Anda di halaman 1dari 28

TERAPI CAIRAN

Oleh:
dr. Yangges Pebriani Bangun
NIP. 198702242010012017
i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha


Kuasa atas kesempatan dan waktu yang telah diberikan sehingga makalah yang berjudul
“Terapi Cairan” ini bisa diselesaikan.
Sebagai penulis, saya menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran diperlukan untuk
memperbaikinya. Di samping itu, diperlukan juga berbagai referensi lain untuk
mengembangkan makalah ini.
Akhir kata, saya berharap bahwa makalah ini akan memberikan manfaat dan
menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Medan, Agustus 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI…………………………………...…………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................3
2.1 Indikasi Terapi Cairan.............................................................................................3
2.2 Modalitas Terapi Cairan..........................................................................................4
2.3 Pemantauan Terapi Cairan....................................................................................12
2.4 Sepsis dan Syok Sepsis.........................................................................................13
2.5 Skenario.................................................................................................................18
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………24

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cairan dan elektrolit sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar
dapat menjaga dan mempertahankan fungsinya, sehingga tercipta kondisi yang
sehat pada tubuh manusia. Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dan
elektrolit di dalam tubuh selalu seimbang, di mana asupan air dan elektrolit akan
dikeluarkan dalam jumlah yang sama. Komposisi cairan dan elektrolit di dalam
tubuh sudah diatur sedemikian rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat
dipertahankan. Apabila terjadi gangguan keseimbangan, baik cairan atau
elektrolit, maka akan memberikan pengaruh pada yang lainnya. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi pada keadaan
diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat yang berlebih
pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insesible water loss) secara
berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal
dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam
keadaan tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh
yang hilang, dengan segera dapat digantikan.1
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi
kebutuhan oksigen jaringan tubuh. Pada kondisi syok, terjadi gangguan
hemodinamik yang menyebabkan tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi
jaringan. Syok merupakan kondisi yang sering ditemui pada pasien kritis yang
mana terjadi pada sepertiga pasien yang dirawat di ICU. Syok sepsis adalah
salah satu bentuk syok distributif, merupakan jenis syok yang paling sering
ditemui pada pasien di ICU, diikuti syok kardiogenik, syok hipovolemik, dan
syok distributif.
Tujuan penanganan tahap awal pada pasien syok adalah untuk
mengembalikan perfusi dan oksigenasi jaringan dengan memulihkan volume
sirkulasi intravaskuler. Terapi cairan paling penting pada syok distributif
khususnya syok sepsis dan syok hipovolemik, yang paling sering terjadi pada
trauma, perdarahan dan luka bakar. Pemberian cairan intravena akan

1
memperbaiki volume sirkulasi intravaskuler, meningkatkan curah jantung dan
tekanan darah.
Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan
penanganan pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi
cairan dapat dilakukan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang
berlangsung, mencukupi kebutuhan per hari, mengatasi syok, dan mengatasi
kelainan akibat terapi lain. Administrasi terapi cairan melalui intravena adalah
salah satu rute terapi yang paling umum dan penting dalam pengobatan pasien
bedah, medis dan sakit kritis.2
Pemilihan pemberian terapi cairan untuk perbaikan dan perawatan
stabilitas hemodinamik pada tubuh cukup sulit. Karena pemilihannya tergantung
pada jenis dan komposisi elektrolit dari cairan yang hilang. Meskipun kesalahan
terapi cairan jarang dilaporkan, namun disebutkan satu dari lima pasien dengan
terapi cairan dan elektrolit intravena menderita komplikasi atau morbiditas
karena pemberian terapi cairan yang tidak tepat. Berdasarkan pemaparan di atas,
maka penulis tertarik untuk membahas terapi cairan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.2 Indikasi Terapi Cairan


Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan
keberhasilan penanganan pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi,
langkah D (“drug and fluid treatment”) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan
langkah penting yang dilakukan secara simultan dengan langkah-langkah
lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah “life saving” pada pasien
yang menderita kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena muntah
mencret dan syok2,14.
Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu
interior dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau
koloid (plasma ekspander) secara intravena. Tujuan utama terapi cairan
perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah, selama pembedahan dan
pasca bedah di mana saluran pencernaan belum berfungsi secara optimal
disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi dinilai berhasil
apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal
nafas.
Cairan dan elektrolit merupakan komponen penting dari tubuh untuk
menjamin kehidupan normal dari semua proses yang berlangsung di dalam
tubuh. Air merupakan bagian terbesar dari tubuh manusia. Total air tubuh
bervariasi menurut umur dan jenis kelamin. Pada laki-laki dewasa kandungan
air adalah 60% dari berat badan, sedangkan pada wanita 52% dari berat
badan.1 Perbedaan ini disebabkan kandungan lemak yang lebih tinggi pada
wanita. Pada bayi yang baru lahir, kandungan air adalah 90% dari berat badan,
yang kemudian akan berkurang dengan bertambahnya usia. Pengurangan air
terbanyak terjadi sampai usia 6 bulan. Pada usia 1 tahun kandungan air sudah
sama seperti usia dewasa15.
Keseimbangan cairan dan elektrolit diatur oleh suatu mekanisme
kompleks yang melibatkan berbagai enzim, hormon, dan sistem saraf. Keadaan
yang menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit harus diatasi

3
sebelum terganggunya fungsi dari sel, jaringan, dan organ. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit disebabkan oleh berbagai penyakit, dari
yang bersifat ringan sampai berat. Terapi cairan dan elektrolit bertujuan untuk
membantu mekanisme kompensasi tubuh untuk mengatasi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit tersebut. Pemberian cairan bertujuan untuk
memulihkan volume sirkulasi darah. Pemberian cairan diperlukan karena
gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang
umum terjadi pada pasien dengan tindakan bedah, termasuk bedah sesar.
Gangguan cairan yang terjadi dikarenakan kombinasi dari faktor-faktor
sebelum pembedahan, selama pembedahan dan sesudah pembedahan. Faktor
sebelum bedah berhubungan dengan kondisi penyerta, prosedur diagnostik
yang dilakukan sebelum operasi, pemberian obat sebelum proses operasi dan
restriksi cairan sebelum operasi. Faktor selama pembedahan berhubungan
dengan perlakuan anestesi, kehilangan akibat perdarahan, dan kehilangan
cairan akibat proses penguapan oleh karena proses operasi yang lama.
Perlakuan anestesi spinal dapat menyebabkan terjadinya hipotensi akibat
hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardi dan vasokonstriksi.
Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang sering terjadi pada selama
pembedahan diantaranya asidosis metabolik, alkalosis metabolik, asidosis
respiratorik dan alkalosis repiratorik. Faktor sesudah pembedahan berhubungan
dengan stres dan nyeri pasca operasi, peningkatan katabolisme jaringan dan
penurunan volume sirkulasi yang melebihi batas efektif.

1.3 Modalitas Terapi Cairan


1.3.1 Komposisi Cairan Tubuh
Komponen terbesar tunggal dari tubuh adalah air. Air merupakan
perlarut bagi semua yang terlarut. Air tubuh total atau total body water
(TBW) adalah persentase dari berat air dibagi dengan berat badan total,
yang bervariasi berdasarkan kelamin, umur, dan kandungan lemak yang
ada di dalam tubuh. Air membuat sampai sekitar 60 persen pada laki-laki
dewasa. Sedangkan untuk wanita dewasa terkandung 50 persen dari total
berat badan. Pada neonatus dan anak-anak, presentase ini relatif lebih
besar dibandingkan orang dewasa.

4
Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama
yang dipisahkan oleh membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan
ekstraseluler. Cairan ekstraseluler dibagi menjadi intravaskular dan
kompartemen interstitial. Cairan antarsel khusus disebut cairan
transeluler, seperti cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan
peritoneum, dan lain-lainnya. Cairan tersebut termasuk ke dalam jenis
khusus cairan ekstraseluler. Dalam beberapa kasus, komposisinya dapat
berbeda dari plasma atau cairan interstitial.

Gambar 2.1 Komponen Cairan Tubuh


Sumber: Buku Ajar Fisiologi Guyton Ed. 9
1.3.1.1 Cairan Intraseluler
Cairan intraseluler merupakan cairan yang terkandung di dalam sel.
Cairan intraseluler berjumlah sekitar 40% dari berat badan. Pada cairan
intraseluler memiliki ion kalium dan fosfat dalam jumlah besar, ion
magnesium dan sulfat dalam jumlah sedang, ion klorida dan natrium
dalam jumlah kecil, dan hampir tidak ada ion kalsium. Sel juga memiliki
protein dalam jumlah besar, hampir lebih dari empat kali lipat di dalam
plasma. Pada seorang laki- laki dewasa dengan berat 70 kg berjumlah
sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam sel darah merah yang berada
di dalam intravaskuler. Komposisi CIS dan kandungan airnya bervariasi
menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan lemak memiliki
jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh lainnya.
Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat
perbedaan umum antara CIS dan cairan interstisial. CIS mempunyai

5
kadar Na+, Cl dan HCO3 - yang lebih rendah dibanding CES dan
mengandung lebih banyak ion K+ dan fosfat serta protein yang
merupakan komponen utama intra seluler.
1.3.1.2 Cairan Ekstraseluler
Jumlah relatif cairan ekstraselular menurun seiring dengan
bertambahnya usia, yaitu sampai sekitar sepertiga dari volume total pada
dewasa. Cairan ekstraselular terbagi menjadi cairan interstitial dan cairan
intravaskular. Cairan interstitial adalah cairan yang mengelilingi sel dan
termasuk cairan yang terkandung diantara rongga tubuh seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi
saluran pencernaan. Sementara, cairan intravaskular merupakan cairan
yang terkandung dalam pembuluh darah, dalam hal ini plasma darah.
Dua kompartemen terbesar dari mairan ekstrasluler adalah cairan
interstisial, yang merupakan tiga perempat cairan ekstraseluler, dan
plasma, yaitu seperempat cairan ekstraseluler. Plasma adalah bagian
darah non-selular dan terus menerus berhubungan dengan cairan
interstisial melalui celah-celah membran kapiler. Celah ini bersifat sangat
permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan ekstraseluler,
kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus bercampur,
sehingga plasma dan interstisial mempunyai komposisi yang sama
kecuali untuk protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.

1.3.2 Pengaturan Kompartemen Cairan Tubuh


Cairan tubuh dan zat elektrolit yang terlarut di dalamnya, berada dalam
mobilitas yang konstan. Ada proses menerima dan mengeluarkan cairan
secara terus menerus1. Setiap kompartemen akan dipisahkan oleh barrier
atau membran yang membatasi mereka. Setiap zat yang akan pindah harus
dapat menembus barrier tersebut. Bila substansi zat tersebut dapat
menembus berarti membran tersebut permeabel terhadap zat tersebut. Jika
substansi zat tidak dapat menembusnya, maka membran tersebut tidak
permeabel terhadap zat tersebut. Jika membran disebut dengan semi
permeabel (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat melaluinya tetapi
partikel lain tidak dapat menembusnya5.

6
Perpindahan cairan dan elektrolit dibagi menjadi tiga fase yaitu pertama,
cairan yang terkandung oleh nutrisi dan oksigen diambil dari paru-paru dan
saluran gastrointestinal akan dibawa melalui pembuluh darah berpindah dari
seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi, di mana cairan tersebut merupakan
bagian dari cairan intravaskular. Kedua, cairan intravaskular dan zat-zat
yang terlarut di dalamnya akan saling bertukar dengan cairan interstitial
melalui membran kapiler yang semipermeabel dan cairan interstitial tersebut
bertukar tempat dengan cairan intraseluler melalui membran sel yang
permeabel selektif. Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian
tubuh melibatkan mekanisme transportasi aktif dan pasif. Mekanisme
transportasi aktif memerlukan energi, sedangkan mekanisme transportasi
pasif tidak.
Ada empat mekanisme perpindahan cairan dan elektrolit tubuh yakni
terdiri dari difusi, osmosis, filtrasi, dan transpor aktif. Difusi adalah gerakan
acak dari molekul yang disebabkan energi kinetik yang dimilikinya dan
bertanggung jawab terhadap sebagian besar pertukaran cairan dan zat
terlarutnya antara kompartemen satu dengan yang lain. Kecepatan difusi
suatu zat melewati sebuah membran tergantung pada permeabilitas zat
terhadap membran, perbedaan konsentrasi antar dua sisi, perbedaan tekanan
antara masing-masing sisi karena tekanan akan memberikan energi kinetik
yang lebih besar dan yang terakhir potensial listrik yang menyeberangi
membran akan memberi muatan pada zat tersebut7.
Pada mekanisme osmosis, jika ada suatu substansi larut di dalam air,
konsentrasi air dalam larutan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang sama. Hal ini
terjadi karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi
tersebut. Jadi bila konsentrasi zat yang terlarut meningkat, konsentrasi air
akan menurun. Bila suatu larutan dipisahkan oleh suatu membran yang
semipermeabel dengan larutan yang volumenya sama namun berbeda
konsentrasi dengan zat yang terlarut, maka akan terjadi perpindahan cairan
atau zat pelarut dari larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut rendah ke
larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi6.
Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang
dibatasi oleh membran. Cairan akan keluar dari daerah yang mempunyai

7
tekanan tinggi menuju ke daerah yang bertekanan rendah. Jumlah cairan
yang keluar akan sebanding dengan besar perbedaan tekanan, luas
permukaan membran, dan permeabilitas membran. Tekanan yang
mempengaruhi filtrasi ini disebut dengan tekanan hidrostatik 5. Transport
aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara
pasif dari daerah yang konsentrasinya lebih rendah ke daerah yang memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi. Transport aktif memerlukan energi berupa
adenosin trifosfat (ATP) untuk melawan perbedaan konsentrasi. Salah satu
contohnya adalah transportasi pompa kalium dan natrium.
1.3.3 Larutan Pengganti Cairan
Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan
kristaloid dan koloid.
1.3.3.1 Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida).
Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak
terbatas dalam ruang intravaskular dengan waktu paruh kristaloid di
intravaskular adalah 20-30 menit. Cairan kristaloid memiliki komposisi
yang mirip cairan ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid
dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang
interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial. Beberapa peneliti
merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid
isotonik. Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan
cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat
akibat metabolisme laktat. Larutan dextrose 5% sering digunakan jika
pasien memiliki gula darah yang rendah atau memiliki kadar natrium
yang tinggi. Namun penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena
komplikasi yang diakibatkan antara lain hiperomolalitas, hiperglikemik,
diuresis osmotik, dan asidosis serebral.
Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi imun.
Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi
intravena pre-hospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi

8
elektrolit yang dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari
plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kristaloid, diantaranya2:
1. Isotonis
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia
memiliki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso,
sama; tonik, konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis,
tidak terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan di dalam
intravaskular dan sel. Dengan demikian, hampir tidak ada atau
minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah,
mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera
dipakai untuk mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan
viskositas darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge test.
Efek samping yang perlu diperhatikan adalah terjadinya edema
perifer dan edema paru pada jumlah pemberian yang besar. Contoh
larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl
0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS.
2. Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih
terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik,
konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan
cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravaskular.
Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah
jantung bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi juga
peningkatan curah jantung sekunder karena efek inotropik positif
pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek
vasodilatasi kapiler viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki
aliran darah ke organ-organ vital. Efek samping dari pemberian
larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia.
Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal
Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%,
dan Dextrose 5% dalam RL.
3. Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan
kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah;

9
tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan
cepat akan berpindah dari intravascular ke sel. Contoh larutan
kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline.
1.3.3.2 Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi
dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung
bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk
resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok
hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah, pada
penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah
besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari
plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu
plasma expander yang merupakan suatu sediaan larutan steril yang
digunakan untuk menggantikan plasma darah yang hilang akibat
perdarahan, luka bakar, operasi. Kerugian dari ‘plasma expander’ ini
yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match4.
Berikut contoh cairan koloid:
1. Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma
manusia. Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 600C dalam
10 jam untuk meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C
atau pun virus imunodefisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma
adalah sekitar 16 jam, dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam
intravaskular 2 jam setelah pemberian.
2. Dekstran
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah
yang besar. Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena
peningkatan berat molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan
yang lebih lama di dalam ruang intravaskular. Namun, obat ini jarang
digunakan karena efek samping terkait yang meliputi gagal ginjal
sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus ginjal, gangguan
fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah.
Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat

10
molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul
60.000-70.0003. Dekstran 70 digunakan pada syok hipovolemik dan
untuk profilaksis tromboembolisme dan mempunyai waktu paruh
intravaskular sekitar 6 jam. Pemakaian dekstran untuk mengganti
volume darah atau plasma hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5
gr/kgBB) karena risiko terjadi perdarahan abnormal. Batas dosis dekstran
yaitu 20 ml/kgBB/hari.
Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan
ke dalam urine dalam 24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar
dieksresikan lewat usus atau dimakan oleh sel-sel sistem
retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat mengganggu
hemostasis. Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor
VIII merupakan alasan timbulnya perdarahan yang meningkat.
Reaksi alergi terhadap dekstran telah dilaporkan, tetapi kekerapan
reaksi anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran 40
hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik karena dapat
menyumbat tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.
3. Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)
Hetastarch merupakan golongan nonantigenik dan reaksi anafilaktoid
jarang dilaporkan terjadi. Rekomendasi dosis maksimal harian
penggunaan cairan HES adalah 33-50 ml/kgBB/hari. Low molecular
weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip dengan Hetastarch.
Pentastarch memiliki kemampuan untuk mengembangkan volume
plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan dapat berlangsung
selama 12 jam. Pentastarch menjadi opsi dari jenis koloid yang dapat
digunakan sebagai cairan resusitasi jumlah besar karena potensinya
sebagai plasma volume expander dengan toksisitas yang rendah dan
tidak menyebabkan terganggunya proses koagulasi4.
4. Gelatin
Pemberian gelatin lebih sering menimbulkan reaksi alergik
daripada koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia
sampai anafilaksis yang mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut
berkaitan dengan pelepasan histamin yang mungkin sebagai akibat
efek langsung gelatin pada sel mast. Gelatin tidak menarik air dari

11
ruang ekstravaskular sehingga bukan termasuk ekspander plasma
seperti dekstran. Larutan gelatin terutama diekskresikan lewat ginjal
dalam urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan diuresis yang
bagus. Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus.
Karena gelatin tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka
tidak ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus,
pertimbangkan adanya efek dilusi. Gelatin dapat diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien yang
menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin: penggantian volume primer
pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif. Sedangkan
kontraindikasi adalah infark miokard yang masih baru terjadi, gagal
jantung kongestif dan syok normovolemik.

1.4 Pemantauan Terapi Cairan


Tanda dan gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk
diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon penderita.
Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi, dan denyut nadi merupakan
tanda positif yang menandakan perfusi sedang kembali ke normal. Target terapi
cairan pada syok dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya sebagai
berikut.
1. Hemodinamik
- MAP >60 sampai 65 mm Hg (lebih tinggi targetnya pada kasus penyakit
jantung koroner) - CVP = 8 sampai 12 mm Hg/PAOP = 12 sampai 15 mm
Hg (lebih tinggi nilainya pada kasus syok kardiogenik)
- CI > 2.1 L/min/m2 2)
2. Optimasi Pengiriman Oksigen
- Hemoglobin > 9 g/dL; > 7 g/L pasca syok adalah cukup
- Saturasi arterial > 92%
- MVO2 > 60%, sCVO2 >70%
- Normalisasi serum laktat (hingga 0,5 mL/kg/jam)
3. Reverse Organ System Dysfunction
- Reverse encelopathy
- Pertahankan produksi urin >0,5 mL/kg/jam

12
Pemantauan hemodinamik penting dilakukan pada pasien syok, terutama
untuk menilai respon terhadap terapi cairan. Secara teoritis, terapi cairan
bertujuan untuk mencapai curah jantung yang independen terhadap preload,
namun hal ini sulit dievaluasi secara klinis 11. Respon pasien terhadap terapi
cairan dapat dievaluasi dari beberapa parameter klinis, seperti tanda vital dan
perfusi serta oksigenasi perifer. Kembalinya tekanan darah, tekanan nadi dan
laju nadi menandakan perfusi mulai membaik namun, tanda-tanda tersebut
tidak menggambarkan perfusi pada organ. Perbaikan status mental dan
sirkulasi kulit dapat menandakan perbaikan perfusi, namun tidak dapat
dikuantifikasi. Produksi urin merupakan indikator yang spesifik untuk
perfusi ginjal, produksi urin normal umumnya menandakan aliran darah
ginjal yang cukup. Oleh karena itu, produksi urin merupakan salah satu
indikator utama yang dipantau selama resusitasi12
Fluid challenge merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi respon terhadap terapi cairan tanpa menimbulkan komplikasi
yang berarti. Terdapat empat elemen dalam fluid challenge yang harus
ditentukan sebelumnya, yaitu jenis cairan, kecepatan pemberian cairan,
parameter respon, dan batas keamanan pemberian cairan13.
Cairan kristaloid sebanyak 300-500 ml umumnya diberikan dalam 20-30
menit pada fluid challenge. Cairan sebaiknya diberikan dengan cepat untuk
menimbulkan respon yang cepat pula, namun tidak terlalu cepat untuk
menghindari munculnya stress response. Peningkatan tekanan arteri
sistemik, penurunan laju nadi, dan peningkatan produksi urin dapat dinilai
sebagai respon terhadap terapi cairan. Edema pulmonal karena gagal jantung
kongestif merupakan komplikasi paling serius dari terapi cairan, hal ini dapat
dinilai dengan pengukuran central venous pressure (CVP) pada pasien. Fluid
challenge dapat diulang beberapa kali jika diperlukan, namun harus segera
dihentikan jika pasien tidak merespon untuk mencegah kelebihan cairan11

1.5 Sepsis dan Syok Sepsis


1.5.1 Definisi
Sepsis adalah gangguan fungsi organ akibat respons tubuh terhadap infeksi
yang mengancam jiwa. Kondisi sepsis merupakan gangguan yang

13
menyebabkan kematian. Syok sepsis merupakan abnormalitas sirkulasi dan
metabolisme seluler.

Gambar 2.2 Definisi Sepsis


Sumber: Update Tatalaksana Sepsis CDK Journal 2018

1.5.2 Patofisiologi
Respons utama inflamasi dan prokoagulan terhadap infeksi terkait sangat
erat9. Beberapa agen infeksi dan sitokin inflamasi seperti tumor necrosis
factor α (TNF-α) dan interleukin-1 mengaktifkan sistem koagulasi dengan
cara menstimulasi pelepasan faktor jaringan dari monosit dan endothelium
yang memicu terhadap pembentukan trombin dan bekuan fibrin. Sitokin
inflamasi dan trombin dapat mengganggu potensi fibrinolitik endogen
dengan merangsang pelepasan inhibitor plasminogen-activator 1 (PAI-1)
dari platelet dan endothelium. PAI-1 merupakan penghambat kuat aktivator
plasminogen jaringan, jalur endogen untuk melisiskan bekuan fibrin.8 Efek
lain dari trombin prokoagulan mampu merangsang jalur inflamasi multipel
dan lebih menekan sistem fibrinolitik endogen dengan mengaktifkan
inhibitor fibrinolisis thrombin-activatable (TAFI)10.
Mekanisme kedua melalui aktivasi protein aktif C yang berkaitan dengan
respons sistemik terhadap infeksi. Protein C adalah protein endogen yang
mempromosikan fibrinolisis dan menghambat trombosis dan peradangan,
merupakan modulator penting koagulasi dan peradangan yang terkait dengan
sepsis9. Kondisi tersebut memberikan efek antitrombotik dengan
menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, membatasi pembentukan trombin.
Penurunan trombin akan berdampak terhadap proses inflamasi, prokoagulan,
dan antifibrinolitik. Menurut data in vitro menunjukkan bahwa protein aktif
C memberikan efek anti-inflamasi dengan menghambat produksi sitokin
inflamasi (TNF-α, interleukin-1, dan interleukin-6) oleh monosit dan
membatasi monosit dan neutrofil pada endotelium yang cedera dengan
mengikat selectin9,10. Hasil akhir respons jaringan terhadap infeksi berupa

14
pengembangan luka endovaskuler difus, trombosis mikrovaskuler, iskemia
organ, disfungsi multiorgan, dan kematian9.

Gambar 2.3 Patofisiologi Sepsis

1.5.3 Diagnosis
Skrining awal dan cepat dapat dilakukan di setiap unit gawat darurat.
Kriteria baru sepsis menggunakan Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA). SOFA melakukan evaluasi terhadap fungsi fisiologis, respirasi,
koagulasi, hepatik, sistem saraf pusat, dan ginjal. Makin tinggi skor SOFA
akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas sepsis. SOFA digunakan untuk
menentukan level disfungsi organ dan risiko mortalitas pada pasien di ICU.

Tabel 2.1 Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)

Untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU dapat mengunakan


quick SOFA (qSOFA). qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan

15
laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan
qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi
disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi.

Tabel 2.2 Skor qSOFA

Syok septik dapat diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis dengan


hipotensi menetap. Kondisi hipotensi membutuhkan tambahan vasopressor
untuk mempertahankan kadar MAP >65 mmHg dan laktat serum >2 mmol/L
walaupun telah dilakukan resusitasi.

1.5.4 Tatalaksana
Terdapat perubahan bermakna surviving sepsis campaign 2018 dari
rangkaian 3 jam, 6 jam, menjadi rangkaian 1 jam awal. Salah satu penyebab
kematian disebabkan karena terlambatnya penanganan awal sepsis terutama
saat masih di Unit Gawat Darurat; keterlambatan ini sering disebabkan
menunggu hasil laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain. Penanganan
pasien syok septik harus segera dilakukan pada 1 jam awal. Prinsip dari
tatalaksana syok sepsis adalah stabilisasi hemodinamil dan kontrol infeksi.
Stabilisasi hemodinamik dengan pemberian cairan dan agen vasopressor.
Kontrol infeksi dengan pemberian antibiotik dan kontrol sumber infeksi
1. Cairan Intravena
Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis,
atau sepsis dengan hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan
resusitasi adalah 30 mg/kgBB cairan kristaloid; tidak ada perbedaan
manfaat antara koloid dan kristaloid8. Pada kondisi tertentu seperti
penyakit ginjal kronis, dekompensasi kordis, harus diberikan lebih hati –
hati. Cairan kristaloid harus diberikan selama 3 jam pertama. Klinisi
harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk mengevaluasi
efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status
hemodinamik membaik dengan pemberian cairan, pemberian cairan lebih
lanjut dapat dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus dihentikan

16
apabila respon terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek lebih
lanjut.
2. Pemberian Vasopressor
Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan
perfusi jaringan, terutama perfusi organ vital. Jika tekanan darah tidak
meningkat setelah resusitasi cairan, pemberian vasopressor tidak boleh
ditunda8. Vasopressor harus diberikan dalam 1 jam pertama untuk
mempertahankan MAP >65 mmHg8. Dalam review beberapa literatur
ditemukan pemberian vasopressor/inotropik sebagai penanganan awal
dari sepsis.
Norepinefrin direkomendasikan sebagai vasopressor lini pertama.
Penambahan vasopressin (sampai 0,03 U/menit) atau epinefrin untuk
mencapai target MAP dapat dilakukan.

Diagram 2.1 Rekomendasi pemberian vasopresor dan steroid pada


manajemen syok sepsis

3. Antibiotik Spektrum Luas


Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi
merupakan komponen penting dalam penanganan sepsis. Tingkat
kematian akan meningkat dengan adanya penundaan penggunaan
antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan antibiotik,

17
penggunaan antibiotik berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur
dan identifikasi sumber penularan kuman. Protokol terbaru
merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik harus diberikan
maksimal dalam waktu 1 jam.

1.6 Ketoasidosis Diabetikum (KAD)


1.6.1 Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang
ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif.
1.6.2 Patofisologi

Diagram 2.2 Patofisologi Ketoasidosis Diaebetikum

18
1.6.3 Tatalaksana

Diagram 2.3 Algoritma Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum

1.7 Skenario
Perempuan 45 tahun datang ke IGD dengan penurunan kesadaran
(somnolen), dengan gangrene pada kaki kanan sejak 1 bulan (riwayat tertusuk
paku sebelumnya). Pasien dengan riwayat DM sejak 5 tahun dengan riwayat
pemakaian insulin tidak teratur. Gula darah saat datang ke IGD terbaca high.
Pada pemeriksaan fisik, pasien demam, suhu 39ºC, akral dingin, mata tampak
cekung, nadi 135x/menit (piliformis, isi dan tegangan kurang), TD 90/60, RR
25-28x/menit, SPO2 98-99% dengan NRM 10L/menit. Pada pemeriksaan
laboratorium Hb 17, hematokrit 48, leukosit 27.000, laktat 3,7, keton urin +3.
Pasien didiagnosis kerja sebagai ketoasidosis diabetikum + sepsis ec gangren
DM.

19
Tatalaksana pada kasus:
1. Nilai:
Airway dan breathing: membebaskan jalan napas dari benda asing serta
memastikan saturasi oksigen di atas 95% untuk mencukupkan oksigenasi.
Pada kasus saturasi oksigen adalah 98%-99% dengan NRM 10L/menit.
Circulation: pada kasus tekanan darah 90/60 mmHg (hipotensi), nadi
piliformis 135x/menit (takikardi), isi dan tegangan kurang.
Disability: penilaian GCS. Pada kasus pasien datang dengan penurunan
kesadaran somnolen (GCS 8-10).
Exposure: pada kasus ditemukan mata cekung dan akral dingin.
Pemasangan kateter urin: untuk menilai urin output sebagai indikasi
kecukupan cairan.
Kultur darah untuk mengetahui mikroorganisme penyebab infeksi sehingga
bisa terapi antimicrobial sesuai hasil kultur.
qSOfa untuk sepsis:
1. RR: >22x/menit (1)
2. GCS: kasus somnolen GCS 8-10 (1)
3. Tekanan darah: 90/60 mmHg (1)
Skor total: 3
2. Pemberian cairan kristaloid
Syok Sepsis: pemberian NaCl 0,9% 30 cc/kgBB
KAD: pemberian NaCl 0,9% dengan kecepatan 15-20ml/kgBB/jam atau
lebih selama 1 jam pertama (1-1,5 liter) atau 1liter pada jam pertama, 1 liter
sampai pasien terehidrasi. Lihat tanda vital dan urin output.
3. Pemberian antibiotik spektrum luas, contohnya ceftriaxone, meropenem,
Piperacillin-tazobactam, cefepime plus metronidazole.

4. Kontrol gula darah.


Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin
regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5-7

20
u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk
mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat mengakibatkan aritmia
jantung. Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan
kecepatan 50-75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih
tinggi.
Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam
pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus
insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai penurunan
gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah
mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05 0,1 u/kgBB/jam
(3-6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%.
1. KAD
Sebagian besar kasus KAD diketahui pemicunya. Pemicu yang paling
sering adalah infeksi. Pada kasus ada riwayat tertusuk paku sejak 1 bulan
yang lalu. Pasien juga ada riwayat DM dan terapi insulin tidak teratur. Pada
pasien dengan DM lebih mudah terkena infeksi karena adanya penurunan
kemampuan migrasi neutrophil, penurunan aktivitas fagositik, gangguan
imunitas humoral, neuropati dan mikroangiopati. Hal ini membuat pasien
dengan DM tidak mampu melawan infeksi. Pada infeksi terjadi peningkatan
sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan gula darah yang
bisa menyebabkan ketoasidosis diabetikum pada pasien DM.
2. Perbedaan Ketoasidosis Diabetikum dan Hiperosmolar Non-Ketoasidosis
Klinis ketoasidosis diabetikum mirip dengan Hyperosmolar Non-
Ketotik. Pada HONK tidak disertai dengan ketoasidosis karena keadaan
hiperosmolar. Hiperglikemia terjadi karena peningkatan gluconeogenesis,
glikogenolisis, dan hambatan glucose uptake pada jaringan perifer. Pada
KAD, kombinasi dari defisiensi insulin dan peningkatan dari hormon kontra
insulin menyebabkan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adiposa
(lipolisis) ke aliran darah dan oksidasi asam lemak di hepar menjadi badan
keton (β-hydroxybutyrate dan acetoacetate), sehingga mengakibatkan
ketonemia dan asidosis metabolik.
Patogenesis HONK masih belum terlalu jelas bila dibandingkan dengan
KAD, namun tingkat dehidrasi yang lebih tinggi (karena diuresis osmotik)
dan perbedaan ketersediaan insulin membedakan kondisi HONK dengan

21
KAD. Walaupun defisiensi insulin relatif ditemukan pada HONK, jumlah
sekresi insulin relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan KAD, dimana
kadar insulin tidak bermakna. Kadar insulin pada HONK tidak adekuat
untuk memfasilitasi glucose uptake pada jaringan yang sensitif terhadap
insulin, tetapi adekuat untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis.

22
BAB III

KESIMPULAN

Terapi cairan bertujuan untuk memulihkan volume sirkulasi darah. Gangguan


dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada
pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan
postoperatif. Ketika terjadi gangguan keseimbangan cairan hal ini akan memengaruhi
fungsi vital tubuh seperti pernapasan, kardiovaskular, neurologi, dan neuromuskular.
Terapi cairan diberikan untuk menggantikan cairan yang hilang, mencukupi kebutuhan
cairan perhari, mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi lain.
Modalitas terapi cairan sangat penting untuk memperbaiki hemodinamik tubuh.
Secara umum, modalitas terapi cairan dibedakan menjadi kristaloid, koloid, dan darah.
Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip dengan cairan ekstraseluler dan cepat
berpindah dari ruang vaskuler ke ruang interstisial. Cairan koloid memiliki komponen
dengan berat molekul tinggi sehingga dapat bertahan lama di ruang vaskuler. Pemilihan
terapi cairan berbeda-beda disesuaikan dengan kondisi medis pasien.
Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhan setiap individu sesuai usia dan
keadaan pasien, serta jenis cairan itu sendiri. Pemberian terapi cairan yang tidak tepat
untuk keadaan tertentu akan menjadi tidak efektif, menyebabkan komplikasi, dan tidak
bisa menolong pasien.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An. 2010. Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid
and Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2010.
Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. PP IDSAI, 108-142.
4. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative
Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 : h. 1 – 10.
5. Miller RD. 2015. Miller’s Anesthesia. 8th Edition. Philadelphia, PA: Elsevier
Saunders
6. Stoelting RK. 2015. Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic
Practice. 3rd Edition. Indiana: Wolters Kluwer Health.
7. Longnecker DE. 2012. Anesthesiology. 2nd Edition. Virginia: The
McGrawHills Companies.
8. Levy M, Evans L, Rhodes A. The surviving sepsis campaign bundle: 2018
update Intensive Care Med. 2018;44:925–8
9. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et
al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein c for severe
sepsis. N Eng J Med. 2001;344(10):699-709.
10. Irvan, Febyan, Suparto. Sepsis dan tatalaksana berdasarkan guideline terbaru. J
Anestesiol Indon. 2018;X(1):62-72
11. Vincent, J.-L. & Baker, D. D., 2013. Circulatory Shock. The new England
journal of medicine. 369(17), pp. 1726-1734.
12. ACS Commitees on Trauma, 2012. Advanced Trauma Life Support (ATLS)
Student Course Manual. 9th ed. Chicago: American College of Surgeons.
13. Vincent, J.-L. & Weil, M. H., 2006. Fluid Challenge Revisited. Critical Care
Medicine, 34(5), pp. 1333-1337.
14. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and
Electrolytes. Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic
Practice 3rd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015; 17 : h. 341 – 49.

24
15. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous fluids principles of treatment.
Clinical Pharmacist Vol.3. 2011.

25

Anda mungkin juga menyukai