Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

IMMUNE TROMBOCYTOPENIC PURPURA (ITP)

Oleh:

Devi Ratna Sari KSP (G99161004)

Anggita Dewi (G99161014)

Azalia Virsaliana (G99161024)

Pembimbing

Diding Heri P., M.Si, dr., Sp.PD, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2017

0
HALAMAN PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

IMMUNE TROMBOCYTOPENIA PURPURA (ITP)

Oleh:

Devi Ratna Sari KSP (G99161004)

Anggita Dewi (G99161014)

Azalia Virsaliana (G99161024)

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

14 Februari 2017

Diding Heri P., M.Si, dr., Sp.PD, M.Kes

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ITP (Immune thrombocytopenic purpura) merupakan suatu gangguan


autoimun yang ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka
trombosit < 150.000/L) oleh karena adanya penghancuran trombosit secara
dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap
trombosit yang biasanya berasal dari imunoglobulin G. Insidensi ITP pada
anak diperkirakan 4,0-5,3 per 100.000 anak pertahun sedangkan pada orang
dewasa dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi pertahun (5,8-
6,6 per 100.000) dengan jumlah pasien wanita lebih banyak dibandingkan
laki-laki. Kata trombositopenia menunjukan bahwa terdapat angka trombosit
yang rendah, sedangkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi kulit
berwarna lebam karena symptom penyakit ini , warna ungu pada kulit
disebabkan oleh merembesnya darah dibawah permukaan kulit.

Klasifikasi ITP dibagi menjadi 2 yaitu tipe akut bila kejadiannya 6


bulan (umumnya terjadi pada anak-anak) dan kronik bila > 6 bulan
(umumnya terjadi pada orang dewasa).

ITP disebabkan oleh autoantibodi yang mengikat antigen trombosit


sehingga menyebabkan terjadinya destruksi prematur trombosit dalam sistem
retikuloendotel terutama di limpa. Antibodi yang berperan adalah
imonoglobulin G (igG). Selain itu, penyebab ITP dapat dikaitkan dengan
infeksi rubela, rubeola,varisella pada pasien ITP yang sebelumnya terinfeksi.

2
Pada tubuh seseorang yang menderita ITP, sel-sel darahnya kecuali sel
darah merah berada dalam jumlah yang normal. Sel darah merah adalah sel-
sel sangat kecil yang menutupi area tubuh pasca luka kemudian membentuk
bekuan darah. Seseorang dengan sel darah merah yang terlalu sedikit dalam
tubuhnya akan sangat mudah mengalami luka memar dan bahkan mengalami
perdarahan dalam periode cukup lama setelah mengalami trauma luka.
Manifestasi klinis ITP sangat bervariasi mulai perdarahan ringan sampai fatal.
Kadang asimptomatik, kadang bintik-bintik kecil merah (petechiae) muncul
pada permukaan kulit. Jika jumlah sel darah merah sangat rendah, penderita
ITP bisa juga mengalami mimisan (epitaksis) yang sukar berhenti, atau
mengalami perdarahan dalam organ ususnya.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui perjalanan penyakit IMMUNE TROMBOCYTOPENIA


PURPURA (ITP).

2. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada penyakit IMMUNE


TROMBOCYTOPENIA PURPURA (ITP).

3. Untuk mengetahui bagaimana penanganan yang tepat terhadap penyakit


IMMUNE TROMBOCYTOPENIA PURPURA (ITP).

C. Manfaat

1. Agar pembaca dapat memahami perjalanan penyakit Idiopatic


Trombositopenia Purpura (ITP).

3
2. Agar pembaca dapat mengetahui tanda dan gejala pada penyakit
IMMUNE TROMBOCYTOPENIA PURPURA (ITP).

3. Agar pembaca dapat mengetahui penanganan penyakit Idiopatic


Trombositopenia Purpura (ITP)

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Gambar 1.Perbedaan pembuluh darah pada orang sehat dan penderita ITP

ITP yang dahulu dikenal dengan Idiopathic Thrombocytopenic Purpura


dan kemudian disebut sebagai 'Immune Thrombocytopenic Purpura' adalah
suatu keadaan dimana darah tidak cukup memiliki sel darah merah
(trombosit), sedangkan 'purpura' berarti perdarahan kecil yang ada di
dalam kulit, membran mukosa atau permukaan serosa.

5
ITP (Immune thrombocytopenic purpura) adalah suatu kondisi autoimun
dimana dimana autoantibodi IgG dibentuk untuk mengikat trombosit sehingga
jumlah platelet atau trombosit rendah (angka trombosit darah perifer <
15.000/L). Adanya trombositopenia pada ITP ini akan mengakibatkan
gangguan pada sistem hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem
vaskular faktor koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam
mempertahankan hemostasis normal. Tubuh akan mengeluarkan
trombopoietin lebih banyak untuk merangsang trombopoiesis. Seseorang
dengan keping darah yang sangat rendah di dalam tubuhnya akan sangat
mudah mengalami luka memar dan bahkan mengalami perdarahan dalam
periode cukup lama setelah mengalami trauma luka.

B. Epidemiologi

Insidensi ITP pada anak-anak antara 4,0 5,3 per 100.000 ITP akut
umumnya menyerang anak-anak usia antara 2 6 tahun. 7 28 % anak-anak
dengan ITP akut berkembang menjadi kronik 15 20 %. ITP pada anak
berkembang menjadi bentuk ITP kronik pada beberapa kasus menyerupai ITP
dewasa yang khas. Insideni ITP pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000
anak per tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adaah 1:1 pada pasien
ITP akut sedangkan pada ITP kronik adalah 2 3 : 1.

C. Etiologi

Penyebab ITP ini tidak diketahui. Seseorang yang menderita ITP, dalam
tubuhnya membentuk antibodi yang mampu menghancurkan sel-sel darah
merahnya. Dalam kondisi normal, antibodi adalah respons tubuh yang sehat
terhadap bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi untuk
penderita ITP, antibodinya bahkan menyerang sel-sel darah merah tubuhnya
sendiri.

6
D. Patofisiologi

ITP disebabkan oleh antibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan


trombosit analog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh
sistem fagosit mononuklear melalui reseptor Fc makrofag. Trombosit yang
diselimuti oleh antibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien
dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh
makrofag jaringan. Pada sebagian besar pasien, akan terjadi mekanisme
kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil
yang lain, produksi trombsit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi
trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum
tulang (intramedullary) atau karena hambatan pembentukan megakariosit
(megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan
adanya masa megakariosit normal.

Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemiologis pada antara ITP


akut dan kronis menimbulkan dugaan adanya mekanisme patofisiologi
terjadinya trombositopenia diantara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya
bahwa penghancuran trombosit meningkat karena adanya antibodi yang
dibentuk saat terjadinya respon imun terhadap infeksi bakteri/virus atau pada
imunisasi yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit. Sedangkan
pada ITP kronis mungkin telah terjadi gangguan dalam regulasi sistem imun
seperti pada penyakit autoimun lainnya, yang berakibat terbentuknya antibodi
spesifik terhadap trombosit.

Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan


antibodi ITP untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik
kekurangan kompleks glikoprotein Ib/IX, Ia/Iia, IV dan V dan determinan
trombosit yang lain, serta ditemukan beberapa antibodi yang bereaksi dengan
berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen

7
yang diperkirakan dipicu oleh antibodi akan menimbulkan pacuan
pembentukan neoantigen yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk
menimbulkan trombositopenia.

Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein IIb/IIIa


memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibodi ang
berasal dari display phage menunjukkan penggunaan gen VH+. Pelacakan
pada daerah yang berikatan dengan antigen dari antibodi-antibodi ini
menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang mengalami
seleksi afinitas yang diperantai antigen dan melalui mutasi somatic. Pasien
ITP pada orang dewasa sering menunjukan peningkatan jumlah HLA-DR + T
cells, peningkatan jumah interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang
menunjukkan aktivitas precursor sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada
pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah terpapar
fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh protein alami.
Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel yang
bertahan lama tidak diketahui dengan pasti.

8
Gambar 2. Patogenesis ITP

Pada gambar 2 dapat memperjelas bahwa, faktor yang memicu produksi


autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan pasien mempunyai antibodi
terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit
terdiagnosis secara klinis.
(1) Pada awalnya glikoprotein II/IIIa dikenali autoantibodi, sedangkan
antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap
ini.
(2) Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji
antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian
mengalami proses internalisasi dan degradasi
(3) Sel penyaji antigen teraktivasi
(4) Kemudian mengekspresikan peptide baru pada permuakaan sel dengan
bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan
CD 40) dan sitokin yang memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T
cellclone (T-cell clone-1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2).

9
(5) Reseptor sel immunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit (B-
cell clone-2)
(6) Lalu menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibodi
dan juga meningkatkan produksi anti-glikoprotein IIb/IIIa antibodi oeh B-
cell clone 1.
Secara genetik, ITP telah didiagnosa pada kembar monozigot dan pada
beberapa keluarga, serta telah diketahui adanya kecenderungan menghasilkan
autoantibodi pada anggota keluarga yang sama. Adanya peningkatan
prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 pada beberapa populasi etnis
diketahui. Alel HLA-DR4 dan DRB*0410 dihubungkan dengan respon yang
menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid, dan HLADRB1*1510
dihubungkan dengan respon yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi.
Meskipun demikian, banyak penelitian gagal menunjukkan hubungan yang
konsisten antara ITP dan kompleks HLA yang spesifik.

Metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan ITP diarahkan


secara langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antbosi
dan sensitisasi.

10
Gambar 3. Mekanisme kerja terapi ITP

Pada gambar 3 dijelaskan bahwa:

(1) Obat yang digunakan sebagai terapi awal ITP akan menghambat terjadinya
klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg
pada makrofag jaringan.

(2) Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun


mungkin pula menggangu interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam
sintesis antibodi pada beberapa pasien. Kortikosteroid dapat pula

11
meningkatan trombosit dengan cara menghalangi kemampuan makrofag
dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, seangkan
trombopoetin berperan merangsang progenitor megakariosit.

(3) Beberapa immunosupresan non spesifik seperti azathioprin dan


siklosporin, bekerja pada tingkat sel-T.

(4) Antibodi monoclonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji
klinik, merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan untuk
mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan sel-B yang
terlibat dalam interaksi antibodi dan pertukaran klas.

(5) Immunoglobulin iv mengandung antiidiopytic antybody yang dapat


menghambat produksi antibodi. Antibodi monoclonal yang mengenali
ekspresi CD20 pada sel-sel B masih menjadi penelitan.

(6) Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma.

(7) Tranfusi trombosit diperlukan pada kondisi darrat untuk terapi perdarahan.
Efek dari stafilokokkus protein A masih dalam penelitian.

Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia ditemukan pada


75 % pasien ITP. Autoantibodi IgG antitrombosit ditemukan pada + 50 85 %
pasien. Antibodi antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG, dan hampir
50 % kasus, kedua serotype immunoglobulin tersebut ditemukan pada pasien
yang sama. Antibodi IgM juga ditentukan pada sejumah kecil pasien tetapi
tidak pernah sebagai autoantibodi tunggal. Peningkatan jumlah IgG telah
tampak di permukaan trombosit dan kecepatan destruksi trombosit pada ITP
adalah proporsional terhadap kadar yang menyerupai trombosit yang
berhubungan dengan immunoglobulin. Autoantibodi dengan mudah ditemukan
dalam plasma atau dalam elusi trombosit pada pasien dengan penyakit yang

12
aktif, tetapi jarang ditemukan pada pasien yang mengalami remisi. Hilangnya
antibodi-antibodi berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang normal.

Pada trombosit masa hidup akan memendek pada ITP berkisar dari 2-3 hari
sampai beberapa menit. Pasien yang trombositopenia ringan sampai dengan
mempunyai masa hidup terukur yang lebih lama dibandingkan dengan pasien
dengan trombositopenia berat.

E. Klasifikasi

1. ITP akut: berlangsung 6 bulan. Sering dijumpai pada anak, jarang pada
dewasa. Onset penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi mengawali
terjadinya perdarahan berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-anak
(rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh
virus (varicella zooster dan ebstein barr). Manifestasi perdarahan ITP akut
pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi < 1% pasien.
Pada ITP dewasa bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami
perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulminan. ITP akut pada anak
biasanya self-limiting, remisi spontan terjadi pada 90% penderita, 60%
sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.

2. ITP kronik: berlangsung > 6 bulan. Onset tidak menentu, riwayat


perdarahan sering ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien
jarang terjadi dan perjalanan klinis yang fluktuatif. Episode perdarahan
dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin
intermitten atau terus menerus. Manifestasi perdarahan ITP berupa
ekimosis, petekie, purpura. Pada umumnya berat dan frekuensi
perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum bila pasien
dengan AT > 50.000/ml maka biasanya asimptomatik, AT 30.000-
50.000/ml terdapat luka memar/hematom, AT 10.000-30.000/ml terdapat
perdarahan spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada luka,

13
AT < 10.000/ml terjadi perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan
gastrointestinal dan genitourinaria) dan resiko perdarahan sistem saraf
pusat.

ITP Akut ITP Kronik


Awal Penyakit 2-6 tahun 20-40 6 tahun
Ratio L : P 1:1 1:2-3
Trombosit < 20.000/mL 30.000-100.000/mL
Lama Penyakit 2-6 minggu Beberapa tahun
Perdarahan Berulang Beberapa hari/minggu
Tabel 1. Perbedaan ITP akut dan kronik

F. Diagnosis

1. Anamnesis.

Dari Anamnesis, perlu digali tanda-tanda perdarahan dan faktor resiko.


Tanda perdarahan seperti munculnya petekie, purpura, perdarahan yang
sulit berhenti, perdarahan pada gusi, mimisan spontan, perdarahan
konjungtiva, perdarahan saluran cerna seperti melena, hematuria, dan
menstruasi yang berkepanjangan pada wanita.

2. Pemeriksaan fisik

14
Gambar 4. Purpura pada tungkai penderita ITP

a) Memar dan ruam petekie menyeluruh terjadi 1-4 minggu setelah


infeksi virus atau pada beberapa kasus tidak ada penyakit yang
mendahului. Pada anak mendadak timbul petekie, purpura, dan
ekimosis tersebar di seluruh tubuh, asimetris, dan biasanya di tungkai
bawah.

b) Selaput lendir terutama hidung dan mulut sehingga dapat terjadi


epistaksis dan perdarahan gusi dan bahkan tanpa kelainan kulit.

c) Perdarahan traktus genitourinarius (menoragia, hematuria), traktus


digestivus (hematemesis, melena), pada mata (konjungtiva, retina).
Hati, limpa dan kelenjar limfe tidak membesar, kecuali tanda
perdarahan akut. Fase akut penyakit disertai perdarahan spontan
selama 1-2 minggu.

3. Pemeriksaan Penunjang

15
a) Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi (GDT)

ITP ditandai dengan trombositopenia dengan pemeriksaan


darah lengkap dinyatakan normal. Anemia karena kehilangan darah
dapat ditemukan, tetapi harus sebanding dengan jumlah, dan durasi
perdarahan dan dapat menyebabkan defisiensi besi. Jika anemia
ditemukan, jumlah retikulosit dapat membantu menentukan apakah
hasil produksi yang buruk atau peningkatan perusakan sel darah
merah.

Gambar 5. Trombosit dan megakariosit. (a) apusan darah tepi menunjukkan trombosit
normal (panah putus-putus) (b) apusan darah tepi menunjukkan trombositopenia dengan
trombosit besar (panah putus-putus ) pada ITP (c) bone marrow dengan jumlah normal
megakariosit (panah) (d) aspirasi bone marrow menunjukkan peningkatan megakariosits
(panah) pada ITP.

16
b) Pemeriksaan Helicobacter pylori

Deteksi infeksi Helicobacter pylori, sebaiknya dengan tes


antigen pada urea. Deteksi serologi dapat digunakan tetapi kurang
sensitif dan kurang spesifik.

c) Pemeriksaan HIV dan HCV

Trombositopenia terkait dengan HIV dan infeksi virus hepatitis


C (HCV) mungkin secara klinis tidak dapat dibedakan dari ITP dan
dapat terjadi beberapa tahun sebelum pasien menunjukkan evaluasi
gejala lainnya. Sering ditemukan HIV dan atau infeksi HCV pada
pasien dewasa yang diduga ITP, terlepas dari prevalensi dan latar
belakang faktor risiko pribadi ditemukan dalam riwayat pasien
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan.

d) Pemeriksaan kadar immunoglobulin secara kuantitatif

Kadar antibodi (IgG, IgA, dan IgM) harus diukur pada orang
dewasa. Juga harus dipertimbangkan pada anak-anak dengan ITP awal.
Kadar yang rendah dapat menunjukkan kondisi yang umum pada
imunodefisiensi (CVID) atau defisiensi IgA selektif.

e) Pemeriksaan Direct antiglobulin test (DAT)

Direct antiglobulin test (DAT) yang positif ditemukan pada


22% dari 205 pasien (19 anak, 186 orang dewasa) dengan ITP, namun
secara perubahan klinis tidak diketahui. Sebuah DAT umumnya sesuai
jika anemia dikaitkan dengan jumlah retikulosit tinggi ditemukan dan
jika pengobatan dengan anti-D imunoglobulin sedang
dipertimbangkan.

17
f) Tes antibodi antiplatelet: tes antibodi-glikoprotein spesifik

Tes antibodi terhadap glikoprotein trombosit spesifik tidak


rutin dianjurkan karena platelet terkait IgG (PaIgG) meningkat pada
kedua trombositopenia imun dan non-imun.

G. Diagnosis banding

ITP harus dibedakan dari proses aplasia atau infiltratif sumsum tulang.
Purpura trombositopenia dapat merupakan manifestasi awal SLE, AIDS, atau
limfoma, tetapi penyakit-penyakit ini jarang pada anak. Berikut beberapa
diagnosis banding dari ITP:

Peningkatan destruksi Gangguan Produksi

Imun Aplasia/displasia

Autoimun : ITP, SLE, APLS, ES, CVID Fanconi anemia, myelofibrosis,


pearson syndrome

Alloimun : NAIT, PTP

Obat-obatan : heparin yang dapat


menyebabkan trombositopenia

Non-imun Penggantian sumsum tulang belakang

Neonatus: Infeksi TORCH, kelainan Leukimia, solid tumor


maternal, asfiksia

Berbagai umur: infeksi*

Keturunan

Bernard Soulier Syndrome, wiskott aldrich


syndrome, von willebrand disease

Tabel 2. Diagnosis banding ITP. Keterangan: ITP, immune thrombocytopenic purpura; SLE, systemic
lupus erythematosus; APLS, anti-phospholipid syndrome; ES, Evans syndrome; CVID, common
variable immune deficiency; NAIT, neonatal alloimmune thrombocytopenia; PTP, post-transfusion
purpura; * Hepatitis viruses B and C, human immunodeficiency virus and H.pylori have proven
associations with thrombocytopeni.

18
H. Penatalaksanaan

1. Terapi lini pertama

a) Prednison: terapi awal ITP dengan prednisolon atau prednison dosis


1,0-1,5mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison
terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya terjadi dalam minggu
pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan ,
kemudian tapering. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT
<30.000/L, AT>50.000/L setelah 10 hari terapi awal, terhentinya
perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT <30.000L/ AT
50.000/ L terapi 10 hari. Respon menetap bila AT
menetap>50.000/mL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang
simtomatik persisten dan trombositopenia berat (AT <10.000/L)
setelah mendapat terapi prednisone perlu dipertimbangkan untuk
splenektomi.

b) Imunoglobulin Intravena (IglV): dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari


berturut-turutdigunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT
<5000/mL meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam
beberapa hari atau adanya purpura yang progresif. Hampir 80% pasien
berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun perlu
pertimbangan biaya. Gagal ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi
serta syok anafilaktik pada pasien yang mempunyai defisiensi IgA
Kongenital. Mekanisme kerja IglV pada ITP masih belum banyak
diketahui namun meliputi blockade Fc reseptor, anti-idiotype
antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibodi dengan
trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.

c) Splenektomi: pengobatan yang paling definitif untuk ITP, dan


kebanyakan pasien dewasa pada akhirnya akan menjalani splenektomi.

19
Terapi prednison dosis tinggi tidak boleh berlanjut terus dalam upaya
untuk menghindari operasi. Splenektomi diindikasikan jika pasien
tidak merespon pada prednison awal atau memerlukan prednison dosis
tinggi yang tidak masuk akal untuk mempertahankan jumlah platelet
yang memadai atau yang perlu terapi trombosit terus menerus.Efek
splenektomi pada kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat
tempat antibodi yang tertempel trombosit yang bersifat merusak dan
menghilangkan produksi antibodi anti trombin. Indikasi splenektomi
adalah sebagai berikut

a. Bila AT < 50.000/uL setelah 4 minggu (satu studi menyatakan


bahwa semua pasien yang mengalami remisi komplit mempunyai
AT> 50.000 uL dalam 4 minggu).

b. Angka trombosit tidak menjadi normal setelah 6 8 minggu


(karena problem efek samping)

c. Angka trombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan


(tapering off)

Respon post splenektomi didefinisikan sebagai : Tak ada respon bila


gagal mempertahankan AT > 50.000/uL beberapa waktu setelah
splenektomi, Relaps bila AT turun < 50.000/uL. Angka 50.000 dipilih
karena diatas batas ini pasien tidak diberi terapi. Respon splenektomi
bervariasi antara 50 % samapi 80%.

2. Terapi PTI kronik refrakter

Pasien refratkter didefinisikan sebagai kegagalan terapi kortikosteroid


dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut
karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. PTI refrakter kronik
ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut :

20
a. PTI menetap lebih dari 3 bulan

b. Penderita gagal berespon dengan splenektomi

c. AT < 30.000/uL

3. Terapi lini kedua

Untuk penderita yang dengan terapi standar kortikosteroid tidak membaik,


ada beberapa pilihan terapi yang dapat digunakan sebagai berikut :

a) Steroid dosis tinggi: Selain prednisolon, dapat digunakan


deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4
hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 pasien dalam
penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT
>100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien
yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti
obat lainnya.

b) Metil prednisolon: steroid parenteral seperti metilprednisolon


digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada ITP refrakter.
Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada ITP anak dan
dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional.
Dari penelitian Weil pada pasien ITP berat menggunakan dosis tinggi
metil prednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3hari
sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan dengan pasien ITP klinis
ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvensional.

21
Gambar 6 : Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber : Cines DB,
Blanchette VS, 2002)

22
Pasien yang mendapat terapi metilprednisolondosis tinggi mempunyai
respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respons
(80%vs 53%). Respons steroid intravena bersifat sementara pada
semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT
tetap adekuat.

c) IglV dosis tinggi: dosis 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut,


seringdikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT
dengan cepat. Efek samping,terutama sakit kepala, namun jika berhasil
maka dapat diberikan secara intermiten ataudisubtitusi dengan anti-D
intravena.

d) Anti-D Intravena: telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada


orang dewasa. Dosisanti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja
anti-D yakni destruksi sel darah merah rhesusD-positif yang secara
khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing
denganautoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor
blockade.

e) Alkaloid vinka: Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang


digunakan, meskipun mungkin bernilaiketika terapi lainnya gagal dan
ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya
vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 mg, setiap minggu
selama 4-6 minggu.

f) Danazol: Dosis 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan


karena respon seringlambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan.
Bila respons terjadi, dosis diteruskan sampaidosis maksimal sekurang-
kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4
bulan.

23
g) Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi: Terapi dengan
azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid sebagai
obat tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai
25%. Pada pasien yang berat,simptomatik, ITP kronik refrakter
terhadap berbagai terapis ebelumnya. Pemakaian siklofosfaraid,
vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan
seperti pada limfoma.

Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3


bulan. Azatioprin 50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat
dihentikan, bila ada respons sampai 3 bulan turunkan sampai dosis
terkecil.

h) Dapsone: dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan.


Pasien- pasien harusdiperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar
G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisisyang serius.

3. Rekomendasi terapi ITP yang gagal terapi lini pertama dan kedua

Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran


splenektomi dan bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda
operasi. Rituximab, suatu antibodimonoklonal terhadap CD20 + B sel,
memiliki tingkat respons keseluruhan 25 - 50%, dan memiliki respon yang
tahan lama, dengan efek samping yang relatif sedikit.

Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat


pada pasien tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk
meningkatkan AT (misalnya. Perdarahan aktif). Mikofenolat mofetil
tampak efektif pada beberapa pasien ITP refrakter tetapi studi lebih.

24
I. Prognosis

Lebih dari 80% anak-anak yang tidak diobati memiliki pemulihan


spontan dengan jumlah trombosit normal selama 2-8 minggu. Respons terapi
dapat mencapai 5070% dengan kortikosteroid. Penderita ITP usia dewasa
hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian
pada ITP biasanya disebabkan oleh perdarahan intracranial yang berakibat
fatal berkisar 2.2% untuk usia > 40 tahun dan sampai 47.8% untuk usia < 60
tahun.

BAB III
KESIMPULAN

Immune thrombocytopenic purpura (ITP) merupakan kelainan perdarahan didapat


pada anak yang paling sering dijumpai. ITP merupakan kelainan autoimun yang
menyebabkan munculnya suatu antibodi terhadap trombosit, yang ditandai dengan
trombositopenia yang menetap. Diagnosis PTI ditegakkan dari adanya tanda-tanda
perdarahan dan pemeriksaan darah baik dari jumlah trombositnya dan morfologinya.
Proses penghancuran trombosit pada proses pembekuan darah akhirnya akan
menghasilkan fibrin, dimana fibrin ini berfungsi seperti jaring yang menangkap dan
menghalangi sel darah merah dan menyebabkan terjadinya koagulasi. Pemecahan dari
fibrin akan menghasilkan d-dimer, peningkatan jumlah dan pemecahan fibrin yang
semakin banyak akan meningkatkan kadar d-dimer pula. Sedangkan antitrombin
berfungsi untuk mencegah koagulasi dengan menghambat faktor XII, IX, Xa, dan
Trombin

25
DAFTAR PUSTAKA

Bakta IM (2006). Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 241-53.


Cines DB, Blanchette VS (2002). Immune Trombositopenic purpura. N Engl J Med,
346 (13): 995-1008.
Coopamah M, Garvey M, Freedman J, Semple J (2003). Cellular
immune mechanisms in autoimmune thrombocytopenic purpura:
An update. Transfus Med (1): 6980.

Cooper N., Bussel J (2006). The pathogenesis of immune thrombocytopaenic


purpura. British Journal of Haematology, 133: 36474.

Davey, Patrick (2006). At a glance medicine. Jakarta: Erlangga, 327.

Liesner RJ., Machin SJ (1997). ABC of clinical haematology. Platelet


disorders. BMJ 7083: 80912.

Mehta AB, Hoffbrand AV (2006). Gangguan hemostasis: Dinding pembuluh darah


dan trombosit Edisi 2. Jakarta: Erlangga, 73-5.

Purwanto I. Purpura Trombositopenia imun. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi


I, Simadibrata MK, Setiati S, eds (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Rehman, Abdul (2007). Acute immune thrombocytopenic purpura in children. Turk J
Hematol, 24:41-51.

Stasi, Roberto (2011). Pathophysiology and therapeutic options in primary immune


thrombocytopenia. Blood Transfuse, 9:262-73

Stevens W., Koene H., Zwaginga JJ., Vreugdenhil G (2006). Chronic


idiopathic thrombocytopenic purpura: present strategy,
guidelines and new insights. The Netherlands journal of medicin,
64 (10): 35663.

26
Terrel DR., Beebe LA., Vesly SK., Neas BR., Segal JB., George JN (2009). The
incidence of immune thrombocytopenic purpura in children and adults: A critical
review of published reports. American Journal of Hematology, 174-80.

Warrier R., Chauhan A (2012). Management of Immune Thrombocytopenic Purpura:


An Update. The Ochsner Journal, 12:22127.
Waterbuy, Lurry (2001). Buku saku hematologi edisi 3. Jakarta: EGC, 109-15.

27

Anda mungkin juga menyukai