Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

Tinjauan Pustaka Terapi Cairan dan Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

Disusun Oleh :

Alifie Surya Wibawa 202220401011130

Kelompok E39

Pembimbing :

dr. Eka Gita Wahyudi, Sp.An

SMF ANASTESI

RSUD JOMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan

bagianyang cair. Bagian padat terdiri dari tulang, kuku, otot, dan jaringan yang lain.

Sedangkan bagian yang cair berupa cairan intraselular dan ekstraselular. Cairan

ekstraseluler dibagi menjadi plasma darah sebanyak 5% dan cairan interstitial

sebanyak 15%. Cairan antarsel khusus disebut cairan transeluler, seperti cairan

serebrospinal, cairan persendian, cairan peritoneum, dan lain-lainnya. Dalam cairan

ekstraseluler dan intraseluler, terdapat elektrolit-elektrolit utama yang berbeda.

Elektrolit utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium dan klorida, sedangkan

elektrolit utama dalam cairan intraseluler adalah kalium, magnesium, kalsium, dan

fosfat. Cairan dan elektrolit sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat

menjaga dan mempertahankan fungsinya, sehingga tercipta kondisi yang sehat pada

tubuh manusia.

Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan. Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur sedemikian

rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat dipertahankan. Apabila terjadi

gangguan keseimbangan, baik cairan atau elektrolit, maka akan memberikan pengaruh

pada yang lainnya. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat

terjadi pada keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat

yang berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadar (insesible water loss)

secara berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal

dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam keadaan
tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh yang hilang,

dengan segera dapat digantikan.

Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan

penanganan pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan

dapat dilakukan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung,

mencukupi kebutuhan per hari, mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi

lain. Administrasi terapi cairan melalui intravena adalah salah satu rute terapi yang

paling umum dan penting dalam pengobatan pasien bedah, medis dan sakit kritis.4

Pemilihan pemberian terapi cairan untuk perbaikan dan perawatan stabilitas

hemodinamik pada tubuh cukup sulit. Karena pemilihannya tergantung pada jenis dan

komposisi elektrolit dari cairan yang hilang. Meskipun kesalahan terapi cairan jarang

dilaporkan, namun disebutkan satu dari lima pasien dengan terapi cairan dan elektrolit

intravena menderita komplikasi atau morbiditas karena pemberian terapi cairan yang

tidak tepat. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk membahas

terapi cairan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Terapi Cairan

1. Terapi cairan

Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan

penanganan pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi, langkah D (“drug and

fluid treatment”) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting yang

dilakukan secara simultan dengan langkah-langkah lainnya. Tindakan ini seringkali

merupakan langkah “life saving” pada pasien yang menderita kehilangan cairan yang

banyak seperti dehidrasi karena muntah mencret dan syok.

2. Jenis cairan dan indikasi

Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid

dan koloid.

a. Cairan Kristaloid

Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida).

Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas

dalam ruang intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular

adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter

darah, diberikan 3 liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat,

dan tidak menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer

yang digunakan untuk terapi intravena prehospital. Tonisitas kristaloid

menggambarkan konsentrasi elektrolit yang dilarutkan dalam air,

dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid,

diantaranya:

i. Isotonis.
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia

memiliki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso,

sama; tonik, konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak

terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan di dalam

intravascular dan sel. Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal

osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah, mudah

didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera dipakai

untuk mengatasi deficit volume sirkulasi, menurunkan viskositas

darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping

yang perlu diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema

paru pada jumlah pemberian yang besar Contoh larutan kristaloid

isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5%

in ¼ NS.

ii. Hipertonis

Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih

terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik,

konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan

cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular.

Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung

bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi peningkatan curah

jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik positif pada

miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi

kapiler viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke

organ-organ vital. Efek samping dari pemberian larutan garam

hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan


kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose

5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5%

dalam RL.

iii. Hipotonis

Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan

kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah;

tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan

cepat akan berpindah dari intravascular ke sel. Contoh larutan

kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline.

b. Cairan Koloid

Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul

tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung

bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk

resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok

hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita

dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya

pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari plasma protein dan

sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander yang

merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan

plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian

dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan

reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross

match.2,3 Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:

i. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia

( 5% dan25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C


selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya.

Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga

mengandung alfa globulin dan beta globulin. Selain albumin,

aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat dalam

fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps

kardiovaskuler.

ii. Koloid Sintetik

1. Dextran

2. Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah

yang besar. Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena

peningkatan berat molekulnya, sehingga memiliki durasi

tindakan yang lebih lama di dalam ruang intravaskular. Namun,

obat ini jarang digunakan karena efek samping terkait yang

meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam

tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan

gangguan pada cross-matching darah. Tersedia dalam bentuk

Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan

Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.4

3. Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)

Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini.

Pemberian 500 ml larutan ini larutan ini pada orang normal

akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan

sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64%

dalam waktu 8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang

dilaporkan adanya reaksi anafilaktoid. Low molecular weight


Hydroxylethyl starch (PentaStarch) mirip Heta starch, mampu

mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang

diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya

sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas

yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka

Pentastarch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan

jumlah besar.

Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat

kelompok, yaitu:

a. Cairan Pemeliharaan

Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan

IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan

mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan

cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya

euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang

sedang berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks). Tujuan

saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup cairan

dan elektrolit untuk memenuhi insensible losses (500-1000 ml), mempertahankan

status normal tubuh kompartemen cairan dan memungkinkan ekskresi ginjal dari

produk-produk limbah (500-1500 ml.). Jenis cairan rumatan yang dapat

digunakan adalah : NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer laktat/asetat,

NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna

ataupun ginjal, glukosa 5% atau glukosa salin.

Jumlah kehilangan air tubuh berbeda sesuai dengan umur, yaitu

Dewasa 1,5-2 ml/kg/jam


Anak-anak 2-4 ml/kg/jam

Bayi 4-6 ml/kg/jam

Neonatus 3 ml/kg/jam

Kebutuhan cairan rumatan adalah 25-30 ml/kg/hari. Kebutuhan K, Na dan Cl

kurang lebih 1mmol/kg/hari. Kebutuhan glukosa 50-100 g/hari. Setelah cairan

pemeliharaan intravena diberikan, monitor dan lakukan penilaian ulang pada

pasien. Hentikan cairan intravena jika tidak ada indikasi yang tepat. Cairan

nasogastrium atau makanan enteral lebih dipilih untuk kebutuhan pemeliharaan

lebih dari 3 hari.

b. Cairan pengganti

Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan

spesifik untuk menutupi penggantian dari deficit cairan atau kehilangan cairan

atau elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang sedang

berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan intravena yang

optimal. Cairan dan elektrolit intravena pengganti dibutuhkan untuk mengangani

deficit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang sedang berlangsung,

biasanya dari saluran pencernaan (contoh: ileostomy, fistula, drainase

nasogastrium, dan drainase bedah) atau saluran kencing (contoh: saat pemulihan

dari gagal ginjal akut). Secara umum, terapi cairan intravena untuk penggantian

harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan elektrolit

seperti kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis dapat kembali dan terjaga.

Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang

sedang berlangsung, distribusi yang tidak normal atau permasalahan kompleks

lainnya. Periksa kehilangan yang sedang berlangsung dan perkirakan jumlahnya


dengan mengecek untuk muntah dan kehilangan NG tube, diare, kehilangan darah

yang berlangsung. Periksa redistribusi dan masalah kompleks lainnya dengan

memeriksa pembengkakan, sepsis berat, dan lainnya. Berikan tambahan cairan

dari kebutuhan pemeliharaan rutin, mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit

yang lain. Monitor dan periksa ulang pasien setelah meresepkan.

c. Cairan untuk tujuan khusus

Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya

natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus

terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.

d. Cairan nutrisi

Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang

tidaak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan

nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk

parenteral parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat

pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa:

- Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia

intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.

- Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat, status

preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri

mesenterika, diare berulang.

- Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-

obstruksi dan skleroderma.

- Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada gangguan

makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis

gravidarum.
3. Jalur Pemberian Terapi Cairan

Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan

melalui jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi tertutup

atau terbuka dengan seksi vena.

a. Kanulasi Vena Perifer

Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas atas

berikutnya dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Hindari vena di

daerah kepala karena sangat tidak fiksasinya, sehingga mudah terjadu

hematom. Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bisa digunakan untuk

kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan dilakukannya kanulasi vena

perifer ini adalah untuk

- Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari tiga

hari, harus pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.

- Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti

kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.

- Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau

berulang

b. Kanulasi Vena Sentral

Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya untuk nutrisi

parenteral total, kanulasi dikalukan melalui vena subklavikula atau vena

jugularis interna. Sedangkan untuk jangka pendek, dilakukan melalui

venavena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka dengan vena

seksi. Tujuan dari kanulasi vena sentral ini tersendiri adalah:


- Terapi cairan dan nutrisi pareterla jangka panjang. Terutama untuk cairan

nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah iritasi

pada vena.

- Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya cardiovascular,

vena perifer sulit diidentifikasi

- Untuk pemasanganan alat pemacu jantung

2. Penatalaksaan Syok Hipovolemik

Penting untuk mengidentifikasi jenis syok sebelum memulai penatalaksanaan spesifik,

mengingat terkadang sulit untuk mengidentifikasi jenis syok spesifik. Ini kadang-kadang

disebut sebagai syok yang tidak berdiferensiasi. Silakan lihat bagian diagnosis diferensial

di bawah ini. Untuk pasien dengan syok hipovolemik, penting untuk membedakan antara

syok hipovolemik hemoragik dan non-hemoragik, karena hal ini akan menentukan

penatalaksanaan. Resusitasi dini dengan kontrol sumber perdarahan yang cepat sangat

penting untuk syok hipovolemik hemoragik untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan

mengurangi transfusi produk darah. Kontrol sumber perdarahan dilakukan dengan

endoskopi, bedah, atau, lebih sering, radiologi intervensi. Dalam hal resusitasi syok

hemoragik, menggunakan produk darah dibandingkan resusitasi kristaloid menghasilkan

hasil yang lebih baik. Transfusi seimbang menggunakan 1:1:1 atau 1:1:2 plasma ke

trombosit ke sel darah merah yang dikemas menghasilkan hemostasis yang lebih baik.

Pemberian anti-fibrinolitik pada pasien dengan perdarahan hebat dalam waktu 3 jam

setelah cedera traumatis tampaknya menurunkan kematian akibat perdarahan mayor,

seperti yang ditunjukkan dalam percobaan CRASH-2.Penelitian tentang pengganti


pembawa oksigen sebagai alternatif sel darah merah sedang berlangsung. Namun, tidak

ada pengganti darah yang digunakan di Amerika Serikat.

Untuk pasien syok hipovolemik non-hemoragik, resusitasi volume harus dimulai

sesegera mungkin untuk mengembalikan volume sirkulasi darah yang efektif. Terkadang

sulit untuk menentukan jenis kehilangan cairan. Oleh karena itu, sebaiknya dimulai

dengan larutan kristaloid isotonik hangat 30 ml/kg berat badan, diinfuskan dengan cepat

untuk memulihkan perfusi jaringan dengan cepat. Blus ini bisa diulang lebih dari satu kali.

[13] Resusitasi yang efektif dapat dipantau dengan detak jantung, tekanan darah, output

urin, status mental, dan edema perifer. Seperti dijelaskan di atas, ada beberapa modalitas

untuk mengukur respon cairan, seperti ultrasound untuk menilai kompresibilitas IVC,

pemantauan tekanan vena sentral, dan fluktuasi tekanan nadi. Vasopresor tidak boleh

digunakan untuk syok hipovolemik karena dapat memperburuk perfusi jaringan. Namun,

ini dapat digunakan untuk mengejar resusitasi volume pada fase resusitasi awal.

Resusitasi cairan kristaloid lebih disukai daripada larutan koloid untuk penurunan

volume yang parah, bukan karena perdarahan. Jenis kristaloid yang digunakan untuk

resusitasi pasien dapat disesuaikan berdasarkan nilai lab pasien, estimasi volume

resusitasi, status asam/basa, dan pilihan dokter atau institusi. Saline isotonik relatif

hiperkloremik terhadap plasma darah, dan resusitasi dengan jumlah besar dapat

menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Ada beberapa cairan isotonik lain dengan

konsentrasi klorida yang lebih rendah, seperti larutan Ringer laktat atau larutan pengganti

elektrolit IV yang tersedia secara komersial. Larutan ini sering disebut sebagai buffered

atau balanced crystalloids. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pasien yang

membutuhkan resusitasi volume besar mungkin mengalami lebih sedikit cedera ginjal

dengan strategi klorida restriktif dan penggunaan kristaloid seimbang. Larutan kristaloid

sama efektifnya dan jauh lebih murah daripada koloid. Larutan koloid yang umum
digunakan termasuk yang mengandung albumin atau pati hiperonkotik. Studi yang

memeriksa larutan albumin untuk resusitasi belum menunjukkan hasil yang lebih baik,

sementara penelitian lain menunjukkan resusitasi dengan pati hiperonkotik menyebabkan

peningkatan mortalitas dan gagal ginjal.


BAB III

KESIMPULAN

Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid

merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula yang paling sering dan

paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi. Keuntungan dari cairan ini antara lain

harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross

match, sedangkan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan

aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang

intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti

pada syok hipovolemik/hermorhagik. Berdasarkan penggunaannya dibagi menjadi cairan

pemeliharaan, pengganti, nutrisi, dan untuk tujuan khusus.

Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer dimana masing

memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperative juga diperlukan pada saat

sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi. Pemantauan kehilangan darah pada pasien

perioperative juga menentukan jenis terapi cairan yang akan diberikan.


DAFTAR PUSTAKA

Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and Electrolytes. Dalam

Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 3rd ed.

Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015; 17 : h. 341 – 49.

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and

Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed.

New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.

Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative Setting.

Cambridge: Cambridge Univ ersity Press. 2012; 1 : h. 1– 10.

Niemi TT, Miyasitha R, Yamakage M. Colloid solutions: a clinical update.Japanese

Society of Anesthesiologist. 2010.

Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous fluids principles of treatment. Clinical

Pharmacist Vol.3. 2011.

Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to Therapy.

Verlag Italia: Springer. 2013.

Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders. Dalam Handbook

for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed. Philadelphia: Elsevier

Inc. 2013; 18: h.216 – 230.

Bentzer P, Griesdale DE, Boyd J, MacLean K, Sirounis D, Ayas NT. Will This

Hemodynamically Unstable Patient Respond to a Bolus of Intravenous

Fluids? JAMA. 2016 Sep 27;316(12):1298-309. [PubMed]

Zusman BE, Dixon CE, Jha RM, Vagni VA, Henchir JJ, Carlson SW, Janesko-Feldman

KL, Bailey ZS, Shear DA, Gilsdorf JS, Kochanek PM. Choice of Whole Blood

versus Lactated Ringer's Resuscitation Modifies the Relationship between Blood

Pressure Target and Functional Outcome after Traumatic Brain Injury plus
Hemorrhagic Shock in Mice. J Neurotrauma. 2021 Oct 15;38(20):2907-2917. [PMC

free article] [PubMed]

Holcomb JB, Tilley BC, Baraniuk S, Fox EE, Wade CE, Podbielski JM, del Junco DJ,

Brasel KJ, Bulger EM, Callcut RA, Cohen MJ, Cotton BA, Fabian TC, Inaba K,

Kerby JD, Muskat P, O'Keeffe T, Rizoli S, Robinson BR, Scalea TM, Schreiber

MA, Stein DM, Weinberg JA, Callum JL, Hess JR, Matijevic N, Miller CN, Pittet

JF, Hoyt DB, Pearson GD, Leroux B, van Belle G., PROPPR Study Group.

Transfusion of plasma, platelets, and red blood cells in a 1:1:1 vs a 1:1:2 ratio and

mortality in patients with severe trauma: the PROPPR randomized clinical

trial. JAMA. 2015 Feb 03;313(5):471-82. [PMC free article] [PubMed]

Roberts I, Shakur H, Coats T, Hunt B, Balogun E, Barnetson L, Cook L, Kawahara T,

Perel P, Prieto-Merino D, Ramos M, Cairns J, Guerriero C. The CRASH-2 trial: a

randomised controlled trial and economic evaluation of the effects of tranexamic

acid on death, vascular occlusive events and transfusion requirement in bleeding

trauma patients. Health Technol Assess. 2013 Mar;17(10):1-79. [PMC free article]

[PubMed]

Anda mungkin juga menyukai