Disusun Oleh :
Kelompok E39
Pembimbing :
SMF ANASTESI
RSUD JOMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan
bagianyang cair. Bagian padat terdiri dari tulang, kuku, otot, dan jaringan yang lain.
Sedangkan bagian yang cair berupa cairan intraselular dan ekstraselular. Cairan
sebanyak 15%. Cairan antarsel khusus disebut cairan transeluler, seperti cairan
Elektrolit utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium dan klorida, sedangkan
elektrolit utama dalam cairan intraseluler adalah kalium, magnesium, kalsium, dan
fosfat. Cairan dan elektrolit sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat
menjaga dan mempertahankan fungsinya, sehingga tercipta kondisi yang sehat pada
tubuh manusia.
Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur sedemikian
rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat dipertahankan. Apabila terjadi
gangguan keseimbangan, baik cairan atau elektrolit, maka akan memberikan pengaruh
pada yang lainnya. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat
yang berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadar (insesible water loss)
dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam keadaan
tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh yang hilang,
penanganan pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan
mencukupi kebutuhan per hari, mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi
lain. Administrasi terapi cairan melalui intravena adalah salah satu rute terapi yang
paling umum dan penting dalam pengobatan pasien bedah, medis dan sakit kritis.4
hemodinamik pada tubuh cukup sulit. Karena pemilihannya tergantung pada jenis dan
komposisi elektrolit dari cairan yang hilang. Meskipun kesalahan terapi cairan jarang
dilaporkan, namun disebutkan satu dari lima pasien dengan terapi cairan dan elektrolit
intravena menderita komplikasi atau morbiditas karena pemberian terapi cairan yang
tidak tepat. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk membahas
terapi cairan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Terapi Cairan
1. Terapi cairan
Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan
fluid treatment”) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting yang
merupakan langkah “life saving” pada pasien yang menderita kehilangan cairan yang
Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid
dan koloid.
a. Cairan Kristaloid
Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas
dan tidak menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer
dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid,
diantaranya:
i. Isotonis.
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia
intravascular dan sel. Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal
darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping
in ¼ NS.
ii. Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih
dalam RL.
iii. Hipotonis
b. Cairan Koloid
resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok
pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari plasma protein dan
sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander yang
plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian
dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross
kardiovaskuler.
1. Dextran
jumlah besar.
kelompok, yaitu:
a. Cairan Pemeliharaan
IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan
cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya
saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup cairan
status normal tubuh kompartemen cairan dan memungkinkan ekskresi ginjal dari
digunakan adalah : NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer laktat/asetat,
NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna
Neonatus 3 ml/kg/jam
pasien. Hentikan cairan intravena jika tidak ada indikasi yang tepat. Cairan
b. Cairan pengganti
spesifik untuk menutupi penggantian dari deficit cairan atau kehilangan cairan
deficit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang sedang berlangsung,
nasogastrium, dan drainase bedah) atau saluran kencing (contoh: saat pemulihan
dari gagal ginjal akut). Secara umum, terapi cairan intravena untuk penggantian
harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan elektrolit
fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang
d. Cairan nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang
tidaak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan
nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk
parenteral parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat
- Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat, status
gravidarum.
3. Jalur Pemberian Terapi Cairan
melalui jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi tertutup
Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas atas
hematom. Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bisa digunakan untuk
- Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari tiga
hari, harus pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.
- Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau
berulang
venavena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka dengan vena
pada vena.
mengingat terkadang sulit untuk mengidentifikasi jenis syok spesifik. Ini kadang-kadang
disebut sebagai syok yang tidak berdiferensiasi. Silakan lihat bagian diagnosis diferensial
di bawah ini. Untuk pasien dengan syok hipovolemik, penting untuk membedakan antara
syok hipovolemik hemoragik dan non-hemoragik, karena hal ini akan menentukan
penatalaksanaan. Resusitasi dini dengan kontrol sumber perdarahan yang cepat sangat
penting untuk syok hipovolemik hemoragik untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan
endoskopi, bedah, atau, lebih sering, radiologi intervensi. Dalam hal resusitasi syok
hasil yang lebih baik. Transfusi seimbang menggunakan 1:1:1 atau 1:1:2 plasma ke
trombosit ke sel darah merah yang dikemas menghasilkan hemostasis yang lebih baik.
Pemberian anti-fibrinolitik pada pasien dengan perdarahan hebat dalam waktu 3 jam
sesegera mungkin untuk mengembalikan volume sirkulasi darah yang efektif. Terkadang
sulit untuk menentukan jenis kehilangan cairan. Oleh karena itu, sebaiknya dimulai
dengan larutan kristaloid isotonik hangat 30 ml/kg berat badan, diinfuskan dengan cepat
untuk memulihkan perfusi jaringan dengan cepat. Blus ini bisa diulang lebih dari satu kali.
[13] Resusitasi yang efektif dapat dipantau dengan detak jantung, tekanan darah, output
urin, status mental, dan edema perifer. Seperti dijelaskan di atas, ada beberapa modalitas
untuk mengukur respon cairan, seperti ultrasound untuk menilai kompresibilitas IVC,
pemantauan tekanan vena sentral, dan fluktuasi tekanan nadi. Vasopresor tidak boleh
digunakan untuk syok hipovolemik karena dapat memperburuk perfusi jaringan. Namun,
ini dapat digunakan untuk mengejar resusitasi volume pada fase resusitasi awal.
Resusitasi cairan kristaloid lebih disukai daripada larutan koloid untuk penurunan
volume yang parah, bukan karena perdarahan. Jenis kristaloid yang digunakan untuk
resusitasi pasien dapat disesuaikan berdasarkan nilai lab pasien, estimasi volume
resusitasi, status asam/basa, dan pilihan dokter atau institusi. Saline isotonik relatif
hiperkloremik terhadap plasma darah, dan resusitasi dengan jumlah besar dapat
menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Ada beberapa cairan isotonik lain dengan
konsentrasi klorida yang lebih rendah, seperti larutan Ringer laktat atau larutan pengganti
elektrolit IV yang tersedia secara komersial. Larutan ini sering disebut sebagai buffered
membutuhkan resusitasi volume besar mungkin mengalami lebih sedikit cedera ginjal
dengan strategi klorida restriktif dan penggunaan kristaloid seimbang. Larutan kristaloid
sama efektifnya dan jauh lebih murah daripada koloid. Larutan koloid yang umum
digunakan termasuk yang mengandung albumin atau pati hiperonkotik. Studi yang
memeriksa larutan albumin untuk resusitasi belum menunjukkan hasil yang lebih baik,
KESIMPULAN
Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula yang paling sering dan
paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi. Keuntungan dari cairan ini antara lain
harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross
match, sedangkan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti
Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer dimana masing
memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperative juga diperlukan pada saat
sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi. Pemantauan kehilangan darah pada pasien
Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and Electrolytes. Dalam
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and
Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed.
Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative Setting.
Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to Therapy.
Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders. Dalam Handbook
for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed. Philadelphia: Elsevier
Bentzer P, Griesdale DE, Boyd J, MacLean K, Sirounis D, Ayas NT. Will This
Zusman BE, Dixon CE, Jha RM, Vagni VA, Henchir JJ, Carlson SW, Janesko-Feldman
KL, Bailey ZS, Shear DA, Gilsdorf JS, Kochanek PM. Choice of Whole Blood
Pressure Target and Functional Outcome after Traumatic Brain Injury plus
Hemorrhagic Shock in Mice. J Neurotrauma. 2021 Oct 15;38(20):2907-2917. [PMC
Holcomb JB, Tilley BC, Baraniuk S, Fox EE, Wade CE, Podbielski JM, del Junco DJ,
Brasel KJ, Bulger EM, Callcut RA, Cohen MJ, Cotton BA, Fabian TC, Inaba K,
Kerby JD, Muskat P, O'Keeffe T, Rizoli S, Robinson BR, Scalea TM, Schreiber
MA, Stein DM, Weinberg JA, Callum JL, Hess JR, Matijevic N, Miller CN, Pittet
JF, Hoyt DB, Pearson GD, Leroux B, van Belle G., PROPPR Study Group.
Transfusion of plasma, platelets, and red blood cells in a 1:1:1 vs a 1:1:2 ratio and
[PubMed]