Anda di halaman 1dari 15

TERAPI CAIRAN

Disusun oleh:
Subkelompok 2
1. Raniwari Fajeriah 4151191001
2. Dwi Andriani Kusuma 4151191004
3. Ratna Dwi Puji 4151191009

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
JULI 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................3
2.1 Pengertian...........................................................................................................3
2.2 Tujuan.................................................................................................................3
2.3 Indikasi................................................................................................................3
2.4 Perubahan Cairan Tubuh.................................................................................3
2.4.1 Perubahan Volume......................................................................................4
2.4.2 Perubahan Konsentrasi..............................................................................4
2.4.3 Perubahan Komposisi.................................................................................5
2.5 Perubahan Konsentrasi.....................................................................................6
2.5.1 Hipernatremia.............................................................................................6
2.5.2 Hiponatremia...............................................................................................6
2.5.3. Hiperkalemia..............................................................................................7
2.5.4. Hipokalemia................................................................................................7
2.6 Jenis Cairan........................................................................................................7
2.6.1 Cairan Kristaloid.........................................................................................7
2.6.2 Cairan Koloid..............................................................................................9
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................12

i
BAB I
PENDAHULUAN

Cairan merupakan salah satu komponen penting dalam tubuh manusia. Hampir
60% dari komposisi tubuh manusia merupakan cairan yang berupa larutan ion dan zat
lainnya. Jumlah cairan total pada masing-masing individu dapat bervariasi
berdasarkan umur, berat badan, maupun jenis kelamin. Pada bayi usia <1 tahun cairan
tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia >1 tahun mengandung
air sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase jumlah
cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-
60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50% berat badan. Cairan dan
elektrolit merupakan komponen penting dari tubuh untuk menjamin kehidupan
normal dari semua proses yang berlangsung di dalam tubuh. Menjaga agar volume
cairan tubuh tetap relatif konstan dan komposisi elektrolit di dalamnya tetap stabil
adalah penting bagi homeostasis.1,2
Cairan dalam tubuh manusia dibagi menjadi cairan intraseluler dan ekstraseluler.
Kedua cairan tersebut dipisahkan oleh membran sel yang sangat permeabel terhadap
air, tetapi tidak permeabel terhadap sebagian besar elektrolit. Cairan intraseluler
mengandung banyak ion kalium, magnesium, dan fosfat, dibandingkan dengan ion
natrium dan klorida yang banyak ditemukan pada cairan ekstraseluler. Komponen
cairan ekstraseluler terdiri dari ion natrium, klorida, dan bikarbonat yang jumlahnya
banyak, serta ditambah berbagai zat gizi untuk sel, seperti oksigen, glukosa, asam
lemak, dan asam amino. Komponen penting dari cairan ekstraseluler adalah cairan
interstisial, yang jumlahnya mencapai tiga perempat dari seluruh keseluruhan cairan
ekstraseluler, dan seperempat lainnya merupakan plasma.1
Keseimbangan distribusi cairan dan elektrolit diatur melalui proses pengaturan
mekanisme yang beraneka ragam dan saling dalam satu kesatuan. Bila terjadi
gangguan keseimbangan dari cairan dan elektrolit, normalnya segera diikuti oleh
proses kompensasi untuk mempertahankan kondisi normal cairan dan elektrolit
sehingga fungsi organ vital dapat dipertahankan. Agar keseimbangan cairan dan

1
elektrolit dapat dipertahankan secara optimul dan terus menerus, diperlukan proses
pengaturan keseimbangan yang adekuat. Apabila terjadi gangguan di salah satu
komponen tersebut bisa menimbulkan keadaan patologis yang mengancam tubuh
manusia.3
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi pada
keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat yang berlebih
pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insensible water loss) secara
berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal dalam
mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Perubahan jumlah dan
komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi,
muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat menyebabkan
gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat
sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka risiko penderita menjadi lebih besar.4,5
Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan
penanganan pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan
dapat dilakukan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung,
mencukupi kebutuhan per hari, mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi
lain. Administrasi terapi cairan melalui intravena adalah salah satu rute terapi yang
paling umum dan penting dalam pengobatan pasien bedah, medis dan sakit kritis.
Pemilihan pemberian terapi cairan untuk perbaikan dan perawatan stabilitas
hemodinamik pada tubuh cukup sulit. Karena pemilihannya tergantung pada jenis dan
komposisi elektrolit dari cairan yang hilang. Meskipun kesalahan terapi cairan jarang
dilaporkan, namun disebutkan satu dari lima pasien dengan terapi cairan dan
elektrolit intravena menderita komplikasi atau morbiditas karena pemberian terapi
cairan yang tidak tepat.6,7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Terapi Cairan merupakan tindakan terapi untuk memenuhi kebutuhan tubuh
dengan menggunakan cairan yang mengandung elektrolit.8 Terapi cairan merupakan
pilihan terapi yang dapat mempengaruhi keberhasilan penanganan pasien kritis.
Dalam penerapan bantuan hidup lanjut, langkah penting yang dapat dilakukan secara
simultan bersama langkah lainnya merupakan drug and fluid treatment.3

2.2 Tujuan
Terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan sirkulasi atau mengembalikan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang adekuat pada pasien yang tidak mampu
mengendalikan keseimbangan cairan dalam tubuhnya, sehingga mampu menciptakan
hasil yang menguntungkan bagi kondisi pasien.3 Selain dapat mengganti cairan yang
hilang, terapi cairan dapat dilakukan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang
berlangsung pada pasien yang mengalami kehilangan cairan yang banyak seperti
dehidrasi karena muntah, mencret dan syok, langkah tersebut dapat menyelamatkan
pasien.9

2.3 Indikasi
Indikasi dari pemberian terapi cairan yaitu:8
1) Mengganti kekurangan cairan dan elektrolit.
2) Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit.
3) Mengatasi syok.

2.4 Perubahan Cairan Tubuh


Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan volume,
konsentrasi, dan komposisi. Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan
yang erat satu dengan yang lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun

3
demikian, dapat juga terjadi secara terpisah atau sendiri yang dapat memberi gejala-
gejala tersendiri pula. Yang paling sering dijumpai dalam klinik adalah gangguan
volume.10
2.4.1 Perubahan Volume
2.4.1.1 Defisit volume
Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda
gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat,
lebih dapat ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler yang berat.10
Dehidrasi adalah hilangnya jumlah cairan tubuh yang dapat diakibatkan oleh
hilangnya cairan (hiperosmolalitas) atau kehilangan garam (hipoosmolalitas).
Hilangnya cairan dapat diakibatkan oleh asupan cairan yang tidak adekuat untuk
menggantikan kehilangan cairan atau diuresis berlebih contohnya pada hiperglikemia.
Kehilangan garam dapat diakibatkan oleh muntah-muntah, diare, berkeringat,
perdarahan, atau gagal ginjal kronis.11
Gejala dari dehidrasi berupa rasa haus, lelah, pusing, dan kebingungan; tanda dari
dehidrasi seperti mata cekung, rongga mulut kering, serta turgor kulit kembali lambat.
Pada pasien geriatri, dehidrasi dapat mengakibatkan delirium, kemunduran kognitif,
agitasi, halusinasi, dan delusi. Pada pasien dengan dehidrasi akan ditemukan berat
badan yang turun drastis, urin berwarna pekat, dan perubahan perilaku.11
2.4.1.2 Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenik
(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl
ataupun pemberian cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air)
ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan GFR), sirosis, ataupun
gagal jantung kongestif.10
2.4.2 Perubahan Konsentrasi
Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia atau hiponatremia
maupun hiperkalemia atau hipokalemia.10,11
Hipernatremia didefinisikan sebagai serum atau plasma [Na +]>145 mEq/L dan
hiperosmolalitas (osmolalitas serum> 295 mOsm/L).11

4
Hipernatremia terjadi akibat defisit jumlah cairan tubuh dan / atau kenaikan Na+
(kurang umum). Ketika [Na+] dan osmolalitas meningkat, subjek normal menjadi
haus dan minum air, dan level [Na+] kembali ke normal.11
Hiponatremia ringan sering terjadi, dengan insidensi 15% hingga 30% pasien
rawat inap; 1% hingga 4,5% pasien memiliki kadar natrium di bawah 126 mEq/L.
Hiponatremia mempengaruhi sekitar 20% pasien dengan gagal jantung, sedangkan
setidaknya 50% pasien di panti jompo pernah mengalami satu atau lebih episode
hiponatremia.11
Hiperkalemia didefinisikan sebagai serum [K+] yang diukur >5,5 mEq/L.
Penyebab paling umum adalah hiperkalemia buatan karena pelepasan kalium
intraseluler yang disebabkan oleh hemolisis selama proses mengeluarkan darah.
Manifestasi klinis pada hiperkalemia diakibatkan gangguan polarisasi membran.
Manifestasi jantung adalah paling serius.11
Hipokalemia didefinisikan sebagai serum [K+] <3,5 mEq/L. Penyebab
hipokalemia yang paling sering adalah asupan makanan yang tidak mencukupi (mis.
Puasa, gangguan makan, alkoholisme), pergeseran intraseluler (misalnya, alkalosis,
insulin, agonis β2, kelumpuhan periodik hipokalemik), dan peningkatan kerugian,
terutama GI (muntah, suction nasogastrik, diare) atau ginjal (diuretik,
hipaldosteronisme, diuresis osmotik, toksin).11
Rumus untuk menghitung defisit elektrolit:10,12
 Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan – Na serum
sekarang) x 0,6 x BB (kg)
 Defisit Kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan [mEq/liter] – K serum
yang diukur) x 0,25 x BB (kg)
 Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan [mEq/liter] – Cl
serum yang diukur) x 0,45 x BB (kg)
2.4.3 Perubahan Komposisi
Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa mempengaruhi osmolaritas
cairan ekstraseluler. Sebagai contoh misalnya kenaikan konsentrasi [K+] dalam darah
dari 4 mEq menjadi 8 mEq, tidak akan mempengaruhi osmolaritas cairan

5
ekstraseluler tetapi sudah cukup mengganggu otot jantung. Demikian pula halnya
dengan gangguan ion kalsium, dimana pada keadaan hipokalsemia kadar Ca kurang
dari 8 mEq, sudah akan timbul kelainan klinik tetapi belum banyak menimbulkan
perubahan osmolaritas.10

2.5 Perubahan Konsentrasi


Berikut perubahan konsentrasi cairan tubuh:
2.5.1 Hipernatremia
Keadaan kadar natrium plasma dalam tubuh > 145 mg/L. Keadaan ini disebabkan
oleh kehilangan air dan larutan ekstrasel sehingga konsentrasi ion natrium menjadi
tinggi (hipernatremia-dehidrasi), atau karena kelebihan natrium dalam cairan
ekstrasel (hipernatremia-hiperhidrasi). Hipernatremia-dehidrasi yaitu kondisi
terjadinya kehilangan cairan dari ekstraselular akibat ketidakmampuan untuk
menyekresikan hormon antidiuretik oleh ginjal yang dibutuhkan untuk menahan air
sehingga ginjal mengeluarkan urin yang encer dalam jumlah yang sangat besar,
kemudian terjadinya dehidrasi. Sedangkan, hipernatremia-hiperhidrasi adalah kondisi
kelebihan natrium klorida ekstrasel yang diakibatkan oleh retensi air di ginjal. Contoh
yaitu peningkatan sekresi hormon aldosteron (diabetes insipidus) yang menyebabkan
retensi natrium. Oleh karena itu, sangat penting menentukan penyebab hipernatremia.
Koreksi natrium dengan menggunakan perhitungan: normal total body water (0,6 x
BB) x 140 = total body water saat ini x Na+.1,13
2.5.2 Hiponatremia
Kadar natrium plasma dalam tubuh < 135 mg/L. Kadar natrium plasma dalam
tubuh menurun disebabkan karena kehilangan natrium klorida dari cairan
ekstraselular atau penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstraselular. Kondisi
yang dapat menyebabkan hiponatremia yaitu diare dan muntah-muntah. Keadaan lain
seperti penggunaan antidiuretik berlebihan juga dapat menyebabkan hiponatremia
akibat kegagalan ginjal untuk mempertahankan natrium, selain itu penyakit addison
yang diakibatkan oleh penurunan hormon aldosteron dapat mengganggu reabsorbsi
natrium. Hiponatremia dapat menyebabkan gejala seperti sakit kepala, mual, lesu,

6
disorientasi, kejang, koma, dan kematian. Koreksi natrium dengan menggunakan
perhitungan: defisit Na+= total body water x (Na+ yang diinginkan – Na+ saat ini).1,13
2.5.3. Hiperkalemia
Kondisi kadar kalium dalam darah > 5,5 mEq/L. Faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan konsentrasi kalium ekstraselular yaitu intake kalium yang
terlalu tinggi, gagal ginjal, defisiensi aldosteron, penggunaan obat yang menghambat
ekskresi kalium (spironolakton, ACE inhibitor), defisiensi insulin, trauma otot, lisis
sel, dan penghambat β adrenergik. Tanda dan gejala yang dapat terjadi yaitu
parestesia, kelemahan otot, aritmia, dan henti jantung.1,13
2.5.4. Hipokalemia
Kondisi kadar kalium dalam darah < 3,5 mEq/L. Keadaan ini terjadi akibat
redistribusi akut kalium dari cairan ekstrselular ke intraselular (keadaan alkalosis,
pemberian insulin berlebihan, pemakaian β adrenergik) atau pengeluaran kalium yang
tinggi dalam tubuh (diare, penggunaan diuretik, hiperaldosteronisme).1,13
Terapi hipokalemia dan hiperkalemia adalah mengobati penyebab dasar pasien
mengalami kondisi tersebut. Sedangkan untuk menghitung defisit kalium yaitu
(kalium yang dibutuhkan – kalium yang sekarang) x 0,25 x BB.1,13

2.6 Jenis Cairan


2.6.1 Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan yang memiliki komposisi seperti cairan
ekstraselular dengan elektrolit seperti kalium, natrium, kalsium, dan klorida.13,14
Kristaloid akan digunakan sebagai cairan resusitasi awal pada pasien dengan
hemoragik, syok septik, luka bakar, cedera kepala, dan pasien yang menjalani
plasmaferesis dan reseksi hati. Berdasarkan jenis tonisitasnya, cairan kristaloid
terbagi 3:13,14

Tabel 2.1 Komposisi Cairan Kristaloid13,14

7
Tonicity
Na+ Cl- K+ Ca2 Glucose Lactate
Solution (mosml/
(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (g/L) (mEq/L)
L)
5%
Dextrose Hypo
50
in Water (253)
(D5W)
Normal
Iso (308) 154 154
saline

D5 ¼ NS Iso (355) 38,5 38,5 50

Hyper
D5 ½ NS 77 77 50
(432)
Hyper
D5NS 154 154 50
(586)
Lactated
Ringers
Iso (273) 130 109 4 3 28
Injection
(RL)
Hyper
D5LR 130 109 4 3 50 28
(525)

2.6.1.1 Isotonis
Isotonis yaitu jumlah dan konsentrasi elektrolit plasma sama sehingga tidak
terjadinya osmosis namun pemberian yang berlebih dapat menyebabkan edema
perifer dan edema paru. Contoh larutan kristaloid isotonis yaitu Ringer Laktat,
Normal Saline (NaCl 0,9%), dan Dextrose 5% dalam ¼ NS.13,14
2.6.1.2 Hipertonis
Hipertonis jika jumlah elektrolit dari kristaloid lebih banyak dibandingkan dengan
plasma tubuh sehingga akan terjadinya penarikan cairan dari sel ke ruang
intravaskuler. Pemberian hipertonis yang lama akan memberikan efek samping
seperti hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan kritaloid hipertonis yaitu

8
Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%,
Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam Ringer Laktat.13,14
2.6.1.3 Hipotonis
Hipotonis jika plasma memiliki elektrolit lebih banyak dibandingkan kristaloid
sehingga akn terjadinya perpindahan cairan dari intravaskuler ke dalam sel. Contoh
larutan kristaloid hipotonis yaitu Dextrose 5% dalam air dan ½ Normal Saline.13,14
Keuntungan cairan kristaloid yaitu harganya murah, mudah dibuat, dan tidak
menimbulkan reaksi imun.13,14
2.6.2 Cairan Koloid
Cairan koloid disebut sebagai plasma substitute atau plasma expander karena
dapat membantu mempertahankan tekanan onkotik koloid plasma sehingga bertahan
di ruang intravaskular akibat berat molekulnya yang tinggi. Cairan koloid diberikan
pada pasien syok hipovolemik/hemoragik sebelum diberikan transfusi darah, pasien
hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar seperti pada pasien luka
bakar yang membutuhkan terapi operatif. Kerugian plasma expander yaitu harganya
yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik serta gangguan pada cross
match. Berikut perbandingan antara cairan kristaloid dan koloid.13,14
Berdasarkan jenis pembuatannya, cairan koloid terbagi menjadi:
2.6.2.1 Koloid Alami
Koloid alami yaitu fraksi albumin (5% dan 25%) dengan protein plasma (5%).
Pembuatannya dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60ºC selama 10 jam
agar virus hepatitis dan virus lainnya terbunuh. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin daan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) terdapat dalam fraksi protein
plasma dibandingkan dalam albumin sehingga dapat menimbulkan hipotensi dan
kolaps kardiovaskuler.13,14
2.6.2.2 Koloid Sintetik
Koloid sintetik diantaranya yaitu Dextran, Hydroxylethyl Starch (Hetastarch), dan
Gelatin.

9
1. Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh pada media sukrosa. Dextran 70
merupakan volume expander yang lebih baik, namun Dextran 40 dapat memperbaiki
aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan viskositas darah
dibandingkan Dextran 70. Dextran juga memiliki efek anti trombotik, menekan
aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis, dan melancarkan aliran darah. Efek
samping yang dapat terjadi yaitu gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam
tubulis ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati, dan gangguan pada cross-
matching darah. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah
dengan pemberian Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.13,14
2. Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)
Low molecular weight Hydroxyethyl starch (Penta-Starch) memiliki kesamaan
dengan Hetastarch yang mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali
volume yang diberikan dan dapat berlangsung selama 12 jam. Pentastarch memiliki
efek toksisitas yang rendah dan tidak menyebabkan terganggunya proses
koagulasi.13,14
3. Gelatin
Cairan koloid ini bersumber pada gelatin, biasanya berasal dari collagen bovine.
Ada 3 macam gelatin yaitu modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell), urea
linked gelatin, dan Oxypoly gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas
dan ekskresinya di ginjal serta tidak ada akumulasi jaringan.13,14

10
BAB III
KESIMPULAN

Cairan merupakan komposisi penting yang mengisi 60% komposisi tubuh


manusia. Menjaga volume cairan dan komponen elektrolit dalam tubuh penting untuk
mempertahankan homeostasis tubuh. Cairan di dalam tubuh dibagi menjadi cairan
intraseluler dan ekstraseluler yang masing-masing mengandung banyak komponen
elektrolit. Gangguan keseimbangan cairan dapat menyebabkan gangguan fisiologis
yang berat sehingga harus segera dikoreksi secara adekuat.
Terapi cairan merupakan tindakan terapi untuk memenuhi kebutuhan tubuh
dengan menggunakan cairan yang menngandung elektrolit. Terapi cairan bertujuan
untuk mempertahankan sirkulasi atau mengembalikan cairan dan elektrolit yang
adekuat. Terapi cairan juga dapat dilakukan untuk mengganti kehilangan cairan yang
sedang berlangsung.
Gangguan cairan tubuh dibagi menjadi perubahan volume, konsentrasi, dan
komposisi. Perubahan volume dapat berupa defisit ataupun kelebihan volume.
Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia atau hiponatremia
maupun hiperkalemia atau hipokalemia. Perubahan komposisi dapat terjadi sendiri
tanpa mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler.
Cairan kristaloid merupakan cairan yang memiliki komposisi seperti cairan
ekstraseluler dengan elektrolit seperti kalium, natrium, kalsium, dan klorida.
Kristaloid digunakan sebagai cairan resusitasi awal pada pasien. Berdasarkan jenis
tonisitasnya, cairan kristaloid dibagi menjadi tiga, yaitu isotonis, hipertonis, dan
hipotonis. Cairan koloid dapat membantu mempertahankan tekanan onkotik koloid
plasma sehingga bertahan di ruang intravaskular akibat berat molekulnya yang tinggi.
Berdasarkan jenis pembuatannya, cairan koloid dibagi menjadi 2, yaitu cairan koloid
alami dan koloid sintetik. Koloid alami yaitu fraksi albumin dengan protein plasma.
Koloid sintetik diantaranya yaitu Dextran, Hydroxylethyl Starch (Hetastarch), dan
Gelatin.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan ekstraseluler dan intraseluler.


dalam: buku ajar fisiologi kedokteran, edisi 12. Jakarta: Elsevier; 2016.
2. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance, 5th ed. Missouri:
Elsevier-mosyby; 2005.
3. Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam
Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2017.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of patients with fluid
and electrolyte disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology, 5th ed. New York: Mc-Graw Hill; 2013.
5. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J. Anaesth.
2003; 47(5): 380-7.

6. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2010.


Panduan tatalaksana terapi cairan perioperatif. PP IDSAI, 108-142.

7. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the


Perioperative Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1: 1-10.

8. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif


2015. hal: 16.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia. 2010.
Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. PP IDSAI, 108-142.
10. Pinnock C, Lin T, Smith T. Fundamentals of Anaesthesia, 4th Edition..
Cambridge, Cambridge University Press, 2017.
11. Tintinalli J. Tintinalli's emergency medicine: a comprehensive study guide.
McGraw-Hill Education; 2016.
12. Schlichtmann J, Graber MA. Hematologic, electrolyte, and metabolic
disorders: glucose. University of Iowa Family Practice Handbook (3rd ed.),
internet version.

12
13. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with
Fluids and Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-Graw Hill. 2013; 5 (49): h. 1107-40.
14. Sukarata I, Kurniyanta I. Terapi Cairan. Bagian/smf Ilmu Anestesi Dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Udayana. 2017.

13

Anda mungkin juga menyukai