screening TBC. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji
tuberkulin adlah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang
menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1-2 92%, 2-4 tahun 78%, 4-6
tahun 75% dan umur 6-12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa
semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih
sering digunakan. Lokasi penyuntuikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (kedalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi0 yang terjadi:
1. Indurasi 0-4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis: tidak ada infeksi Mycobacterium
tuberculosis.
2. Indurasi 5-9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi
silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3. Indurasi >/= 10mm, uji mantoux positif. Arti klnis: sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.

6. Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk:
Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas
Mencegah kematian
Mencegah kekambuhan
Mengurangi penularan
Mencegah terjadinya resistensi obat

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kaegori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-DKT) lebih
menguntugkan dan lebih dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensip dan lanjutan:

1. Tahap Awal (Intensif): Pada tahap intensip pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan: Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu:

(R=Rifampicin, H=Isoniazid, Z=Pirazinamid, E=Etambutol, S=Streptomisin)


- Kategori I
o TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas.
o Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE aatau
2 RHZE/4R3H3
- Kategori II
o TB paru kasus kambuh
Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/1 RHZE sebelum ada
hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat
sesuai dengan hasil uji resistensi.
o TB paru kasus gagal pengobatan
Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil uji
resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan ofloksasin, etionamid, sikloserin).
Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2
RHZES/ 1 RHZE
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi
Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.
o TB Paru kasus putus berobat
Berobat 4 bulan
BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada
perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran
radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut unutk memastikan
diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5
R3H3E3)
Berobat 4 bulan
o Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama ( 2 RHZES/ 1 RHZE/ 5
R3H3E3)
o Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif,
pengobatan diteruskan.
- Kategori III
o TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal
o Paduan obat yang diberikan adalah 2 RHZE/ 4 R3H3
- Kategori IV
o TB paru kasus kronik, paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai
hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2
(pengobatan minimal 18 bulan).
- Kategori V
o MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah
OAT lini 2 atau H seumur hidup.
Obat-obat TB memiliki efek samping diantaranya:

1. Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan hepar yang akan mengakibatkan mual, muntah
dan jaundice. Kadang dapat menyebabkan kebas pada tungkai.
2. Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan warna air mata, keringat dan
urine menjadi orange atau merah.
3. Pirazinamid dapat menyebabkan kerusakan hepar gout.
4. Etambutol dapat menyebabkan kabur dan gangguan penglihatan warna karena obat ini
mempengaruhi nervus optikus.
5. Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguan pendengaran akibat kerusakan
safat telinga dalam.

Referensi:

1. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama. Departemen


Kesehatan Republik Indoneia. 2007.
2. International Standards for Tuberculosis Care: Diagnosis, Treatment, Public Health.
Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2006.
3. Aditama TY, Soedarsono, Thabrani Z. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006.

Anda mungkin juga menyukai