Anda di halaman 1dari 8

Anemia Mikrositik Hipokrom

1. Definisi
Anemia mikrositik hipokrom adalah anemia yang ditandai oleh MCV (Mean
Corpuscular Volume) kurang dari 80 fl, MCH kurang dari 24 pg dan MCHC kurang
dari 32 g/dL. Anemia mikrositik disebabkan oleh kondisi dimana sintesis hemoglobin
berkurang, ketidakmampuan menyimpan besi (keadaan inflamasi kronis), defek
sintesis globin (thalassemia), dan defek dari sintesis heme (anemia sideroblastik,
keracunan timah). Anemia mikrositik yang paling sering disebabkan dari jumlah besi
yang kurang untuk menjaga eritropoiesis, yang ditandai dengan hasil abnormal dari
pemeriksaan besi.

2. Penyakit-Penyakit
Anemia yang memiliki karakteristik mikrositik hipokrom adalah anemia
defisiensi besi, anemia karena penyakit/inflamasi kronis, thalassemia dan anemia
sideroblastik. Anemia yang berkaitan dengan penyimpanan besi yang inadekuat
disebut anemia defisiensi besi, sementara anemia yang diakibatkan dari kegagalan
mobilisasi besi disebut anemia dari penyakit/inflamasi kronis karena berhubungan
dengan kondisi inflamasi yang berlangsung kronis, seperti rheumatoid arthritis. Saat
suplai besi adekuat dan mobilisasi normal tapi defek intrinsik RBC mencegah
produksi protoporphyrin, anemia disebut anemia sideroblastic, yang dimana
menunjukkan terdapatnya besi non-heme dalam RBC yang berkembang. Bila terjadi
kelainan atau defek pada sintesis globin (globin α dan/atau globin β), disebut
thalassemia.

3. Anemia defisiensi besi


 Etiologi
o Intake yang inadekuat
Anemia defisiensi besi dapat berkembang saat erithron lama-lama
sangat membutuhkan besi. Setiap hari, sekitar 1 mg besi hilang dari tubuh,
utamanya di mitokondria dari kulit yang mengalami deskuamasi dan epitel
intestinal. Karena tubuh menjaga besi lain dari sel-sel seperti RBC,
penggantian 1 mg besi dari diet menjada keseimbangan dan suplai besi
yang tubuh butuhkan untuk produksi RBC selama tidak ada sumber atau
sebab berkurangnya zat besi. Ketika besi dalam diet inadekuat,
penyimpanan besi dalam tubuh lama-lama berkurang atau deplesi.
Akibatnya, produksi RBC melambat akibat ketidakmampuan membentuk
hemoglobin.

o Kebutuhan yang bertambah


Defisiensi besi juga dapat berkembang dari jumlah intake besi tidak
cukup untuk mencapai kebutuhan erythron. Hal ini terjadi pada waktu
pertumbuhan yang cepat, seperti saat masa infant, anak-anak, dan menuju
dewasa. Kehamilan juga memiliki kebutuhan yang lebih untuk fetus yang
berkembang dan juga untuk ibu yang sedang hamil.

o Gangguan absorpsi
Walau diet untuk besi sudah cukup, ketidakmampuan untuk menyerap
besi ke melewati enterosit ke darah dalam waktu yang lama akan
menyebabkan defisiensi besi dalam tubuh. Gangguan ini bisa karena
patologis, seperti malabsorpsi karena celiac disease. Dan penyakit-
penyakit yang mengurangi keasaman lambung akan menganggu absorpsi
besi dengan mengurangi kapasitas untuk mengubah besi yang dalam
bentuk ferri menjadi bentuk ferro yang memudah untuk diserap. Obat
seperti antasida dapat menghambat absorpsi, dan terdapat obat lain yang
mengikat besi dalam usus sehingga absorpsi tidak terjadi.

o Kehilangan darah yang kronis


Pendarahan atau hemolisis yang berlangsung lama dapat membuat
total besi heme berkurang sedikit demi sedikit. Dan anemia akan lebih
parah saat besi yang hilang lebih banyak daripada intake besi dan
penyimpanan besi belum cukup. Kekurangan besi heme yang berlebihan
bisa terjadi dari pendarahan gastrointestinal dari ulkus, gastritis karena
alkohol atau aspirin, tumor, parasitosis, diveticulitis, kolitis atau
hemorrhoid. Pada wanita, menorrhagia yang berlangsung lama atau
kondisi seperti tumor fibroid atau keganasan pada uterus juga dapat
menyebabkan hilangnya zat besi. Orang dengan kelainan hemolitik
intravaskular kronis, seperti pparoxysmal nocturnal hemoglobinuria dapat
menyebabkan defisiensi besi akibat kehilangan besi pada hemoglobin dari
urin.

 Patogenesis
Tahap pertama dalam defisiensi besi dicirikan dengan kehilangan
cadangan besi secara progresif. Perkembangan RBC normal karena
penyimpanan besi masih cukup untuk menjaga transport dan fungsi sel darah
merah. Pasien dalam tahap ini belum merasakan gejala anemia. Serum ferritin
didapatkan rendah, yang mengindikasikan terjadi gangguan dalam besi yang
tersimpan, akan tetapi, karena asimptomatis menyebabkan pemeriksaan
tersebut tidak dilakukan.
Tahap kedua dalam defisiensi besi adalah ketidakcukupan penyimpanan
besi. Karena sel darah merah tetap menggunakan besi yang tersimpan dalam
beberapa waktu, akibatnya jumlah hemoglobin dalam retikulosit mulai
berkurang, yang menunjukkan eritropoiesis dengan kekurangan besi, akan
tetapi, kumpulan sel darah merah yang banyak dalam sirkulasi diproduksi saat
zat besi masih dalam jumlah yang cukup, sehingga hemoglobin masih normal.
Gejala anemia belum tampak walau hemoglobin pasien menurun. Serum besi
dan serum ferritin menurun, yang dimana TIBC (total iron-binding capacity)
akan meningkat. FEP (Free erythrocyte protoporphyrin) yang dimana besi
dibutuhkan untuk membuat heme akan mulai bertambah. Reseptor transferrin
meningkat pada permukaan sel yang sangat membutuhkan besi agar zat besi
dapat diambil semaksimal mungkin.
Tahap ketiga dalam defisiensi besi dalah anemia yang nyata. Konsentrasi
hemoglobin dan hematokrit rendah. Karena hilangnya terus-menerus cadangan
besi dan transpor besi, prekursor sel darah merah tidak dapat berkembang
dengan normal. Jumlah pembagian sel per prekusor meningkat karena
akumulasi hemoglobin pada perkembangan sel menjadi lambat, yang
menyebabkan waktu untuk sel terbagi menjadi banyak. Hasilnya sel darah
merah menjadi kecil dengna konsentrasi hemoglobin yang normal, dan dapat
juga terjadi karena kecilnya ukuran sel menyebabkan tidak dapat terisi
hemoglobin. Kemudian sel darah merah akan menjadi mikrositik dan
hipokrom. Dalam pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum ferritin sangat
rendah. Serum besi juga menurun dan FEP dan transferrin semakin meningkat.
Dalam tahap ketiga tersebut, pasien mengalami gejala non-spesifik dari
anemia, lesu dan lemah, khususnya setelah berkegiatan. Pallor juga ditemukan
pada pasien anemia defisiensi besi. Defisiensi besi yang parah bisa
menunjukkan tanda-tanda, seperti glossitis dan cheilosis pada ujung mulut.
Koilonychia juga dapat ditemukan pada defisiensi besi bila defisiensi terjadi
berkepanjangan. Pasien juga dapat mengalami pica, yaitu adanya keinginan
memakan makanan yang bukan merupakan makanan.

 Diagnosis Laboratorium
o Screening untuk anemia defisiensi besi
Dengan pemeriksaan CBC (Complete Blood Count), dapat ditemukan
anisositosis, mikrositosis dan hipokrom. Hemoglobin pada anemia
defisiensi besi ditemukan menurun. Karena hemoglobin semakin menurun,
mikrositosis dan hipokrom menjadi lebih kelihatan, dengan penurunan
MCV, MCH, dan MCHC yang progresif. Sel darah merah juga menjadi
sangat menurun dan hematokrit juga ikut menurun. Poikilositosis,
termasuk sel target dan elliptosit, juga dapat ditemukan walau tidak ada
bentuk yang spesifik.

o Diagnosis untuk Defisiensi besi


Pemeriksaan besi yang berada dalam tulang dijadikan untuk
mendiagnosis anemia defisiensi besi. Pemeriksaan besi termasuk serum
besi, TIBC, saturasi transferrin, dan serum ferritin. Serum besi merupakan
penghitungan dari jumlah besi terikat dengan transferrin dalam serum.
TIBC merupakan tempat pengikatan besi dalam plasma. Saturasi
transferrin dapat dihitung dengan serum besi dibagi TIBC dikali 100.
Ferritin berada dalam serum, dan jumlah ferritin menunjukkan besi yang
dicadangkan dalam sel. Serum ferritin dan besi didapatkan menurun.
Assessment pada sum-sum tulang dapat dilakukan apabila
diagnosisnya telah menunjukkan mengarah ke komplikasi. Sum-sum
tulang yang mengalami defisiensi besi menunjukkan telah terjadi
hiperplasi dengan penurunan ratio myeloid-erithroid sebagai hasil dari
peningkatan eritropoiesis.

4. Anemia karena Penyakit/Inflamasi Kronis


 Etiologi
Hepcidin merupakan suatu reaktan fase awal sehingga tingkat jumlah
hepcidin meningkat saat inflamasi seberapapun tingkat jumlah besi dalam
tubuh. Hasilnya, saat inflamasi, terdapat penurunan absorpsi besi dari usus dan
pelepasan besi dari makrofag dan hepatosit. Walaupun besi dalam tubuh
banyak, besi tidak bisa mengembangkan sel darah merah karena
disekuestrasikanoleh makrofag dan hepatosit. Respon ini merupakan
perlindungan non-spesifik untuk melawan bakteri. Jika tubuh dapat
mensekuestrasikan besi, hal tersebut akan mengurangi jumlah besi yang
tersedia untuk bakteri dan berkontribusi untuk pertahanan. Walau respon
hepcidin ini tidak berbahaya saat kelainan pada jangka waktu yang pendek,
dalam kronis hepcidin mencegat besi dalam waktu yang lama, yang
menyebabkan berkurangnya produksi sel darah merah
Lactoferrin merupakan protein pengikat besi dalam granul neutrofil.
Aviditasnya atau kekuatannya mengikat besi lebih besar dari transferrin.
Lactoferrin penting dalam sel untuk fagosit untuk mencegah bakteri yang
terfagosit menggunakan besi intrasel untuk proses metabolismenya. Saat
infeksi dan inflamasi, lactoferrin neutrofil juga dilepaskan dalam plasma.
Disana lactoferrin mengikat besi yang tersedia. Saat lactoferrin membawa besi,
mereka akan terikat kepada makrofag dan sel hepar yang mengambil zat besi.
Sel darah merah menjadi kekurangan besi karena mereka tidak memiliki
reseptor lactoferrin sehingga sel darah merah sangat membutuhkan zat besi.
Ferritin berkontribusi terhadap anemia akibat inflamasi kronis.
Peningkatan tingkat jumlah ferritin dalam plasma juga mengikat sejumlah besi.
Karena sel darah merah yang berkembang tidak memiliki reseptor ferritin, besi
tersebut tidak digunakan untuk membantu pembentukan hemoglobin.
Hasil dari efek-efek tersebut adalah melambatnya pelepasan eritrosit yang
berkembang. Hal ini dapat dilihat secara histologi dengan pewarnaan besi
yang menunjukkan besi dalam makrofag dan bukan dalam eritroblas.

 Diagnosis Laboratorium
Gambaran darah perifer dalam anemia akibat inflamasi kronis adalah
anemia sedang dengan konsentrasi hemoglobin yang biasanya 9 sampai 11
g/dL dan tanpa retikulositosis. Selnya biasanya normositik dan normokromik,
walaupun mikrositik dan hipokrom terdapat pada 1/3 pasien. Inflamasi dapat
mengarah ke anemia dan juga dapat menyebabkan leukositosis, thrombositosis,
atau keduanya. Karena produksi transferrin oleh hepatosit diatur oleh tingkat
jumlah besi, TIBC yang rendah menunjukkan penumpukan cadangan besi
dalam tubuh. Saturasi transferrin dapat normal atau menurun. Kegagalan besi
menjadi heme menyebabkan elevasi nilai FEP. Sum-sum tulang menunjukkan
hipoproliferasi dari sel darah merah, ditambah dengan kurangnya retikulosit
pada darah perifer.

5. Anemia Sideroblastik
 Definisi
Anemia sideroblastik adalah anemia hipokromik-mikrositik yang ditandai
dengan adanya sel-sel darah imatur (sideroblast) dalam sirkulasi dan sumsum
tulang. Anemia sideroblastik merupakan anemia dengan cincin sideroblas
(ring sideroblastik) dalam sumsum tulang. Cincin sideroblas ini adalah
eritroblas abnormal yang mengandung banyak granula besi yang tersusun
dalam suatu bentuk cincin atau kerah yang melingkar inti, dimana normalnya
terdapat beberapa granula besi yang tersebar secara acak yang akan tampak
bila eritroblas normal diwarnai dengan pewarnaan besi.3 Anemia sideroblastik
dapat di diagnosis bila 15 % atau lebih eritroblas dalam sumsum tulang adalah
cincin sideroblas, tetapi sideroblas ini dapat ditemukan dalam jumlah yang
lebih sedikit pada berbagai kondisi hematologik.
Anemia sideroblastik digolongkan menjadi beberapa jenis dengan
persamaannya yaitu suatu defek dalam sintesis heme. Pada bentuk herediter,
anemia merupakan suatu gambaran darah yang hipokrom dan mikrositik.
Penyebab mutasi tersering adalah pada gen asam delta aminolevulinat sintase
(ALA-S) yang terdapat pada kromosom X. Piridoksal-6-fospat adalah suatu
koenzim untuk ALA-S. Jenis lain yang jarang dijumpai meliputi defek
mitokondria, responsif tiamin, dan defek autosom lain. Bentuk didapat primer
yang lebih sering ditemukan adalah salah satu subtipe mielodisplasia. Bentuk
ini juga dinamakan “anemia refrakter dengan cincin sideroblas”.
Penyebab sekunder anemia sideroblastik merupakan obat-obatan,
misalnya beberapa obat kemoterapi dan ingesti timah. Anemia ini relatif
jarang dijumpai, tetapi perlu mendapat perhatian karena merupakan salah satu
diagnosis banding anemia hipokromik mikrositik.

 Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan
inkorporasi besi ke dalam senyawa hem pada mitokondria yang
mengakibatkan besi mengendap pada mitokondria sehingga jika yang di cat
dengan cat besi akan terlihat binyik-bintik yang mengelilingi inti yang disebut
sebagai cincin sideroblas. Hal yang menyebabkan kegagalan pemnbentukan
hemoglobin yang disertai eritropoesis inefektif dan menimbulkan anemia
hipokromik mikrositik

 Gambaran Klinis
Gambaran anemia sideroblastik sangat bervariasi dimana pada bentuk
yang didapat dijumpai anemia refrakter terhadap pengobatan. Telah
dilaporkan adanya suatu sindroma anemia sideroblastik yang refrakter pada 4
orang anak dengan adanya vakuolalisasi prekurser sel-sel sumsum dan
gangguan fungsi eksokrin pancreas. Anemia sideroblastik kongenital terjadi
pada orang dewasa dengan berbagai proses peradangan dan keganasan atau
pada alkoholisme.
o Anemia sideroblastik herediter X-linked
Biasanya hanya terdapat pada wanita muda. Manifestasi klinis berupa
hepatosplenomegali (dengan atau tanpa kelainan faal hati) dan
hiperpigmentasi kulit, yang disebabkan karena akumulasi Fe pada organ-
organ tersebut. Bila penyakit berlanjut, dapat menyebabkan penyakit
jantung, diabetes melitus, impotensi dan artritis.
o Anemia Sideroblastik Didapat-idiopatik
Kasus ini jarang ditemukan di klinik, biasanya terjadi pada usia 65
tahun ke atas. Beberapa peneliti meyebutkan bahwa kelainan ini akibat
kegagalan pada tingkat stem cell dan sering mengalami transformasi
menjadi leukemia akut bila pasien dapat hidup cukup lama. Oleh karena
itu anemia sideroblastik jenis ini sering disebut sebagai keadaan
preleukemia.

 Diagnosis Laboratorium
o Anemia sideroblastik herediter X-linked
Derajat anemianya sedang sampai berat. Gambaran sediaan apus
darah tepi biasanya dismorfik dengan anisositosis dan poikilositosis yang
hebat. Sering ditemukan basopyilic stippling, target cell, serta
pappenheimer’s bodies pada eritrosit pasien. Leukosit dan trombosit
normal. Pada sediaan apus sumsum tulang terlihat gambaran hiperplasia
eritropoiesis dengan gangguan maturasi > 40% terdiri dari ringed
sideroblast. MCV, MCH, dan MCHC semuanya di bawah nilai normal. Fe
serum, % saturasi dan feritin meningkat, tetapi TIBC dapat normal atau
menurun.
o Anemia Sideroblastik Didapat-idiopatik
Derajat anemia pada umunya ringan. Sediaan apus darah tepi
menunjukkan normokrom-normositer. Leukosit agak berkurang, tampak
pergeseran ke kiri dengan atau tanpa gangguan maturasi, jumlah trombosit
menurun/normal. Sediaan sumsum tulang menggambarkan hiperplasi
eritropoiesis, sering disertai perubahan megaloblastoid.
Hasil pemeriksaan sitologi, sulit dibedakan dengan eritroleukemia
maupun anemia megaloblastik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui
pewarnaan PAS. Pada anemia sideroblastik normoblas tidak terwarnai
(PAS negatif) sedangkan pada ertroleukimia PAS positif. MCV normal
atau sedikit meningkat, MCH, MCHC normal karena terdapat populasi
ganda. Retikulosit meningkat.
Daftar Pustaka

1. Rodak, Bernadette F dan George A Fritsma, Elaine M. Keohane.2012.Hematology :


Clinical Principles and Applications 4th edition.Missouri:Elsevier
2. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang.2000.Color Atlas of Pathophysiology.New
York:Thieme
3. Grossman, Sheila dan Carol Mattson Porth.2014.Porth’s Pathophysiology : Concepts
of Altered Health States 9th edition.Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins
4. Sudoyo, Aru W, dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta : FKUI
5. Adamson WJ, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 16. NewYork :
McGraw Hill, 2005.

Anda mungkin juga menyukai